Bulan demi bulan telah berlalu. Segala sesuatu yang telah terjadi adalah cerita masa lalu dan akan tergantikan dengan cerita baru. Deni terduduk di bangku tunggu bandara international menunggu jadwal keberangkatannya. Tinggal beberapa menit lagi ia harus segera masuk.
“Den ayo” Ayahnya mengajak Deni untuk beranjak. Sebentar lagi mereka harus melakukan boarding.
“Yah....” Deni ragu. Di sampingnya, Rahma terduduk memandangi wajah bingung Deni. Kali ini ia tak bisa memaksa atau mengubah keputusan Deni. Tapi Rahma sudah menebak apa yang akan terjadi.
Deni memandangi lekat wajah Rahma. wajah yang sudah berubah dalam beberapa bulan terakhir. Wajah yang cantik, bukan tipe kuno seperti yang baru pertama kali Deni kenal. Ia mencari kekuatan untuk keputusannya. Deni menatap wajah Rahma lekat-lekat. Bukan bibir Rahma yang berbicara, tapi matanya.
“Aku tidak jadi pergi” ucap Deni mengajutkan Rahma dan ayahnya.
“Kenapa.....?” tanya ayahnya. Meskipun terkejut namun ayahnya sudah menduga akan terjadi seperti ini. Sebelum berangkat ke bandara pagi ini, ayahnya sudah bernegosiasi dengan dirinya jikalau kejadian seperti saat ini akan terjadi. Ia juga sudah melapangkan hati dan membuat rencana lain.
^^^
Di lobi bandara Deni dan Rahma melihat Ika yang terlihat uring-uringan dengan mata basah dan berlinang air mata. Deni tersenyum kecil melihat gadis itu. Ika terlihat sangat gelisah dan ketakutan. Ia mengira bahwa Deni telah meninggalkannya.
“Ika” panggil Rahma.
“Deni, kamu tidak jadi pergi?” tanya Ika dengan wajah yang terlihat kusut. Deni hanya menggeleng seraya tersenyum.
“Akhirnya” Ika langsung memeluk Deni. ia seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Ika tidak ingin mengantar Deni pergi karena ia tidak ingin melihat Deni pergi. namun hatinya berkata lain, 30 menit setelah mobil Deni pergi, Ika segera menyusul Deni menuju bandara. “Aku tahu akhirnya akan begini. Kamu tidak akan tega meninggalkan aku kan?” air mata Ika berlinang membahasahi bahu Deni.
Deni terkejut dengan reaksi Ika sehebat ini. Dari sini ia bisa melihat betapa Ika tidak ingin kehilangan dia. Sangat berbeda dengan Rahma yang terlihat tenang dan dewasa. Rahma juga tidak mencoba menahan Deni, selama menurutnya itu adalah keputusan terakhir Deni, ia mempersilakan untuk pergi. Namun lagi-lagi Rahma menunjukkan bagaimana seorang laki-laki harus memiliki hati yang kuat. Hati yang lapang dalam menerima apapun takdirnya.
Kini giliran Deni yang terkejut ketika Rahma menyalami dan memeluk ibunya. Ika melepaskan pelukannya pada Deni. Keduanya segera menemui ibu Rahma. Deni juga mencium tangan tante Ratna yang diikuti Ika. Lebih terkejut lagi ketika ibu Rahma membawa dua koper berukuran sedang. Kali ini justru Deni dan Ika yang kebingungan.
“Kamu mau kemana?” tanya Deni pada Rahma. Wajahnya terlihat cemas.
“Aku mau ke Jerman Den” ucap Rahma. Wajahnya terlihat sangat tenang dan teduh.
“Ha..? Mau ngapain?” tanyanya lagi dengan wajah yang semakin bingung dan gelisah.
“Aku mau berobat dan tinggal di sana. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk jadi orang yang lebih kuat Den. Agar aku tidak jatuh lagi, agar aku tidak pingsan lagi. Agar aku tidak kelelahan lagi”
“Tapi......” ucap Deni
“Ada Ika yang akan menemanimu” ucap Rahma seraya tersenyum. Ia menggenggam tangan Deni dan meyakinkannya untuk membiarkan dirinya pergi.
“Tapi kamu akan kembali kan Ma?” tanya Deni menyelidik.
“Doakan saja” ucap Rahma sambil tersenyum.
“Ayo Rahma. Waktunya kita boarding”
“Sebentar Ma” Rahma berpelukan dengan Ika cukup lama. “Jaga dirimu baik-baik Ka” Rahma mengelus punggung Ika.
“Kamu juga” ucapnya. Ia tidak menyangka bahwa hari ini adalah hari yang begitu penting untuk persahabatannya.
Selanjutnya Rahma bersalaman dengan Deni. Ia meminta Deni menjaga Ika dengan baik.
“Jaga Ika dengan sebaik mungkin Den”
“Pasti” ucap Deni.
Rahma tak ingin lagi menjadi beban bagi Deni. Ia tak ingin menjadi orang yang terus dilindungi. Dari Deni, Rahma belajar untuk menjadi lebih kuat. Ia juga ingin agar dirinya bisa melindungi orang lain. Ia tak ingin lagi salah mengartikan kepeduliaan orang lain terhadap dirinya. Deni nyatanya hanya menganggap dirinya sebagai sahabat, tapi tidak bagi Rahma. Baginya Deni lebih dari sahabat. Seseorang yang terus melindungi dan pedulinya dengannya. Darisanalah tumbuh perasaan lain di hati Rahma yang tak pernah Deni sadari, yang tak pernah bisa Deni lihat dari mata Rahma.
Rahma pergi dengan perasaan tenang bahwa ada Ika, gadis terbaik yang dikenalnya sejak dulu yang kini akan berada di sisi Deni.
Tiga tahun kemudian.....
Hubungan Deni dengan Ika tidak bertahan lama. Entah apa yang terjadi dengan hatinya. Kali ini ia salah menerjemahkan isi hatinya. Tidak. Sebenarnya ini bukanlah kesalahan. Pada akhirnya hubungannya dengan Ika merupakan salah satu pembuktian bahwa dirinya berhasil melepaskan amarah dan dendamnya. Ia telah mengizinkan Ika untuk masuk ke dalam kehidupannya. Mengisi hari-harinya. Mengukir kenangan yang berharga. Deni hanya mendengarkan Rahma untuk menghapuskan sekat-sekat antara cinta dan rasa dendam. Yang Deni lakukan adalah mengikuti cahaya yang Rahma titipkan dalam hatinya.
Pada akhirnya Ika sadar bahwa nama yang ada dalam hati Deni bukanlah dirinya. Tapi Rahma. Ika juga melihat bagaimana raut ketakutan yang tergambar pada wajah Deni saat Rahma akan meninggalkannya di bandara. Ika tak pernah melihat Deni seketakutan itu. bahkan saat ia hampir mendekati detik-detik kematian, tak sedikitpun Deni terlihat takut. Deni selalu pemberani. Ia selalu melindungi orang lain. hingga akhirnya Ika sadar ketakutan terbesar Deni adalah kehilangan Rahma. Ika tidak bisa memaksakan kehendaknya hatinya. Apalagi memaksa hati untuk mencintai. Itu praktik yang sangat sulit. Akhirnya dengan berat hati, Ika meminta agar Deni jujur dan mengakui perasaannya sendiri.
Ketiadaan Rahma sempat membuatnya uring-uringan apalagi Rahma yang tak meninggalkan jejak apapun. Sejak kepergiannya, Rahma tak bisa dihubungi. Ia menghilang seperti ditelan bumi. Kepergian Rahma menjadi tidak wajar bagi Deni. Tidak seharusnya Rahma menghilang begitu saja. Saat itulah Deni hampir putus harapan. Selama ini Rahma yang banyak memberinya warna baru dan makna kehidupan. Rahma yang membuat hari-harinya berbeda, lebih ceria dan menemukan hal-hal baru. Rahma. Satu nama itu yang mengisi seluruh rongga hatinya.
Tiga tahun Rahma meninggalkan negerinya. Dan hari ini takdir kembali mempertemukannya mereka, di kampus yang sama. Deni tidak menyangka dihari kedua masa orientasi mahasiswa mereka kembali dipertemukan, di tempat yang sama-sama mereka sukai, perpustakaan. Terlalu banyak kebetulan antara dirinya dengan Rahma. Deni mempercayai bahwa ini bukanlah lagi sebuah kebetulan seperti anggapan-anggapan sebelumnya. Ini semua memang sudah ditakdirkan untuknya.
Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Namun menurut Deni tidak ada kesalahan tanpa pembelajaran. Dari kesalahan justru seseorang dapat belajar, berlatih lagi, mencoba lagi, salah lagi, melakukannya lagi begitu seterusnya hingga ia menghabiskan jatah gagalnya. Begitupun dengan Deni. Membiarkan Rahma pergi bukanlah suatu kesalahan namun cara tuhan agar dirinya mengerti sebuah rasa yang sebenarnya.
Hari ini ia duduk bersama lagi dengan gadis itu. Tiga tahun adalah waktu yang dibutuhkan Deni untuk menyadari perasaan yang sebenarnya. Ia yakin kali ini ia tak salah.
“Aku tidak peduli lagi dengan kondisimu Ma. Apakah kamu orang yang kuat atau orang yang lemah, jadikanlah aku satu-satunya pelindung dalam hidupmu, satu-satunya orang yang menjagamu dalam segala kondisi, satu-satunya orang yang paling mengerti akan dirimu. Sepanjang hidupmu. Hanya aku” ucap Deni seraya menatap mata Rahma dengan penuh cinta. Rahma membalas tatapan mata Deni seraya tersenyum tulus ke arah Deni. Akhirnya Deni bisa kembali melihat lesung pipi Rahma yang hanya ada di pipi sebelah kanan Rahma.