Sabtu depannya, waktu sore hari itu jadi berasa melow, sendu-sendu gimana gitu, abisnya dari pagi hujan gerimis. Berhenti sebentar, terus hujan lagi. Untung aja guru-guru nggak males ngajar, cuma murid-muridnya aja yang tetep males. Mager (malas gerak) banget. Gawatnya buat Poni, dia jadi ingat rumahnya sering kena langganan banjir.
Selain itu, ada juga yang membuatnya khawatir. Dari pagi Poni lihat tampang suntuk Aida, belum lagi kelopak matanya yang membengkak. Awalnya Poni menduga, semalem Aida nonton film india lagi terus nangis bombay, tapi ternyata nggak. Mungkin Aida makin galau mau ditinggal Jay.
Hal itu jadi berdampak sampai ke ruang siaran, nggak biasanya Aida banyak diem. Baim sampai bingung, abis kayak siaran sendiri. Ditambah suasana ruang siaran jadi kikuk gara-gara ada pendengar yang request lagu Benyamin Sueb – Hujan Gerimis.
“Eh ujan gerimis aje. Ikan teri diasinin. Eh jangan menangis aje. Yang pergi jangan dipikirin. Eh ujan gerimis aje. Ikan lele ade kumisnya. Eh jangan menangis aje. Kalo boleh cari gantinye. Mengapa ujan gerimis aje. Pergi berlayar ke tanjung cine. Mengapa adek menangis aje? Kalo emang jodo nggak kemane.”
Aida nampak menahan genangan air mata yang hendak mengalir deras. Selesai lagu pertama diputar ada telepon masuk.
“Halo siapa disitu? disini Aim?” tanya Baim menirukan suara artis cilik Baim. Niruin suaranya sih bisa aja mirip, tapi kalau mukanya mutlak udah nggak bisa diitiruin Baim teman siaran Aida sore itu.
“Hai Im. Gue Jay,” jawab si penelepon.
Aida kaget seperti mendengar suara panci jatuh. “Jay!” panggil Aida.
“Hai Aida,” sapa Jay.
Udah tiga hari yang lalu, Jay perpisahan ke murid-murid di kelasnya, guru-guru, Ci Amey, sampai satpam sekolah, dia udah ngurusin dokumen untuk pindah sekolah. Nggak naggung-nanggung, pindahnya ke Mumbai, India.
“Lo belum berangkat?” tanya Aida.
“Belum Da, masih di jalan arah bandara he,” kata Jay.
Baim bingung mau ikut nimbrung apa. Ini kok jadi kayak percakapan pribadi. Jay emang udah niat ngubungin Aida di radio, sampai bikin alarm segala sesuai jam siaran Aida. Jay juga minta Poni ngasih tau kapan dia bisa nelepon, soalnya siaran BHINEKA FM kan cuma sampai satu Kecamatan aja, belum antar kota, antar daerah, bahkan anter planet (mungkin aja kan di masa depan seperti itu).
“Gue mau kirim salam he,” kata Jay.
“Apa Jay?” tanya Baim, karena Aida sedang terpaku sambil harap-harap cemas.
“Maafin aku Aida, kalau harus ngomongnya di sini he. Aku nggak sanggup lihat kamu sedih. Aku cuma mau jujur sama kamu. Main tumhen pyaar karata hoon (aku cinta kamu), sampai jumpa Aida, aku pasti kembali he,” kata Jay. Tidak lama terdengar suara orang tua Jay memanggil. Telepon terpaksa harus terputus, seperti hubungan Aida dan Jay.
Hening sejenak. Baim langsung ambil alih lagi. “Sobat Bhineka nemenin kalian di sana yang lagi mandangin hujan kayak temen saya di sini, lagu syahdu dari Ratu – Aku Pasti Kembali yang kembali jadi hits minggu ini,” kata Baim.
“Aku hanya pergi tuk sementara. Bukan tuk meninggalkanmu selamanya. Aku pasti kan kembali pada dirimu. Tapi kau jangan nakal. Aku pasti kembali..”
Campur aduk perasaan Aida. Dia berlari ke luar ruang siaran, cari tempat bersembunyi untuk menangis, di bawah hujan bersandar pada sebatang pohon.
“Aida..da..da..,” panggil Poni coba mengejar. Fani juga ikutan. Mereka khawatir abis nangis, Aida jadi improvisasi meluapkan kesedihannya dengan bernyanyi lagu India diikuti tariannya.
“Kalau jodoh nggak kemane Da, mau pindahnya lebih jauh dari Mumbai juga kalau emang Jay itu ditakdirin buat lo, pasti baliknya ke lo lagi,” kata Fani menepuk-nepuk pundak Aida.
Aida bener-bener mewek sejadi-jadinya, nggak perduli dia mulai basah karena gerimis. Pentolan Gang Serong emang lagi galau betul. Hatinya sedang memilu karena rindu, yang hingga kini seperti tidak ada obat penghalau yang paling jitu.
“Gue mau nyusul Jay,” tiba-tiba kata Aida.
“Ke Mumbai???” sahut Poni dan Fani bersamaan, mereka kaget juga dengar gitu.
“Bukanlah. Ke Bandara,” jawab Aida.
“Caranya?” tanya Fani.
“Apapun yang penting gue nyampe bandara,” kata Aida sambil berlari menjauhi Aida dan Poni yang masih melongo. Cinta sungguh momentum rasa yang bisa bikin gila.
“Dia mau lari sampai Bandara?” tanya Fani.
“Ngaur, lari setengah lapangan aja kakinya udah gemeter kok,” jawab Poni.
Tanpa pikir panjang lagi-lagi Poni dan Fani mengejar Aida yang hatinya sedang galau dan bisa berbuat apa aja. Tanpa diduga Aida nekat jegat Pak Black yang hendak pulang dengan sedan antiknya.
“Wahh Po, cepetan dia mau bunuh diri tuh!” kata Fani mempercepat larinya. Nggak Aida, nggak Poni, sama-sama tidak punya bakat sebagai pelari. Masih mending Aida lari setengah lapangan baru gemeter, Poni seperempatnya aja udah lebih gemeter. Cuma heran juga, kalau diajak belanja berlama-lama sama Ambu neglilingin mall, sepasang kaki Poni kuat aja tuh, apalagi kalau Ambu beliin dia jajanan di mall, kakinya sering lupa diri.
“Aida..da..da, jangan nekat..kat..kat,” teriak Fani bak adegan sinetron yang hendak tertabrak, padahal masih ada waktu untuk minggir, tapi entah kenapa malah milih diam dengan ekspresi kaget sampai bemper mobil berhasil menyentuh tubuh si pemain, alias tertabrak.
“Aida!! Apa-apain kamu ini. Bikin kaget Bapak aja,” kata Pak Black kesal dengan tingkah Aida.
“Pak Black yang mulia, bantulah saya Pak,” pinta Aida memelas dan bercucuran air mata di samping kaca mobil Pak Black.
“Lho kamu kenapa nangis begitu? Belum sempat Bapak tabrak kok,” tanya Pak Black.
Fani yang udah berdiri samping Aida coba menahannya. “Da sabar, ada kalanya kita harus nerima walau sepahit apapun,” kata Fani.
“Ehh kalian main dramanya jauh-jauh dari mobil Bapak,” pinta Pak Black.
Bukannya nurut, Aida malah menahan kaca mobil Pak Black yang hendak tertutup. Hampir kejepit malah tangan Aida, kalau Pak Black nggak nurunin lagi.
“Tolong saya Pak, Tolong Aida Ya Allah lewat Pak Black,” kata Aida terus memohon.
“Tolong apa??” tanya Pak Black heran.
Poni akhirnya sampai di TKP. Udah telat sentengah adengan dia. Poni nggak konsen masih ngelap keringat dan niup dalam bajunya yang kepanasan.
“Anterin saya Pak. Saya nggak minta apa-apa dari Bapak, saya minta dianterin aja.” pinta Aida.
“Iya Pak, tolong anterin. Ini soal hajat hidup Aida Pak,” kata Poni ikutan memohon.
“Ya sudahhhlah masuk mobil. Kalian minta dianter pulang aja, sampai bikin adegan membahayakan,” kata Pak Black.
Aida semangat langsung masuk ke dalam mobil, duduk manis dikursi belakang. Poni sama Fani nggak kalah mau ikut juga.
“Tas kalian mana? mau ditinggal di sekolah?” tanya Pak Black sebelum menyalakan kembali mesin mobil.
Ohh iya tas! Sampai lupa. “Ayo Po, kita lari ambil tas,” ajak Fani.
Poni terkulai lemas, pura-pura hendak pinsan. Akhirnya Fani telepon Ali minta bawain tas mereka. Ali dibantu Danis membawakan tas yang diminta. Ehh terus mereka pingin ikut juga. Udah mirip mau berangkat karya wisata. Full mobil sedan Pak Black.
“Ngerjain saya kalian ini. kalau saya nggak berbaik hati orangnya, kalian udah pasti saya usir dari mobil,” dalam hati Pak Black emang pingin banget ngusir mereka.
“Ohh Pak Black yang mulia, terimakasih banyak atas budi baik Bapak. Seumur hidup saya nggak akan ngelupain ini Pak,” kata Aida.
“Iya sama-sama. Siapa yang mau dianter duluan? Danis? Tumben kamu nggak bawa motor,”
“Lagi di bengkel Pak motornya, tapi bukan saya pak yang mau danter duluan,” kata Danis.
“Terus siapa?”
Serentak semua menjawab, “AIDA,” sedangkan Aida udah ngajungin jari telunjuknya.
“Ya sudah kemana?” tanya Pak Black.
“Bandara Soekarno Hatta,” jawab Aida tegas.
Pak Black melotot. “Nggak sekalian aja ke Anyer,” sahut Pak Black keki.
“Boleh aja, kalau Bapak nggak keberatan pulangnya kita mampi ke sana,” kata Poni disambut sorak-sorak gembira.
“Banyak gaya kalian budak-budak,” komentar Pak Black kesal.
“Pak mohon dimengerti asmara anak muda ini yang hendak ditinggal jauh kekasihnya. Mungkin ini kesempatan terakhir saya untuk bertemu dia dan mengungkapkan isi hati saya langsung,” kata Aida. Jarang-jarang Aida pakai Bahasa Indonesia yang baik.
Pak Black termenung beberapa detik mengingat perjuangan cintanya mendapatkan istrinya yang dahulu kala hendak dikirm jadi TKW (Tenaga kerja wanita) ke Arab Saudi, tapi berhasil digagalkan oleh Pak Black dan akhirnya mereka menikah.
“Ya sudahh! Kencangkan sabuk pengaman. Yang tidak ada sabuk pengaman, pegangan ke tangan temannya di samping, tapi nggak boleh pegang yang lainnya!” kata Pak Black mengingatkan.
Mobil yang dikendarai Pak Black melaju dengan kecepatan optimal namun tetap aman. Setiap masuk ke gerbang tol, mereka yang didalam mobil gantian bayarin tol, dan pas berhenti ngisi bensin juga. Cuma nggak banyak sih, sisanya ditalangin Pak Black. Maklumlah sebanyak apa uang saku murid SMA.
Mirip adengan film AADC (Ada Apa Dengan Cinta), saat Cinta yang diperankan Dian Sastro menyusul Rangga yang diperankan Nicholas Saputra ke Bandara. Dasar labil, mereka masih sempat bertengkar mirip-miripin diri sendiri dengan tokoh di dalam film. Ali dan Danis yang nggak mau ikutan ribut harus tetap milih peran. Biar adil semua kebagian peran. Kan pas total Genk Cinta di film ada lima orang, ditambah Mamet yang diperankan oleh Pak Black dalam parodi ini.
Sampai di Bandara Terminal 2 yang biasa dipakai untuk keberangkatan dan kedatangan luar negeri, sebetulnya mereka agak ragu masih bisa bertemu Jay. Danis salah satu peran dalam Parodi Film AADC berinisiatif menelepon Jay. Pulsanya paling banyak di antara yang lain.
“Jay lo dimana?” tanya Danis.
“Di bandara he. Kenapa?” tanya Jay.
“Di terminal berapa?” tanya Danis lagi.
“Terminal 1D.”
“Lho bukannya lo mau pindah ke luar negeri?”
“Iya, tapi gue sekeluarga mau ke Medan dulu pamitan sama keluarga di sana,” kata Jay.
“Lo masih di luar terminal kan? Belum masuk ruang tunggu?”
“Iya masih di luar mau cari makan dulu he,”
Danis tepok jidat. Danis langsung intruksiin mereka balik ke dalam mobil. Pak Black lagi-lagi harus mengantar mereka.
Adegan film AADC kembali berlanjut Aida berlari ke arah Jay. “Rangga, eh salah JAY!” panggil Aida.
“Aida!!!” Jay kaget lebih dari kaget denger panci jatuh. “Kamu nyusul aku.”
Untungnya mereka nggak berpelukan terus badan Aida diputer 360 derajat. Aida dan Jay hanya saling menatap dan berpegangan tangan.
“Jangan pergi Jay.”
“Nggak bisa Aida. Ini udah jadi keputusan keluarga besar aku he,” kata Jay.
“Tapi kite gimane?” tanya Aida balik lagi ke logat Betawinya.
“Biar takdir..dir..dir yang menjawab he,” kata Jay.
“Jay..,” Aida menatap Jay.
“Aida..,” Jay juga.
Mereka saling menatap sebelum orang tua Jay memanggil anaknya lagi.
“Ambil ini Aida. Hadiah kecil dan sederhana dari aku he,” Jay memberikan sekotak hadiah kecil ke Aida. “Semoga kamu ingat aku setiap melihatnya saat kita sering mendengarkan lagu India bersama,” kata Jay.
“Bakal gue jaga baek-baek,” kata Aida menerima hadiah dari Jay.
“Aku sayang kamu Aida,” kata Jay.
“Samee gue juga,” sahut Aida.
Eiittt sampai disitu aja yah adegan filmnya. Kalau dilanjutin ada adegan 17 tahun ke atas. Jay melambaikan tangannya, terus berlalu hingga tidak terlihat lagi di mata. Aida nampak lega dapat menemui Jay. Mungkin untuk terakhir kalinya atau tidak.
Pak Black diam-diam menyaksikan adegan itu sambil menyeka air matanya. Malu juga kalau ketauan muridnya.
Di perjalanan pulang dalam mobil. Aida membuka hadiah dari Jay. Matanya membelalak karena isi hadiah yang diterimanya. Tapi bukan cuma Aida yang begitu.
“Busettt dah!! Ternyata Jay yang ngasih gantungan kunci earphone. Kalau tau dia, gue bales dulu nimpuk dia balik sebelum dia pergi. Pakai rahasiaan-rahasiaan segala.” kata Poni yang ikut melihat isi hadiah dari Jay.
Saat itu kejadiannya Jay udah lama pingin ngungkapin perasaanya langsung ke Aida. Dengan segala tekad mengajaknya bertemu lagi, Jay ingin ketemu Aida di dekat ruang kelas XII IPS 3, seperti yang tertulis di surat kaleng yang salah sasaran mendarat ke kepala Poni. Tapi niatnya kembali diurungkan, karena bukannya Aida datang seorang diri, tapi keroyokan bareng Poni dan Fani. Tekadnya kembali ciut.
Aida tidak peduli lagi komentar-komentar yang dia dengar di dalam mobil. Cara Jay yang malu-malu, mengiriminya beberapa pucuk surat cinta, surat kaleng, dan hadiah kecil ini, sungguh membuat hati Aida terkesan. Rindunya kembali datang untuk murid SMA Bhineka keturunan India yang pernah jadi gebetannya. Sampai jumpa Jay!
Haru tidak bertahan lama. Gerimispun sudah sejak lama berhenti. Hari sudah gelap. Mobil Pak Black semakin lama, lajunya semakin melemah dan tersendat-sendat, sampai akhirnya mesin mobil mati total. Bensinnya kembali habis di tengah tol. Mereka harus melambaikan tangan minta bantuan. Ada juga yang pegang tulisan ‘SEDEKAH PANGKAL KAYA, BERILAH KAMI SEDEKAH BENSIN AGAR ANDA KAYA. KALAU TIDAK PERCAYA, COBA DULU SAJA’.
Belum ada mobil yang memberi mereka sedekah berupa bensin. Masing-masing mulai kelelahan, terkulai lemas duduk di pinggiran tol. Pak Black terus menyesali tindakannya membantu murid-murid semprulnya ini.
“Pak.., saya laper, bantulah saya kali ini lagi pak. Saya tidak meminta apa-apa kecuali sebungkus nasi beserta lauknya,” pinta Aida kembali memelas ke Pak Black.
“Aaaaargghhhh,” sungguh terlalu mereka. Pak Black hanya bisa meluapkan kekesalannya dengan teriakan lantang.
“Ati-ati Po, selanjutnya bakal ada adegan film thriller yang sering bikin lo parno,” kata Fani mengomentari gurunya yang mulai hilang akal.
“Gimana kalau kita iket Pak Black duluan, sebelum dia membantai kita,” kata Poni mengusulkan.
Fani mengangguk setuju. Murid-murid ini memang sungguh terterlaluuuuu!
@dede_pratiwi ok sipp. Sorry telat respon
Comment on chapter SMA Bhineka