Deni segera masuk ke dalam kamar begitu tiba di rumahnya. Mobil ayahnya sudah terparkir, artinya ayahnya ada di rumah. Deni mengunci pintu kamarnya, ia ingin beristirahat setelah berbagai aktivitas yang terjadi hari ini. Bukan hanya badannya yang merasa lelah, tapi entah mengapa ada yang mengusik jiwanya. Ada yang mengaduk-aduk perasaannya. Ada yang mengetuk pintu hatinya. Ada yang mengacaukan pikirannya. Perasaan apa itu? kenapa seserius ini?
Setelah bersih-bersih dan sedikit mengisi energi, Deni membenamkan diri dibawah bantal tidurnya. Ia juga meminta agar Mbok Ran membangunkannya pada saat adzan maghrib nanti. Ia ingin memejamkan matanya sejenak.
Deni membuka pintu yang berwarna putih bercahaya yang ada di hadapannya. Di sanalah ia melihat sosok ibunya. Ia tak tahu berada dimana dirinya saat itu. semua yang dilihatnya hanya dinding-dinding yang berwarna putih susu. Dan sosok ibunya yang sedang terduduk di bangku yang panjang. Tak ragu Deni segera menghampiri ibunya dengan penuh kerinduan bahkan ia bisa merasakan tetes air matanya. Ia memeluk ibunya dengan sangat erat. Pelukan yang sangat lama ia rindukan.
“Ibu aku rindu sekali” ucap Deni. Air matanya tak terbendung lagi.
“Apak kabar sayang?” tanya Ibunya dengan wajah penuh cahaya.
“Aku baik bu” Deni tersenyum bahagia sekali bisa melihat wajah ibunya. Ia menatap wajah ibunya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kamu kenapa Nak?”
“Maksud Ibu?” wajah Deni seketika berubah. Ia menebak arah pertanyaan ibunya.
“Ibu selalu mengajarkanmu untuk selalu memaafkan bukan?” Mata Ibu Deni menatap anaknya dengan penuh kelembutan.
“Aku... aku....” Deni kikuk sendiri menjawab pertanyaan ibunya. Ia kebingungan. Ia teringat bahwa hatinya seperti sedang mengalami perang batin.
“Lepaskan Nak. Lepaskan amarah itu. Hatimu berhak untuk kedamaian. Kosongkan hatimu dari amarah jiwa. Biarkan kemaafan yang mengisinya. Biarkan kasih sayang dan perdamaian yang menempatinya. Ingatlah ibu dan kakak yang selalu mengasihimu nak”
“Justru karena aku telah kehilangan kakak, aku tidak bisa merelakannya Bu”
“Sttt..... Nak, belajarlah pada orang-orang di sekitarmu bagaimana caranya memaafkan. Mereka akan mengajarkanmu bagaimana menggunakan sisi hati yang bercahaya” ucap ibunya. Deni kembali memeluk ibunya dengan erat.
Suara ketokkan pintu membangunkan tidur Deni.
“Ibuuuuu” Deni terbangun dari tidurnya dengan tubuhnya penuh dengan keringat.
“Den Deni, sudah adzan Den. Bangun” ucap Mbok Ran dari luar kamar.
“Iya Mbok” ucap Deni sambil mendengus kesal. Ketukan pintu Mbok Ran memutus mimpi indahnya. Mimpi bertemu dengan ibunya. Tapi apa yang baru saja dikatakan ibunya masih terngiang dalam ingatan Deni. Bagaimana menggunakan sisi hati yang bercahaya. Kata itulah yang peling membekas dalam ingatan Deni. Bagaimana menggunakan sisi hati yang bercahaya? Itulah pertanyaannya saat ini.
^^^
Hari demi hari telah Deni jalani. Jalan yang tak mudah. Hatinya menyimpan kebencian. Hampir setiap pekan ia memforsir diri untuk karate diri dan memahah. Deni berlatih karate dan memanah selalu lebih keras dari kawan-kawan lainnya. Bahkan ia meminta latihan tambahan setiap waktunya. Ia meminta waktu latihan khusus dengan Raya. Dengan kecepatan Deni dalam menguasai berbagai teknik yang diajarkan, dengan cepat Deni bisa menjadi lawan tanding Raya, 1 lawan 1. Deni juga lawan yang tidak bisa dianggap enteng. Berkat keseriusan Deni belajar dan kesediaan Raya mengajarkan, Deni menjadi kawan latihan yang cukup tangguh. Raya mendapatkan partner yang sesuai.
Meskipun terkadang semuanya terlihat hebat namun ia sendiri tak dapat membantah bahwa segala usaha yang dilakukannya adalah sebatas untuk membalas dendam kematian kakaknya, Fajar. Selama ini ia menghimpun kekuatan, menguatkan diri bahkan untuk hal yang ia benci sekalipun.
Semakin hari Deni merasa lelah dengan perasaannya. Amarah itu rupanya membuat dadanya menjadi sesak. Perasaan-perasaan marah yang mengisi rongga hatinya membuat emosinya tak stabil beberapa bulan ini. Bukankah memaafkan adalah hal terbaik yang harus dilakukan? Bahkan hingga detik ini ia masih berfikir apa tujuan hidupnya?
^^^
Hari ini adalah hari libur nasional. Sudah lama sekali ia tidak lari pagi, akhirnya ia memutuskan untuk lari pagi sebentar di sekitaran komplek rumahnya. Jam sepagi ini dan hari libur pula, wajar jika Ayahnya yang masih berada di kamarnya.
Deni mengambil handuk kecil, botol minum kecil, dan sepatu olahraganya. Sepatu hadiah ulang tahun dari ibunya. Meskipun kini ukuran sepatu itu menjadi agak kecil di kakinya, Deni tetap akan memakainya karena itu adalah kenang-kenangan terakhir dari almarhumah ibunya.
Ternyata bukan hanya Deni yang berolahraga pagi itu. Deni bertemu dengan beberapa tetangga yang pernah dikenalnya. Serta masih banyak orang-orang yang tidak Deni kenal. Berbagai macam aktivitas yang dilakukan. Ada yang bermain futsal, bola volly, badminton, atau hanya sekedar berjalan santai. Deni memilih untuk lari 15 kali putaran lapangan futsal setelah peregangan. Sisanya Deni diajak main bola volly oleh beberapa tetangga yang dikenalnya.
“Ayo main Den” ucapnya karena mereka kekurangan anggota. Deni tidak bisa menolak, sudah lama juga ia tidak melakukan olah raga yang satu ini padahal sejak SMP, bermain volly adalah yang paling disukainya. Postur tubuh Deni yang cukup tinggi pun dimanfaatkan sebagai posisi penyerang.
Lama kelamaan permainan menjadi seru. Deni senang karena ia bisa me-refresh kembali jiwanya. Bersosialisasi dengan tetangga, berolah raga, dan melihat alam terbuka cukup untuk membuat jiwanya terasa segar kembali.
“Sudah nih?” tanya salah satu pemain ketika permainan sudah berjalan 3 set.
“Lanjut-lanjut. Masih ada waktu. kita sudah sewa lapangan ini 2 jam” ucap bapak-bapak yang masih terlihat bugar dan atletis meskipun usianya sudah setengah abad.
“Masih kuat kan Den?” tanya pemain yang lainnya.
“Masih masih” jawabnya. Tak masalah bagi Deni. ia sudah sangat terbiasa berolah raga apa. Ini masih tidak apa-apanya jika dibandingkan pemanasan latihan karate yang terkadang senpai menyuruhnya berlari 3 keliling perkebunan tebu yang berada dekat sekolahnya. Cukup luas dan cukup membuat tubuhnya kelelahan.
Setelah 2 jam berakhir, mereka menghentikan permainan karena selanjutnya lapangan akan digunakan oleh orang lain. Deni terduduk di bangku taman. Ia mengelap keringatnya dan meminum air yang tadi dibawanya. Tiba-tiba disudut yang lain, Deni seperti melihat Rahma. iya tidak salah lagi. Meskipun gadis itu memunggungi tapi Deni sudah dapat menghapal gestur tubuh Rahma dengan baik. Rahma terduduk di salah satu bangku taman dekat kolam renang. Hatinya ragu apakah ia akan mendekat atau sekedar mengucapkan maaf atau pertengkaran kecil yang terjadi padana beberapa hari yang lalu. Hatinya sempat ragu. Tapi ia tidak bisa membiarkan kondisi seperti ini berkepanjangan. Ia tidak bisa memelihara pertengkaran dalam kehidupannya. Deni harus mengakhiri semuanya. Dengan langkah santai, ia menghampiri Rahma yang duduk seorang diri.
“Hai” sapaan Deni membuat Rahma terkejut. Ia tiba-tiba muncul di sampingnya tanpa tanda apapun.
“Deni, kamu membuatku kaget” Rahma memegangi dadanya. Ia sedikit kesal. Melihat Rahma pagi itu, Deni menyadari ada yang berbeda, tepatnya dengan kacamata Rahma yang frame-nya sudah berubah bentuk.
“Maaf-maaf” ucapnya sambil tersenyum. “Kacamata kamu baru ya?”
“Iya. Bagus?”
“Bagus. Kamu jadi terlihat lebih cantik” ucapnya pelan tapi Rahma bisa mendengar itu dengan jelas.
“Ini Ika yang kasih. Dia baik ya?” Rahma terlihat bahagia.
Deni menghembuskan napas panjang. Beberapa hari yang lalu mereka terlibat pertengkaran kecil karena bahasan yang berjudul ‘Ika’ dan sekarang disaat ia akan meminta maaf, Rahma membuka obrolannya dengan kata ‘Ika’.
“Aku.. Aku mau minta maaf” Deni mendadak serius. Wajahnya ia hadapkan pada kolam yang berisi ikan-ikan yang ada di hadapannya.
“Meminta maaf buat apa?” nada Rahma terdengar datar. Deni tidak tahu apakah Rahma marah atau tidak.
“Tentang bahasan tempo lalu di kelas astro”
“Aku tidak menganggap itu suatu kesalahan. Jadi kamu tidak perlu meminta maaf” ucap Rahma. ia tersenyum kepada Deni untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar tidak marah. Keduanya lalu terdiam beberapa saat. Rahma mencoba menerka kata-kata apa yang akan keluar dari mulutnya, sudahkah Deni melakukan perenungan dan mempertimbangkan ucapannya yang sempat membuat pertengkaran kecil menurut Deni?
“Ma, apakah aku menjadi orang jahat selama ini?” tanya Deni pada Rahma yang sibuk menyobeki potongan roti dan melemparkannya pada ikan-ikan yang beriak meminta makan. “Ma? Bagaimana caranya memaafkan orang lain? Apakah kamu tidak marah kepada ayahmu? Atau teman-teman yang selama ini menghindarimu atau bahkan membulimu?” Deni menyerang dengan rentetan pertanyaan.
Pertanyaan Deni membuat Rahma terdiam sejenak. Rahma mengalihkan pandangannya ke mata Deni, jauh lebih dalam. Ia mencoba menelusuri kemana arah topik pembicaraan mereka pagi ini. “Aku tidak marah kepada mereka yang sudah menjahatiku. Terlepas dari mereka, aku yakin orang-orang akan mencintaiku dan melindungiku akan lebih banyak daripada mereka yang mengucilkanku dan bagiku orang-orang yang berpihak padaku jauh lebih berharga untuk aku sibukkan daripada sibuk menanggapi mereka yang mengucilkanku” jawab Rahma yang terdengar tulus ditelinga Deni.
Deni merasa takjub mendengar jawaban Rahma. Sesederhanakah itu pemikiran Rahma untuk memaafkan orang lain? Jauh didalam hatinya, Deni merasa lebih iba terhadap kehidupan Rahma namun ternyata Rahma lebih kuat dari dirinya, lebih mampu menepis segala kebencian yang mungkin lebih berat dari yang diterimanya.
“Kalau kamu tidak percaya dengan caraku meyakini hati, kamu boleh ikut denganku nanti siang” Rahma bangkit dari tempat duduknya, mendekat ke arah kolam, menyobekkan roti yang tinggal setengah untuk ikan-ikan.
“Kemana?”
“Kamu jemput aku jam 13.00 di rumah ya. Aku harus segera pulang sekarang. Kamu juga harus mandi dulu kan?”
“Iya”
“Oke. Bye” Rahma pergi setelah semua roti yang dibawanya habis ia berikan kepada ikan-ikan di kolam itu. Deni tertegun sejenak sambil melihat Rahma melangkah pergi.
^^^
Tepat sesuai janji, pukul 13.00 Deni sudah berada di depan rumah Rahma dengan celana jeans, kaos putih dan sepatu berwarna putih.
“Deni, sini nak masuk” ucap Ibu Rahma yang saat itu berada di rumah. Tentu saja karena hari ini adalah hari libur.
“Iya tante” sejenak sebelum Deni akan melangkah masuk tapi Rahma sudah muncul duluan dan mereka memutuskan untuk segera pergi.
Dalam perjalanan, Rahma tak memberitahu kemana sebenarnya tempat yang mereka tuju? Sambil mengemudi motornya, Deni tak banyak bertanya. Ia masih belum merasa nyaman. Begitu juga Rahma. Ia tak berbicara sepetah katapun. Entah kejutan apalagi yang akan Rahma tunjukkan padanya kali ini.
Tiga puluh menit sudah mereka menempuh perjalanan tapi masih belum ada tanda-tanda sampai. Barulah pada sebuah rumah berukuran cukup besar berwarna putih, Rahma meminta berhenti. Tepatnya tempat itu bukan hanya rumah biasa, tapi sebuah panti asuhan. ‘Cahaya Bahagia’ begitulah sebuah papan berwarna putih berdiri tegap tepat di depan bangunan itu.
Rahma melepas helm dan masuk ke dalam bangunan itu. Deni mengikuti langkah Rahma.
“Assalamu’alaykum” ucap Rahma di beranda depan. Sontak anak-anak kecil berbagai usia berhamburan menghampiri Rahma dan memeluk Rahma. Suasana seketika berubah menjadi sangat riuh dengan teriakan sapaan anak-anak kepada Rahma.
“Eh jawab dulu salam kakak”
“Wa’alaykumussalam” ucap anak-anak itu berbarengan.
Rahma terlihat sangat akrab dengan anak-anak itu. Mereka menggerumuti Rahma seperti semut yang berebut gula. Rahma diserang dengan berbagai pertanyaan dan ajakan main bersama, seperti biasanya.
“Kak ini pacar kakak ya?”
“Eh bukan.......” jawab Rahma. Suasana menjadi semakin riuh. Anak-anak itu menggemaskan sekali. Celotehan mereka membuat suasana menjadi ramai dan hangat. Deni hanya tersenyum kecil melihat tingkah mereka yang menggelikan.
Mereka sangat beragam berbagai usia. Ada yang dipanti asuhan sejak mereka bayi, ada pula yang dari umur 7 tahun, 10 tahun, 12 tahun. Ada yang pernah merasakan punya orang tua, ayah, atau ibu ada pula yang semenjak bayi mereka sudah tidak mengenal orang tua mereka. Ada yang pernah merasakan pahitnya kehidupan jalan. Mencari makan dari sisa-sisa makanan orang lain, ada yang pernah menjadi pengamen jalanan, pengemis, dibuli preman. Awalnya mereka tidak punya rumah, bahkan atap sebuah bangunan menjadi sangat berharga mekipun milik orang lain yang penting bisa berteduh. Mereka harus bertahan dengan kejamnya kehidupan jalanan. Berbagai pengalaman yang membuat hati Rahma teriris ketika mendengarnya. Namun kini, di panti ini kehidupan mereka sedikit lebih baik. Meskipun ibu panti dan pembina-pembina kegiatan di panti tidak bisa menggantikan posisi ayah dan ibunya, setidaknya di tempat ini mereka bisa berteduh, makan dan minum secara layak.
“Dari merekalah aku belajar memaafkan Den. Anak-anak itu tidak punya orang tua atau bahkan tidak dikehendaki oleh orangtuanya tapi tak sedikitpun aku mendapati mereka menyimpan dendam pada ayah ibu mereka. Justru mereka sangat merindukan orang tua mereka. Tidaklah sama sekali mereka menangis, mereka ikhlas menerima kejamnya kehidupan yang dialaminya. Mungkin apa yang kita derita tak seberapa dibanding beban mereka. Percayalah kebencian dan kemarahan adalah perasaan yang tidak berguna, menyesakkan jiwa. Hatimu berhak atas kedamaian. Dengan kedamaian, hatimu bebas dari tawanan amarah yang menyiksa” ucap Rahma pada Deni seraya memandangi anak-anak yang bermain-main di halaman belakang. “Apa kau berpikir bahwa hidupmu tidak adil? Lantas bagaimana dengan mereka? Kalau mereka saja tidak berteriak seperti itu, berarti kita adalah manusia yang paling tidak bersyukur”. Deni merasa kata-kata Rahma begitu menusuk hatinya. Tapi mungkin itu yang ia butuhkan saat ini.
“Jadilah orang yang bijaksana dalam menghadapi permasalahan hidup ini. jadilah seorang lelaki yang kuat bukan hanya soal fisiknya, tapi yang terpenting adalah hatinya. Hati yang kuat akan dapat mengalahkan kekuatan fisik. Hati yang kuat akan dapat menyentuh hati-hati yang lain yang tidak dapat dilakukan oleh fisik yang kuat. Itulah cara menggunakan sisi hati yang bercahaya agar dapat menerangi hati-hati yang lain”
“seperti hatimu mu” ucap Deni dalam hati.
Deni merasakan kesejukan dalam hatinya setelah mendengar penjelasan singkat dari Rahma. Itulah yang selama ini dirasakannya, ia merasa terpenjara oleh amarahnya sendiri. Penjara yang membuatnya merasa tersiksa. Mungkin Fajar pun tidak terlalu menginginkan kematiannya terbalas, atau bahkan ibundanya selama ini selalu mengajarkan untuk memaafkan, memeaafkan, dan memaafkan. Melakukan pembalasan kepada Gilang dan kawanannya hanya menarik persamaan dirinya dengan kelompok Gilang.
Deni merasakan bahwa Rahma adalah seseorang yang sangat berbeda. Akhir-akhir ini ia banyak belajar makna-makna kehidupan kepada Rahma. Ia belajar melihat kehidupan dari sudut pandang yang lain. Sudut pandang yang selama ini tak pernah diketahui beradaannya.
“Terima kasih ya Rahma. Kamu memang sahabat yang luar biasa. Semenjak bertemu dengan kamu, aku merasa banyak sekali belajar. You’re the best friend” ucap Deni seraya merengkuh jari jemari Rahma dan tersenyum kepadanya. Pandangan persahabatan yang hangat dan damai.
Pemandangan yang indah. Namun tidak bagi suasana hati Rahma. ‘Sahabat?’ Rahma mencoba mengingat-ngingat kembali memorinya beberapa waktu yang lalu, saat pertama kali Deni bertemu dengannya yang selalu ingin Deni lakukan adalah melindungi orang-orang yang lemah, seperti ibu dan kakaknya.
Rahma hanya bisa membalas Deni dengan senyuman.
“Oh iya hari minggu ini mama ulang tahun, mama mengundang kamu buat dapat ke rumah setelah kita latihan memanah. Kamu bisa kan?”
“Aku?” tanya Deni keheranan. Ia menduga apakah ini adalah undangan spesial untuknya?
“Iya, kamu, Dido, dan juga Ika” jelas Rahma.
“Oh... Iya aku bisa” ucapnya tersenyum. Perasaannya tenang karena bukan hanya dia, tapi juga teman-teman yang lain.