Setiap manusia ditakdirkan untuk memiliki keinginan. Keinginan untuk memiliki, mendapatkan penghargaan, pengakuan eksistensi bahkan mencintai dan dicintai. Namun sayangnya tidak semua manusia mampu mengendalikan takdirnya. Manusia yang ingin diakui eksistensinya seringnya lupa bahwa ada zat yang pengakuannya terhadap dirinya lebih penting dari pengakuan makhluk lainnya di muka bumi. Keinginan yang berlebihan akan pengakuan eksistensi terhadap makhluk seringnya membuat manusia menderita. Mencari muka dan perhatian di sana sini ketika sejatinya sesama manusia merupakan makhluk yang lemah. Kebahagiaan yang sederhana dimulai dari ikhlasnya manusia dalam menjalani kehidupan. Amal baik yang dilakukan hanyalah untuk Allah semata yang dimana Dia maha melihat. Dia yang lebih memperhatikan kita lebih dari apapun. Dengan bahasa lain, kebahagiaan adalah ketaatan.
Deni berjalan di lorong sekolah seraya menundukkan wajahnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Sejak keluar dari ruang kantor guru tadi ia banyak mengkhawatirkan sesuatu. Banyak pikiran yang berkelebat dalam otaknya. Kekhawatiran yang tidak beralasan. Pukul 10.35. Beberapa menit setelah bel masuk berbunyi, Deni dipanggil ke ruang guru. Ada yang harus disampaikan kepadanya khususnya adalah oleh guru favoritnya. Deni senang mendengar kabar yang diterimanya namun juga bercampur dak dik duk dengan perasaan lain hingga ia mencoba meneguhkan diri.
Setelah mengintip melalui jendela sekret OSIS, seorang gadis muncul dari balik pintu membawa setumpukan buku yang harus dibawanya ke kelas. Ia keluar dari ruangan dengan kembali mengunci ruangan seperti sedia kala namun tidak diduga tubuhnya limbung dan menyebabkan tumpukan buku di tangannya terjatuh berserakan di lantai. Ia menunduk dan memungutinya satu satu. tepat beberapa meter di hadapan Deni, ia ragu-ragu untuk menolong. Namun di lorong itu tidak ada siapa-siapa lagi kecuali dirinya. Deni sendiri bingung kenapa pada jam belajar seperti ini ia masih berkeliaran di luar kelas. Tidak bisa tidak, Deni harus menolongnya.
“Aku bantu” Deni membungkukkan badan dan ikut memungut buku yang berserakan.
“Terima kasih” jawabnya lembut. Kemudian keduanya terdiam. Setelah semuanya terkumpul barulah Deni mengajukan pertanyaan.
“Ko kamu ada di luar kelas, kan ini sedang jam belajar?” pertanyaan Deni membuat ia kikuk sejenak. Semua orang yang mengenalnya, ia memiliki eksistensi yang tinggi di mata siswa lainnya, sebagai orang yang baik dan aktif ia bebas melakukan apa saja bahkan guru akan mengizinkannya. Tentu saja bukan hal-hal yang buruk.
“Aku ditugaskan mengambil tumpukan buku ini” jawabnya seraya memeluk tumpukan buku yang tadi sudah dirapikan.
“Oke” Deni mengerti. Ia melanjutkan perjalanannya menuju kelas. Seorang guru tampak sudah mengisi pelajaran di kelasnya. Jika Deni terlambat, ia bisa ketinggalan pelajaran.
“Deni” panggil gadis itu seraya menatap punggung Deni. siempunya nama menoleh wajahnya sedikit, “Terima kasih ya” lanjutnya seraya memberikan senyuman. Jika siswa laki-laki lain yang melihat senyuman itu pasti langsung melting, namun ini Deni. Ia masih tetap dingin pada gadis itu. Deni tak menjawab dan langsung membalikkan kembali tubuhnya meskipun begitu ia juga tidak menunjukkan wajah sinis. Bagian inilah yang membuat gadis ini penasaran dengan cowok yang ada di hadapannya. Semakin dingin sikapnya, semakin misterius baginya. Dan labih jauh lagi ia ingin tahu seperti apa dia sebenarnya.