Dua bulan sejak kematian Fajar, Deni lebih banyak mengurung diri di kamar. Hanya sekedar bersembunyi dibalik selimut, berjam-jam dalam sehari. Ia keluar kamar hanya untuk makan, itu pun setelah dipaksa oleh Mbok Ran dan dengan porsi yang sedikit sekali. Selama itu pula berat badan Deni turun drastis.
Deni merasa hidupnya telah berakhir. Tanpa kakak dan ibunya, ia merasa hidup ini tak berarti lagi. Ia menderita tekanan yang luar biasa, sayangnya pada kesempatan ini, ayahnya pun mengalami hal yang sama hingga keduanya tak dapat saling menguatkan. Beberapa kali guru sekolah Deni mengunjunginya agar Deni kembali ke sekolah. Namun Deni sudah terlalu rapuh. Ia tak berselera menyelesaikan sekolahnya hingga disuatu pagi hari ia menemukan kembali semangat hidupnya.
“Kenapa Nak? Sini sama Ibu” ibunya mengulurkan kedua tangannya untuk memeluk Deni.
“Ibu.....” Deni terkejut menjumpai ibunya. Ia tak sadar dimana dirinya berada. Ia sangat merindukan ibunya. Ia memeluk ibunya erat menghabiskan rasa rindunya.
“Aku ingin ikut ibu” ucap Deni merengek seperti anak SD.
“Deni kenapa tak ingin sekolah?” ibunya mengalihkan pembicaraan. “Deni sedih karena kak Fajar pergi?” ibunya menatap dalam mata Deni. Ia tak menjawab apa-apa. Hanya ada bulatan bening yang menggembung di sudut mata Deni.
“Dengar Nak, Deni harus sekolah. Anak laki-laki harus kuat dan bisa melindungi orang lain, seperti kak Fajar. Anak laki-laki harus berpendidikan biar bisa bermanfaat bagi orang lain” ucap ibunya. “Deni besok sekolah ya Nak” ibunya tersenyum menenangkan Deni. Senyum ibunya cukup memberikan ketenangan jiwanya yang akhir-akhir ini masih terguncang karena kejadian yang lalu. Ia mengangguk sambil menatap mata ibunya yang bersinar. Ia segera memeluk ibunya dan rasanya tak ingin melepaskan selamanya. Hingga ia terlelap dalam pelukan ibunya, hingga ia tersadar bahwa dirinya masih berada di balik selimut di atas ranjang tidurnya. Mimpi yang indah. Mimpi yang terasa begitu nyata, bertemu ibunya. Kehadiran sosok ibunya dalam mimpi Deni seperti penyuntik semangat kehidupan bagi Deni. Mimpi itu terasa begitu nyata. Sejak saat itulah ibunya lebih sering mengunjungi Deni dalam mimpi-mimpinya.