CHAPTER FIVE
“Aku menyukainya. Aku suka sama Rama.”
Sekalipun aku sudah tahu bahwa ini yang akan Arra katakan, sekalipun aku sudah berusaha menyiapkan hatiku, ternyata kalimat yang Arra katakan tetap saja terasa sangat menyakitkan hatiku.
“oh ya?” kataku dengan berusaha sebisa mungkin untuk tetap tersenyum.
Saat ini kami sedang berdua saja di kamar, semua barang Arra sudah rapih. Orang tua Arra sedang menyelesaikan administrasi rumah sakit, Rama sedang membeli makan, dan aku sedang di sini mendengarkan setiap perkataan Arra tentang seberapa besar ia akhirnya menyukai Rama.
“ya, aku menyukainya. Hihi, aku tak pernah tahu bahwa aku akan menyukainya. Sikap baiknya, senyumannya, dan semua perhatiannya membuatku menyukainya. Setiap kali pesannya masuk ke handphoneku jantungku seperti berdegup dua kali lebih cepat, apa kau tahu rasanya Lana?”
Aku hanya tersenyum melihatnya, ya, aku tersenyum.
Aku tidak mengatakan apapun, aku hanya mendengarkan semua perkataan Arra. Aku hanya takut, jika aku berbicara, kalimat yang aku keluarkan adalah kalimat tidak suka yang bisa membuatnya salah paham. Maka, aku memilih hanya diam dan tersenyum.
Ini pilihan terbaik, ya, aku yakin ini adalah pilihan terbaik.
“ah, tapi sepertinya Rama menyukaimu Lana.. aku harus bagaimana ya?”
Kini Arra sedikit terlihat murung dan menatapku bingung. Aku yang ditatapnya menjadi salah tingkah,
“eh eh, mana ada. Kata siapa dia suka sama aku? Ga koo.. dia kayanya lagi ga suka sama siapa-siapa.”
“iyakah? Menurutmu begitu? Ku kira, rasa ingin tahunya yang besar selama ini terkait masa lalumu itu menandakan rasa sukanya padamu. Apa aku salah menduga selama ini?”
Aku merasa sakit yang luar biasa di hatiku, semakin lama semakin terasa, hingga aku seperti ingin menangis.
“iya, mungkin kamu salah duga.”
Aku mulai memainkan handphoneku, berusaha mengalihkan diriku yang sebelumnya benar-benar hanya mendengarkan celotehannya Arra. Aku hanya khawatir aku tidak mampu menahannya lebih lama lagi.
“yuk pulang, semua urusan rumah sakit sudah selesai.”
Orang tua Arra menyelamatkan kehidupan hatiku, kamipun segera bersiap-siap pulang. Rama datang ketika kami sudah melangkah keluar kamar.
“lho. Udahan ya beberesnya? Ketinggalan deh aku.” Katanya sambil tersenyum ramah ke arah orang tua Arra. Arra maupun orang tuanya tersenyum lebar sekali, sampai-sampai aku merasa bibir mereka mendekati telinga.
Rama memberikan makanannya kepada semua orang, termasuk aku. Ketika ia ingin bicara padaku, ibu Arra memanggilnya,
“Rama, setelah ini ada acara? Mampir ke rumah dulu yuk, Lana juga ikut aja.”
Rama menoleh, akupun begitu. Mendengar nadanya, aku merasa bahwa aku dianak-tirikan saat itu. Mereka mungkin ingin berterima kasih langsung kepada Rama dan membicarakan hal-hal lain yang entah apa kemudian mendekatkan hubungan antara Arra dan Rama, yang tentu saja, aku tidak perlu tahu dan tidak ingin tahu.
Maka, aku segera mengambil keputusan,
“maaf tante, Lana ga bisa. Habis ini Kakak dan Ayah mau video call-an, jadi aku harus sampai rumah. Takutnya mereka khawatir kalau aku ga di rumah.”
Aku mencoba tersenyum sewajar mungkin, di mata orang tua Arra memang terlihat wajar tapi di mata Rama sama sekali tidak wajar. Kini ia memandangku dengan tatapan alasan macam apa itu?
Sedangkan aku hanya meliriknya sekilas dan tidak membalas apapun.
“oh begitu.. iyaa ga papa Lana, terima kasih yaa sudah menjenguk dan mau repot-repot datang menemani Arra ke rumah sakit. Kamu memang sahabat terbaiknya Arra.” Ibunya tersenyum ramah sekali dan aku membalas senyum itu, kemudian beliau memandang Rama
“Rama berarti ga ada masalah kan? Ke rumah yaa..”
Rama kembali menatap orang tua Arra, mereka menunggu jawaban Rama. Arra maupun orang tuanya terlihat sekali mengharapkan kedatangan Rama, senyum mereka sama sekali tidak bisa berbohong.
“ya tante.”
Hanya itu jawaban Rama dan sebelum ia kembali menatapku aku segera berpamitan kepada Arra dan kedua orang tuanya.
“aku pamit dulu tante, om. Arra, aku pamit yaaa..”
Aku berpelukan dengan Arra sebentar sampai aku mampu mendengar bisikan Arra,
“hari ini, aku akan memberitahukan perasaanku kepada orang tuaku.”
Setelah pelukan itu selesai aku melihatnya tersenyum lebar, seperti meminta persetujuan.
Aku kembali memaksakan senyum.
“ya, lakukanlah.”
Nyuuutt..
Seketika hatiku serasa disayat benda tajam yang lukanya terasa sangat pedih.
“pulang naik apa Lana?”
“naik motor sendiri tante, aku duluan. Assalamualaikum..”
“waalaikumsalam..”
“Daahh Lana.. sampai ketemu di sekolaah..”
Aku membalas lambaian Arra kemudian berbalik melewati Rama tanpa berkata apapun, namun kemudian aku tersentak ketika tangan Rama menahan sikuku.
“gue anter.”
Aku menelan ludah, tidak berani menghadap ke belakang dan melihat reaksi orang-orang di belakangku.
Aku berusaha menarik tanganku dari tangannya tapi tak berhasil, aku menoleh ke arahnya dan menatapnya tajam tapi sepertinya kali ini Rama benar-benar tidak mau peduli. Dia tetap menahanku, kemudian berkata kepada Arra dan orang tuanya.
“saya antar Lana pulang dulu ya tante, Arra. Nanti nyusul ke rumah.”
Kemudian dia menarikku dengan paksa menuju parkiran,
Sungguh!! Apa yang cowok ini pikirkan di otaknyaa??!!
Aku ingin berteriak tapi suaraku tidak bisa keluar, sekilas aku melihat siluet wajah Arra di pintu kaca yang kulewati. Ada seberkas kesedihan dan sinar kecemburuan, akh! Bodoh sekali kau Rama!
“lepasin gue!”
Setelah sampai di parkiran aku memaksanya melepas tanganku dan memandangnya dengan tatapan sangat mematikan. Rama hanya membuang muka dan tidak membalas kalimatku sama sekali.
Karena sepertinya Rama tidak akan berbicara apapun padaku, aku segera menuju motorku dengan perasaan sebal luar biasa. Rama mengikuti, tanpa suara.
Brrrrmmmm..
Aku mulai menstarter motor, Rama berdiri persis di samping kananku, kemudian menahan spion kananku.
“lo kenapa Lana?”
Katanya dengan suara yang sangat pelan dan tanpa memandangku sama sekali. Aku hanya diam tidak membalas, ketika ingin memundurkan motor, Rama menahan.
“Apa?” tanyaku ketus.
“lo kenapa?” balasnya dengan tidak kalah ketus, aku agak kaget dibuatnya.
“apa maksud lo, gue kenapa? Mestinya gue yang tanya lo kenapa?”
“gue baik-baik aja.”
Aku mendengus kesal, kembali memundurkan motorku, lagi-lagi Rama tahan. Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam, hingga terasa sesak paru-paruku.
Tidak bisakah dia biarkan aku sendiri?
“lalu? Kalau lo baik-baik aja, kenapa lo ga biarin gue pergi.”
“gue ga mau lo nangis.”
Aku kini benar-benar merasa jengkel dengannya, kesimpulan dari mana yang membuat dia berfikir bahwa aku akan menangis?
“kesimpulan dari mana itu?”
Rama kembali mengalihkan pandangannya,
“ga bisakah lo jujur sama perasaan lo sendiri Lan?”
Aku mendengus kesal.
Bagaimana aku bisa jujur ketika sahabatku, yang hampir mati karena kesalahanku, mengatakan bahwa dia menyukai lelaki yang sama denganku? Apakah aku sedang berusaha membuatnya menggali kuburnya sekali lagi?
“dan bisakah lo ga mengatakan semua sesuai dengan apa yang lo pikirin? Apa semua yang lo pikir itu sudah pasti bener? Seyakin itukah lo?”
Rama menatapku sesaat kemudian kembali menatap ke arah lain.
“apakah gue salah?”
Aku benar-benar tersudutkan sekarang, lebih baik pergi, ya, lebih baik pergi. Semakin lama berada dengannya hanya akan memperburuk keadaan. Aku kembali menstarter motorku dan kali ini langsung menggerakkan gasnya, Rama kaget dan segera menyingkir
“lo mau ngebunuh gue?”
Aku tersenyum sinis,
“hanya ingin membuat lo minggir aja”
Kemudian aku pergi meninggalkannya, Rama juga sepertinya sudah tidak lagi berusaha mencegahku.
Dan tanpa aku sadari, bahwa sedari tadi ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-gerik kami dengan tatapan sedih.
***
“Lanaaa..”
Aku menoleh ke sumber suara, sudah ada Arra dengan muka sumringahnya pagi ini, sedang mukaku sedang sangat kacau karena hampir tidak bisa tidur semalaman.
“hei, Arra. Sudah mulai masuk hari ini?” tanyaku sambil duduk di kursi, Arra mengikuti sambil mengangguk mantab, tidak lupa dengan senyuman sejuta mentarinya.
Entah apa yang membuatnya tersenyum secerah pagi ini, tapi aku diamkan saja. Kami hanya berbincang-bincang santai terkait acara OSIS yang sudah lama tidak terbahas karena beberapa masalah serta rencana-rencana liburan yang akan kami kerjakan Bersama karena waktu liburan sudah hampir dekat.
“eh Ramaaa..”
Arra berteriak kencang sekali dan terdengar jelas di telingaku.
Apa memang selama ini Arra selalu berteriak sekencang ini ketika memanggil Rama atau hanya kali ini?
Kebingunganku terhadap teriakan girangnya Arra menyambut Rama datang pagi itu ternyata bukan hanya dirasakan olehku, semua teman kelas saat itupun memandang Arra bingung dan mulai sorak-menyoraki.
“wah wah ada apaan nih Arra sama Rama? Riang amat kayanya nyambutnya..”
“ciee.. ciee.. pantes Rama rajin jenguk ke rumah sakit ternyata oh ternyata..”
“waaaah Ram, lo nyelak gue loo.. kapan jadian kalian? Ko gue ga tau..”
“lho? Rama jadian sama Arra? Gue kira selama ini dia lagi pedekate-in si Lana..”
Dan semua sahutan dari penjuru kelas yang entah apa lagi kalimatnya, aku tidak bisa mencerna satu persatu.
Aku berusaha melirik Arra, ingin mengetahui reaksinya, dan benar saja. Arra sedang tersenyum, sangat amat, bahagia sambil menatap Rama tanpa berkedip. Aku bisa menjamin Arra sudah tidak lagi mendengar semua kalimat yang dilontarkan oleh teman-teman sekelas.
Sedangkan Rama berjalan santai tanpa menghiraukan perkataan semua orang dan berjalan ke arahku, ya, ke arahku. Persis ke hadapanku, bahkan sepertinya Rama tidak melihat ke arah Arra sama sekali.
Aku hanya mampu tertunduk pasrah sambil berdoa, semoga laki-laki ini tidak melakukan hal yang aneh-aneh yang akan membuat seisi kelas semakin heboh.
“hei, Lana. Hei Arra.” Rama mengatakan dengan sangat tenang dan tanpa beban. Aku masih tidak berani menatapnya, karena di telingaku suara sapaannya terdengar mengintimidasi.
“hai Rama. Kemarin sampai rumah jam berapa?”
Arra melanjutkan sapaan Rama dengan sangat baik, terlewat baik bahkan di telingaku dan telinga teman-teman sekelas. Sontak kelas menjadi ramai kembali.
“gila gila gila, pertanyaannya newly weeds abis deehh..”
“duuuuhhh panas niiih gue, ada pasangan baru..”
“ya ampun ya ampun.. ga kuat kakak..”
Mereka yang diledek, aku yang jengah dibuatnya.
Sungguh, aku ingin keluar dari keadaan ini segera!
Arra berdiri persis di sebelah kiriku dan Rama berdiri tepat di hadapanku, dan aku masih duduk tertunduk tak melakukan gerakan apapun. Bahkan aku yakin aku tidak benar-benar tersenyum atau, ah entahlah apa lagi, aku hanya merasakan debaran kencang dan panas dari dalam dadaku. Seperti ada yang akan meledak namun harus tertahan.
“heum, sebelum maghrib, thanks ya jamuannya.” Jawaban Rama singkat tapi sepertinya ada senyuman di sana, karena aku menyadari gerakan tersipu yang Arra lakukan.
Aku menghela nafas berat, Arra yang selama ini tidak nyaman dengan laki-laki manapun seketika berubah se-aneh ini hanya karena cinta. Apakah aku juga berubah seperti itu?
Tidak, tidak, sepertinya aku tidak memberikan tanda-tanda seperti itu. Ya, sepertinya tidak, karena sampai saat ini tidak ada yang menyadari bahwa aku sedang jatuh cinta. Ah, bukan, aku sedang memendam cinta.
“lo sendiri gimana Lana? Sampai rumah jam berapa?”
Aku terdiam sejenak, terbengong.
Apa Rama sudah gila? Apa Rama benar-benar gila? Dia memberikan pertanyaan yang sama yang sudah ditanyakan Arra kepadanya, dan dia tanyakan kepadaku??
Aku memberi jeda beberapa detik sebelum menjawab pertanyaan Rama dan anehnya kelas tidak ramai dan tidak gaduh lagi, mereka seperti sudah kembali kepada aktivitasnya masing-masing. Atau ini semua hanya perasaanku?
“gue? Sekitar ashar lah.”
Kemudian riuh rendah suara anak-anak kelas kembali terdengar.
“waduh ada cinta segitiga nih kayanya”
“kan gue bilang apa, Rama itu naksirnya sama Lana”
“eh eh eh, si Rama bisa main cewek juga”
“wah wah wah makin seru nih”
Benar dugaanku, sepertinya kesunyian tadi hanya perasaanku atau lebih tepatnya jantungku yang seakan berhenti berdetak sejenak ketika Rama bertanya padaku.
Aku memberanikan diri menatap Rama, dan Arra. Ada sedikit senyuman di muka Rama, meski terlihat kegundahan di sana. Sedangkan Arra sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Rama.
Setelah lima detik, aku menundukkan pandangan lagi dan Rama mendekati kerumunan orang-orang yang sedari tadi meneriaki dan memelototi kami bertiga.
“heeehh lo padeeee…”
“aaaahh tatuut tatuut…”
“kabuur kabuur Rama dateenng..”
Kemudian kelas berubah menjadi ramai dan kembali bising seperti sedia kala tanpa ada bahasan terkait ledekan seperti di awal.
Aku kembali menghembuskan nafas kali ini pertanda lega, sedangkan Arra masih menatap Rama sambil sesekali tersenyum ketika mendapati Rama berlaku konyol dengan teman-temannya.
“heeeh gadis yang lagi di mabuk cinta, duduk. Ngapain siih berdiri-diri mulu. Ngeliatinnya sambil duduk aja sini.”
Arra melihatku kemudian duduk sambil tertawa kecil.
“ahahaha, lucu abisnya siih mereka.”
Aku tersenyum kecil, ini adalah keputusanku. Aku sudah memutuskan untuk menutup rapat-rapat hatiku dan mendukung sahabatku sepenuhnya, maka aku akan mendukungnya.
“yang lucu mereka apa dia?” godaku, dan Arra salting luar biasa.
“iiihh Lana.. akunya jangan digodain dooonng… kan jadi maluu..” kemudian mata Arra kembali menatap Rama, dan lagi-lagi tertawa.
Nampaknya, gadis yang sedang jatuh cinta mudah sekali tersenyum ya.
“ya mangkanyeee.. jangan diliatin mulu orangnya ntar ngilang lhooo..”aku membasuh muka Arra bercanda.
“iiihh Lana iseng amat siiih.. ternyata gini yaa rasanya jatuh cinta. Semakin disampaikan, semakin bertambah besar. Semakin diperhatikan semakin besar keinginan bersama.. begitukah Lana?”
Aku hanya mengangkat bahu sambil tersenyum menggodanya, lalu kami berdua tertawa. Rasanya tawaku terasa hambar karena berburu dengan air mata yang ingin keluar yang sedari tadi kutahan.
***
“Arra, liat Lana ga?”
“ga nih, aku juga lagi nyariin. Dari pas istirahat dia pergi ga balik-balik, ini uda mau masuk lagi.”
Rama mencari ke sekeliling kelas, namun tetap tak menemukan yang dicari.
“tadi bilangnya dia mau kemana?”
“katanya ke toilet, sekalian jajan.”
“ko tumben Arra ga ikutan jajan”
“ga boleh sama Lana, katanya aku suruh jagain bekelnya dia aja. Aku aja nitip minuman sama dia.”
“eeeuumm.. ya udah deh, kalau uda balik kabarin yak. Aku ada urusan sama dia nih.”
“keeyy, soal OSIS kah?”
Rama hanya mengangguk sambil tersenyum kemudian keluar kelas.
Ya, saat ini aku sedang bersembunyi dan menjauhi Arra sejenak. Aku tidak ingin seperti sahabat yang jahat setelah semua yang sudah aku lakukan padanya.
Sebabnya, aku baru menyadari bahwa Arra dan Rama sudah tidak ber-gue-elo lagi sekarang mereka ber-aku-kamu yang kadang Rama langsung memanggil Arra dengan namanya dan di telingaku terdengar sangat mesra. Aku merasa sedih dan kesal dibuatnya, ditambah lagi ketika aku tanya ke Arra apakah mereka sudah jadian atau belum, Arra hanya menjawab dengan senyuman yang entah menandakan apa.
Aku saat ini benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, aku harus ikut berbahagia, sudah jelas. Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan terhadap hatiku. Ia remuk redam setiap saat mereka berdua di kelas, yang terkadang aku merasa bahwa Rama benar-benar memperhatikannya lebih dari sekedar karena rasa bersalah atau karena teman, menurutku lebih dari itu.
Aku sakit hati bertubi-tubi, yang pertama karena aku rasa Rama jelas-jelas masih menunggu jawabanku, yang kedua karena Arra adalah sahabatku, dan tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada ini.
“Haaaaaaah..”
Aku membuang nafas, frustasi. Bel akan segera berbunyi dan aku rasa aku tidak akan sanggup masuk ke dalam kelas dalam keadaan seperti ini, dalam keadaan mata sembab karena habis menangis.
Setiap kali aku melihat bahwa Rama dan Arra bertukar pesan singkat di kelas kemudian mereka berdua saling cekikikan yang aku tidak tahu apa penyebabnya. Kini aku merasa sendiri, aku merasa bahwa aku sudah ditinggalkan.
Apakah ini semua balasan untukku yang telah menyakiti hati mereka berdua karena kebodohanku yang belum bisa move on dari masa laluku?
Oh Tuhan... bantu aku..
Aku kembali ketika kelas sudah berjalan setengahnya, aku bahkan hampir membolos.
“Lana, darimana saja kamu? Kelas sudah mulai sejam yang lalu.”
Aku berhenti di depan guru yang sedang mengajar, berusaha menunjukkan muka tidak enak badan agar tidak diberi hukuman.
“maaf bu, saya tadi ketiduran di uks.”
“oh, kamu sedang tidak enak badan?”
Caraku berhasil !
“iya bu, tadi agak pusing kepala.”
Kemudian guru sejarahku itu segera memeriksa suhu badanku dengan tangannya,
“iya, sepertinya kamu agak demam. Apa perlu istirahat di rumah?”
Ide bagus bu! Ya, pulangkan saya!
“iya kayanya ya bu.. saya mulai merasa demam.”
Sungguh, jika kakak tahu aku berbohong di depan guru dengan berpura-pura sakit seperti ini, ia pasti akan menceramahiku tiga hari tiga malam tanpa ampun.
“ya sudah, kamu pulang saja. Pulang naik apa kamu Lana?”
Aku yang sudah mau berbalik ke mejaku, memutar badan kembali menghadap ke arah guru,
“naik motor bu.”
“ooh bisa sendiri?”
“bis..”
“saya antar saja bu.”
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku Rama sudah bangun dari duduknya dan berbicara lantang dengan muka serius menatapku.
Aku tidak balas menatapnya, bahkan aku tidak melihatnya sama sekali. Suara saling sahut di kelas mulai terdengar.
“aaah modus luu.. bilang aja lu mau bolos”
“bisa aje lu bang pedekatenya, Lana mana mau ama lu”
“yeeeuu si Rama, ntar cewek lu cemburu tuuh..”
Dan segala sahutan yang entah apalagi, menambah pusing kepalaku.
“eeehh sudah sudah diam, Rama kamu duduk, Ibu tidak memintamu berdiri. Lana, apa kamu mau diantar oleh temanmu?”
Aku menggeleng lemah,
“saya bisa pulang sendiri bu.”
Kemudian segera menuju tempat dudukku dan merapihkan barang-barang. Sebelum pergi aku sempat melihat tatapan Arra yang mencemaskan keadaanku, aku hanya membalasnya dengan senyuman, untuk meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
Dan aku pamit dari kelas, meski aku tahu sekali bahwa Rama tidak melepaskan pandangannya dariku. Aku tidak peduli.
***
Sesampainya di kostan aku segera membanting diriku di atas kasur, tengkurap. Aku tutup mukaku dengan bantal kemudian menangis sampai tertidur.
Tilulit tilulit tilulit
Tilulit tilulit tilulit
Samar-samar aku mendengar bunyi handphone di kejauhan, kemudian suaranya hilang.
“eeuungghh..”
Aku memutar badan menatap langit-langit, di luar sudah mulai gelap.
Kayanya tidurnya kelamaan nih, batinku. Aku mencoba bangun pelan-pelan dan menyadari bahwa aku bahkan belum melepas pakaian sekolahku, masih lengkap.
Kerudungku sudah awut-awutan, baju bau keringet karena aku tidak sempat menyalakan AC, kaus kaki yang masih terpasang.
Jorok banget kau Lana!
Aku menanggalkannya satu-satu dan melemparnya ke tempat baju kotor di samping pintu kamar mandi. Setelah mampu berdiri aku mengambil botol minumku yang tadi aku lempar ke sembarang tempat dan mencari handphoneku di tas sekolah. Aku duduk di kursi depan meja riasku dengan mengangkat kedua kaki.
18 misscall dari Arra
12 pesan dari Arra
5 misscall dari kakak
Aku meneguk minumanku kembali kemudian mengecek handphone lagi.
55 misscall dari Rama
Tanganku berhenti menegak minuman, mataku terbelalak kaget, dan aku jelas tersedak oleh minumanku sendiri.
Apa-apaan anak ini? Apa dia tiap menit nelpon ga berenti?
Aku menghela nafas panjang dan meletakkan handphone itu di atas meja. Aku kemudian menatap sosokku yang baru bangun tidur dengan mata bengkak karena nangis entah untuk berapa lama.
Sore ini sepertinya aku merasa lebih lega, tangisan yang entah berapa jam itu, membuat aku lebih bisa membuka mata. Aku sudah mengikhlaskan hatiku, dan itu mudah. Apalagi, hati itu aku tutup demi sahabatku sendiri, ini tidak sulit sama sekali. Aku juga tahu, aku harus bersikap lebih baik ke Rama, aku harus menolaknya dengan baik agar ia bisa segera menyambut hatinya Arra. Aku salah, jika terus membuatnya berfikir bahwa aku akan merespon baik pernyataannya, ya aku salah. Dan, itu hanya akan terus membuat Arra bertepuk sebelah tangan.
Apakah aku baik-baik saja dengan hal ini? Pasti tidak. Tidak mungkin seseorang bisa baik-baik saja jika dia harus terus menerus menipu dirinya, yang entah sampai kapan.
Tilulit tilulit tilulit
Aku melirik handphone itu yang menjerit minta di angkat.
Rama.
Aku menghela nafas panjang kemudian mengangkatnya sambil berjalan ke arah jendela untuk menutupnya.
“ya?”
“….”
Aku melirik layar, masih tersambung. Ko tidak ada suara?
“halo?”
“Lana?”
“iya, kenapa?”
Kembali tidak terdengar suara. Aku mulai kesal.
“kalo lo ga mau ngomong gue tutup.”
“eh iya iya. Sorry. Gue kira lo pasti lagi kacau banget dan suara lo pasti amburadul. Ternyata ga ya..”
Terdengar nada bingung dari suara Rama. Aku berhasil! Aku tersenyum tipis sebelum menjawab dia.
“kenapa gue harus kacau banget gitu?”
“tadi lo kan pulang duluan..”
“menurut lo gue pura – pura sakit? Iya?”
“eh bukan, maksud gue..”
Humph. Aku bahagia sekarang, hatiku benar-benar lega. Betul dugaanku, dia masih mengira bahwa jawaban dari pernyataannya pastilah positif dengan sikapku yang belakangan ini uring-uringan ga jelas. Ah Lana… kenapa ga dari kemarin aja lo kaya gini.
“ya gue uda tau maksud lo apaan. Ga usah boong lu.”
“ehem. Jadi, lo malem ini kosong ga?”
Dih, langsung nyari celah. Ah, tapi ini kesempatan yang bagus, toh aku harus bicara padanya kan?
“kenapa lo mau traktir gue makan?”
“eeuumm.. yaa gitu kalau lo mau.”
“ketemu ama gue yak di pecel lele lela depan gang kostan. Setengah jam lagi, ”
Jeda kembali.
“woy!”
“eh iya, ini beneran Lana kan?”
Aku mendengus kesal.
“oke gue matiin.”
“eh iya oke, pecel lele lela. Eh kenapa ga café aja sih? Lo anak muda ga asik banget”
“lah kenapa? Gue laper. Tukang nasi goreng belum pada lewat jam segini. Uda gue tutup dulu. ”
Aku menutup sambungan teleponnya dan bergegas mandi.
Mari kita sudahi permainan ini.