Ketika segalanya Allah ciptakan berpasangan, maka tidak akan ada yang sendiri di bumi ini. Hujan membasahi rerumputan yang mulai tumbuh menghijau. Hari itu musim dingin baru dimulai. Sejak tadi pagi hujan mengguyur kotanya. Siswa-siswa datang ke sekolah dengan membawa payung dan memakai jaket. Suasana yang sendu. Suasanya yang membuat orang-orang malas beraktivitas. Suasana yang membuat orang-orang ingin tidur saja.
Sejak bel pulang sekolah berbunyi, sekolah terasa semakin sepi. Tak banyak anak-anak yang beraktivitas lagi di sana. Hanya ada ada 2 atau 3 siswa yang belum menyelesaikan urusannya.
Ika merapihkan beberapa berkas yang tercecer di ruang sekretariat OSIS. Hanya tinggal dirinya. Ada beberapa surat yang harus ia print sore itu juga agar esok pagi bisa disebar. Ika melihat jam tangannya, sudah menunjukkan jam 16.00. Pantas saja sekolah sudah sepi. Pukul 16.30 barulah ia bangkit dan mengunci kembali pintu sekretariat. Sudah tak ada lagi yang tersisa di sekolah, pikirnya. Namun alangkah terkejutnya ketika ia melihat sekawanan orang tidak dikenal yang berdiri mengelilinginya.
“Kalian mau apa?”
“Mati. lo harus mati. Gara-gara kakak lo, Gilang, sahabat lo dipenjara” ucap salah seorang dari mereka dengan tatapan matanya yang tajam.
“Tidak. Kalian tidak ada urusan denganku kalau begitu”
“Tentu saja aja, lo adiknya Gilang kan?” ucap salah seorang dari mereka.
“Aaargh.... kelamaan bos, langsung sikat saja” ucap yang lainnya lagi.
Badan Ika bergetar dan ketakutan, ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya saat ini. Apakah ia akan mati hari ini juga? Ia tak tahu. Matanya basah. Ia tidak memiliki daya untuk melawan. Salah seorang dari kawanan itu mengcengkeram tangan Ika dan menariknya ke suatu arah. Mereka mencoba membawa Ika ke gudang belakang sekolah. Dengan sekuat tenaga Ika coba melepaskan diri. Ia berteriak sekencang mungkin namun tak ada yang mendengarnya.
Dalam ruangan yang gelap dan pengap, wajah Ika ditampar bulak-balik hingga bibirnya berdarah. Rambut Ika ditarik.
“Dengar ya, kami harus memberi pelajaran pada Gilang. Gue pengen bikin Gilang menderita dan ketakutan. Dengar perempuan setan, katakan pada kakak lo untuk tidak berbuat macam-macam. Jika tidak, lo atau ayah atau ibu lo yang kena getahnya” salah seorang menarik rambut Ika sangat keras. Pipinya basah dengan air mata. Ia benar-beanr ketakutan.
Sekawanan itu meninggalkan Ika sendiri di gudang sekolah yang gelap. Tubuh Ika benar-benar sulit untuk bergerak, badannya sakit. Selain ditampar dan dijambak, beberapa orang juga menendang kaki dan tangannya. Dalam ruangan gelap dan dingin Ika benar-benar pasrah untuk menerika kematiannya. Matanya berkunang-kunang dan terasa berat sekali.
Deni kembali ke sekolah untuk mencari Ika. Ia yang kebetulan melintas di dekat taman sekolah melihat sekawanan yang tidak dikenal yang menyebut-nyebut nama Gilang dan adiknya Gilang.
“Pelajaran tadi masih terbilang ringan, jika Gilang bertindak macam-macam lagi kita beri pelajaran yang lebih berat pada adiknya” ucap sekawanan yang tidak dikenal.
Deni merasa curiga. Ia juga sudah lama tidak melihat Gilang bersama Gio, Tamo atau teman-temannya. Mungkinkah Gilang sudah berhenti dari geng mereka? Pikir Deni. Dengan sangat cemas, Deni segera menelpon Ika untuk memastikan bahwa Ika aman. Ponsel Ika berbunyi namun tak ada jawaban. Ika yang sedari tadi pingsan, terbangun oleh nada dering ponselnya. Namun tubuhnya terlalu sulit untuk meraih ponsel yang letaknya sangat jauh dari posisinya saat ini.
Kecurigaan Deni benar, firasat Deni mengatakan terjadi sesuatu dengan Ika. Deni meminta Dido untuk menemaninya mengecek ke sekolah. Mereka berdua segera menuju sekolah dan mengecek seluruh ruangan. Deni tidak berhenti menelpon Ika, berharap ia bisa mendengar nada dering ponsel Ika.
“Bagaimana Do?” tanya Deni setelah mereka selesai berkeliling. Hari mulai menunjukkan gelap. Cuaca semakin dingin. Deni juga sudah menelpon orang tua Ika, namun mereka bilang Ika belum pulang. Rahma juga tidak tahu keberadaan Ika.
Dido menggeleng. Ia tak berhasil menemukan Ika. Dido menundukkan pandangan matanya, di ujung sepatunya ia menemukan beberapa tetes darah. “Den” ucap Dido mengajaknya menunduk. “Darah”
“Berarti kita masih di sini Do” ucap Deni berpikir sejenak. Ia tiba-tiba kembali teringat kejadian Fajar waktu itu. “Gudang. Do ayo!” Deni berlari ke arah Gudang sekolah. Jarang sekali ada orang yang pergi ke gudang karena lokasinya yang jauh, sepi, dan orang-orang menyebutnya angker.
Deni terus menghubungi ponsel Ika. Sedikit demi sedikit ia mendengar nada ponsel Ika. mereka benar. Ika ada berada dalam gudang.
“Ika...!” Dido mengintip ke dalam. Pintu gudang itu terkunci. Dalam gelap Dido bisa melihat tubuh Ika yang meringkuk di dalam gudang. Ia terlihat kedinginan. “Ada Den. Kita harus membuka dan menemukan kunci”
Deni tidak sabar. Lagipula hari sudah mulai gelap. Ia harus segera mengeluarkan Ika. Deni mencoba untuk mendobrak pintu. Ia berkali-kali menendang pintu agar terbuka. Bukan usaha yang biasa. Deni dan Dido bergantian menendang pintu. Barulah pada tendangan ke-20 pintu itu terbuka.
Deni dan Dido segera menghampiri Ika yang lemah tak berdaya.
“Ika” ucap Deni membangunkan tubuh Ika yang lemah. Deni melepaskan jaket dan menyelimutkannya ke tubuh Ika yang dingin. Ika segera memeluk Deni dengan sangat erat. Ia menangis sejadinya.
“Deni. Sukurlah kamu datang. Aku takut sekali” Ika melepaskan rasa takutnya. Tangisnya pecah. Dido dapat melihat dengan jelas bahwa Ika benar-benar menyukai Deni.
Tangan kekar Deni membelai rambut Ika yang berantakkan.
“Kamu tidak usah takut lagi. Aku ada di sini” ucap Deni menenangkan hati Ika.
“Den kita harus segera pergi dari sini” ucap Dido. Mereka segera membawa Ika keluar dari gudang.
“Aku tidak mau pulang ke rumah” ucap Ika yang terkulai lemah di kursi belakang bersama Deni.
“Tapi kamu harus pul...” ucap Deni. Tangan lemah Ika menggapai lengan Deni.
“Aku mohon.....”
“Baiklah. Do, kita ke tempat Rahma” ucap Deni memberi komando.
“Oke Den”
Deni mengabari Rahma bahwa Ika terluka dan membutuhkan tempat. Rahma mengizinkan dan meminta agar Deni segera membawanya ke rumah.
“Ika” Rahma segera memeluk Ika begitu melihat kondisi Ika yang menyedihkan.
“Ma, aku titip Ika ya. Rawat dia baik-baik” ucap Deni. “Aku dan Dido harus pulang. Aku serahkan Ika kepadamu. Kalau butuh bantuan atau terjadi apapun kami”
“Pasti Den” ucap Ika seraya menuntun Ika masuk ke dalam rumah.
Ika tidak ingin pulang ke rumah dalam keadaan kacau seperti ini. jika abangnya tahu ia diperlakukan seperti ini akan terjadi peperangan besar. Ika tidak ingin itu terjadi. Ika tidak ingin gegabah sehingga dapat mencelakai keluarganya.
“Maafkan aku ya Ma, aku merepotkanmu”
“Ssst.... kita tidak boleh menolak bantuan dari sahabat kita” ucap Rahma. Ia meminjamkan baju kepada Ika dan mengompres luka-luka di tubuh Ika. Rahma juga sudah mengabari orang tua Ika bahwa putrinya menginap di rumahnya malam ini dan meminta untuk tidak khawatir.
Setelah menelan beberapa sendok bubur, Ika akhirnya tertidur dengan nyaman dan tenang.