Bu Ruk (Rukmah) masuk ke kelas Poni dan Aida lima belas menit sebelum jam istirahat. Keliatan capek dia abis muter kasih bimbingan ke setiap kelas. Bu Ruk ngingetin lagi murid-murid yang masih belum punya eskul.
Poni sama Aida yang segan ditanya-tanya, tadinya mau kabur ke toilet sebelum Bu Ruk ke kelas, tapi nggak jadi. Lahh mereka malah ketemu Bu Ruk di sana. Langsung aja Bu Ruk minta Poni dan Aida kembali ke kelas. Malah disuruh menceritakan apa cita-cita keduanya secara bergantian di depan kelas. Giliran pertama Poni.
“Ayo Poni, apa cita-cita kamu? Biar saya bantu mengarahkan eskul mana yang cocok untuk kamu,” kata Bu Ruk.
“Cita-cita saya sih..belum ada bu. Tapi saya janji deh, kalau udah ada nanti saya kasih tau ibu.”
Anak-anak di kelas tertawa geli.
“Lho masih belum tau, hobby kamu apa?” tanya Bu Ruk.
“Hobby ya bu, hobby saya cari barang diskonan bareng ibu saya, terus nyobain tester gratisan.”
Tawa yang terdengar makin keras lagi. Poni juga ada-ada aja, segala kebiasaannya sama Ambu kalau ke mall diceritain depan kelas. Kadang cowok-cowok di kelasnya dibuat heran. Wajah Poni cantik, mirip model-model majalah sampul gitu, rambutnya panjang indah terurai, senyumnya manis legit, matanya tidak besar tidak kecil, yang sedang-sedang aja. Kulitnya cerah merona. Cantik deh. Makanya, Cherry sering bete ngerasa dikalahin sama Poni, padahal sih mereka nggak pernah ikut kompetisi apapun. Tapi ya gitu, kadang caranya yang ngomong ceplas ceplos hampir menyerupai Aida, buat cowok-cowok bingung. Mungkin di antara mereka, berekpektasi kecantikan Poni akan membuatnya bersikap anggun. Ternyata, kapan juga Poni pernah nampak bersikap anggun.
Di balik sikapnya yang ceplas ceplos dengan pemikiran uniknya yang didapat dari Ambu, Poni nyatanya masih mampu menarik perhatian cowok-cowok di sekolahnya. Mereka juga senang berteman dengan Poni.
Balik lagi ke misi Bu Ruk untuk menemukan eskul yang tepat bagi murid-muridnya. Bu Ruk mulai garuk-garuk kepala karena ucapan Poni.
“Saya sih pingin banget Bu cepet punya eskul, bukan cuma biar kolom eskul di raport saya keisi, tapi biar saya juga bisa menyalurkan bakat terpendam saya bu. Sayangnya belum ada yang sesuai hobby saya, misalnya ada eskul makan-makan gratis seminggu sekali, pasti saya ikut bu,” kata Poni.
Bu Ruk tepok jidat, dia mungkin menyerah dengan Poni, tapi masih ada Aida pikirnya. “Ya sudah nanti kita pikirkan lagi, eskul apa yang cocok untuk kamu. Duduk saja,” kata Bu Ruk mempersilahkan Poni kembali ke kursinya.
“Aida ayo giliran kamu cerita, tidak usah lama. Sebentar lagi kita istirahat,” pinta Bu Ruk.
Aida menegang di kursinya. Keringatnya lebih besar dari biji jagung menetes di antara kening dan rambutnya. Bibir bawahnya digigit ke dalam mulut. Aida menatap Bu Ruk dengan tajam.
“Aida kamu kenapa? apa mau cerita sama ibu di ruang BP saja?” Bu Ruk mulai khawatir, dipikirnya Aida punya masalah berat.
Tapi memang betulan berat sih. “Bu, saya udah nggak kuat. Ini udah benar-benar menyiksa saya. Bu ijinin saya..,” Aida mendekat ke meja Bu Ruk.
“Toilet.., diare saya kumatttt,” kata Aida yang langsung berlari ke luar kelas meninggalkan Bu Ruk yang kesal di mejanya. Aida kan tadi ke toilet bukan hanya mau kabur, tapi betulan mau buang hajat, tapi tertahan karena Bu Ruk.
Well tekewel-kewel, Poni, Aida, dan Fani masih belum memutuskan juga, eskul apa yang mereka pilih. Di tengah tongkrongan mereka, sambil ngabisin cilok (aci dicolok) di bawah pohon belimbing dekat kantin, Poni jadi mikirin sesuatu.
“Apa kita buat eskul baru aja yah di sekolah?” Poni mengusulkan ide karena mendapat angin sejuk pohon belimbing.
“Tapi bisa Po? Bukannya harus ada minimal anggota,” kata Fani.
“Soal anggota kan bisa kita cari. Selama setahun ini, kita udah coba cari eskul yang cocok di sekolah, tapi nggak nemu juga. Mungkin karena emang nggak ada. Jadi apa salahnya kita usulin eskul baru ke kepala sekolah,” sahut Poni bersemangat.
“Setuju gue Po, eskul barunya apa?” tanya Aida.
“Nah! Itu gue belum tau apa,” jawab Poni buat Aida dan Fani yang tadinya ikut bersemangat jadi lesu lagi, ditambah lesu karena cilok mereka udah abis.
Ketiganya coba berpikir untuk buat eskul baru, eskul apa itu. Buat mikir, Poni bersenandung kecil sambil lemparin batu ke pohon, kali aja ada belimbing yang jatuh. Fani muterin pohon belimbing nggak tau udah berapa puteran, banyak juga kayaknya. Beda lagi Aida, ngorek-ngorekin tanah pake sebatang lidi nemu, sambil mengukir nama Aida dan Jay. Sepuluh menit berlalu, belum ada tambahan ide yang nongol sampe “PUKKK!!” suara kaleng bekas minuman menyentuh kepala Poni. Awalnya Poni kira itu buah belimbing, ehh taunya kaleng minuman soda bekas. Tapi ada yang aneh, pas Poni mungut kaleng bekas itu untuk dibuang ke tong sampah. Ada sepucuk kertas tergulung yang diselipkan di lubang atasnya.
“Apaan tuh?” tanya Aida.
Fani juga penasaran ikutan pingin lihat.
Poni membuka kertas yang tergulung. Ada tulisannya. Temui saya jam 02.00 di samping kelas XII IPS 3, di bawah pesan bertuliskan anonym.
Poni, Aida, dan Fani melihat ke sekitar. Kantin sebetulnya mulai sepi. Banyak yang udah balik ke kelas. Beberapa orang yang masih tersisa di sekitar situ kok tampangnya nggak ada yang mencurigakan. Ya mungkin kalau mencurigakan langsung ketahuan saat itu juga siapa yang nimpuk kepala Poni.
Poni agak gemetar, takutnya itu pesan kayak di film thiller gitu. Pikirannya jadi nggak karuan. Kertasnya langsung di lempar pas banget Pak Black lewat.
“Siapa yang buang sampah sembarangan?” pandangannya langsung tertuju pada Poni yang paling dekat dengannya. “Kamu yah??”
“Maaf pak, nggak sengaja. Mau saya lempar ke tong sampah tapi meleset,” jawab Poni.
“Buang sampah saja pakai atraksi segala, buang yang benar. Begini,” kata Pak Black mencontohkan. Kertas bertulisan itu akhirnya terbuang.
Selama jam pelajaran, Aida bersikukuh bilang ke Poni untuk mengikuti pesan yang tertulis. Guru yang ngajar setelah jam istirahat jadi kesal karena Aida berisik pas guru lagi nerangin pelajaran. Untung aja Aida nggak kena hukum, cuma kena tegur.
Pas pulang sekolah, Fani nongol di depan kelas Poni dan Aida. Dia nanyain isi surat tadi. Fani sependapat sama Aida untuk ngecek lokasi sesuai yang tertulis di surat kaleng. Siapa tau itu surat dari cowok cakep, pikir Aida.
Poni sih ragu banget ngikutin keinginan Fani dan Aida. Takutnya itu bukan surat yang tertuju padanya. Bisa aja kan surat nyasar, walau ditimpuk pas ke kepala Poni.
“Bisa aja bukan buat gue,” kata Poni.
“Makanya kita cek dulu aja,” saran Fani.
“Bener tuh apa kate Fani, kita datengin aja tempatnya, kali aja ntuh surat penting Po,” kata Aida.
“Kalau orang iseng yang ternyata mau ngerjain gimana?” Poni masih ragu.
“Kita mesti waspadalah,” kata Fani.
Dengan langkah berat Poni menuruti Aida dan Fani. Mereka datang ke lokasi yang tertulis. Kosong. Tidak ada siap-siapa. Lokasi yang dimaksud sebelah ruang XII IPS 3 adalah gudang yang biasa dipakai eskul Pramuka nyimpen peralatannya. Cuma selang berapa menit kok Ali muncul di sana.
“Wahh lo ternyata yang nimpuk Poni,” kata Aida membuat Ali bingung dan waspada ke pentolan Gang Serong.
“Ehh tunggu..tunggu, gue nggak ngerti maksudnya apa nih??” tanya Ali.
“Lo yang nyuruh kite datang kemari kan?” entah kenapa lengan baju Aida dia gulung ke atas.
“Tunggu Da, gue emang beneran nggak ngerti, lahh gue kesini kan mau ketemu Fani,” katanya.
Fani gugup langsung nutup mulut Ali dengan tangannya. “Ohh iya gue lupa, sekarang ada jadwal latihan teater kan??” kata Fani.
Ali yang masih ditutup mulutnya bingung sambil mikir, jelas Ali dapat sms dari Fani kalau dia ada di dekat kelas itu. Ali sama Fani tuh lagi PDKT (pendekatan). Setelah dua kali latihan, mereka tertarik satu sama lain. Hari ini Ali mau nganter Fani pulang, tapi ditunggu-tunggu nggak nongol juga di parkiran. Ya udah Ali susulin aja.
“Kok lo bisa tau kita di sini?” tanya Poni.
Ali yang sudah tidak kuat mulutnya ditutup menggigit pelan tangan Fani, soalnya hidungnya juga ikutan ketutup. Fani melepaskan tangannya dari mulut Ali sambil berteriak “Ihhh jorokkk!”
Ali mengatur nafasnya kembali dan menjawab pertanyaan Poni. “Gue nggak sengaja liat kalian ke sini, gue ikutin aja. Iya bener, hari ini ada latihan teater di rumah Sinta. Gue ke sini mau ngingetin Fani,” Ali mengerti tingkah Fani yang langsung gugup menutup mulutnya karena apa. Fani sepertinya masih ingin menutupi kedekatannya dengan Ali dari Poni dan Aida.
“Sorry nih kayaknya gue nggak bisa lama-lama nemenin, gue balik duluan yah. Ehh..latihan maksudnya,” kata Fani.
Poni dan Aida nggak curiga. Mereka mengiyakan Fani duluan. Pikiran mereka balik ke surat kaleng tadi siang, jadi maksudnya apa nyuruh datang ke lokasi itu. Tidak lama setelah Fani pulang, Poni dan Aida putus asa mencari jawaban dari isi surat kaleng. Mereka berniat pulang aja, sebelum nemuin kotak yang nampak mencurigakan di atas fentilasi pintu.
Poni ogah buka karena masih parno film thiller, jadi Aida yang buka isinya. Lahh cuma ada gantungan kunci berbandul earphone dan tidak ada lagi yang lain. Poni ogah bawa itu gantungan, takutnya udah dikasih aji-ajian (mantra). Aida juga ternyata ogah bawa. Mereka akhirnya mengembalikan itu kotak ke tempatnya ditemukan, termasuk isi di dalamnya.
Di gerbang sekolah ternyata ada Jay nungguin Aida. Mereka mau pulang bareng. Poni awalnya rada bete sih ditinggal, tapi nggak lama kok betenya. Abis beli pop ice dekat tukang fotokopian biasa lagi. Dia berjalan untuk dapat mikrolet. Tapi mikrolet yang lewat dekat sekolahnya penuh terus, nggak biasanya. Poni terus jalan ke arah jalan raya, dia mutusin naik metromini aja ke arah Pasar Minggu untuk pulang.
Tas ransel Poni udah pindah ke pangkuannya, khawatir ada copet yang ngincer. Jam bubaran sekolah biasa emang macet, lama-lama bikin Poni ngantuk. Kepalanya maju mundur hampir kepentok bangku di depannya, kalau aja seorang cowok tidak menahan kening Poni terpentok.
Poni terbangun karena merasa ada permukaan aneh menempel di keningnya. Basah-basah gitu. Mungkin itu cowok tangannya keringetan kali yah. Poni membuka matanya perlahan dan menatap orang di sebelahnya. Wahhh! Si cowok kece. Cowok resleting yang tipu Poni tempo hari.
“Sorry tadi gue liat lo mau kepentok,” katanya mengkonfirmasi tindakannya untuk bantu Poni, bukan berniat macam-macam.
Poni juga nggak mikir dia mau macam-macam sih. Poni jadi keingetan lagi kejadian terakhir mereka ketemu. “Resleting kan?” kata Poni.
Cowok kece heran ditanya begitu. Dia tidak menjawab.
“Lo yang kasih tau ke gue resleting kebuka?”
Cowok kece itu akhirnya ingat. Dia menggangguk.
“Ngerjain gue yah lo. Gue cek resleting gue nggak kebuka,” kata Poni.
“Resleting apa?” tanya cowok itu balik.
Poni agak ragu menjawab. “Hhh..rok gue?” Poni memastikan jawabannya sendiri.
“Rok? Kok rok sih. Tas lo yang kebuka resletingnya,” kata cowok itu.
“Tas gue?? Ohhh….. pantes aja duit gue lima ribu ilang, untung sisanya gue taro ditempat lain,” sahut Poni. Malu juga sama tebakannya. Nuduh ngerjain pula. “Sorry yah gue kira lo ngerjain gue,” kata Poni.
“Nggak apa-apa,” sahut cowok itu santai.
Dia tidak berbicara apa-apa lagi, sebelum melewati Stasiun Pasar Minggu dia turun dari metromini. Nggak ada basa basi sedikitpun. Bilang duluan atau apa gitu juga nggak. Kan mereka satu sekolah, pikir Poni.
Sorenya Poni jadi keingetan surat kaleng yang nimpuk kepalanya. Sakit sih nggak, cuma heran aja apa maksudnya. Biar hatinya santai lagi, Poni menyalakan radio dari Hpnya, dengarin siaran kesukaannya di 102.2 FM. Jadwal siaran sore itu di isi Darto sama Okky. Sambil bersenandung ngikutin lagu Bunga Citra Lestari yang diputer, Poni mulai goyang-goyang semaunya.
Di penghujung lagu, tiba-tiba aja goyangannya berhenti. Bukan karena lagunya mau udahan, tapi Poni dapat ilham dadakan. Dia bakal kasih tahu Aida dan Fani besok.
…………………………………………………………………………………
Pagi itu seperti biasa, Poni dianter Abah sebelum Abah ke sekolah tempatnya ngajar. Poni turun dari motor terus salim ke Abah, tidak lupa telapak tangannya terbuka minta uang jajan tambahan.
“Lima belas ribu kurang?” tanya Abah.
“Kurang Bah, Poni ada eskul hari ini,” padahal sih baru ide aja.
Abah lagi baik, ditambah lagi lima ribu. Poni tersenyum lebar nerimanya.
Sampai di kelas dia celingukan nyari Aida, tumben belum datang. Biasanya datang pagi terus ngajakin ke kantin dulu beli uduk. Apa diarenya belum sembuh yah, pikir Poni.
Poni langsung duduk aja di tempatnya. Tasnya udah dikaitin ke kursi, Poni ngeluarin Hp, lanjutin denger siaran pagi. Ada program siaran Ari Dagienkz sama Desta, namanya PUTUS. Dengerin dua penyiar itu ngoceh-ngoceh, Poni jadi senyum-senyum sendiri. Poni sampai nggak sadar orang yang dicarinya udah datang.
Aida merhatiin Poni yang lagi senyum-senyum sendiri. Bodo ah, paling sablengnya lagi kumat kali, pikir Aida. Dipanggil-panggil juga nggak noleh. Aida akhirnya ninggalin Poni di tempatnya untuk keperluan yang lebih urgent, sarapan nasi uduk di kantin sekolah.
Poni yang asik dengerin siaran radio sambil ngegambar sketsa pemandangan di buku gambar A3 miliknya, mulai melihat lagi seisi kelas. Tas Aida udah ada, kapan sampainya?? Poni tahu harus mencari Aida di mana.
Belum sampai kantin, langkah Poni terhenti lihat sosok yang lewat di depan perpus. Si cowok kece lagi yang Poni belum tahu namanya siapa. Dia bawa beberapa buku menuju kelas XI IPS 1. Poni pingin nyamperin sih, tapi ogah ah pagi-pagi udah nyamperin cowok, siangan aja biar penasaran dulu, katanya dalam hati.
Pentolan Gang Serong yang dicarinya ketemu. Lagi asik makan kerupuk. “Aideee…,” panggil Poni pakai logat betawi.
Aida noleh sambil mengangkat tangan, persis gaya preman terminal yang dipanggil. Untung aja kakinya nggak ngangkat satu ke kursi.
“Ninggalin ente,” keluh Poni ke Aida.
“Gue panggil lo nggak noleh, gue kan udah lobet (low battery) perlu charge pake nasi uduk nih,” sahut Aida.
“Pagi-pagi udah lobet aja lo,” komentar Poni.
“Gimana nggak lobet, pagi-pagi gue udah disuruh nimba gegara air PAM di rumah mati,” kata Aida.
“Namanya juga air PAM, Pagi Atau Malem mati,” komentar Poni. “Ehh.., gue udah tau nih mau ngusulin eskul baru apa ke Pak Kepsek,” kata Poni sambil buat alisnya naik turun.
“Ape??”
“Ehh tapi ntaran aja deh gue ceritanya, gue juga perlu charge pake nasi uduk nih,” Poni malah ninggalin Aida dengan cerita yang kepotong. Maksud Poni sih ntar aja sekalian pas ada Fani.
Fani sama Ali berangkat bareng, cuma baru sampai warung diujung jalan sekolah Fani minta turun dari motor Ali. Dia milih jalan sendiri dari situ. Ali sebetulnya heran kenapa Fani mau nutupin hubungan mereka. Ali kadang jadi minder ke dirinya sendiri, apa Fani malu jalan sama Ali.
Fani nggak ikut ritual sarapan nasi uduk di kantin bareng Poni dan Aida. Dia langsung ke kelasnya di XI IPS 1. Jam istirahat baru deh Poni sama Aida ketemu Fani.
“Jadi ape sih eskul baru yang mau lo usulin?” tanya Aida lagi.
“RA…DI…O,” sahut Poni
“Ape Rambo?” ehh bujuk dah, udah segitu jelasnya pakai dieja segala, masih aja salah tebak Aida.
“Makanya itu kuping jangan dipake cantelan doang,” keluh Fani.
“Sorry deh, ape coba, ulangi!” kata Aida.
“Radio..,” jawab Poni mendekat ke kuping Aida.
“Ohh iye..iye Radio,” kata Aida. “Ehh Radiooo???” jadi kaget dia.
Poni manggut-manggut. “Setuju nggak?” tanya Poni.
Fani ragu, Aida bingung. Sebetulnya sih mereka setuju aja. Seru juga pikirnya. Apalagi, selama ini kan Aida emang pingin banget tuh jadi presenter atau host acara gitu, kayak acara musik di tv.
“Bagus sih Po idenya,” komentar Fani. “Tapi…”
“Tapi apa?” tanya Poni.
“Gue nggak yakin diijinin deh. Alatnya lumayan mahal,” kata Fani.
“Nah bener juga tuh, alatnya gimane?” tanya Aida.
“Kita coba aja dulu ajuin, kalau emang paitnya ditolak karena nggak ada budget di alat, kita cari cara deh gimana biar bisa nyediain alatnya. Tapi lo berdua setuju nggak?” tanya Poni.
“Setujuuuu…,” jawab Aida dan Fani bersamaan.
Jadi abis ngobrolin itu, mereka sibuk nyiapin proposal sebelum menghadap Kepsek. Poni juga nyiapin presentasi pakai power point dibantu Rahmat yang jago presentasi biar hasilnya lebih oke.
Tapi sebelum ketemu Kepsek, Poni, Aida, sama Fani nemuin Bu Ruk dulu diruang BP, mereka konsultasi tentang usulan eskul baru. sebetulnya Bu Ruk setuju aja, senang juga dia akhirnya ada bakat lainnya di SMA Bhineka. Cuma sama kayak Fani, dia juga ragu Pak Kepsek bakal ijinin karena budget nyedian alatnya kan lumayan mahal. Alat-alat yang diperluin untuk siaran radio itu kayak STL (Studio Transmitter Link), komputer, audio mixer, dan lainnya.
@dede_pratiwi ok sipp. Sorry telat respon
Comment on chapter SMA Bhineka