CHAPTER SIX
Pernah aku jatuh hati, padamu sepenuh hati..
Hiduppun akan kuberi, apapun kan kulalui..
Tapi tak pernah ku bermimpi.. kau tinggalkan aku pergi..
“eeett.. ngapa lagunya gini dah..” aku melirik layar laptopku, Mahen – Pura Pura Lupa.
“lagu baru kayanya. Biarin dah.” Aku kembali melanjutkan aktifitasku merangkum beberapa mata pelajaran sebagai persiapan ujian akhir.
Tanpa tau rasa ini.. ingin rasaku membenci…
Tiba-tiba kamu datang.. saat kau telah dengan dia..
Semakin hancur hatiku…
Jangan datang lagi cinta.. bagaimana aku bisa lupa..
Padahal kau tahu keadannya, kau bukanlah untukku..
Jangan lagi rindu cinta.. ku tak mau ada yang terluka..
Bahagiakan dia.. aku tak apa, biar aku yang pura-pura lupa..
Tanganku kembali terdiam. Aku menghela nafas panjang. Entah karena lagunya atau aku yang memang belum berhasil dengan sempurna mengabaikan kejadian sore tadi.
***
10 menit sebelum waktu janjian.
“lho, Lana, ko cepet banget nyampenya..”
Aku melirik Rama yang baru saja datang dengan senyuman lebar tapi muka penuh tanda tanya. Aku hanya senyum seperlunya.
“kan deket.” Jawabku singkat masih dengan handphone di tangan. Rama duduk persis di kursi depanku. Aku pelan-pelan menarik nafas dalam sambil mengelola irama jantungku yang mulai berdegup tidak menentu.
“serius amat. Chat ama siapa sih.”
“heum? Ini? Kakak gue.”
“oooh tumben. Biasanya kalian telponan terus.”
“berisik soalnya, enakan chatting. Eh uda buru pesen, laper nih gue. Harusnya kan lu yang nyampe duluan.” Kataku dengan nada di-jutek-kan, tapi yang dijutekin malah cengengesan.
“iya, iya. Siap bos.” Kemudian pergi menuju meja kasir. Ketika Rama lewat persis di sampingku, tercium wangi parfume yang lumayan menyengat. Aku tanpa sadar menoleh dan melihatnya dari atas sampai bawah.
Luar biasa! Dia dandan !
Aku berusaha menahan diriku untuk tidak tertawa, entah datang darimana rasa percaya dirinya itu.
Saat makanan datang, kami memulai makan tanpa ada perbicaraan sama sekali.
“ehem. Uhuk.”
Aku menatap Rama bingung. Kenapa lagi ini cowok? Dan melanjutkan makan.
“uhuk uhuk.”
“napa sih lu?”
“ha? Ga papa, serek aja nih.” Sambil memegang tenggorokannya.
“ya minumlah.”
Setelah mengatakan itu, aku menyadari bahwa Rama menatapku beberapa saat. Aku kembali menoleh menatapnya.
“lu kalo ada yang mau diomongin bilang aja.”
“ha? Ah ga ko..”
“ya uda, makan yang bener. Jangan ngeliatin gue aja lu. Risih tau ga.”
“lah pede..”
Aku meliriknya tajam, Rama semakin salting.
“oke, Lana. Gue nyerah.”
Aku menghabiskan suapan terakhirku kemudian fokus kepada Rama.
“napa?”
“lu, yakin, lu ga kenapa-napa?”
Aku mengangguk mantap kemudian meminum teh manis.
“ko, lu tumben amat mau diajak gue makan gini tanpa ngomel atau apapun?”
“jadi, lu maunya gue ngomel?”
“ahaha, ya ga juga siihh.. Cuma gue jadi bingung mau ngapain nih.”
“ya makan, mau ngapain lagi? Aneh luu.. tuh masih banyak. Gue tinggal nih.”
“eh eh eh.. janganlah. Masa lu abis makan langsung pulang. ”
“ya emang mau ngapain lagi?” aku masih bersikap setenang mungkin dan sepolos mungkin. Tehku sudah habis, makanan juga sudah habis. Aku sudah siap untuk memberikan semua yang sudah kusiapkan sejak berangkat tadi.
“lu, ga yakin ada yang mau diomongin ke gue?”
“heeuumm??” aku hanya mengangkat bahu kemudian mengambil handphoneku karena ada chat yang masuk.
“Lana?”
“yeess..” aku menatapnya penuh. Sepenuh yang aku bisa dan aku mampu. Meski dengan begitu, jantungku kembali tidak stabil seperti tadi.
“ngomonglaah..” Rama membuang tatapannya, tidak kuat menatapku terlalu lama.
Baiklah, it’s show time. Aku menarik nafas dalam.
“oke gue ngomong. Tapi ini karena lu yang minta gue ngomong yaa..”
Rama mengangguk mantap. Aku bisa yakin bahwa jantungnya juga sedang berdegup sekencang jantungku, bedanya, dia berdegup karena berharap akan berbahagia, sedangkan aku, berdegup karena takut dan ingin menangis.
“gue ga pernah ada rasa sama lo. Dan, yah, otomatis gue ga bisa menyambut perasaan lo itu.” Aku menaikkan bahu sedikit kemudian kembali melihat ke layar handphone sebentar untuk mengalihkan gugupku, sedangkan Rama masih di posisi yang sama.
“apa?”
“heum?” aku meliriknya.
“tadi lo bilang apa?”
“oh, gue ga pernah ada rasa sama lo. Dan gue ga bisa menyambut perasaan lo. Gitu.”
“Lana?”
“Ya?” aku sedikit terkejut dengan tatapan Rama yang mulai terlihat menusuk.
“Lana lo… Lo apa-apaan sih Lana.”
Aku menatapnya bingung, jangan goyah Lana.
“apa? Kan lo yang minta gue ngomong. Ya, ini yang mau gue omongin.”
“iya tapi.. Lana, lo ga serius kan?”
“menurut lo, sekarang gue bercanda? Gue keliatan bercanda?”
Rama menyelidikiku tapi tidak menemukan apa yang dia cari, dia menghela nafas panjang.
“bukan ini yang mau gue denger Lana.”
Dan bukan ini yang pengen gue omongin. Aku membatin dan berusaha menahan segala rasa yang mulai berkecamuk. Sebentar lagi selesai.
“tapi ini yang mau gue omongin. Gue ga paham dah lu maunya gue ngomong apa.”
Rama melirik tajam kemudian kembali menunduk, “ga mungkin lu ga paham. Lu paham banget.” Gumamnya tanpa benar-benar berusaha disuarakan.
“oke, uda ya gue balik.”
“lo yakin Lana? Lo yakin apa yang lo omongin? Lo ga nyesel?” tangan Rama menghentikan langkahku.
“kayanya ga.” Aku memilih kembali duduk, “gue uda selesai dengan rasa sakit hati gue dengan, yahh, kembaran lo itu. Dan gue belum merasa gue butuh menyukai seseorang saat ini. Gue punya sahabat, punya temen yang berarti, yaa menurut gue uda cukup sih. Keluarga gue juga kasihnya tak terbilang, jadi yah, saat ini cukup.”
Rama terlihat berusaha mencerna, membuang nafasnya dengan berat kemudian, kalimatnya mengakhiri pertemuan ini.
“lo tau Lana, gue berharap, sangat berharap. Lo yang keliatan sering cemburu ama gue, lo yang menunjukkan tanda-tanda bahwa hati lo tuh buat gue, kenapa malah ini yang lo ucapin? Lo ga lagi memaksakan diri lo kan?” Rama melirik sekilas, “ga, lo ga terlihat memaksakan diri. Mungkin dari kemarin itu Cuma perasaan seneng gue aja yang berharap bahwa penantian gue selama ini akhirnya ada hasilnya. Lo yang selama ini ga pernah mau kenal cowok, terus gue berhasil deket ama lo. Wajar kan kalau gue akhirnya berharap? Oke, gue anggep selesai, lo boleh balik, gue masih mau di sini.”
Aku pergi tanpa ragu, tanpa tapi, tanpa menoleh kembali. Aku hanya takut jika aku menoleh, Rama sedang melihatku dan kemudian dia tau bahwa apa yang aku katakan semua barusan adalah kebohongan, lalu, aku harus melihat sahabatku kembali terluka.
Good job Lana!
***
Bahagiakan dia.. aku tak apa..
Biar aku yang pura-pura lupa…
“ck! Tidur aja dah.”
Laptop aku matikan, lampu aku matikan, kemudian aku memilih tidur lebih awal untuk menyambut hari esok dengan sebaik-baiknya.
Seminggu setelah kejadian.
Selama di sekolah aku tidak melihat ada perubahan yang berarti. Rama masih suka menyapaku walaupun terkadang ia terlihat sekali ingin menghindariku, dengan Arra aku juga melihat ada yang berbeda. Tapi anehnya, ini bukan berbeda yang positif, lebih ke arah negatif justru kalau aku boleh bilang.
Rama mulai ber-gue-elo lagi dengan Arra, walaupun awalnya Arra terlihat agak terkejut tapi lama-lama dia terlihat terbiasa. Mereka juga tidak seaneh dulu tingkahnya, bahkan malah terlihat agak tidak dekat.
Aku ingin bertanya, tapi hatiku tidak mau tahu. Aku merasa kasihan dengan Arra walaupun ia belum pernah menceritakan apapun lagi terkait Rama, tapi di satu sisi aku bersyukur dengan jarak yang tercipta antara mereka.
Ko aku terlihat egois?
Aku menarik nafas panjang.
“kayanya kamu punya masalah berat banget Lana.”
“hah? Apa?” aku lumayan terkejut dengan kalimat tiba-tiba yang dilontarkan Arra.
Ah iya! Kami sedang makan siang, apa dia sadar dari tadi kalau aku memperhatikan Rama? Semoga tidak..
“hahaha, gaa.. ga papa ko, aku cuma lagi mikir ini bentar lagi ujian. ”
“kikikiki, lucu banget kamu ngalihin pembicaraannya. Kaya aku baru kenal kamu sebentar aja. ahahaha”
Aku jadi salting dibuatnya, tapi aku memilih tidak menyanggah kalimatnya Arra.
“Kamu… ga ada masalah sama Rayi lagi kan?”
Aku membelalak kaget, tidak percaya Arra akan menyebut nama lelaki sampah itu lagi.
“kamu kan tau aku siapa Arra, apa pernah aku berusaha mengorek kembali luka lamaku?”
Kataku dengan nada dan ekspresi yang sok galak seperti biasanya, walaupun kali ini rasa berdesir setiap mendengar namanya sudah hilang entah kemana. Arra di hadapanku bukannya tertawa atau menimpali dengan candaan semisalnya, kali ini justru terdiam dengan ekspresi yang tidak bisa aku tebak.
Jangan-jangan…
“Arra?? Dia ngubungin kamu?” Arra semakin salah tingkah, “Arra.”
“oke oke santai, jangan nge-gas dulu. Jadi… aku ga tau apa aku boleh ceritain ini ke Lana, karena kata Rama sebaiknya jangan. Eh, bukan sebaiknya, dia malah ngelarang keras aku cerita ke kamu.”
Rama? Ko jadi ada sangkut-pautnya sama Rama?
Arra melirik ke kanan dan kiri, seperti mengecek seseorang ada di sekitar sana atau tidak. Kemudian mencondongkan sedikit badannya ke arahku dan berkata,
“kemarin, Rayi ngubungin aku Lan, dia nyariin kamu.”
Mataku membelalak selebar yang aku bisa, aku hanya melongo. Jantungku berdetak sekali dan rasanya kencang sekali sampai sakitnya bisa aku sadari.
Ga mungkin! Ini ga mungkin!
“dia… semacam minta ijin sama aku buat ketemu kamu. Karena nomermu yang dia tau uda ga aktif, dia mau minta nomermu ke aku..”
Nyariin aku? Setelah entah berapa tahun kami putus hubungan? Oke, belum selama itu juga sih, tapi… what? Are you serious?
“katanya ada yang mau dia sampaikan.. apa mungkin.. kamu mau ketemu dia lagi Lana?”
Aku mengedip sekali, dua kali, kemudian memperhatikan Arra. Mengecek apakah dia sedang berbohong atau tidak, apakah dia sedang bercanda atau tidak. Tapi kali ini sepertinya tidak ada kebohongan dan Arra tidak terlihat sedang bercanda.
“boleh.. aku lihat chatnya?”
Arra yang sedang menunggu jawabanku kemudian seperti tergagap, dia buru-bur ambil handphonenya dan memperlihatkan padaku chat itu.
Aku lihat tanggalnya, sudah hampir seminggu yang lalu.
Tunggu, seminggu yang lalu? Jangan-jangan.. apa mungkin, ini yang membuat hubungan Arra dan Rama jadi tidak benar selama seminggu ini? Apa benar?
“Rama.. apa kata Rama ketika dia tau ini?”
Arra memperlihatkan wajah sedihnya yang berusaha dia sembunyikan.
“Rama marah betul Lan, aku sempet diteriakin sama dia, mungkin dia kaget. Yang aku tau bahkan, mereka berdua berantem di rumah setelah Rama tau kalau Rayi nyari kamu.” Jeda, “kayanya, Rama beneran suka sama kamu deh.”
Aku kembali terbelalak.
Ga! Ga! Ga boleh! Aku harus membahagiakan Arra, ini ga boleh terjadi!
“apa sih lo, mikir yang ga-ga.” Aku mengetik beberapa kata di handphonenya Arra kemudian, “nih, uda gue bales, uda gue kasih nomer gue ke….”
BRAK!!!!
Aku dan Arra sama-sama terlonjak. Meja kami dipukul dengan sangat keras, bahkan aku yakin, seisi kelas sama kagetnya.
“Rama.” Aku melotot kepadanya tidak percaya, bukan karena marah tapi lebih karena kaget. Aku bahkan bisa merasakan deru jantungku yang tidak karuan, antara grogi dan kaget.
Rama bukannya minta maaf sambil tersenyum mengejek seperti biasa, justru memasang ekspresi paling menakutkan yang pernah aku tau. Dia menatapku kemudian menatap Arra, yang ditatap hanya mampu tertunduk ketakutan.
Sekarang aku tau, aku tau betul yang sedang terjadi. Semuanya jadi semakin jelas, dan rasa grogi, khawatir, gugup, takut dan entah apalagi yang sempat menghinggapi tadi berubah menjadi keyakinan dan keberanian yang besar.
“lo. Mau ketemu bajingan itu lagi?”
Rama dengan sangat jelas menekan semua kalimatnya yang menandakan bahwa dia sedang berusaha menahan amarah. Walaupun tidak menatapku, aku tau betul bahwa dia sedang berbicara denganku.
“iya.” Jawabku mantap sambil menatapnya.
Rama langsung menatapku tidak percaya. “kenapa?”
Aku menelan ludah sebelum berani menjawab pertanyaan mencekam itu.
“karena dia mau ketemu gue.”
BRAK!!!
Rama kembali membantingkan meja kami, kali ini bahkan dengan sedikit dorongan. Seisi kelas yang tadinya sudah mulai tenang kembali riuh. Arra yang berada di sampingku semakin gemetar dan terlihat mau menangis, sedangkan Rama terlihat sekali dia belum selesai bicara.
Dia berdisi persis di hadapanku sehingga aku harus mendongakkan kepalaku. Dia menatapku dengan pandangan tidak percaya,
“lo yakin?”
Aku hanya mengangguk.
“jadi, ini alasan lo…”
Aku segera berdiri dan menghentikan kalimatnya sebelum Arra mengetahui apa yang seharusnya tidak dia ketahui. Aku mendekati telinganya dan berbisik dengan kalimat yang sama beratnya dengan yang Rama ucapkan kepadaku sejak tadi
“ini bukan urusan lo, berenti mencampuri urusan gue.”
Kemudian aku sedikit berlari sambil menarik Arra di belakangku untuk menghindari keramaian.
“LANAAA!!!”