Bel sekolah sudah berbunyi, Deni masih enggan menggerakkan tubuh meninggalkan sekolah. Ia masih menikmati kondisi sekolah yang masih ramai dengan kegiatan ekstrakurikuler. Deni duduk di dekat anak-anak yang sedang latihan karate. Meskipun hari ini bukan jadwal hari latihan Deni, ia ingin datang dan melihat latihan kelompok lain yang sedang berlatih.
Siang menjelang sore. Cuaca di sekolah terasa hangat sisa dari teriknya tadi siang. Sekolah sudah mulai terlihat sepi. Sore itu sudah tidak ada lagi aktivitas organisasi selain karate. Tidak masalah bagi Deni.
“Do titip ya, aku mau ke toilet” Deni melempar tas-nya kepada Dido yang sibuk membaca komik yang kemarin baru dibelinya. Selain buku pelajar, Dido juga membeli beberapa komik yang baru terbit pada minggu ini untuk melengkapi koleksinya.
“Sip” ucap Dido tanpa sedikitpun melirik ke arah Deni.
Letak toilet memang agak belakang dan agak jauh dari tempat-tempat aktivitas siswa. Setelah sekolah bubar, biasanya toilet sepi hanya beberapa orang yang beraktivitas di sana. Namun siang itu Deni mendengar gelak tawa bahagia dari segerombolan siswa. Deni penasaran dan berusaha mendekat. Benar saja, kali ini Gilang dan teman-temannya membuli seorang gadis dengan kaca mata berkepang dua. Gadis yang kemarin, batin Deni. Gadis kelas 10, ia tahu dari tanda yang dikenakannya. Gilang dan teman-temannya saling oper melemparkan tas gadis itu. Postur mereka yang tinggi membuat gadis sulit untuk menggapai tasnya. Dengan tergopoh-gopoh gadis itu berlari kesana kemari untuk mendapatkan kembali tas sekolahnya. Gadis itu sudah meminta dan merengek namun tidak didengarkan. Kali Deni tidak bisa diam saja. Ia harus menolong gadis itu. Deni bersembunyi di balik pintu, ia menunggu waktu yang tepat agar ia bisa lompat dan meraih tas gadis itu. Beberapa menit Deni berdiri. Sebenarnya komplotan Gilang hanya berempat dengan tinggi badan yang tidak jauh berbeda dengannya, jika waktunya pas Deni bisa dengan mudah menggapai dan mengambilnya.
Satu... dua... tiga.... Deni melompat dan ia berhasil memegang tasnya. Tindakan Deni membuat yang lain tercengang, tapi ia tidak peduli. Deni segera menarik tangan gadis itu untuk mengajakanya berlari. Ia masih belum siap menghadapi Gilang dan teman-temannya. Ilmu karatenya masih terlalu sedikit. Untuk saat ini ia masih belum siap untuk membalas serangan Gilang dan kelompoknya jika nanti terjadi perkelahian.
Deni membawa gadis itu ke pinggir lapangan tepat tempat Dido menunggu. Mereka harus segera menuju keramaian karena aksi mereka hanya bisa dilakukan ketika keadaan sepi. Setelah sampai pinggir lapangan Deni merasa lega namun seketika ia terkejut melihat gadis itu terengah-engah sambil memegangi dadanya. Ia terlihat seperti kesakitan.
“Kamu kenapa?” tanya Deni panik. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Gadis itu sesak napas.
“Obat... obat... di tas aku. Obatnya..... “ ucapnya masih terus memegangi dadanya dan mengatur napas. Deni membuka tas gadis itu dan ia menemukan tabung kecil berisi butiran-butiran obat berwarna putih.
“Berapa butir?” Deni membuka tutup tabung.
“Dua...” gadis itu segera menelan 2 butir kecil obat tanpa air. Ia sudah sangat terbiasa dengan obat-obatan. Gadis itu menenangkan dirinya sendir dan mengatur napasnya hingga perlahan membaik. Deni menunggu dengan wajah yang panik. Ia tidak tahu apakah yang ia lakukan tadi adalah sebuah kesalahan? Ia membuka tutup botol minumnya dan menyerahkan pada gadis itu.
“Terima kasih” gadis itu meminum beberapa teguk hingga ia benar-benar tenang. “Terima kasih sudah menolong aku. Rahma kelas 10.4” Gadis mengulurkan tangan pada Deni, mengajak bersalaman.
“Namaku Deni. Kelas 10.6” Deni membalas uluran tangan Rahma. Dido pun ikut berkenalan.
“Kalian tadi kenapa? Seperti habis dikejar setan” tanya Dido heran melihat keduanya tiba-tiba berlari dari arah toilet. Deni menceritakan seluruh rangkaian kejadiannya pada Dido.
“Bagaimana kondisi kamu Rahma? Apakah kamu baik-baik saja?” kali ini Deni membutuhkan penjelasan Rahma.
“Aku baik-baik saja. Maaf sudah membuat kalian khawatir dan sekali lagi terima kasih sudah menolong aku.
Rahma mengingatkan Deni pada ibunya. Ia ingat bahwa ibunya memiliki penyakit asma meskipun jarang kambuh. Rahma yang berkacamata dan Deni pastikan minus Rahma sudah mencapai angka yang besar, hal itu mengingatkannya pada Fajar. Deni melihat Rahma sebagai gadis yang polos dan lugu, wajar saja Gilang dan kawan-kawannya senang menjadikan orang-orang seperti Rahma sebagai bahan bulian.
“Apa mereka sering membuli kamu Rahma?” Deni ingin tahu.
“Tidak juga sih. Tapi dalam satu minggu ini, 3 kali mereka memperlakukan aku seperti itu” ucapnya dengan wajah yang tersenyum.
“Apa? 3 kali?” Dido lebih kaget daripada Deni. Rahma hanya mengangguk. “Mereka keterlaluan banget ya Den... Harus dihajar tuh mereka” Dido terlihat kesal.
“Mereka tidak bisa terus dibiarkan” jawab Deni. Mulai hari ini ia harus bersiap membuka lembaran lama kehidupannya. Sebenarnya ia tak ingin mengungkit luka yang sudah hampir mengering tapi Deni tidak bisa tinggal diam. Semakin ia diam, maka akan semakin banyak korban berjatuhan.
“Kamu pulang sama siapa Rahma?” fokus Deni pindah ke Rahma.
“Aku dijemput sama supir aku. Terima kasih Deni sudah selamatkan aku. Sampai jumpa besok” Rahma bangun dari tempat duduknya dan melambaikan tangan ke arah Deni dan Dido.
Deni dan Dido menatap punggung Rahma yang menjauhi mereka berdua. Ia berjalan tergopoh, Deni tahu lutut Rahma sedikit berdarah setelah sebelumnya jatuh saat mencoba mengambil kembali tasnya dari komplotan Gilang. Kunciran rambut Rahma bergoyang kesana-kemari. Satu yang Deni dapat hari ini akhirnya ia tahu nama gadis itu, Rahma. Bukan karena Deni suka atau menaksir gadis itu, namun gadis itu mengingatkan Deni pada Fajar, kakaknya.
Hati yang tulus, badan yang tegap, jiwa yang kokoh yang selalu ibu harapkan untuk kedua anaknya. Berani untuk mengutarakan kebenaran, menjadi anak kebanggaan ibu dan ayah. Itulah pesan-pesan yang selalu ibu Deni tanamkan kepada kedua anaknya. Di bumi ini, Allah menciptakan manusia dengan fisik yang kuat atau yang lemah namun tidak dengan jiwanya. Setiap jiwa haruslah kuat. Tidak mudah berputus asa, tidak lelah dengan keadaan, atau tidak lalai dengan godaan. Seorang Rahma bisa saja terlihat lemah dengan fisiknya, namun dibalik itu semua, nyatanya jiwanya lebih kuat bahkan dari Deni sendiri. Kelak pada Rahma, Deni akan belajar bahwa pandangan hidup tidaklah sebatas pada titik noktah yang ada di depan sana, namun disebalik titik itu ada warna yang lebih luas untuk hidup yang lebih lapang.