Sabtu siang, abis pelajaran terakhir selesai, eskul siaran radio jadi ngadain kumpul. Pak Black sebagai pembina juga hadir untuk memantau dan memberi saran. Total semua calon anggota yang hadir ada lima belas orang, termasuk Poni, Aida, Fani, Danis, Rahmat, dan Ali. Selain bahas masalah budget, sekalian nentuin nama eskulnya, karena belum ada nama yang diputuskan. Ada beberapa usulan seperti Bhineka FM, School FM, Berani FM, sampai Black FM. Tapi dari hasil voting, sepuluh orang memilih BHINEKA FM sebagai nama eskul. Ketuk palu deh tiga kali dikurang satu, nama eskulnya BHINEKA FM sesuai nama sekolah.
Pak Black selain jadi pembina, punya job double. Cerita punya cerita, Pak Black sharing, ternyata dia pernah punya pengalaman jadi penyiar radio semasa kuliah di Bandung. Atas persetujuan semua yang hadir, walau nggak tau ikhlas atau tidak, Pak Black bakal dapat slot program siaran setiap senin. Siarannya bakal kasih info seputar issue-issue terkini dari berita ragam, politik, olahraga, sampai ke pengumuman penting apa aja di sekolah. Nama programnya BBB, singakatan dari Berita Baru Banget yang dibawakan oleh Pak Black. Ditambah Pak Black juga ditunjuk sebagai penanggungjawab program secara keseluruhan.
Selain program siaran setiap senin, ada juga siaran di Hari Rabu dan Sabtu. Kalau siaran hari rabu namanya Rada-Rada Aja. Nama Rada singkatan dari Rabu Drama. Isinya seperti namanya, akan disiarkan beberapa drama radio semacam sandiwara radio. Kalau dijaman Pak Black, ada sandiwara radio popular namanya Tutu Tinular. Nggak sama kayak gitu sih cerita drama radionya, pinginnya lebih sesuai sama jaman sekarang. Karena itu, Ali gabung untuk ikutan nulis naskah drama radio. Kemungkinan Fani bakal sering meranin tokoh di drama yang Ali tulis.
Program selanjutnya yang akan disiarkan setiap Sabtu, namanya Sampah. Singakatan dari Sampein Aje Napah. Seperti namanya yang agak Betawi, program ini akan dibawakan oleh Aida. Isinya bakal menampung semua keluh kesah, saran, masukan, dan aspirasi para pendengar, termasuk salam-salam yang diselingi dengan chart tangga lagu terkini. Khusus untuk slot salam-salam, bakal ada waktu yang diperuntukan ke siapa saja yang mau salam-salam mantan atau salam-salam gebetan. Di Sampah, Aida bakal ditemenin siaran sama anak kelas X, namanya Baim. Sebelas dua belas sama Aida. Baim juga anak Betawi asli.
Tiga program yang diusulkan adalah hasil buah pemikiran Poni semalaman suntuk, duduk di meja belajar yang biasa dia pakai buat main teka teki silang sambil dengerin radio, daripada belajar. Di Bhineka FM, Poni ditunjuk sebagai Ketua Eskul termasuk ketua tim kreatif.
Di akhir pertemuan, Danis juga ikut mengusulkan satu tambahan program. Semacam program interview exclusive mengenai bakat-bakat yang ada di sekitar mereka. Ternyata banyak yang setuju. Program ini bisa jadi salah satu wadah untuk murid-murid di SMA Bhineka yang punya bakat lebih dikenal.
Setelah diskusi tambahan, semua anggota yang hadir sepakat Poni ikut ngisi program, yaitu program siaran yang Danis usulkan. Nama programnya Popo Radio, kepanjangan dari Poni pingin ng-obrol di Radio. Popo Radio, biar easy listening dan mudah diingat.
Beberapa job desk lainnya udah dibagi ke masing-masing anggota, seperti siapa aja yang masuk tim kreatif diketuai Poni, tim produksi diketuai Danis, termasuk nantinya anggota kedua tim akan dibagi ke masing-masing program siaran. Fani bertanggung jawab di bagian finance (keuangan) dan dana usaha. Aida bertanggungjawab di bagian talent.
Kumpul eskul Bhineka FM untuk yang pertama udah selesai nih. Semuanya udah pulang, kecuali Poni, Aida, Fani, Danis, Ali, dan Pak Black masih diruangan, ngobrolin lagi soal budget pembelian alat-alat siaran.
“Temen-temen, Pak Black, soal alat siaran, ada hal yang mau saya sampaikan,” kata Danis.
“Apa itu?” tanya Pak Black dengan gaya bicaranya yang sering angkat dagu.
“Saya ada alat-alat lengkap untuk siaran. Ya sebetulnya itu punya kakak saya sewaktu dia masih kuliah, tapi beberapa bulan yang lalu sudah tidak terpakai karena kakak saya dapat kerja ke daerah Sumatera. Kondisinya masih bangus untuk digunakan. Alat-alat itu bisa dipakai untuk eskul kita. Saya udah dapat ijin tentunya. Nah! uang hasil sumbangan alumni dan iuran anggota bisa kita pegang dulu untuk uang kas,” kata Danis. Apa yang disampaikannya memberi pencerahan untuk semua yang masih ada di ruangan.
“Tapi bener nggak apa tuh kita pakai?” Poni agak ragu mengkonfirmasi ulang.
Danis mengangguk.
“Atau begini saja, kita bisa pakai alat-alat siaran yang Danis bilang, tapi tetap kita bayar sesuai kondisi barang. Cuma ya kredit dululah. Hutang begitu, sampai nanti uangnya terkumpul. Bisa kan?” kata Pak Balck.
“Nah bener tuh Pak. Setuju saya begitu aje dah,” kata Aida.
“Saya juga setuju,” sahut Fani.
“Poni gimana sebagai ketua eskul?” tanya Pak Black.
“Sesuai suara terbanyak saat ini, oke. Saya juga setuju,” jawab Poni.
Alhasil besoknya, Hari Minggu, Pak Balck bakal anter Danis dan Poni ngambil alat-alat siaran ke Bandung. Aida dan Fani ditugaskan bertemu alumni yang mau kasih sumbangan dana yang dijanjikan.
…………………………………………………………………………………
Mobil Pak Black itu keluaran tahun 90-an. Mobil sedan antik berwarna merah melaju di Jalan Ciumbuleuit, Bandung. Lurus terus melewati Universitas Parahyangan, beberapa hotel, dan apartement. Mobil akhirnya diparkir dua rumah setelah Gang Muhari. Rumah yang masih asri di kawasan Hegarmanah, Kota Bandung.
Di rumah itu tinggal kakak tertua Danis dengan suami dan anaknya yang masih kecil. Mungkin masih berusia satu tahun. Karena berkunjung ke rumahnya di Bandung, Poni dan Pak Black jadi tau sedikit tentang keluarga Danis. Ayah Danis ternyata sudah meninggal lama. Sepeninggal Ayahnya, Ibu Danis pergi bekerja ke London, Inggris hingga sekarang. Danis itu anak paling bungsu dari empat bersaudara. Satu kakak perempuannya udah nikah dan tinggal di rumah orang tuanya di Bandung, kakak keduanya laki-laki baru pindah ke Sumatera buat kerja, kakak ketiganya perempuan masih kuliah di Surabaya. Danis sendiri pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah oma dan opanya di daerah Tebet, tidak jauh dari sekolah.
Seperti yang diceritakan Danis, alat-alat siaran yang mau diambil itu punya kakaknya yang pindah kerja ke Sumatera. Selama bertamu di rumah Danis, Poni dan Pak Black banyak disuguhi camilan khas kota itu. Poni senang kuadrat (dua kali lipat). Udah hari ini bisa ke Bandung sama Danis, walau ada Pak Black, terus sekarang bisa kenal kakaknya, dan main ke rumahnya juga. Hari yang betul-betul indah buat Poni.
“Pak, de, ayo makan siang dulu. Ada sayur asem, tempe goreng, ayam penyet, dan sambal terasi. Semoga suka hidangannya,” kata Kakak Danis. Kakaknya ramah sekali ke Poni dan Pak Black.
“Repotin sekali ini kita. Terimakasih banyak jamuannya,” kata Pak Black.
“Sama-sama pak, tolong dijaga juga pak, ade saya yang paling bungsu ini di Jakarta,” sahut Kakak Danis.
“Tentu,” kata Pak Black.
Poni, Danis, dan Pak Black beranjak ke meja makan. Makan bersama keluarga kakaknya Danis. Banyak foto semasa Danis dan kakak-kakaknya kecil bersama orang tuanya. Melihat foto kecil Danis, Poni merasa aneh. Poni sempat memerhatikan foto Danis semasa kecil lainnya. Tapi tidak tahulah, pikir Poni. Dia nggak bisa nemuin kenapa menurutnya aneh. Pandangan Poni kembali ke menu yang tersaji di meja. Kelihatanya lezat.
Selesai makan, Danis membawa Poni dan Pak Black ke ruangan dekat garasi yang digunakan kakaknya dulu untuk siaran bersama teman-temannya. Betul kata Danis, kondisinya masih bagus, walau sudah digunakan sejak tiga tahun lalu. Pak Black mencobanya. Masih beroperasi dengan baik. Danis dan Pak Black akhirnya membawa semua alat ke dalam mobil. Mereka pamit ke kakaknya Danis sekitar jam tiga.
Sebelum pulang ke Jakarta, Pak Black mau traktir Poni dan Danis katanya. Mereka mampir dulu ke tempat makan semasa Pak Black kuliah di Bandung tahun 90-an di daerah Dago. Menu andalannya steak. Keren juga tempat tongkrongan Pak Black jaman kuliah. Lokasinya juga cukup dekat dari rumah Danis.
“Ayo pesan apa?” kata Pak Black menawarkan.
Ini kali pertama buat Poni, dia menyukai guru Fisika yang selama ini dihindarinya. Baik juga Pak Black. Dia mau nganterin Poni dan Danis hari ini ke Bandung ambil alat siaran, udah gitu mereka berdua mau ditraktir steak.
“Bapak aja yang pilih, saya ikut deh. Pasti enak kan pilihannya pak?” kata Poni tersenyum lebar.
“Okelah saya yang pilihkan,” sahut Pak Black.
Tiga porsi sirloin steak dan lemon tea dipesan. Waaa…mimpi apa Poni tadi malam, jalan-jalan ke Bandung, ke rumah Danis, ditraktir Pak Black. Bahagianya…
“Sering kesini pak?” tanya Danis.
“Lumayan, kalau lagi main sama istri ke Bandung. Saya kan ketemu istri juga waktu merantau kuliah ke Bandung. Istri saya orang asli Bandung. Tinggalnya sekitar Dago sini. Setiap berkunjung ke Bandung seperti nostalgia jaman pacaranlah buat saya,” cerita Pak Black yang mulai menyantap makanannya.
“Kamu juga asli Bandung?” tanya Pak Black.
Poni yang lagi nyuap steak ke mulutnya ikutan pasang telinga untuk mendengarkan cerita lagi tentang Danis secara seksama.
“Ibu saya asli Bandung, kalau Ayah saya asli Jakarta. Saya lahir di Bandung, tapi semasa kecil sampai kelas tiga SD tinggal di Jakarta. Terus pindah lagi tinggal ke Bandung karena waktu itu ayah saya di pindah kerja ke Bandung.”
“Maaf kalau Bapak boleh tahu, sejak kapan ayah kamu meninggal?” tanya Pak Black.
“Sudah empat tahun yang lalu, saya masih SD juga waktu itu. Setahun kemudian barulah Ibu saya berangkat kerja ke London, ikut kerabat juga ada yang bekerja di sana,” cerita Danis lagi.
“Pasti Ibu kamu orang yang tangguh dan hebat,” komentar Pak Black.
“Aamiin,” jawab Danis dengan senyuman.
Pemandangan menentramkan hati. Senyuman Danis. Itu pertama kalinya Poni melihat Danis tersenyum santai seperti itu. Terimakasih Pak Black sekali lagi, kata Poni dalam hatinya.
“Oh iya Po, Bapak penasaran juga gimana kamu bisa ngusulin eskul ini ke Kepsek?” sekarang giliran Pak Black bertanya ke Poni.
Poni agak bingung jawabnya. Sepertinya dia belum bisa menceritakan tentang surat kaleng itu. Mungkin kalau kepala Poni nggak di timpuk surat kaleng di bawah pohon belimbing, idenya belum akan muncul untuk eskul Bhineka FM.
“Hhmm.., mungkin karena dulu waktu kecil saya pernah ikut ibu saya yang kerja di radio,” kata Poni mengingat-ingat. Benar. Ambu dulu pernah bekerja di radio.
“Jadi apa? penyiar juga?” tanya Pak Black.
“Bukan penyiar Pak, Ibu saya kerja jadi copywritter.”
“Masih?” tanya Pak Black.
“Sudah lama nggak Pak. Semenjak saya lulus SD, ibu saya berhenti kerja. Abis itu mutusin jadi ibu rumah tangga.”
Pak Black mangut-mangut mendengarkan. Steak mereka masing-masing udah mau habis. Es lemon teanya juga. Abis sholat magrib, Poni, Danis, dan Pak Black kembali lagi ke Jakarta. Pak Black mengantarkan dulu Danis ke rumahnya di Tebet, abis itu baru ke Pasar Minggu nganterin Poni. Pak Black sendiri pulang ke daerah Ampera. Saking senang dan kenyangnya, sepanjang jalan pulang Poni pulas tertidur sambil mendengar musik yang diputar di mobil Pak Black. Lagu-lagu era 90-an. Lagunya Bon Jovi, Micheal W. Smith, sampai Whitney Houston.
…………………………………………………………………………………
Renovasi ruang kosong sebelah XII IPS 3 udah dimulai sejak Senin. Semua anggota eskul gotong-royong membersihkan ruangan itu. Peralatan pramuka yang tadinya disimpan di situ udah dipindahkan ke ruang penyimpanan lainnya. Dindingnya mulai dilapisi dengan busa peredam suara dan karpet. Dibeli dari hasil uang yang terkumpul. Ditambah sumbangan dari Pak Kepsek.
Rahmat, Danis, dan Pak Black mulai menata alat dan menyambungkannya satu per satu. Komputer dari ruang lab udah dibetulin dan digotong bareng ke ruangan. Cewek-ceweknya mulai mendekor dan menata ruangan.
Entah gimana deh ceritanya, sejak tadi Poni sama Danis jadi tampak lebih dekat. Aida sama Fani mulai sadar sih ada gelagat muda mudi lagi kasmaran. Dalam hati Fani agak khawatir. Bukan apa-apa, tau sendiri Cherry kan mantannya Danis. Kalau udah berurusan sama Cherry, bisa panjang deh. Bukan takut, tapi risih aja, males juga berurusan sama orang kayak gitu. Fani pingin ngingetin Poni, tapi tunggu waktu yang tepat deh ngomongnya.
Jam empat lewat lima belas, ruangan kelar diberesin. Anak-anak kelas X udah pada pulang, Pak Black juga langsung cabut pulang abis ditelepon istrinya. Tinggal ada Poni, Aida, Fani, Danis, dan Rahmat.
Nah! Rahmat nih sebetulnya masuk eskul ini gara-gara ada Poni. Udah dari kelas X dia ngincer Poni, tapi ya kok Poni masih belum kasih respon apa-apa. Makanya setiap Poni butuh bantuan, Rahmat paling siap siaga bantuin. Dia juga keluar dari eskul catur buat masuk eskul BHINEKA FM. Rahmat lama-lama bosen juga di eskul catur, ceweknya dari awal emang udah dikit, cuma dua orang, eh sekarang malah nihil. Tiap kumpul yang dilihat cowok semua. Lama-lama hati Rahmat terasa hampa.
“Po, ada lagi yang mau dikerjain?” tanya Rahmat ke Poni yang lagi duduk bersenandung sambil corat coret idenya dengan aneka gambar yang tidak dimengerti orang. Cuma Poni yang bisa mengartikannya sendiri.
Poni melihat ke sekeliling sebelum menjawab, “Udah beres deh. Kalau lo mau pulang, pulang aja.”
“Lo nggak pulang?” tanya Rahmat lagi.
“Sampai hari ini sih, gue belum mutusin untuk pindah tinggal di sekolah, jadi gue tetep balik, tapi nanti,” mulai deh seenaknya jawab Poni.
Rahmat udah biasa ngedenger Poni ngejawab kayak gitu, mangut-mangut aja. Dalam hatinya sih pingin banget nungguin Poni, tapi dia inget janji sama emaknya di rumah buat jagain adenya, karena emaknya mau pergi. Dengan sedih hati, Rahmat harus meninggalkan Poni pulang duluan.
“Ya udah gue duluan deh, kabarin kalau udah balik,” kata Rahmat. Terkadang Rahmat emang nggak tahan untuk bersikap seperti cowoknya Poni.
Poni cuma ngajungin jempol dengan mata terus menatap ke coretannya.
Fani sama Ali juga mau pulang. Mereka kayaknya mulai membiasakan diri tampil berdua. Fani udah nggak kawatir penggemarnya akan cemburu, setelah ketua Fans Club Fani dari tiga anggota termasuk ketuanya, mengkonfirmasi nggak masalah kalau Fani punya pacar. Selidik punya selidik, ternyata Fans Club Fani itu isinya keluarganya sendiri, ada Papah, Mamah, sama Kakak laki-lakinya. Ketua Fans Club Fani itu ya nyokapnya sendiri.
“Ada maen lo sama Ali?,” komentar Aida.
“Gue nggak maen-maen, gue serius kok,” reflek Fani malah ngejawab begitu.
Ali di samping Fani senang banget dengarnya. “Gue juga serius kok Fan,” sahut Ali.
Fani jadi gelagapan salah ngomong. Aida ketawain mereka berdua. Di sisi lain, Aida juga lagi nungguin Jay datang. Jay janji hari ini mau jemput Aida beres eskul. Tidak lama, Jay murid keturunan India itu emang beneran datang. Aida girang deh ngelihat gebetannya nyamperin.
“Ayo pulang he,” kata Jay.
“Ayo he,” sahut Aida.
Bak nonton adengan film India, mereka saling sahut menyahut di balik tiang kelas.
Poni nyantai aja tetep di tempatnya duduk. Dia sekilas dengar sih percakapan teman-temannya itu. Tapi biarinlah kalau emang mereka mau pulang duluan, toh arah mereka pulang juga kan beda-beda. Biasanya juga emang Poni milih pulang sendiri.
“Po, beneran nih lo belum mau balik?” tanya Fani.
“Iya, ntar gue baliknya,” sahut Poni dari dalam ruangan.
Aida nongol di pintu memastikan keadaan Poni dalam ruangan. Aida masih kawatir Poni beneran ketumpangan. Aida mau ngecek dulu kondisi Poni. Syukur deh, Poni baik-baik aja kayaknya. Barulah Aida tenang untuk balik duluan.
Sebelum Aida sama Fani balik nyusul Ali sama Jay diparkiran, Danis muncul mau ke arah ruang siaran.
“Lo belum balik?” tanya Fani.
“Ini baru mau. Gue abis ketemu Bu Ruk tadi. Dia nanyain tentang perkembangan eskul,” kata Danis.
“Ohh.., yaudah kita duluan ya, di dalem ruangan masih ada Poni,” kata Fani.
“Kalau Poni kumat lo sembur aja pakai air bacaan Al-Fatihah,” sahut Aida.
Danis dengarnya heran, termasuk Fani. “Apaan sih lo,” kata Fani ke Aida.
“Belakangan ntuh anak jadi suka senyum-senyum sendiri, lahh gue kan jadi curiga ada demit nempelin die,” kata Aida.
“Ahh lo sore-sore ngomongin begituan,” sahut Fani bergidik. “Mending lo cepet nyusulin Poni ke ruangan deh. Kesian dia sendirian,” kata Fani ke Danis.
Danis emang mempercepat langkahnya menuju ruang siaran. Dia jadi ikutan khawatir sama Poni gara-gara cerita Aida. Danis lihat Poni masih corat coret di buku catatannya sambil bersenandung dengerin musik dari earphone.
Danis berdiri di sebelah Poni. “Belum mau balik?” tanya Danis.
Poni belum sadar ada Danis. Akhirnya, Danis menepuk pundak Poni. Ehh Poni malah teriak yang nggak-nggak, “Beda guru beda ilmu jangan janggu!!!”
Danis jadi inget kata-kata Aida. Dia langsung ambil gelas berisi air di atas meja, baru diminum dan siap-siap untuk disembur. Poni sadar langsung menempelkan unjungjari telunjuknya ke bibir Danis untuk menahan tindakannya nyembur Poni pakai air.
Danis menelan air putih yang ada dalam mulutnya. “Lo baik-baik aja kan?” tanya Danis.
“Alhamdulillah sehat walafiat dari lahir. Lo kenapa deh tiba-tiba mau nyembur gue?” tanya Poni balik.
“Ohh abis kata Aida…,” Danis menghentikan kata-katanya. “Ya udah balik deh. Kunci ruangannya. Emang sampe kapan lo mau di sekolah?” kata Danis.
“Emang udah mau balik kok,” sahut Poni. Dia memasukkan buku catatannya ke dalam tas, beranjak ke luar ruangan. Danis mengikutinya dari belakang.
“Pulang kemana?” tanya Danis. Pandangannya mengarah ke dinding tiang di sebelahnya.
“Lo ngomong sama siapa? gue?” tanya Poni balik memastikan.
“Iyalah, emang ada orang lain lagi di sini?”
Ohh, kata Poni dalam hati. “Gue kira lo ngomong sama cicak. Abis ngomong ke gue tapi ngeliatnya ke dinding. Gue pulang ke Pasar Minggu,” jawab Poni.
“Ohh..,” sahut Danis datar.
“Kenapa? mau nganterin?” entah dari mana keberanian itu muncul, Poni langsung nembak nanya ke Danis.
“Tadinya sih gue cuma mau tanya. Emang lo mau dianterin?” tanya Danis balik ke Poni.
“Kalau ada yang nganterin sih,” jawab Poni.
Danis menatap Poni sekilas terus berjalan meninggalkannya bediri ditempatnya. Poni bingung kok malah ditinggal.
“Kok diem? Ayo! Mau dianter nggak?” tanya Danis bediri beberapa langkah di depan Poni.
“Mauuu..,” jawab Poni berlalri kecil menghampiri Danis.
Entah cara bawa motor Danis yang emang pelan atau dia sengaja, biar lama-lama bisa ngobrol di perjalanan pulang sama Poni.
“Tempo hari gue ketemu lo di metromini ke Pasar Minggu? Mau kemana?” tanya Poni ke Danis.
“Pasar Minggu” jawab Danis.
Bener juga, kan naik metromininya arah Pasar Minggu. “Mau ngapain?” tanya Poni lagi.
“Main ke rumah sepupu gue.”
“Ohh iya lo bilang pernah tinggal di Jakarta? Tinggal dimana?” tanya Poni lagi.
“Di sini, daerah Pasar Minggu juga. Ehh depan belok kiri atau kanan?” tanya Danis ke Poni.
“Belok kiri, terus lurus sampai mentok belok kanan. Rumah gue paling ujung nomer 50. Ada warung cat hijau,” kata Poni mengarahkan.
Obrolan lainnya berlanjut seputar eskul BHINEKA FM, Danis juga cerita waktu tinggal di Bandung, dan tentang Oma Opa Danis di Jakarta. Ternyata Oma Opanya yang minta Danis pindah ke Jakarta untuk nemenin mereka, karena udah lama tinggal berdua aja semenjak semua anaknya menikah dan ayahnya Danis meninggal.
@dede_pratiwi ok sipp. Sorry telat respon
Comment on chapter SMA Bhineka