Malam itu tubuh Rahma sakit seluruhnya. Benturan bola basket yang menghantam kepalanya ternyata tidak hanya berefek pada kepalanya, tetapi bagian tubuh yang lain. Ibunya segera merawat Rahma dengan sangat telaten. Sejak suaminya pergi demi wanita lain dan tidak meninggalkan sepeser harta atau sepatah kata, Rahma hanya hidup berdua dengan ibunya. Oleh karena itu ibunya harus bekerja ekstra untuk membiayai kehidupan mereka berdua belum lagi biaya pengobatan Rahma yang setiap bulan bulak-balik rumah sakit. Dengan kemampuan seadaanya, berjuang dari titik 0 ibu Rahma merintis karir. Awalnya ia bekerja sebagai buruh di pabrik detergen di kotanya. Ibu Rahma menunjukkan etos kerja yang sangat baik, ia hadir satu jam sebelum bel masuk belum berbunyi dan pulang setelah 1 jam bel pulang berbunyi. Apa saja ia kerjakan waktu itu termasuk menyikat kamar WC dan kamar mandi.
“Ngapain sih kamu sikat kamar mandi segala, ini bukan tugas kamu” ucap salah seorang rekan Ratna.
“Aku tidak betah melihat ini, kotor” ucap Ibu Rahma yang masih sibuk menyikat WC. Perjuangannya bekerja sebagai buruh pabrik selama 1 tahun tidak sia-sia, atasannya sangat puas melihat etos kerja ibu Rahma yang tinggi hingga dalam 1 tahun ia diangkat menjadi supervisor dan pada tahun berikutnya di promosikan menjadi asisten menejer. Ibu Rahma adalah seorang pembelajar yang sangat baik, ketika ia menjabat sebagai asisten menejer, ia lagi-lagi menunjukkan etos kerja yang tinggi dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Ia belajar dan bermusyawarah memecahkan berbagai permasalahan yang terjadi di pabrik hingga ia mendapatkan banyak ilmu selama berkiprah di pabrik tersebut. 10 tahun sesudahnya, Ibu Rahma membangun pabrik sendiri dengan produk dan brand yang berbeda. Atasannya mendukung keputusan Ratna dan membantu dalam segala proses yang dilalui. Kini dua pabrik itu bukan lah menjadi saingan namun menjadi 2 partner yang saling bekerja sama.
Etos kerja yang tinggi dan fokusnya ia meniti karir pada pekerjaannya adalah pantulan dari rasa kekecewaan dan sakit hati yang ia terima dari suaminya. Ibu Rahma memiliki emosi yang positif, ia mengalihkan rasa sakitnya menjadi sebuah prestasi. Meskipun pada bulan-bulan itu ia banyak meninggalkan Rahma untuk bekerja yang saat itu Rahma masih kecil. Bagi Ibu Rahma, kebencian dan dendam bukanlah jalan keluar untuk takdir yang kala itu ia terima. Marahnya ia, dendamnya ia tidak akan menjadikan suaminya sadar diri dan kembali atau kondisi keuangannya akan membaik. Bukan. Energi dar rasa marah dan dendam harusnya dialihkan menjadi kegiatan yang positif yang membawa kebaikan pada kehidupan yang dilalulinya saat itu. Memaafkan dan menerima. Ibu Rahma yakin bahwa dalam setiap rasa sakit yang ia terima dari takdirnya akan beriringan dengan kebahagiaan. Allah memberikan masalah beserta dengan solusinya, asal dapat jernih membaca setiap titik persoalan maka jalan keluar itu akan terlihat segera.
“Rahma, cowok yang tadi antar kamu itu siapa ya sayang?” Ibu nya muncul dari balik pintu membawakan minyak untuk memijit badan Rahma.
“Oh itu, yang bawa tas Rahma namanya Deni, yang satunya Dido. Mereka teman satu sekolah dan kami juga sama sama ikut kegiatan memanah”
“Hm,,,, ko baik sekali ya? Jangan-jangan.....” ucap ibunya menggoda Rahma. Sudah lama sekali rumah mereka tak dikunjungi teman-teman sekolah Rahma. Sejak Rahma sakit dan ia menjadi begitu ekslusif. Rahma berinteraksi dengan teman hanya di sekolah, selebihnya ia mendekam di rumah dan bermain dengan hewan-hewan peliharannya, kelinci, ayam, kucing, dan tanaman-tanaman yang ia tanam di kebun belakang rumahnya. Rahma kehilangan rasa bagaimana serunya berteman. Hidupnya menjadi sepi namun meskipun begitu, ia bahagia karena ada seorang ibu yang begitu menyayanginya. Ia begitu menghargai kehidupan yang ia terima saat ini. Benar apa yang pernah ibunya katakan bahwa setiap hidup adalah berharga, termasuk hidupnya. Jika bukan bagi diri sendiri, bisa saja hidup kita berharga bagi orang lain, orang yang menyayangi kita. Emosi sebesar dendam dan kebencian hendaknya dialihkan menjadi sesuatu yang positif. Itulah pelajaran besar yang Rahma dapat dari ibunya. Bukan hanya bagi seorang istri, sebagai seorang anak Rahma pun marah kepada ayahnya. Pergi meninggalkannya demi perempuan lain bahkan hingga saat ini tak ada satu pun kabar yang ia terima tentang ayahnya atau tak sepeserpun uang yang ia dapat sebagai nafkah ayah kepada anak. Rahma yakin rasa marah dan dendamnya tidak akan seberapa dengan marah dan dendam yang ibunya rasakan, namun jika ibunya saja mampu untuk mengendalikan diri dan berdamai dengan segalanya, kenapa ia tidak? Lagi pula kini ia sudah mendapatkan ganti akan apa yang hilang darinya. Hidupnya kini sudah tercukupi dan bagi Rahma, ibunya juga berperan rangkap sekaligus sebagai seorang ayah. Ia tidak ingin menambah penderitaan ibunya dengan merengek atau menanyakan ayah yang mungkin itu akan mengorek luka hati ibunya yang sempat mengering. Bagi mereka bedua saja sudah cukup.
“Apaan sih mama... kita cuma berteman” Rahma merengek manja. Tapi ibunya tahu ada rasa gembira dalam hati putri semata wayangnya.
“Loh mama tahu kalian berteman, memangnya kamu mengira mama mengira apa....?”
“Ihh mamaa..........” Rahma semakin terpojok. Ia salah tingkah di hadapan ibunya. Rahma memang merasa gembira dengan teman-teman barunya yang baik. Ini sudah kali keberapa ia terima kebaikan terutama dari Deni, dari yang pertama semenjak Deni membiarkan dirinya mengambil novel yang hendak Deni beli, kemudian ia mengajari memanah dan ia mengantar Rahma pulang ke rumah karena ia terluka. Meskipun begitu ia juga harus menjaga hati dan perasaannya. Cinta memang rasa yang indah namun jika ia tidak tepat mengelola rasa itu, atau jika memang belum saatnya untuk ia biarkan tumbuh, Rahma lebih senang untuk mengubur dan melupakannya. Ia tidak ingin rasa bahagianya memiliki teman menjadi hancur karena rasa cinta yang tak terbalas oleh pemilik cinta.
“Kapan-kapan mama ingin mengajak mereka makan siang di rumah” ucap Ratna seraya memijit punggung putrinya.
“Ya nanti kalau ada waktu yang pas, Rahma ajak mereka ke rumah buat makan siang” jawabnya. Dalam benak Rahma, ia sadar tidak akan secepat itu untuk mengundang mereka. Rahma harus memastikan bahwa Deni dan Dido benar akan menjadi teman yang baik selamanya, tidak hanya sebatas orang-orang baik yang mampir dalam episode kehidupannya. Orang-orang yang datang kemudian langsung menghilang tak diketahui jejaknya. Ia harus memastikan itu agar mamanya tidak berekspetasi tinggi tentang teman-teman putrinya.