Ditengah sibuknya sekolah dan padatnya tugas-tugas sekolah, Deni masih belum melupakan misi balas dendamnya. Kejadian pembulian hampir terjadi 3x dalam seminggu. Selama itu pula Deni semakin tidak sabar untuk menjadi lebih kuat agar bisa melindungi orang-orang lemah seperti yang selama ini dilihatnya.
Deni memutuskan untuk bergabung bersama ekskul karate dan memanah di sekolahnya. Ia ingin menjadi kuat agar dapat melindungi orang-orang lemah. Ia tak ingin kejadian yang menimpa kakaknya terjadi pada orang lain. Ia ingin menjadi orang yang berdaya. Bukan hanya itu, karate merupakan salah satu cabang olah raga dan dengan begitu badannya akan tetap fit dan bugar. Sudah lama sekali sejak kakaknya meninggal, Deni tak lagi berolahraga, sekedar lari pagi atau bermain bola sore hari di lapangan dekat komplek rumahnya.
Dido memilih untuk bergabung dengan ekskul kelompok ilmiah remaja dan memanah. Ia memang lebih suka bereksperimen di laboratorium daripada beraksi dilapangan yang panas dengan sengatan matahari. Namun untuk memanah, ia cukup tertarik karena dapat melatih kefokusan dan keakuratan. Memanah juga merupakan hal yang jarang ia lihat dalam kehidupan kesehariannya.
Latihan karate dilakukan setiap hari Rabu sore dan minggu pagi sedangkan latihan memanah dilakukan setiap sabtu pagi. Dido dan Deni biasanya bertemu saat latihan memanah. Setelah dari latihan memanah biasanya mereka lanjutkan untuk sekedar jalan-jalan atau makan bersama. Sekolah mereka libur dihari Sabtu dan Minggu, oleh karenanya Sabtu adalah waktu yang paling pas untuk refreshing otak setelah 5 hari berkutat dengan tugas dan materi di sekolah.
“Kamu sudah izin ayahmu buat ikut karate Den?” tanya Dido dalam perjalanan pulang ke sekolah. Kali ini mereka berjalan menuju sebuah mall kecil yang terletak di kotanya. Meskipun ini masih belum akhir pekan, mereka memutuskan untuk pergi ke toko buku dan membeli beberapa buku bacaan entah hanya sebuah novel atau bacaan ringan lainnya. “syarat mendaftar ekskul kan harus ada tanda tangan orang tua kita” lanjut Dido seraya membuka pintu mobilnya.
“Belum” jawab Deni pendek. Ia segera duduk manis di samping Dido. Ia tahu ayahnya tidak akan memberikan izin untuk ikut karate. Semenjak kejadian 8 bulan lalu, ayahnya sangat sensitif dengan kekerasan bahkan hanya untuk sekedar belajar membela diri. Dan mbok Ran yang sudah ia anggap sebagai pengganti ibunya tidak bisa membaca dan menulis. Deni harus mencari jalan bagaimana cara menyalin tanda tangan ayahnya.
Siang itu jalanan kota agak sedikit lengang. Angin yang berhembus pun terasa hangat. Cuaca terasa cukup panas namun itu tidak menghentikkan aktivitas orang-orang untuk mencari rezeki. Sepanjang jalan kota mereka, beberapa kali Deni melihat pemulung sampah yang mengorek-ngorek tempat sampah, yang mereka lakukan masih cukup mulia selagi mereka tidak mencuri atau semacamnya. Atau tukang becak yang terduduk-duduk di becanya sembari terkantuk-kantuk menanti penumpang atau bapak-bapak yang memanggul dagangan yang berat dibahunya. Semua mereka lakukan semata-mata untuk mencari penghidupan, mencari rezeki.
Dalam sanubari Deni, ia menyadari bahwa hidupnya penuh dengan kecukupan. Meskipun tuhan telah mengambil ibu dan kakaknya setidaknya ia masih memilki ayah di dunia ini. Hidup dengan sandang, pangan, dan papan yang sangat berkecukupun, ia harus bersyukur. Ia tahu yakin di luaran sana banyak orang yang lebih berat beban deritanya daripada yang ia rasakan.
Cukup 20 menit saja mereka melakukan perjalanan hingga akhirnya mereka sampai di mall yang mereka tuju. Dido memarkirkan mobilnya di baseman mall. Deni keluar dari mobil Dido hingga matanya berpandangan dengan seorang gadis berkuncir 2 yang parkir di samping mobil Dido. Deni yakin bahwa dia juga merupakan salah satu siswi SMA 1 hanya saja Deni tak pernah berkenalan dengannya.
“Hei ko bengong liat cewek, naksir ya?” goda Dido pada Deni saat gadis itu pergi lebih dulu bersama ibunya.
“Apaan sihí” ucap Deni sedikit menyembunyikan perasaannya.
“Kamu mau aku kenalkan dengan dia?” entah kenapa Dido merasa bersemangat menggoda Deni.
“Memangnya kamu kenal dia?”
“Engga juga sih” jawab Dido, mereka tertawa bersama. “Lagian aku heran ya, dizaman ini masih ada aja cewek cupu seperti dia, rambut dikuncir 2 seperti anak TK saja” kali ini Dido berkomentar. Deni hanya tersenyum. Ya setiap orang pasti punya alasan atas apa yang ia lakukan, ucapnya dalam hati. Ia sedang tak ingin berlama-lama membicarakan perempuan apalagi siswa di sekolah yang sama.
Keduanya berjalan menuju toko buku dan segera memilih beberapa buku yang akan mereka beli. Dido menelusuri buku-buku eksak SMA. Ada beberapa buku mata pelajaran tertentu yang belum ia punya, sedangkan Deni lebih memilih buku-buku dengan genre bacaan ringan. Ada satu buku yang beberapa bulan terakhir ingin ia beli, namun selalu saja tidak sempat. Akhirnya pada kesempatan ini, Deni segera menuju rak yang ia yakin di sanalah buku itu berada.
Satu dua tiga..... jari-jemari Deni menelusuri rak demi rak mencari posisi buku tersebut.
“Ini dia.....” ucap Deni namun ia justru terkejut ketika tangan seorang gadis menabrak tangannya. Ia segera menarik kembali tangannya, pun dengan gadis itu.
“Maaf” ucap gadis itu. Deni terkejut saat melihat gadis berkuncir dua yang ia lihat diparkiran kini sedang berdiri di sampingnya. Rupanya mereka menginginkan buku yang sama sayangnya buku itu hanya tinggal 1.
“Silakan, ambil saja” ucap Deni ramah terhadap gadis itu.
“Kamu saja” gadis itu pun mepersilakan Deni.
“Aku akan beli lain waktu, jadi kamu bisa ambil buku itu”
“Serius?” tanyanya, kali ini ia terlihat lebih ceria.
“Iya” kata Deni.
“Den” Dido menyembulkan kepala memanggil Deni pertanda bahwa ia telah selesai berbelanja. Hanya setengah dari tubuh Deni yang terlihat oleh Dido, ia tidak tahu bahwa Deni sedang mengobrol dengan gadis berkuncir dua yang tadi mereka temui. “Aku harus segera pergi” Deni melangkah meninggalkan gadis itu.
Sore itu memang bukan kejadian yang spesial bagi Deni, namun berbeda hati gadis berkuncir dua itu. Dalam hidupnya, ia sangat menghargai orang-orang yang berbuat baik padanya. Orang lain banyak menyebutnya sebagai gadis culun, cupu, purba atau sebagainya, tentu saja karena gaya dan penampilannya yang terlihat kuno dan kekanak-kanakan. Kacamata tebal bertengger di atas hidungnya. Oleh karenanya tidak banyak yang mau berteman dengannya. Namun disebalik itu, ia memiliki jiwa yang bening, hati yang mulia, dan sangat mencintai perdamaian.
Saat Deni melupakannya begitu saja, namun gadis itu menyimpan dengan rapih dalam memorinya.