Rasa takut, manusia memiliki berbagai rasa salah satunya adalah takut. Antara takut kematian atau takut menghadapi kejamnya kehidupan. Pertanyaan yang selalu berputar dikepala ini hanyalah tanda-tanda keadilan, masih adakah?.
Aku takut kematian tetapi hidup ini lebih kejam dan menyakitkan daripada rasa sakit yang tergores di pergelangan tangan ku. Noda merah mengalir deras tepat didepan mataku tak berarti apapun dibandingkan aliran waktu yang terus-menerus menyiksaku. Perasaan ingin mengakhiri hidup ini lebih besar daripada rasa sedih yang akan menghampiri kehidupan kedua orang tua ku, tapi aku takut mati.
“.....”
Tuk...tuk...tuk...
Suasana hening dan remang mengelilingiku. Ketukan pena terdengar dari arah kiri dan tatapan tajam dari arah kanan menjadi selimut tubuhku. Dua orang asing di depan menjadi pagar untukku. Aku tahu alasan mereka datang mengunjungiku, apalagi kalau bukan menyangkut kejiwaanku.
“Kita pernah saling kenal, yah... meskipun kita tidak begitu akrab tetapi aku kenal kau dan kau kenal aku.” Itu suara wanita yang menatap tajam di sebelah kananku.
“Waktu berkunjung sudah lebih dari 30 menit, bukankah aku harus kembali ke kamar?” tanyaku lesu pada kedua pria gagah dengan seragam dinas mereka.
“Ini bukan kunjungan, kau tahu kenapa kami disini bukan? Jadi kau tidak diijinkan kembali sebelum kami mendapat informasinya.” Pria disamping kiriku menjawab mewakili kedua pria gagah didepanku.
“Khe! Informasi? Kau bertanya pada orang yang salah. Kembalilah dan cari orang yang tepat untuk pertanyaanmu itu.” Kataku ketus.
“Dan orang itu adalah kau!” pria tersebut tersulut amarah.
“Dimas! Kau harus tenang, kau tahu siapa yang kita hadapi ini bukan? Jadi bicaralah dengan tenang.” Tahan wanita yang entah siapa namanya itu.
“Kurasa kalian perlu mendaftarkan diri ke tempat ini, hahahahaha! Mencari informasi pada pasien rumah sakit jiwa? Yah, otak kalian sudah tidak lagi berfungsi dengan benar, kurasa ditempat ini kita bisa jadi teman, hahahaha!. Seorang psikolog dan detektif swasta sudah jadi bodoh. ” tawaku pada kebodohan kedua orang tersebut.
“Perjalanan yang sangat panjang untukku hingga bisa berada di depanmu sebagai dokter psikolog, begitu juga dengan dia,” sambil menunjuk si dektektif. “Aku psikolog dan aku tahu kau tidak gila,”
“!”
“Kau hanya bersembunyi bukan? Jadi kau bertanggung jawab atas kedatangan kami kemari, Aqila.” Lanjut wanita itu.
“Khe! Orang waras yang menjadi pasien? Jangan membuang-buang waktuku, pergilah dan biarakan aku kembali!” pekikku pada mereka.
“Kau mau kembali? Kami akan membawamu kembali.” Kali ini si dektektif bodoh yang berbicara.
Aku benci mereka. Tanpa berpikir panjang aku bangkit dan bergerak menjauh dengan rasa benci bersemayam dihatiku.
“Es cream vanilla! Dia bahagia, dia sudah bahagia sekarang.”
Berengsek dektetif bodoh itu. Kenapa dia mengatakan kalimat yang membuatku berhenti ditempat. Aku membencinya, sangat membencinya.
“Dan ini, jawaban pertama hanya kau yang tahu.” Lanjutnya.
Percuma juga mengabaikan mereka, mereka lebih kuat dari aku. Berbalik arah kembali ketempat dimana aku duduk sebelumnya dan memperhatikan ukiran foto yang dektektif itu tunjukkan.
“Ini fotoku dan teman-teman SMA saat menikmati liburan di puncak. Tidak ada yang aneh dengan foto ini dan tidak ada penampakkan apapun didalamnya. Apa yang ingin kau tanyakan?” kataku ketus.
“Pria yang paling ujung bunuh diri 5 hari yang lalu. Dia menyayat nadinya dengan penggaris besi. Mayatnya ditemukan di lantai 24 perpustakaan nasional RI. Seorang yang baru berhasil membawa perusahannya naik daun tersebut melakukan bunuh diri? Bisakah kau percaya hal tersebut?”
“Kenapa tidak? Banyak alasan untuk melakukan bunuh diri bukan? Uang, keluarga, jabatan, cinta, hal sepele ini sangat masuk akal.”
“Kau tidak terkejut? Bunuh diri dan kau tidak terkejut?” psikolog itu mengangkat suara. “Kematian adalah pilihan, bunuh diri diusia muda cenderung lebih besar karena perasaan remaja masih labil, tetapi beranjak dewasa perasaan takut kematian mulai bangkit. Pria ini tidak memiliki masalah apapun, kecuali kau tahu kejadian saat foto ini diambil.” Lanjutnya.
“Aku seorang pasien dan kalian adalah orang yang banyak mengetahui hal tersebut. Ini foto lama, bagaimana aku mengingatnya? Jikapun aku ingat, tidak ada alasan aku ingin membuka suara. Perkataanku bisa dianggap angin lalu karena aku adalah pasien.”
“Tapi kata-kata ku tidak! Berceritalah, maka aku akan mendengarkan. Ini cukup menjadi alasan bukan.”
Ku rampas foto tersebut sambil menggenggamnya erat. “Aku membencimu dektektif bodoh.” Lirihku.
.
.
.
15 tahun lalu
Mentari sore mewarnai langit hari ini. Warna kemerahannya menjadi pemandangan yang selalu ku ingat. Aku masih siswa SMA tingkat tiga saat itu dan keindahan pemandangan tersebut hanya kutemui di kampung halamanku. Masih teringat di benakku jika saat itu perasaan yang kurasakan berbeda dari yang sebelumnya. Apakah ini karena pemandangan sore hari atau karena pria didepanku? Saat itu ia mengajak aku untuk kehubungan lebih dari teman, aku tidak tahu tapi aku sangat bahagia.
“Jadi?” tanya Edwin padaku
“Ehm...., i-itu, sebenarnya a-aku tid-“
“Aku tahu, jangan dijawab sekarang ya! Aku akan menunggu sampai liburan ke puncak tiba, oke!” potong Edwin, “Oh ya, aku harus pulang kalau tidak ibu bisa marah. Aku pergi ya, bye!”
Melihat Edwin bergegas pergi dari hadapanku membuat senyum tipis terukir di bibir ku. Dari dulu ia memang sangat lucu, tapi senyuman ini tidak mengartikan kalau ia terlihat lucu.
“Aqila! Es creamnya jangan sampai meleleh!” teriak Edwin dari kejauhan.
Aku terkejut saat tiba-tiba rasa dingin dari lelehan es cream di tanganku sudah jatuh. Saat aku kembali melihat Edwin saat itulah ia tersenyum kembali kepadaku dan berlalu pergi. ‘es cremanya jangan sampai meleleh!’ dan senyumnya sudah melelehkan hatiku. Aku tahu hari ini Edwin tidak terlihat lucu, tapi mengapa aku tersenyum bahagia? Apa ini karena Edwin, yah mungkin ini karena Edwin yang sebagai Edwin bukan Edwin yang lucu dan ceria.
Keesokan harinya tepat dini hari, kami berkumpul di depan rumah Wawan untuk berangkat bersama menggunakan mobil pribadinya, supirnya tentu saja Wawan sendiri. Liburan ini adalah ide dari Wawan yang katanya hadiah dari ayahnya karena berhasil meraih pringkat pertama di kelas. Wawan membawa kami dengan alasan ia bosan jika liburan hanya ada ia dan kedua orang tuanya, pada akhirnya ia berhasil membawa kami ikut ke puncak bersama.
“Sudah siap? Jangan lupa berdoa dulu ya sebelum berangkat!” seru Wawan kegirangan.
Aku tahu ia senang, bahkan tidak ia saja yang senang, kami semua juga ikut senang. Siapa juga yang tidak senang diajak liburan ke puncak tanpa bayar?. Pemikiran ku saat itu sangat dangkal, mungkin saja ada yang tidak senang bukan? Dan mungkin juga aku tahu siapa orangnya.
“Qila!, kau sudah punya pacar bukan?” canda Wawan padaku.
“Eh! A-aku ti-,” mataku melirik Edwin yang memilih membuang wajah, tapi bisa kulihat ia tersenyum sekilas. Apa yang ia pikirkan?.
“Wan, awas Lo dihajar Edwin!” sahut Rasti yang membuat suasana langsung ceria.
“Edwin ya?” kini Adam yang ikut-ikutan meledek ku.
“Apasih kalian ini? kami gak ada apa-apa kok, yakan Qil?” Edwin yang duduk di sebelah Wawan melirik ku sambil mengedipkan matanya.
“i-iya,” jawabku malu.
“cie...cie..., ada yang malu nih, hahahaha...” Zora juga ikut-ikutan mengeruh suasana.
“eh, Rima dan Haras kok diem aja? Kalau si endut sih uda molor duluan, hahahah!” seru Edwin.
“Aku lelah guys, aku tidur aja ya?” kata Rima lesu.
Tidak ada yang aneh di dalam mobil saat itu, suasana juga kembali ceria seperti semula bahkan perjalanan kami ke puncak sangat mulus tanpa kendala. Aku hanya merasa dan perasaan ini sangat aneh, aku mencurigai seseorang.
Kami ada ber-empat cewe dan lima orang cowo. Aku, Rasti, Rima dan Zora sedangkan bagian cowo ada Edwin, Wawan, Adam, Haras dan Bimo yang biasa kami panggil si endut.
Tibanya dipuncak, hari masih cukup pagi karena kami juga berangkat dini hari tadi. Kamar hanya ada dua di vila Wawan jadi ruangan kami bagi berdasarkan jenis kelamin. Kami sempat berfoto di depan vila, urutan foto kami adalah Edwin, Haras, Rima, Rasti, Bimo, Zora, Aku dan Wawan.
“Aku akan lanjut ke Universitas di Tokyo, Ibuku sudah mendaftarkan aku disana dan akhir tahun ini aku akan berangkat. Jadi ayo buat kenangan yang banyak teman-teman!”
Wawan memang murid yang sangat pintar, ia juga ahli dalam berbagai bidang olahraga. Ayahnya seorang pengusaha, ia juga akan menjadi penerus ayahnya suatu hari nanti. Saat ia berkata akan kuliah di luar negeri tidak ada yang terkejut, kami sudah tahu bagaimana nasip anak semata wayang dari pengusaha ternama.
“Aku akan mengambil perguruan tinggi kedinasan, hidup jadi PNS sangat terjamin akhir-akhir ini.” kataku sambil mungunyah sarapan pagi kami.
“Itu sangat hebat Qil, sampai kamu tua pun gaji terus mengalir, hahaha!” canda Wawan. “Bagaimana dengan kalian?” tanyanya.
“Kedepannya aku akan banyak melihat para tahanan.” Sahut Haras.
Tring!
Rima menjatuhkan sendoknya gemetar.
“Kau kenapa Rim? Sakit?” tanya Bimo yang masih setia mengunyah makananya.
“Gak apa-apa kok, Cuma gemetaran aja.” Jawab Rima. “Aku sudah kenyang, aku cuci piring ini dulu ya.” Rima pergi menjauh dari meja makan.
“Apa bagusnya menjadi penjaga tahanan Ras? Dengan kemampuan takewondo mu itu kamu bisa menjadi atlet Indonesia loh.” Kata Zora.
“Penjaga tahanan? Itu di kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia gak sih?” tanya Edwin.
“Sepertinya iya.” Jawab Adam.
“Aku ke dapur dulu ya,” kataku bergegas menuju dapur.
Perasaan aneh mulai menghantui ku lagi. Di dapur aku tidak melihat Rima sama sekali, yang ada hanya tumpukan piring bekas ia makan di dalam wastafel dan air keran yang tidak dimatikan.
Pintu kamar mandi terbuka dan Rima keluar dari sana. Ia terkejut melihatku dengan wajahnya yang pucat dan mata sembab. Apakah ia habis menangis?.
“Qila!, maaf ya aku lupa matikan kerannya.” Kata Rima sambil mematikan keran air.
“Kau sakit? Atau habis menangis?” tanyaku blak-blakkan.
“Cuma kurang enak badan aja kok, oh ya sini piring kamu biar aku yang nyucikan.” Rima menampakan senyumannya, tapi aku merasa ia terpaksa tersenyum.
Ada yang ia sembunyikan, tapi seakan ia juga tidak mengetahui apa yang ia sembunyikan. Seperti rahasia yang ia sendiri tak ingin hal tersebut atau rahasia yang ia tak tahu apa itu.
Petang kembali datang. Aku berjalan sendirian mengelilingi vila. Saat berjalan-jalan aku melihat Haras menarik tangan Rima ke pinggiran kolam renang yang memang cukup sepi. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tapi itu terlihat seperti mereka sedang bertengkar.
Rasa penasaran menggerakkan kakiku satu per satu. Aku ingin dengar dan aku ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi, tapi tangan ku di cekal seseorang. Ia adalah Edwin.
“Qila? Kenapa kau berlari?”
“Rima dan Haras sedang bertengkar. Aku harus melihatnya.” Kataku yang ingin pergi tapi lagi-lagi dicekal Edwin.
“Mereka bertengkar? Mungkin ini masalah pribadi. Tapi bukankah tidak sopan untukmu mendengarkan sepasang kekasih bertengkar,” sindir Edwin.
“Kekasih? Mereka Pacaran?” tanyaku.
“Ya, mungkin sekitar 3 bulan yang lalu, tapi kamu baru tahu?”
Aku mengangguk mengiyakan. Edwin tertawa lembut dan mengajakku menjauh dari Haras dan Rima. Aku juga tidak mau dianggap sebagai teman yang terlalu mengurusi masalah orang.
Tidak banyak tempat yang aku lihat-lihat, akhirnya aku kembali kedalam kamar yang kebetulan memang tidak ada seorang pun disana. Kemungkinan mereka sedang mempersiapkan makan malam.
Aku membaringkan tubuhku sejenak dan tiba-tiba suara nada pesan masuk terdengar. Aku pikir itu dari handphone ku tapi setelah kulihat tidak ada satu pesanpun disana. Aku mencari kesumber suara dan ternyata itu suara dari handphone Rima. Beruntung Rima tidak memiliki kunci atau sandi apapun dalam hpnya jadi aku bisa melihat itu pesan dari siapa.
Pesan tersebut ternyata dari salah satu restoran yang biasa Rima datangi, isinya hanya memberikan diskon pada hari ulang tahun restoran tersebut. Aku hendak kembali meletakkan hp Rima tapi ada satu aplikasi yang membuatku penasaran, aplikasi tersebut bernama buku harianku.
“Buku harianku? Ternyata Rima suka menyimpan aplikasi seperti ini.” lirihku.
Aku penasaran dengan apa yang di tulis Rima. Rasa penasaran tersebut membuatku menjadi teman yang jahat, dengan berani aku melihat isinya yang hanya kumpulan puisi. Banyak sekali puisi tapi puisi terakhir membuatku tercengang.
IRIS
Mataku mengiris tangis kesedihan
Bibirku menyimpan jeritan
Arahku tidak memiliki tujuan
Aku terdiam membeku hingga basi
Denyutku terbagi dua sisi
Kehidupanku telah terbagi
Tapi hanya satu yang bertahan
Apa pilihanku?
Rima tidak hanya pintar dalam matimatika tetapi ia juga pintar dalam berpuisi. Sangat tidak ku mengerti apa yang ia maksudkan. Aku memutuskan untuk mengembalikan hp rima ke tempat semula, tapi tiba-tiba suara alarm terdengar. Aku pikir itu hanya alarm pengingat biasa sampai ada tulisan di layar besar-besar ‘nadimu berhenti ditubuhku, itu pilihanku’.
Aku berlari kesegala arah mencari Rima kesana kemari. Tanpa memikirkan peluh membasahi tubuhku ataupun pertanyaan teman-temanku mengapa aku mencari Rima. Satu-satunya orang yang bisa kutanyai hanya Haras tapi Haras juga menghilang.
“Qila! Kau kenapa?” Edwin mencegahku untuk pergi.
“Rima... ha! Ha.. ha!... Rima dimana dia!” teriakku frustrasi.
“Ada apa? Kenapa dengan Rima?” tanya Edwin khawatir.
“Lepaskan aku!” Edwin masih menahan ku, “Ku bilang lepaskan aku! Rima bisa saja mati disuatu tempat berengsek!” teriakku marah.
Edwin tercengang kemudian ia baru melepaskan diriku, tanpa pikir panjang aku kembali ketempat dimana Haras dan Rima bertengkar. Dia disana, Rima ada disana. Tepatnya di dalam kolam renang dengan air yang berubah warna menjadi merah.
“Rima!” teriakku, “Berengsek, kenapa kau diam saja! Seharusnya kau menolongnya!” bentakku pada Haras yang terengah-engah.
Byur...!
Wawan datang masuk kedalam kolam dan membawa Rima ke permukaan.
“Rima! Kau gak papa?” Wawan memberi napas buatan dan menampar wajah Rima demi menyadarkannya.
“Lihat perutnya! Ia ditusuk dengan penggaris, kita harus ke rumah sakit!” Rasti juga panik. Mereka pun bergegas ke rumah sakit kecuali aku, Edwin dan Haras.
“Berengsek kau! Kau mau membunuhnya ya!” teriak Edwin marah sambil menghajar Haras hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.
“Edwin hentikan!” aku menahan Edwin yang tersulut emosi,”Sebaiknya kau kembali ke vila, jika begini kau akan membunuh Haras.”
Aku mengantarkan Edwin kembali ke vila dan meninggalkan Haras sendirian.
Waktu telah berganti dan Rima masih selamat. Kejadian malam itu ternyata hanya tindakan bodoh Rima. Kasus itu diselesaikan begitu saja atas pernyataan Rima jika ia tidak sanggup putus dari Haras. Jiwa remajanya memilih untuk mengakhiri hidup begitu saja, juga hanya ada sidik jari Rima di penggaris tersebut yang menguatkan pernyataan Rima. Kedua orang tua Rima juga tidak menelitih lebih dalam, mereka bilang mereka malu dengan kelakuan putri mereka jadi menutup kasus ini adalah pilihan mereka.
Haras mengikuti tes kedinasan sepertiku tetapi kami beda instansi. Sejak kejadian itu kami tidak lagi dekat seperti sebelumnya, apalagi Haras yang tidak lagi berkomunikasi dengan kami. Kepergian Wawan keluar negeri juga membuat kami harus kehilangan teman satu per satu, hanya Edwin yang masih seperti sebelumnya.
“Teman-teman sudah pergi, mereka menghilang dan berubah begitu saja. Sejak kejadian tersebut kita semua jadi canggung.” Edwin memecahkan lamunanku, ia memberikan es cream padaku seperti bisanya. “Ku harap kau tidak berubah juga Qil.” Lanjutnya.
“Rima, aku ingin tahu keadaanya.” Kataku lemah.
“Ia pergi keluar kota, entah untuk kuliah atau kerja tidak ada yang tahu.” Sahut Edwin.
“....” aku masih terdiam memandangi es cream yang perlahan-lahan meleleh.
“Kau ingat, saat aku menyatakan perasanku? Saat itu langit berwarna seperti sekarang ini. aku pikir aku akan mendapatkan kata yes dari mu malam itu tapi kau hanya berkata berengsek,” aku menoleh memandang Edwin, “Aku tahu kau sangat marah saat itu, tapi sejak kejadian malam itu kau juga perlahan-lahan menjadi orang asing Qil. Mungkin akan tiba saat dimana kau seperti yang lainnya dan hanya aku sendiri disini.” Edwin balik menatapku sendu, “A-aku harus pulang, ingat jangan buat es creamnya meleleh ya.” Lanjutnya dan beranjak bangkit.
Aku menggengam tangannya, aku menahan Edwin untuk pergi.
“I-ini sangat dingin saat meleleh dan menyentuh kulitku,” kataku menyenduh memandang es cream yang meleleh ditanganku. “Tapi saat es cream ini digantikan senyum mu entah kenapa itu jadi hangat.” Aku berani menatap mata Edwin. “Jika aku berubah dan pergi maka pastikan kau tetap disampingku dengan senyum mu itu.” Lanjutku dengan senyum bahagia.
Edwin memelukku cukup erat, “Aku berjanji akan selalu disampingmu.” Lanjutnya.
.
.
.
Present day
“Itu pembunuhan, kau menyadarinya kan?” selidik dektektif bodoh itu padaku.
“Rima mencoba bunuh diri, Sidik jari dan pernyataan darinya sudah menjadi bukti yang kuat. Bagaimana kau menyimpulkan jika itu pembunuhan?” kataku kesal pada si dektektif bodoh.
“Tanggapanmu bagaimana Lisa?” tanya si dektektif pada wanita psikolog.
“Rima masih sangat muda saat itu, bunuh diri karena cinta juga bisa jadi alasan mendasar, tapi...” Lisa menggantungkan kalimatnya, “Butuh waktu sangat lama untuk melupakan Haras jika ia beralasan bunuh diri, lantas kenapa setelah malam itu seakan ia bisa menerima semuanya? Seakan-akan bebannya sudah hilang padahal Haras adalah beban hidup Rima yang beralasan. Ada yang hilang dari cerita ini.” lanjut Lisa.
“Kau dengar, semua ceritamu tidak lengkap. Kau orang yang sangat penasaran hingga bisa menjadi jahat, jadi tidak mungkin kau tidak mencari tahu kebenarannya.” Selidik Dimas padaku.
“Apa maksud kalian, itu adalah kejadian yang sebenarnya yang aku tahu, jika tidak percaya cari saja ora-“
“Itu kejadian yang sebenarnya tapi itu bukan semua yang kau tahu! Bagimana pertanyaan peluh di wajah Haras, tusukkan diperut? Kalau ingin cepat mati bukankah kebanyakan menyayat nadi? Dan puisi? Bagaimana jawaban dari pertanyaan ini?”
“.....”aku sangat membenci dektektif bodoh itu sampai mati.
“Aqila, tolong ceritakan semuanya,” pinta Lisa lembut.
“Baiklah! ini bukan kebenarannya, ini hanya pemikiran ku saja saat itu.” kutatap mereka meyakinkan dan mereka balik menatap menunggu aku bicara, “Aku pikir Rima tidak berniat bunuh diri dia mungkin hanya terpaksa atau disuruh seseorang. Haras memang bukan pembunuhnya aku tahu karena peluh di wajahnya saat itu menandakan jika ia baru tiba di TKP sambil berlari, yang jelas itu bukan keringat dingin yang menadakan ketakutan. Puisi? Keputusan Rima yaitu menghilangkan nadi dari tubuhnya tapi itu bukan nadi dia, mungkin.... kemungkinan terbesarnya adalah-“
“Rima hamil?” potong Lisa dan aku mengangguk mengiyakan.
“Itu hanya pemikiranku saja, tapi jika Rima hamil saat itu mungkinkah itu anaknya Haras? Tapi aku melihat Haras menangis sepanjang malam saat malam dimana Rima dibawa ke rumah sakit. Ayah dari anak tidak menerima kematian atau ibunya yang menginginkan kematian? Kedua pernyataan ini tidak memuaskan hatiku.”
“Ada orang ketiga? Mungkin ayah dari anak atau dalang dari kejadian?” tanya si dektektif bodoh.
“Sejauh ini pelaku yang kuat masih Rima dan Haras. Muda masih membawa perasaan labil, membunuh bayi saat seusia segitu juga beralasan. Tapi tindakan nekat menusuk diri padahal masih banyak cara biasa masih jadi pertanyaan.” Lanjut Lisa.
“Kenapa tidak bertanya kepada Rima atau kedua orang tuanya? Kalau memungkinkan tanya Haras.” Saranku.
“Seperti katamu, mereka sudah menutupnya jadi mulut mereka juga pasti tertutup. Tapi kematian pria diujung ini membuat kasus ini harus dibuka. Apakah ada dendam atau pembunuhan berencana siapa yang tahu?” jawab Dimas.
“Wawan ya? Mati bunuh diri dengan penggaris besi. Orang yang sama menusuk Rima atau Wawan juga terlibat kasus 15 tahun lalu?” lirihku.
Si dektektif bodoh itu kembali menyodorkan foto kepadaku.
“Ini kasus berikutnya. Ini masih berkaitan dengan yang sebelumnya, ceritakan maka jawaban kasus pertama akan terungkap.”
“10 tahun lalu, pesta ulang tahun Zero. Siapa yang meninggal disini?” tanyaku.
“Zero Renita. Mengiris nadi dilehernya sendiri 5 hari yang lalu.”
Aku tercengang terkejut. Hingga menjatuhkan foto ditanganku tanpa sadar.
“Zero meninggal?!”
.
.
.
Hai cerita yang bagus :)
Comment on chapter KomaUdah aku like yaaa~
Suka banget sama diksinya..
Mampir ke Story aku juga yuk.. semangat!!