(Januari, 2016)
Semesta sedang bergembira menyambut bergantinya angka. Percikan bunga api dilangit selalu membuatku teringat saat kita berada dipuncak tertinggi menatap langit yang meriah oleh milyaran bintang yang menggantung indah.
Tanpa kata tanpa suara aku dan kau menikmati indahnya malam ketika siang lelah digunakan untuk mendaki. Hari ini tepat satu tahun yang lalu, yang tahun ini kau malah asyik merayakan pergantian tahun dengannya, seseorang yang baru dekat beberapa bulan lalu, namun yang kau damba sedari dulu.
Sedihku entah untuk apa, sedihku sudah terlalu lama hanya untukmu. Hingga aku lupa untuk sedikit berbahagia tentang hubungan yang kau dambakan sejak lama dengannya. Aku yang pengecut untuk berterus terang. Aku yang kalah oleh ego dan harga diri. Tak pernah mau mengakui bahwa rasa yang terpendam ini telah tumbuh menjulang tinggi dan tak dapat ku tebang dengan mudahnya.
Tak apa aku sendiri, menunggu kau yang tak pasti dan tak peduli yang selalu memorak-morandakan hati ini. Dengan cara manismu kau minta aku untuk terus merasa aku harus menunggumu sebentar lagi hingga kau siap membuka hatimu hanya untukku, yang dengan bodohnya aku selalu mau untuk menunggumu tanpa adanya kepastian darimu.
Malam itu pun kau mengabariku bahwa kau sedang asyik berdua dengannya. Kau, sahabatku menikmati indahnya malam tanpa aku yang biasanya disisimu mendengar keluh kesahmu tentang tugas yang selalu harus kau selesaikan, dan malam ini statusku akan berubah (lagi) menjadi seorang pendengar tentang keluh kesahmu dalam menjalin hubungan dengannya.
Tak apa, memang ini mauku bukan ? Oh, aku yang selalu mendekap rasa ini sendiri tanpa ingin berbagi denganmu. Aku hanya bisa tertawa getir melihat betapa kasihannya aku, yang hanya aku terjebak dalam duniaku sendiri. Ya, sendiri menanti.
***
Silahkan kalau kau mau begitu.
Aku tak pernah melarang apapun.
Karena aku sadar diri siapa aku dimatamu.
Yang hanya sekedar sahabat sedari kecil
Yang hanya aku yang punya rasa.
Dan yang hanya aku siap menunggu keputusan.
***