Ibu Kota Jakarta, 2006
Pagi. Si Jalu ayam tetangga mogok berkokok akibat suara yang membuatnya syok. Suara Abah mengganggu mood Si Jalu.
“Neng.., cepet atuh! Abah bisa telat ini mah,” suara Abah hampir terdengar sampai ke rumah tetangga sebelah.
“Ambu, bilangin si Eneng cepetan atuh. Abah udah telat berangkat ini,” Abah mulai ngomel ke Ambu.
“Iya Bah, jangan teriak gitu ah. Kesian ayam tetangga bisi reuwas (takut kaget),” sahut Ambu dengan polosnya.
“Ehh si Ambu mah. Biarin aja. Lagian itu mah ayam tetangga bukan ayam kita,” kata Abah.
Di balik pintu kamar mandi, yang ditunggu Abah dari tadi masih sibuk menabung untuk ke tiga kalinya. Perutnya bermasalah sejak bangun tidur. Mungkin kebanyakan makan sambal terasi buatan Ambu. Udah tahu nggak kuat pedas, tapi dilanjut terus. Godaan sambalnya terlalu besar.
“Neng, udah belum? Hayu ke luar. Ambu takut si Abah jadi berantem sama ayam tetangga,” panggil Ambu yang kadang punya pemikiran uniknya sendiri.
“Nanggung Bu, udah setengahnya ini.”
Abah masing mondar mandir di teras rumah, sesekali melihat jam di tangan, tapi tidak lupa menyeruput kopi hitam di atas meja. Malah kadang diseruput dari piring kecil yang jadi alasnya.
Di depan gerbang rumah, suara motor dengan knalpot berisik membuat hati Abah jadi makin terusik, apalagi pas lihat pengemudi motornya.
“Ehh Bahlul ngapain pagi-pagi ke rumah orang?” tanya Abah ke pengemudi motor.
“Assalamualaikum Bah,” sapa Badrun, nama pengemudi motor.
“Walaikumsalam,” sahut Abah. Tampangnya ketus. “Kamu belum jawab, mau ngapain?” tanya Abah lagi.
“Biasa Bah mau jemput pujaan hati.”
Abah mendengus. Abah masuk ke dalam rumah ingin menemui anak gadisnya yang udah ke luar dari kamar mandi.
“Poni, kamu nih gimana sih. Mau berangkat bareng Abah atau si Bahlul?” Abah jadi keki udah nunggu lama.
“Bahlul?” anak gadis Abah, si eneng alias Poni, ngecek ke luar rumah.
“Pagi pujaan hati,” sapa Badrun ke Poni.
“Ngapain lo?” tanya Poni.
“Mau nganter kamu ke sekolah.”
“Siapa yang minta anter?”
“Nggak ada yang minta sih, tapi gue kan laki-laki berinisiatif tinggi,” kata Badrun sambil memegang kerah bajunya yang kebesaran.
Poni tidak merespon perkataan Badrun. Poni kembali ke dalam rumah memanggil Abah untuk berangkat ke sekolah. Pas Poni ke luar gerbang naik motor bersama Abah, jelas bikin Badrun bingung celingukan. Kok jadi ditinggal begini, pikirnya.
“Besok-besok kalau mau inisiatif bilang dulu,” kata Poni yang udah dibonceng Abah.
“Udah belum? berangkat nih sekarang?” tanya Abah ke Poni.
“Berangkatttt Bah,” jawab Poni dengan senyum lega terhindar dari Badrun.
Lagian Badrun udah berkali-kali ditolak Poni, belum nyerah juga. Bagus sih mental pantang menyerahnya, tapi yah kalau nggak nyerah juga kan cuma bikin hatinya sakit karena bertepuk sebelah tangan.
“Ehh Bahlul,” panggil Ambu.
“Badrun Ambu,” kata Badrun membenarkan.
“Iye Burhan,” Ambu malah makin salah sebut. “Kamu ke sini mau nganter kan?’ tanya Ambu.
“Iya, tapi Poninya kan udah berangkat. Saya pulang lagi aja deh.”
“Ehhh tunggu kenapa pulang? Anter Ambu aja ke pasar.”
Badrun mulai cari alasan untuk nolak. “Tapi Ambu, Badrun kayaknya harus pergi sekarang deh. Bebek dirumah belum dikasih makan. Kesian punya mag bebeknya, nanti kambuh.”
“Iya nanti bisa beliin obat mag di jalan. Abis itu cepet-cepet deh pulang,” sahut Ambu.
Badrun tidak bisa berkelit lagi, karena Ambu udah mengapit dompetnya di bawah ketiak. Baju dasternya juga udah berganti. Ambu siap 86 ke pasar. Badrun cemberut sepanjang jalan. Si Ambu terus ngoceh macem-macem nggak ngerti apa, karena suara Ambu tersamarkan suara knalpot.
……………………………………………………………………………
Di jalan menuju sekolah, Poni diturunin Abah sebelum sampai gerbang gara-gara ada gerobak sampah rodanya kempes, terus ngalangin jalan. Abah udah nggak bisa nungguin lagi gerobaknya dipindah ke pinggir jalan. Alhasil anak gadisnya, Abah tinggal sebelum sampai sekolah, tapi kalau jalan kaki juga jaraknya emang udah dekat.
Poni sih biarpun hampir telat masuk, jalannya masih santai aja. Diselingi senandung kecil dari bibirnya yang agak mengkilat pakai lip balm, rambut panjang Poni sesekali tertiup angin bak iklan sampoo. Adik kelas yang jalan di belakangnya jadi kegirangan sambil nyium aroma sampoo yang tersebar. Sampoo yang dipakai Poni memang harum. Sampoo gratis dari marketing yang sering supply produk ke warungnya Ambu. Sample gratis untuk produk sampoo baru.
Melewati parkiran motor depan sekolah, Poni mendengar ada suara mendesis di sampingnya, terus berubah memanggil, “woyyy..woyyy..,” Poni menoleh ke sumber suara.
“Panggil gue?” tanya Poni ke orang yang memanggilnya. Ternyata cowok lumayan kece menurutnya. Langsung saja tanpang ketus karena dipanggil woy berubah manis. “Kenapa?”
Tidak menjawab, cowok kece itu malah menunjuk ke arah belakang badan Poni. Jelas Poni bingung nggak ngerti. Maksudnya apa?
“Itu…,” katanya masih menunjuk ke arah yang sama.
Cowok kece mendekati Poni melihat wajahnya sekilas, lalu berkata “resleting kebuka,” katanya sebelum melangkah menjauhi Poni yang masih bingung.
Poni terpikir sesuatu. Dia cek resleting rok abu-abunya. Resletingnya udah tertutup rapat, tidak terbuka. Tuh orang tipu, pikir Poni.
Sampai di depan kelas XI IPA 2, Poni ketemu Aida. Pagi-pagi Aida udah berkeringat. Tangannya mengelus-elus perut sambil meringis.
“Kenapa ente?” tanya Poni ke Aida.
Cewek hitam manis berambut gelombang dengan tahi lalat di atas dagunya persis Elvi Sukaesih melihat Poni datang. Ekspresinya lesu sambil mengusap keringat yang menetes dari keningnya.
“Diare gue Po, dari tadi pagi,” jawab Aida.
“Sama kita. Gue juga nih. Mau obat manjur nggak?” kata Poni ke Aida.
“Mau dong, biar mampet nggak ke luar terus nih,” sahut Aida girang.
“Tunggu. Nggak sampai satu menit juga nongol obatnya,” kata Poni.
“Ivony.., Aida.., ngapain kalian masih di depan kelas. Ayo masuk belajar!” kata Pak Black (beneran namanya Black). Guru Fisika yang punya janggut dan kumis tebal. Kadang dia ke sekolah pakai kaca mata hitam.
“Ini sih bukan obat manjur, tapi alat syok jantung,” gerutu Aida ke Poni pelan, biar Pak Black nggak dengar.
Selesai pelajaran terakhir sebelum jam istirahat, Aida udah berubah segar kembali. Pastinya bukan karena ketemu Pak Black. Diarenya memang udah sembuh secara tiba-tiba, tapi bukan hanya itu yang membuatnya kembali segar, Aida dapat surat cinta dari Jay, gebetannya yang keturunan India. Dalam suratnya, Jay ngajak ketemuan di bawah pohon nangka belakang sekolah pas pulang.
Kantin ramai seperti biasanya, Poni dan Aida sudah pesan dua piring siomay sama dua gelas teh manis. Ada kursi kosong untuk mereka duduk persis depan kedai siomay.
Lagi asik menyantap kenyalnya siomas lima ribu sepiring, Poni sama Aida terganggu makannya akibat Cherry Cs datang. Jumlahnya ada enam orang, tapi bisa bertambah delapan kalau mereka bawa dua adik kelas yang sering disuruh-suruhnya.
“Minggir lo, bikin sempit aja,” Cherry menyentak Aida.
Sontak Aida melotot kesal. “Matenya buka mpok, tuh masih lega dikate sempit. Kuburan lo sempit,” lo jual gue borong itu moto hidup Aida, perawan pentolan Gang Serong.
“Berani lo sama gue, nyari ribut,” sahut Cherry tidak kalah melototnya, walau matanya sipit.
“Tunggu bentar gue abisin siomay dulu,” kata Aida.
Cherry tambah emosi dengarnya, teman-temannya sudah melirik Aida sinis. Beberapa meregangkan otot lengan dan leher. Buset dahh cewek atau preman.
“Da, udah jangan diladenin deh. Nggak kece ribut sama mereka,” kata Poni ke Aida.
Aida sepertinya setuju, setelah memberi lirikan tajam ke Cherry Cs, Aida mengangkat piring siomaynya untuk ikut Poni pindah ke meja lainnya. Bukannya takut sama Cherry nih, Poni sih berani aja kalau Cherry mulai. Tapi beneran deh, buat apa sih gerombolan cari perhatian kayak Cherry Cs diladenin. Jadi sama aja dong levelnya sama mereka.
“Takut lo???” teriak Cherry dari tempatnya.
Aida membalikkan wajah melihat ke arah Cherry. Poni langsung menahan lengan Aida untuk menghampiri Cherry kembali. Ketegangan itu mencair setelah Pak Black dan sohibnya Pak White datang ke kantin (Namanya sih Pak Boni, tapi karena terlalu kontras jika berjalan di samping Pak Black, Pak Boni dijuluki Pak White). Cherry langsung berlaga manis dan kalem di depan guru. Biasalah. Biar jabatan Ketua Eskul Mading tidak dilengserkan secara tidak hormat.
Poni melanjutkan makan siomay, Aida malah pesen satu setengah porsi lagi. Pinginnya sih seporsi tapi duitnya nggak cukup. Jadi, cuma beli tiga ribu. Ci Amey (Penjual Siomay) sih baik, yang beli tiga ribu juga dikasih banyak.
Selain Aida, Poni punya sohib lainnya di sekolah. Namanya Fani. Mukanya udah sering nampang di tv, sebagai figuran ternama. Soalnya udah sering banget jadi figuran. Saking seringnya, PH (Production House) nggak pernah segan calling dia jadi figuran. Ehh tapi kan itu yang namanya mulai dari bawah, siap tahu suatu hari nanti Fani juga bisa jadi pemeran utama ternama.
Fani emang agak telat nih nyamperin ke Kantin. Dulu Poni, Aida, dan Fani sering ke kantin bareng, tapi karena pas naik kelas XI (Sebelas) kelas mereka beda, paling nyusul-nyusulan aja.
“Lama amat,” komentar Aida ke Fani.
“Biasa ada job baru (job figuran lagi),” jawab Fani girang.
“Ketemu siapa kali ini?” tanya Poni. Walaupun peran Fani masih figuran, tapi pekerjaan sampingannya itu membuatnya banyak bertemu artis dan aktor terkenal.
“Vino G Bastian,” jawab Fani.
“Ahh nyang bener lo?” sahut Aida tidak percaya.
“Seriusan ntar gue foto deh,” kata Fani ingin membuktikan.
Fani masih melanjutkan cerita film yang akan diikutinya nanti. Poni dan Aida ngedengerin dengan seksama, tapi konsentrasi mereka ke Fani terganggu waktu Ali datang.
“Po, udah baca naskahnya?” tanya Ali langsung duduk di sebelah Poni. Ali mendekat satu cm, Poni menjauh tiga cm, dan seterusnya, sampai di ujung kursi. Karena udah sampai ujung, mereka kembali lagi ke posisi awal.
“Udah.”
“Bagus kan? Jadi yah ikut pentas kita,” pinta Ali memelas ke Poni.
“Gue nggak bakat main teater Li. Tuh! Mending lo kasih naskahnya juga ke Fani. Udah terbukti tampangnya ada di tv sama layar tancep, lo nggak perlu casting dia lagi. Percaya deh sama gue,” kata Poni meyakinkan, sebetulnya ngeles untuk nolak ajakan Ali ikut eskul teater dan drama.
“Tapi anak-anak udah setuju ngajaknya lo,” sahut Ali ke Poni.
“Beneran deh gue nggak bisa Li, bukan apa nih. Ngapalin sejarah aja nilai gue merah, apalagi naskah yang tebelnya nggak kalah sama buku sejarah.”
“Yahhh ntar gue sama anak-anak kecewa dong,” sambung Ali masih memelas.
“Maaf deh Li,” kata Poni.
“Ya udah deh, lain kali tapi oke dong?” tanya Ali.
“Bisa jadi,” jawab Poni.
“Fan, gimana lo minat? Nanti pulang sekolah, gue bagi naskah skenarionya ke lo,” kata Ali menawarkan peran ke Fani.
Fani senang dengarnya. Dia selalu bersemangat untuk akting. Saking semangatnya, sering akting sakit kalau pelajaran olahraga.
“Ehh mau nawarin gue job yah, harus ngubungin manajer gue dulu,” jawab Fani, padahal sih mau banget ikutan pementasannya, tapi pingin sok jual mahal dulu.
“Emang lo punya manajer?” Aida heran.
Fani nggak jawab, Cuma kode-kodean mata aja sama Aida.
“Pementasannya tinggal sebentar lagi Fan, jadi kalau lo tertarik besok langsung ikut latihan,” kata Ali.
“Ohh gitu, yaudah boleh deh. Itung-itung bantu acara sekolah,” kata Fani tersenyum.
Ali pergi lagi ke kelasnya. Poni, Aida, dan Fani juga, tapi mampir dulu ke koperasi sekolah beli kuaci, obat ngantuk siang, padahal malah bisa bikin makin ngantuk.
SMA Bhineka punya banyak eskul (ektra kulikuler). Saking banyaknya ada eskul pet trainer. Itu lho kegiatan untuk menjadi pelatih hewan peliharaan, bisa ajing atau kucing, hewan lainnya juga bisa. Asal jangan yang berbahaya. Mereka masih takut sama yang bahaya-bahaya. Kayak buaya darat, serigala berbulu domba, atau kucing dalam karung (takutnya pas dibuka itu kucing rabies).
Ada juga eskul P3 (Para Pencari Pelawak). Hebat lho eskul ini. Salah satu alumninya udah jadi pelawak terkenal di TPI (Sekarang MNC TV). Pokoknya macem-macem deh eskulnya. Semua didukung kepala sekolah guna meningkatkan kreativitas dan kemampuan murid-muridnya sesuai bakat masing-masing.
Cuma Poni, Aida, dan Fani, sekelompok kecil di antara sekelompok lainnya yang masih nggak punya eskul pasti. Dulu mereka pernah nyoba Pramuka, eskul tertua mungkin yang pernah ada. Tapi baru masuk sekali latihan, langsung nggak kuat keluar, mereka nggak punya mental praja muda karana (rakyat muda yang suka berkarya). Mungkin di eskul lainnya, tapi belum tahu apa.
Pernah juga pingin masuk Mading. Tapi pas Cherry diangkat jadi ketuanya, mereka langsung ogah. Aduhh kebayang deh tingkah bossy (sok ngatur) Cherry nanti gimana. Gara-gara bapaknya pejabat daerah, gayanya jadi selangit. Sombong banget. Padahal anak lain yang bapaknya Menteri, down to earth (merendah) aja kok.
Jadilah mereka masih bingung ngambil eskul apa. Guru BP (Bimbingan & Penyuluhan) udah sering ngingetin murid. Baiknya punya eskul untuk menyalurkan bakat dan energi remaja yang kadang berlebih. Supaya energi berlebih itu disalurkan ke hal yang positif, dari pada bikin onar di jalanan. Naik kelas dua, Poni, Aida, dan Fani udah bertekad akan memutuskan ikut eskul apa. Pilihannya sih udah ada, cuma masih plin plan aja mau yang mana. Suatu hari mereka dapat jawabnnya dengan cara yang tidak terduga.
@dede_pratiwi ok sipp. Sorry telat respon
Comment on chapter SMA Bhineka