Deni berharap hari ini tetap akan bahagia meskipun pagi tadi ia terlibat sedikit pertengkaran kecil dengan ayahnya. Selalu begitu, sesama lelaki mereka sama-sama berprinsip. Ayah yang ingin tetap dihormati dan Deni patuh dengan segala yang diiinstruksikan ayahnya sedangkan Deni yang kehilangan sosok seorang ibu, merasa kesepian, cenderung memaksakan keinginannya karena ia merasa ayahnya tak sejalan lagi. Masalah hari ini adalah ketika ayahnya tahu bahwa Deni mengikuti ekstrakurikuler karate. Tentu saja itu tidak bisa dihindari ketika pakaian latihan karate berwarna putih-putih milik Deni sedang dijemur oleh mbok Ran.
“Ayah itu berlebihan, karate itu tidak sama dengan berkelahi yah. Itu hanya latihan bela diri” jelas Deni yang sebenarnya ia tidak ingin adu mulut dengan ayahnya dipagi yang cerah ini.
“Memangnya kamu mau membela diri dari siapa, dari apa?” suasana makan pagi kali ini tidak hanya ramai oleh dentingan sendok dan piring.
“Ya siapa tahu......”
“Siapa tahu apa?” belum sempat Deni menyelesaikan kalimatnya, ayahnya langsung memotong. Deni tak tahan lagi. Ia membanting sendok tepat di atas piring sarapan hingga menimbulkan suara yang gaduh. Mbok Ran yang pura-pura sibuk di dapur merasa was-was khawatir akan terjadi amukan di rumah ini. Sudah beberapa bulan tepatnya setelah ibu Deni meninggal dunia, rumah yang ia tempati menjadi beku. Tak ada lagi kehangatan. Tak ada lagi gelak tawa. Kedua laki-laki yang ada di rumah itu cenderung untuk menutup diri. menghibur diri dari rasa kesepian yang sama-sama mendera hidupnya. Seandainya sedikit saja ada mau mengulur keegoisan, mungkin badai salju dan rasa dingin itu akan meleleh sedikit demi sedikit. Sayangnya kedua lelaki itu adalah lelaki yang berprinsip.
“Cukup ayah. Sampai kapan ayah akan mengerti? Sampai kapan ayah akan buta seperti ini. Deni bukan anak nakal yang seperti ayah takutkan. Ayah mungkin lupa kalau Deni sudah remaja” Deni langsung bangkit dari kursinya, mengambil tas yang berisi perlengkapan latihan hari ini. ia mengakhiri sarapan paginya yang baru setengah dilahapnya dengan perasaan marah. Tentu saja ia marah. Namun dalam benak Deni, ia tak sadar marah bukan yang harus ia lakukan saat ini.
Deni menaiki sepeda motor yang terparkir di halaman. Udara pagi menyapa lembut, aroma daun masih menyerbak dibungkus cahaya yang menebar kehangatan. Jalanan kota masih belum terlalu macet. Tentu saja orang-orang lebih memilih bersantai di rumah pada pagi weekend yang cerah ini, sedangkan Deni dan beberapa orang lainnya harus menghadiri latihan ekstrakurikuler memanah di sekolah.
Dalam perjalanan menuju sekolah, tak sengaja bulir hangat menggenang di sudut matanya. Ia merindukan ibunya. Ia rindu ketika ibunya menghapus air mata disaat ia menangis. Seandainya ada ibu, mungkin ayahnya tidak setempramen ini atau bahkan dirinya pun bisa lebih stabil. Deni sadar beberapa waktu terakhir ia sering telibat pertengkaran kecil dengan ayahnya. Sebagai ayah dan anak, tentu Deni tidak ingin ini berjalan terus menerus.
Setibanya diparkiran sekolah, Dido menyambutnya lebih dulu.
“Hei, kenapa pagi-pagi ko cemberut gitu. Den, pagi yang cerah ini terlalu indah kalau kamu sambut dengan wajahmu yang begitu”
“Seperti biasa Do” Deni mengunci ganda motor matic nya.
“Kamu bertengkar lagi sama ayahmu?” Dido menjejari langkah Deni yang mulai berjalan meninggalkannya.
“Ya begitulah”
“Hm....”
Deni mengambil busur dan anak panah miliknya. Setiap sabtu pagi ia harus berlatih memanah. Sebelum latihan dimulai intruktur memerintahkan peserta untuk berlari mengelilingi lapangan sebanyak 3 kali. Deni dan Dido berlari berdampingan. Ektrakurikuler ini terbuka juga untuk umum sehingga selain diikuti para siswa SMA 1 juga diikuti oleh orang-orang yang tidak mereka kenal.
Selanjutnya Deni dan Dido melakukan peregangan. Mereka berdiri di tepi lapangan seraya memperhatikan para anggota kegiatan memanah ini. Ini adalah pertemuan perdana mereka.
“Hei......” panggil seorang gadis dari arah belakang. Deni dan Dido segera menoleh ketika ia melihat gadis dengan gaya dua kuncir yang berdiri di belakang mereka.
“Eh.... Rahma ya?” ucap Dido menyambutnya ramah.
“Apakah aku bisa bergabung dengan kalian. Jujur tidak banyak yang aku kenal di sini” ucapnya ragu-ragu.
“Boleh. Kamu bisa bergabung dengan kami di sini” Deni mempersilakan dengan memberikan senyum kepercayaan pada Rahma. “Kamu sudah lari?” tanyanya.
“Sudah. Aku hanya perlu melakukan peregangan seperti kalian”
Rahma berdiri di samping Deni dan melakukan beberapa peregangan seperti yang lainnya. Pada latihan perdana ini setiap orang diminta untuk membentuk kelompok-kelompok dengan satu target untuk memanah. Dido sudah memilih satu terget yang akan mereka gunakan untuk memanah nanti.
“Baik semuanya, mari kita mulai latihan hari ini. Semuanya silakan berkumpul di sini” Seorang instruktur mulai memberikan arahan. Anggota latihan diminta berdiri melingkari instruktur. Mereka tidak mengenal instruktur yang ada di hadapannya. Kegiatan memanah ini masih tergolong baru. Ini adalah tahun kedua dan pihak sekolah sengaja mendatangkan pelatih dari luar yang sudah memiliki kompetensi dalam bidang memanah.
Kegiatan pertama adalah perkenalan. Setidaknya antar anggota harus tahu siapa yang menjadi bagian dari kegiatan memanah ini. Dari SMA 1 tidak banyak yang mereka kenal, namun selain ketiga orang itu, Deni melihat ada sosok gadis lain yang merupakan siswa SMA 1 sedang berdiri di sebrang sana. Sosok yang dikenalnya, meskipun Deni yakin gadis itu tidak akan mengenalnya. Namun Deni merasa gadis itu sedang tersenyum ke arahnya. Meskipun begitu apapun yang dilakukan gadis itu tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi pada hidupnya. Deni semakin heran ketika semakin lama, senyum gadis itu semakin lebar. Hingga Deni menoleh ke belakang dan ia tahu bahwa gadis itu tersenyum ke arah Rahma yang sedang berdiri di belakangnya. Deni merasa kikuk karenanya.
Instruktur memberi penjelasan tentang sejarah perpanahan, hingga diakhiri dengan teknik-teknik dalam memanah. Cara memegang busur dan anak panah, cara meletakkan busur, melipat jari, berdiri, mengarahkan tenaga, mengatur fokus dan seterusnya. Ketika penjelasan selesai, mereka berpencar dan sesuai kelompok yang sudah mereka tentukan sendiri. Mereka berkumpul untuk mendengarkan materi dari instruktur. Deni berdiri menjejari posisi Rahma. Sejak pertama kali ia menemukan pengumuman mengenai pendaftaran ekstrakurikuler memanah ini, ia sudah sangat tertarik. Deni sangat bersemangat dalam belajar.
Deni mencoba melepaskan anak panah pertamanya, ia mengikuti petunjuk instruktur. Dengan posisi tegap, Deni menarik busur dan memicingkan mata kirinya. Ia memusatkan konsentrasi, mengerahkan tenaga, dan kemudian melepaskan anak busurnya. Bidikannya memang masih belum mencapai target namun tidak buruk untuk seorang pemula. Dari target pusat bernomor 1, anak panah Deni melesat menghunus tepat di nomor 3.
“Lumayan Den” ucap Dido dari belakang Deni. Bagi mereka berdua memanah adalah hal yang sangat baru.
“Dido, Deni, apakah temanku boleh bergabung bersama kita?” Rahma mendekat dengan ragu setelah beberapa waktu mengobrol dengan sosok yang baru saja membuatnya kikuk.
Dido dan Deni berpandangan sejenak dan ketika melihat Ika berdisi di sampingnya, wajah Dido langsung berubah.
“Oh boleh, silakan. Sangat terbuka, siapa saja boleh bergabung” ucap Dido menyambut hangat kedatangan Ika. “Iya kan Den?” Dido menyikut Deni yang tek bergeming sedikitpun. “Den!” ucap Dido sekali lagi.
“Iya” ucap Deni pendek, kemudian ia kembali fokus mengecek beberapa anak panahnya.
“Aku rasa kalian sudah kenal ya...”
“Ya aku sih tahu namanya, tapi belum tentu Ika tahu nama aku kan” ucap Dido, ketiganya langsung tertawa.
Selain cantik dan ramah, Ika juga merupakan siswa yang cerdas. Ia banyak dibicarakan dikalangan guru dan murid karena nilai ulangannya yang hampir selalu sempurna. Ia merupakan anggota OSIS yang aktif. Hampir seluruh siswa kelas 10 mengenal Ika.
“Ika” ucapnya seraya melambaikan tangan ke arah Dido.
“Dido” ucapnya seraya mambalas lambaian Ika. “Dan ini temen aku namanya Deni” Dido menarik tubuh Deni untuk bergabung dalam percakapan mereka. Ika kembali melambaikan tangan kepada Deni mengajak bersalaman dan Deni pun membalasnya meskipun dengan ragu-ragu.
“Oke, kalau begitu bagaimana kalau kita mulai latihan kita hari ini” ucap Dido mencairkan suasana. Entah kenapa ia merasa ada yang berbeda dengan Deni setelah Ika datang.
Semua berpencar dan mempersiapkan alat perlengkapan masing-masing. Setelah Deni meluncurkan anak panahnya tadi, kini giliran Dido yang membidik. Ia berdiri tepat menghadap target dan setelah mempraktikkan cara-cara yang disebutkan instruktur pada penjelasan tadi, Dido melepaskan anak panah pertamanya. Cus... anak panah melesat mengenai target namun jauh dari target pusat bernomor 1 yaitu nomor 4.
“Lumayan untuk seorang pemula” ucap Ika seraya tersenyum ke arah Dido.
Di sebelah Dido, Ika sudah siap dengan busur dan anak panahnya. Ia mengatur letak anak panah dan memastikan tidak akan melukai jarinya saat meluncur nanti. Butuh waktu beberapa detik untuk Ika mengatur kefokusan agar bidikannya tepat sasaran. Hasil bidikan Ika tertancap tepat di samping Deni namun lebih dekat dengan terget nomor satu, yaitu nomor 2. Hasil bidikannya lebih baik dari bidikan Deni.
Dido dan Rahma terkesima melihatnya. Ika terlihat agak kecewa bidikannya masih belum berhasil mencapai target nomor satu sedangkan Deni tak bereaksi apapun melihat hasil bidikan Ika. Meskipun dalam hatinya ia berkata lain.
“Kamu keren sekali Ika” ucap Rahma sambil tersenyum.
Semua orang tau bahwa Ika memang bukan orang biasa. Selain cerdas, Ika juga jago pada bidang olah raga renang dan voli, itulah sebabnya iya menjadi idola dimanapun ia berada.
Kali ini giliran Ika. Ia berdiri menghadap terget dengan anak panah yang disiapkan. Ketiganya memperhatikan Rahma dari belakang, ketika ada teknik-teknik yang belum sesuai Ika hendak membetulkan posisi Rahma namun Deni menyergap lebih dulu.
“Rahma, kamu harus harus meletakkan anak panahnya diatas ibu jari kamu” Deni mencoba memperbaiki cara Rahma memanah. Meskipun mereka sama-sama baru belajar namun Rahma memang lemah dalam bidang olah raga. Tubuhnya cepat lelah dan kurang gesit. Tidak setangkas yang lain, tidak lentur.
“Seperti ini?” tanya Rahma. Deni meraih tangan Rahma dan membetulkan posisi jari jemari Rahma. Ika terpana melihat pemandangan itu. Ika mengenal Rahma dengan baik. Di sekolah hanya beberapa orang saja yang berteman dengan Rahma karena Rahma lebih suka menyendiri. Rahma tidak seperti siswa yang lainnya. Ia sadar bahwa tubuhnya lemah dan tidak bisa melakukan banyak aktivitas. Sekali saja tubuhnya kelelahan, ia harus istirahat berhari-hari untuk kembali memulihkan tenaganya. Penampilan Rahma dengan kacamata bulat besar dan berlensa tebal serta rambutnya yang selalu dikuncir dianggap sebagai siswa kuno zaman ini. Ia terlihat culun sehingga tidak banyak yang ingin menjadi temannya. Namun kali ini Ika melihat pemandangan yang berbeda. Ia melihat Deni begitu peduli dengan Rahma. Tidak peduli bagaimana culunnya penampilan Rahma, Deni tetap membantunya. Sama seperti Ika yang baik terhadapnya hanya saja Ika tidak bisa selalu bersama Rahma karena aktivitas mereka yang berbeda. Tetapi Ika tidak malu berteman dengan Rahma. Dalam hatinya Ika bersyukur bahwa Deni dan Dido adalah dua orang yang baik. Mereka berdua mau berteman dengan Rahma disaat orang lain banyak yang menghindarinya. Dalam pandangan Ika, Rahma tersenyum bahagia dan dalam hatinya ia ingin mengucapkan terima kasih pada Deni dan Dido.
“Mereka pacaran ya” tanya Ika spontan. Sebenarnya ia hanya basa-basi. Ia tidak bisa menahan pertanyaannya kali ini.
“Hah? Tidak. Bahkan Deni baru mengenal Rahma kemarin sore” jawab Dido yang tetap fokus dengan anak panahnya. Ika hampir tidak percaya dengan jawaban Dido. Baru kenal satu hari saja Deni sangat baik terhadap Rahma. Ika tersenyum melihat keduanya.
Jam latihan berakhir. Semua anggota membubarkan diri kecuali mereka berempat. Deni meminta tambahan waktu untuk terus berlatih membidikan beberapa kali lagi anak panahnya. Sedangkan Ika, Rahma, dan Dido mengambil posisi istirahat di tepi lapangan. Karena mereka belum terbiasa menarik busur, memfokuskan terget anak panah itu ternyata cukup menguras tenaga mereka.
Lapangan sekolah tidak cukup untuk menampung semua kegiatan ektrakurikuler dalam satu waktu, maka kegiatan ektrakurikuler dilakukan dengan jadwal agar dapat bergantian dalam menggunakan lapangan. Siswa-siswa anggota ektrakurikuler basket sudah mulai berdatangan. Mereka akan menggunakan lapangan yang tadi digunakan latihan memanah. Deni menggeser target panahnya ke tepi lapangan sehingga ia tidak mengganggu aktivitas orang lain. Beberapa anggota basket mulai melakukan pemanasan dan mulai melakukan dribling bola.
“Deni, ayo!. Lapangan akan digunakan anak basket” Rahma berjalan di tepi lapangan ke arah Deni seraya membawakan botol minum. Deni menoleh dan melihat Rahma yang berjalan mendekat ke arahnya. Namun sedetik kemudian Rahma tak sadarkan diri. Kepalanya terbentur oleh bola basket yang melayang ke arahnya. Deni, Ika, dan Dido segera berlari menuju Rahma. Kacamatanya terlempat dan menyisakan beberapa retakkan tepat pada lensanya.
“Rahma, kamu tidak apa-apa? Rahma bangun!” Deni mencoba membangunkan Rahma. Ia menepuk-nepuk pipi Rahma yang putih namun tak ada reaksi.
“Den, kita harus segera membawanya ke UKS” ucap Ika.
“Mampus, makanya kalau jalan lihat-lihat” ucap Gatot. Ia merupakan salah satu anggota dari komplotan Gilang.
“Hei....” kali ini Deni tidak bisa menahan amarahnya. Ia kesal, bukannya meminta maaf, Gatot justru memaki-maki Rahma yang tidak bersalah. Deni langsung berdiri dan mencengkeram kerah baju Gatot. Suasana tiba-tiba memanas. Ika dan Dido sudah was-was khawatir akan pecah perkelahian. Ini akan menjadi kondisi yang buruk.
Gilang berdiri tepat di belakang Gatot. Kerah baju Deni dicengkeram balik. Ketika mata Deni bertatapan dengan mata Gilang, dengan kuat Deni melepaskan cengkraman Gatot pada bajunya. Ia menghindari perkelahian. Masih belum saatnya. Ia masih terlalu lemah untuk melawan. Ia masih butuh mengumpulkan kekuatan. Bukan berarti ia menjadi pengecut, namun ia perlu mengatur strategi agar justru tidak merugikan dirinya.
Deni mundur dan membawa tubuh Rahma menuju UKS.
“Do, tolong bawa tas Rahma. Bawa ke UKS”
“Oke” ucap Dido langsung berlari ke tempatnya tadi istirahat. Ika berlari mengikuti Dido untuk mengambil tas miliknya dan milik Deni. Mereka berdua langsung menyusul Deni ke UKS. Untungnya penjaga UKS stanby dihari Sabtu sehingga Rahma bisa segera ditangani.
Deni menggeletakan tubuh Rahma di ranjang dengan seprai warna putih. Benturan itu cukup keras sehingga menghilangkan kesadaran Rahma. Penjaga UKS mengecek bagian kepala Rahma memastikan apakah ada luka luar. Ia juga menyodorkan minyak angin ke hidung Rahma agar Rahma bisa sadarkan diri. Deni hanya bisa menatap Rahma dari jarak satu meter. Ia menggenggam kacamata Rahma yang retak. Bayangan Fajar tiba-tiba berkelebat dalam mata Deni. Kacamata yang digenggamnya mengingatkan ia pada Fajar juga pada ibunya. Dahulu ibunya pun sering pingsan tiba-tiba dan saat itu Deni akan merasa sangat ketakutan. Ia takut ibunya tidak bisa bangun lagi, selamanya.
Deni terduduk di ruang tunggu UKS. Disudut matanya terbentuk genangan bening. Tiba-tiba ia rindu kakak dan ibunya dan Gilang lagi-lagi kembali menyulut api kemarahannya. Dendamnya belum terbalas. Ia harus berusaha keras untuk menjadi kuat, untuk membalaskan dendam kematian Fajar.
Dari jarak beberapa meter Ika menangkap genangan air mata di sudut mata Deni. Meskipun Deni tidak membiarkannya menetes tapi Ika tahu Deni hampir menangis. Ika ingin tahu kenapa Deni menangis, sebelum ia berhasil melontarkan pertanyaan, penjaga UKS sudah duluan membuyarkan lamunan Deni.
“Ika, Rahma sudah sadar” Ucap seorang penjaga UKS
“Rahma apakah kau baik-baik saja?” tanya Ika yang sama terlihat cemas.
“Ika. Aku baik-baik saja. Tadi kepalaku sakit sekali” jawab Rahma. Deni yang beridiri di belakang Ika, tersenyum ke arah Rahma kemudian ia mengulurkan kacamata Rahma yang pecah karena terlempar saat ia terjatuh tadi.
“Ini pecah, maaf” Deni sedih melihat beberapa retakkan tepat di lensa kacamata itu.
Tiba-tiba Deni teringat akan masa kecilnya. Ketika ia berumur 7 tahun, saat ia tengah bermain dengan Fajar, secara tidak sengaja Deni menindih kacamata Fajar. Deni menyembunyikannya dan membuat seluruh keluarga mencari kacamata itu hingga akhirnya ia mengaku salah dan ibunya sempat memerahinya meskipun sebentar. Karena ulahnya yang tidak sengaja, Fajar menjadi kesulitan melihat. Retakkan kaca tepat pada bagian bidang pandangnya membuat ia yang sulit melihat menjadi semakin sulit lagi. Hingga sampai dibelikan kaca mata yang baru Deni harus menuntun dan membantu agar tidak menabrak benda-benda di hadapannya.
“Tidak apa-apa” ucapnya sambil tersenyum. Ia tahu setelah ini ibunya akan mengomel terlebih dahulu sebelum membelikannya kacamata yang baru. Dalam setahun ini hampir 5 kali Rahma kehilangan atau merusak kacamata hingga akhirnya ibunya membelikan kacamata dengan tali yang menggantung di lehernya.
Deni membalikkan badan dan keluar dari ruangan. Ia melangkah menemui Dido yang sedang duduk di ruang tunggu. Ika mengajaknya ngobrol di dalam sana.
“Bagaimana kondisi Rahma Den?” tanya Dido.
“Dia sudah sadar” Deni duduk di samping Dido dan menyenderkan tubuhnya ke kursi. “Do kamu bawa mobil?”
“Bawa” Dido mengangguk.
“Kita harus mengantar Rahma Do. Kamu bisa kan?”
“Bisa...”
Sudah diputuskan. Deni masuk kembali ke ruangan. Rahma masih bercakap dengan Ika. Kali ini wajahnya terlihat lebih ceria.
“Den, aku bakal antar Rahma pulang” ucap Ika kepada Deni.
“Aku sama Dido yang bakal antar Rahma pulang. Dido bawa mobil”
“Oh oke” Jawab Ika dengan nada agak kecewa namun tetap tersenyum. Ika merasakan sesuatu yang berbeda dari Deni. Ia tahu bahwa Deni adalah orang yang sangat baik bahkan pada Rahma orang yang baru dikenalnya kemarin sore, ia senang berteman dengan Deni bahkan pada saat kejadian yang memanas tadi ia bersyukur Deni memilih untuk menghindari perkelahian. Ia tahu bukan karena Deni takut namun karena itu adalah keputusan terbaik agar tidak terjadi masalah yang lebih rumit dan hal yang tidak diinginkan. Dari penglihatannya yang kasat mata, ia tahu bahwa Deni adalah seseorang yang berkarakter.
Ika membantu Rahma untuk berjalan. Deni membawa tas Rahma berjalan di belakang kedua gadis itu sedangkan Dido sudah duluan menuju parkiran menyiapkan mobil. Rahma berterima kasih pada Ika karena sudah membantunya. Ia juga senang karena hari ini ia bisa berkomunikasi dengan Ika. Rahma tahu bahwa Ika adalah orang yang baik terhadapnya tapi karena Ika sangat sibuk dengan aktivitasnya, ia menyadari bahwa Rahma tidak bisa selalu bersama Ika.
“Hati-hati di jalan ya...” Ika melambaikan tangan ketika mobil Dido mulai menjauh membawa mereka bertiga.
Rumah Rahma tidak terlalu jauh dari sekolah. Juga Deni baru menyadari bahwa rumahnya dengan Rahma masih dalam komplek yang sama. Deni duduk di bangku depan bersama Dido sedangkan Rahma menyandarkan tubuhnya di bangku belakang. Kepalanya masih terasa nyut-nyutan meskipun itu jauh lebih baik dari sebelumnya. Rahma memejamkan matanya sejenak untuk beristirahat, bahkan ia lupa siapa barusan yang sudah melemparkan bola mengenai kepalanya. Rahma tak peduli lagi bahkan Rahma tidak menanyakan kelanjutan dari kejadian tadi.
“Terima kasih sudah mengantar Rahma. Masuk dulu yuk.... minum dulu” ucap ibu Rahma seraya menuntun putrinya masuk ke dalam.
“Iy....”
“Terima kasih tante. Tapi kami harus segera pulang karena ada hal yang harus kami kerjakan” Deni mengambil alih jawaban. Ia menyikut tangan Dido. Deni membawakan tas Rahma dan meletakkannya di ruang tamu.
“Iyya tante” ucapnya dengan nada terpaksa. Deni dan Dido segera masuk ke dalam mobil setelah berpamitan pulang.
“Masuk dulu saja” kali ini Ika angkat bicara.
Sedangkan keduanya hanya tersenyum dan dibalas dengan senyuman ibu Rahma tanda setuju. Ia tidak akan memaksa.
Deni dan Dido kembali masuk ke mobil Dido.
“Den, kenapa sih kamu baik banget sama Rahma? Kamu suka ya sama Rahma?” Dido mengintrogasi. Ia teringat pertanyaan Ika pada saat latihan memanah yang mengira bahwa Deni dan Rahma pacaran. Sebenarnya memang masih belum dapat disimpulkan bahwa mereka pacaran hanya saja Dido memastikan apakah Deni menyukai Rahma?
“Mana mungkin sih Do aku suka sama cewek yang baru ketemu kemarin sore” Deni menyandarkan kepala ke jok mobil Dido. Ia merasa cukup lelah hari ini.
“Eh ada kali kasus cinta yang terjadi pada pandangan pertama”
“Iya aku tahu, tapi aku bukan tipe orang yang seperti itu”
“Terus kenapa kamu baik banget sama Rahma?”
“Memangnya kita tidak boleh baik sama orang?”
“Bukan begitu Den, menurutku ini hal yang tidak biasa. Sudahlah jawab saja?”
“Stop Do....” Deni memberi instruksi mendadak. “Aku turun di sini”
“Ngapain?” Dido kaget dan ia mengerem mendadak.
“Ini rumah aku. Thanks ya Do”
“Jadi rumah kalian deketan? Den kamu tidak mau ajak aku mampir ke rumah kamu?”
“Kapan-kapan aku ajak. Good bye Do” Ucap Deni sambil menghilang dari balik gerbang rumahnya yang tinggi dan tertutup.
“Motor kamu bagaimana?” Dido agak berteriak saat Deni langsung keluar dari mobilnya tanpa basa-basi lagi.
“Nanti sore aku ambil” jawabnya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dido.
“Den....” Deni keburu menghilang dari pandangan Dido. Dengan agak kesal Dido kembali melanjutkan perjalanannya.