CHAPTER ONE
Cuaca Depok pagi ini sedikit berawan, aku dibangunkan oleh suara handphone yang sejak shubuh tadi tidak mau berhenti.
“Ya, Assalamualaikum..” sahutku masih setengah sadar.
“Wa’alaikumsalam.. Yaa Allah Deekk.. ko suaramu masih setengah sadar gitu siih?? Udah shubuhan beluum?? Atau begadang lagi yaa?? Tugas sekolah banyak banget kah? Atau kegiatan OSIS mu??”
Aku sedikit menjauhkan telepon genggamku dari kuping, sambil memicingkan mata untuk memperjelas penglihatanku, aku coba baca nama yang tertera di layar handphone.
Ooh kakak.
“Duuuh Kaaaa.. pagi pagi udah rame bener siiih.. aku lagi ga sholat makanya bangun agak siang.” Ku lirik jam dinding di kamar. “Yaa Allah Kaa… Di sini masih jam setengah enam, masih ga terlalu siang koo.”
Aku sedikit kesal dan membaringkan badanku kembali di kasur.
Pasti kakak masih belum terbiasa dengan perbedaan waktu di Malang. Biasa banget deh. Gerutuku tanpa suara.
Kakak dan Ayah baru saja pindah ke Malang sekitar sebulan yang lalu karena Ayah harus dinas di sana. Aku tidak mungkin ikut karena sekolahku, aku tidak mau pindah sekolah. Aku malah kalau harus beradaptasi dan berkenalan kembali dengan banyak orang, aku termasuk orang yang canggung dan tidak mudah berbaur dengan orang baru. Jujur saja, itu membuatu sedikit frustasi.
“ooohh iiyyaaa.. ehehe.. beda setengah jam yaa kalau di Malang mah.. hapir sejam malah yaaa.. ehehehe.. maaf ya Dek..”
Terdengar suara cengengesan kakak di ujung telepon.
“Tanggung jawablah Ka, aku uda ga ngantuk lagi niih jadinya. ”
Aku membalikkan badan dengan sedikit kesal. Hawa Depok sedang cukup dingin, enak rasanya jika masih bisa merasakan kelembutan kasur sedikit lebih lama.
“Lho ga papalah Dik, jadi kamu bisa siap-siap sedikit lebih cepat. Kakak bantuin kamu ini lhoo..”
“Bicara apa Kakak ini lhoooo… ini hari sabtu Kaaaa..” aku sungguh kesal.
“Oh! Ya Allah.. Kakak lupaaaa… Maafkan , maafkan ya Dik.. habis Ayah sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Aku juga sebentar lagi mau berangkat kerja, makanya.. kupikir…”
“Yaaa.. yaa… yaaa.. Kakak memang selalu memikirkan sesuatu dari sudut pandang Kakak sendiri. Paham betul aku Ka. ” aku sedikit tersenyum.
Setelah kepergian Bunda tiga tahun yang lalu, Ayah berusaha untuk menghidupi kami sebaik mungkin dan Kakak berusaha menjadi pengganti Bunda untukku. Kami tidak pernah menghalangi keinginan Ayah untuk menikah lagi, hanya saja, sepertinya Ayah terlalu tidak tega melihat kami menderita sendirian jika Ayah menikah lagi.
Semua itu karena kawan Ayah mengalami hal itu. Kami berusaha meyakinkan Ayah bahwa kami tidak akan begitu dan bahwa kisah kami mungkin tidak akan sama dengan kawan Ayah itu… walaupun tidak ada jaminan juga bahwa kami, mungkin, akan mengalami hal yang serupa.
Aku hanya berdua dengan kakak perempuanku, itulah mengapa kami khawatir jika Ayah tidak menikah lagi, Ayah akan kesepian ketika nanti kami menikah. Atau paling tidak ketika kakak menikah nanti.
Tapi dengan sangat berwibawanya Ayah justru bilang
“Kepergian kalian dengan suami kalian masing-masing tidak akan membuat Ayah kesepian. Karena Ayah tahu bahwa kalian dibawa oleh lelaki yang bertanggung jawab yang lebih baik dari Ayah, maka ia akan menggantikan posisi Ayah sebagai penjaga kalian.”
Seketika aku dan kakak menangis dan memeluk Ayah. Jika sudah begini, kami lebih tidak tega lagi jika kami harus meninggalkan Ayah sendirian, bukankah begitu?
“Jadi, apa rencanamu hari ini Lana? Apa kamu bakal di kostan seharian sambil tidur-tiduran aja?”
Aku sudah bangun dari tempat tidurku dan beranjak ke arah galon air.
“Ga Ka… aku mau ada rapat OSIS dengan divisiku hari ini. Kemarin baru saja pelantikan, aku rasa ini akan menjadi tahun yang cukup berat untukku. Kakak tau aku masuk ke dalam divisi apa?” aku meminum air di gelas dalam pelan-pelan sambil menunggu jawaban kakak yang pasti lebih heboh ketimbang kicauan sebelumnya.
“Tunggu tunggu… aku akan tebak, kamu tidak perlu kasih tau. Kemarin saat di kelas satu, kamu masuk divisi rohis dan kamu sangat tidak suka dengan divisi itu.. ya kan?”
“He-um..” sambil mengangguk pelan.
“lalu kemudian, kamu sebenarnya tidak ingin masuk lagi ke dalam OSIS karena ada kecurangan di dalamnya, dan kamu tahu benar bahwa kamu sudah malas berurusan dengan semua seniormu yang ketahuan curang itu, apalagi kamu paling tidak suka cewek-cewek penuh gaya yang sukanya dandan dan makeup-an di kamar mandi sekolah.. ya kan??”
“He-um..” aku mengangguk lagi, tapi kali ini sudah tidak dengan memegang handphoneku, aku mengenakan earphone bluetooth agar tanganku bisa bebas membuat roti panggang dengan susu coklat dan mesis kesukaanku.
“dan karena teman baikmu tetap memaksamu untuk masuk ke dalam OSIS, kamu sudah memperingatinya untuk tidak memasukkan ke rohis. Kemudian, dia pasti menyetujuinya. ”
“Eum..” aku menyalakan tivi dan duduk di meja belajarku sambil mematikan AC dan membuka jendela.
“Dan karena itu.. dia pasti berusaha memilihkanmu posisi yang cocok hanya demi kamu bisa masuk OSIS kembali.. ya kan? Ya kan? Tebakanku benar kan?”
“Heum.. tapi kakak sebenernya belum menebak, kakak hanya menganalisis dan menceritakan ulang apa yang aku sampaikan kemarin malam..” aku mulai mengutak atik channel tivi. Karena cuaca mendung, sepertinya siaran di tivi juga ikut mendung.
“Ahahaha, benar sekali. Dan kakak tidak tahu sebenarnya kamu di posisi apa. Ahahaha. Adikku yang sedikit cuek ini sebenernya dibutuhkan banyak orang di organisasi, maka, menurutku semua posisi cocok untukmu. Ehehehe.. jadi, di posisi apa sekarang?”
Aku melirik handphoneku tidak percaya, dia bicara sepanjang itu dan ujung-ujungnya tidak menebak apapun?
Aku memutar bola mataku pelan dan menghela nafas cukup keras, agar terkesan sangat kecewa dengan semua ucapan kakak.
“ya ampun Ka, panjang lebar aku dengarkan ocehanmu pagi ini, ternyata kamu ga menebak apapun. Kakak yakin ga akan terlambat berangkat ke kantor?”
Aku kembali melirik jam di dinding, sudah jam 6 lewat 15 menit. Di sana mungkin sudah hampir jam 7 pagi.
“Tenang, Kakak bicara tidak sambil diam saja. Semua kakak lakukan termasuk siap-siap, makeup, bahkan saat ini kakak sudah mulai memanaskan mobil. Kau percaya? Aahaha..”
Aku tersenyum sambil menatap gelas susuku yang sudah habis serta piring roti yang juga tak tersisa. Kami memiliki kesamaan, ya, mampu melakukan beberapa hal dalam sekali waktu. Itulah mengapa, sangat penting bagi kami untuk diam di atas meja makan ketika sedang berbicara dengan Ayah. Karena Ayah tidak sama dengan kami, bagi beliau, ketika sedang berbicara maka, bicara tanpa melakukan sesuatu apapun.
“Aku di DIKLAT.” Jawabku singkat.
“Oohhh.. diklat.. ya ya ya.. eh tunggu.. apa?? DIKLAT?? Kamu yakin Dek?”
“Ahahahaha.. mana kutahu, yang jelas kemarin sudah pelantikan. Maka, aku harus yakin. Ahahaha. ”
Aku yakin Kakak sedang memasang muka tidak yakin sambil menimbang banyak hal. Aku bukan termasuk orang yang suka ikut campur urusan orang, cuek, bahkan terkadang terkesan tidak peduli. Prestasiku biasa saja, setidaknya aku masuk rangking 5 besar saat kelas sepuluh dulu, peluang untuk masuk IPA sangat besar tapi aku lebih memilih masuk IPS.
Semacam itulah kebingungan dan ketidakyakinan kakak terhadap jabatan baruku.
“dan, aku kepala divisinya. Ahahaha.”
Aku yakin saat ini mata kakak terbelalak lebar saking tidak percayanya.
“Oke Dek.. oke.. cukup. Aku mulai pusing sedangkan aku ada meeting penting hari ini, jadi jangan buat otakku bekerja lebih cepat dari yang seharusnya.”
Aku mendengar desahan nafas kakak, terdengar berat yang tidak dilebihkan, dan aku tertawa bahagia.
“ahahahaha.. makanya kaa.. ga usah semuanya dipikirin… ahahaha..”
Kini, aku sudah benar-benar bangun.
“ya sudah, terserah kamu. Aku mau berangkat. Kamu jangan lupa sarapan, selalu dikunci pintu dan jendela kalau pergi, cek kompor, air, tivi, ac, semua sudah mati ketika pergi. Dan jangan pernah titipkan kunci kost-anmu ke siapapun itu. Mereka semua belum tentu bisa kamu percayai.”
“E-heum.. lapan anam.”
“kakak pergi dulu yaaa.. Assalamualaikum. Kalau ada apa-apa jangan segan-segan bicara. Jangan buat Ayah dan Kakak khawatir, kalau tidak, kamu akan langsung diungsikan ke Malang.”
“Siap BOS! Waalaikumsalam..”
Aku meregangkan badanku dan meletakkan earphone di meja.
Sakit juga kupingku hampir satu jam telponan dengan kakak. Kalau begini terus tiap pagi, lumayan juga.
Tulit!
Aku lirik handphoneku dan beranjak ke arahnya. Pesan dari Rama.
[Lana, jangan lupa. Hari ini kita rapat yaa di MargoCity.]
Aku tidak langsung jawab, bahkan tidak langsung aku buka pesannya. Hanya sekedar membaca pop up pesannya. Tidak tertarik.
Baru saja ingin melangkahkan kaki kembali ke atas kasur, handphoneku kembali berbunyi.
Tulit!
Rama. Lagi.
Aku sedikit menaikkan alis, lagi?
[aku tau kamu sudah baca pesanku. Ahahaha. Jangan lupa ya Lana, apa perlu aku jemput?]
Aku mengangkat bahuku cepat. Apa-apaan cowok ini? Sejak kapan dia ber-aku-kamu? Siapa dia?
Baru mau aku abaikan pikiranku yang berusaha mengingat sosok Rama ketika kelas sepuluh, handphone itu kembali berbunyi.
Tulit!
[kalau kamu tidak juga balas pesanku, tandanya kamu benar-benar mau aku jemput ya. Ahahaha, sampai nanti. Aku akan ada di depan kost-anmu jam setengah 10. Jangan telat]
Aku kembali memutar bola mataku.
Sudah dua orang saja yang membuatku jengkel pagi ini. Bedanya, yang ini tidak akan membuatku bahagia, tidak seperti Kakak tadi.
[Silahkan saja datang ke kost-an. Gue ga bakal pernah bukain pintu buat cowok manapun.]
Sedetik kemudian.
Tulit!
[memang harus begitu yaaa.. biar mau dijawab pesannya ama Lana. Ahahaha.. tenang aja.. gue juga belom siap ketemu bokap lu. Ahaha]
Aku membelalakkan mata tidak percaya.
Dasar! Bocah kentang!
***
09.45
Aku sudah selesai beberes kamar, sudah sarapan, sudah mandi dan sudah merapihkan tempat tidur. Sedikit kuintip langit untuk memastikan cuaca, masih berawan tapi sudah lebih cerah dibanding pagi ini.
Rasanya, aku sudah bisa berangkat.
Sambil bersiap, aku mengecek grup line yang sedari tadi bunyi tidak karuan. Entah apa yang mereka bicarakan, inilah hal yang paling tidak aku sukai dari organisasi. Mereka meributkan hal apapun di grup, menurutku, cukuplah nanti bicara di sana. Merepotkan.
[Lana.. jangan sampe telat]
[Lana ga mungkin ga telat, semakin cepat dia dateng semakin cepat dia pulang. Ahaha]
[Lana… tolong aku dibully cowok cowok ini…]
[emang nanti ketemuan dimana sik? Uweg ko ga tau?]
[lah emang lu pernah meratiin grup? Wwkwk]
[dasar lu mah ya, capek capek eug ngomong kaga didenger]
Dan semua percakapan ga penting lainnya.
Mau nge-mall aja rame amat sih. Paling juga nanti kebanyakan ngobrol ga jelasnya dari pada bahas prokernya. Yakin aku mah.
Aku kembali melirik jam dinding.
09.50
Aku kemudian mengenakan kerudung dan memasukkan barang-barang secukupnya untuk dibawa dan turun ke bawah untuk memanaskan motor.
Turirung turirung~~~
Aku mengambil handphone dari tas kecilku sambil mematikan motor yang sedang dipanaskan.
“Assalamualaikum.. yaa.. Arra?”
“Lanaaaaa… kamu lagi dimana??”
“masih di kost-an… abis…”
“ya ampuuunnn Lanaaa.. kok masih di kost-an siiiihh… kamu gimana.. kan kita janjiannya jam 10.. harusnya mah uda jalan dari tadii.. aduuuhh Lanaaaa..”
Aku melirik jam tanganku, ah, sudah jam segini.
“Iya iya maaf.. aku baru selesai manasin motor. Ini uda mau jalan. Aku tutup dulu yaa.. nanti makin telat lho aku”
“iiiihh dia maahh.. ya udah cepetan lho. Keburu anak cowoknya dateng ini lhooo.. aduuhh Lana..”
“emang uda dateng mereka?” aku kembali menyalakan mesin.
“yaaaa.. belum siih..”
“yeeeeuuu.. ya udah ngapain panik sih.”
“ya tapi kaan.. tapi kaan..”’
“ya uda ya uda, aku mau jalan ini. Aku tutup ya, Assalamualaikum.”
Tanpa menunggu jawaban Arra aku menutup telephon. Aku tau Arra sejak kelas sepuluh, kami sekelas sampai sekarang. Dia satu-satunya orang yang mengetahui rahasia terbesarku, setelah Bunda pergi. Meskipun begitu, tetap saja aku tidak bisa mempercayai kunci kost-anku kepadanya, seperti kata kakak, tidak semua orang bisa dipercaya terkait hal ini. Sekalipun dia tahu rahasiaku.
Dia tidak terlalu bisa akrab dengan laki-laki, OSIS juga merupakan organisasi pertamanya yang dia ikuti selama di SMA. Arra mirip denganku yang tidak terlalu suka berbaur dengan banyak orang, itulah mengapa aku memilihnya untuk menjadi partnerku di divisi ini. Karena kami cocok, hanya itu alasanku.
10.25
Aku baru saja tiba di parkiran ketika handphoneku berbunyi kencang.
Aku tau pasti Arra dan aku tahu dia pasti sudah sangat kesal, mungkin sudah hampir menangis.
“Lana kamu dimana siiiihhh.. kan aku bilang cepetaaaannn.. iiihh..”
Aku mengambil nafas sejenak sebelum membalas perkataannya..
“Aku…”
“eeeehh.. Lanaaa.. lama amat sih lo? Uda sampe mana?? Uda pada mau mulai makan niiihh.. ahahaha”
Aku melirik handphoneku tidak percaya, kok suaranya Rama??
“Haloo?? Lana?? Maaf tadi direbut hape-nya sama Rama.. Lana dimana? Uda sampe kan? Ayookk..”
“Iya, ini aku uda di parkiran. Aku tutup ya, bentar lagi juga sampe. Di food court kan? Oke.”
Sebelum menjawab balasan Arra aku langsung menutup telponku. Dan segera bergerak masuk ke dalam mall.
***
Aku melihat Arra melambaikan tangan dari kejauhan. Sepertinya mereka memang sudah memulai memesan makanan.
“hei, Assalamualaikum. Sorry telat.” Aku duduk persisi di samping Arra.
“Waalaikumsalaaamm..” serentak mereka menjawab salamku. Arra tersenyum lebar sekali.
“Dateng juga lo Na, akhirnya. Pesen makan dulu gih, abis gitu baru kita mulai rapatnya. ” aku melirik meja, semua sudah memesan, bahkan hampir habis.
“Key..” aku beranjak mencari makan, kemudian kembali duduk setelah memesan.
Setengah jam kemudian kami sudah sibuk membahas program kerja selama setahun ke depan. Ku pandangi mereka satu per satu, ternyata bisa diajak serius juga ya, batinku berkata.
Kami membahas acara-acara yang berkenaan dengan bidang pendidikan, seperti study banding ke OSIS dari sekolah lain, mengadakan bedah buku, juga kegiatan-kegiatan bulanan serta pekanan. Divisi yang aku jalani ini cukup berat karena kami langsung bertanggung jawab kepada para guru, bahasa mudahnya, kami perantara guru dengan para siswa.
Aku kembali teringat percakapanku dengan Diana,
“Lana, kamu ga mau kan jadi bagian rohis lagi? Aku masukkin ke bagian yang paling cocok sama kamu yaaa…”
Saat itu sebenarnya aku agak curiga dengan senyumannya tapi aku tidak mau ambil pusing, maka aku iyakan saja. Ketika pengumuman bagian-bagian dari OSIS kecurigaanku terbukti, aku protes.
“kenapa aku dimasukkin ke bagian diklat sih Na? ” aku merengut kesal.
“yaaa.. soalnya itu bagian yang paling penting, dan menurutku yang paling cocok untuk bagian itu cuma kamu. Hehehe. Ga papa yaaa.. ”
Aku harus berurusan dengan para guru, lebih tepatnya dengan guru ‘itu’.
“kamu kan tau Diana, aku ga cocok dengan beliau. Kenapa malah diminta berurusan dengan beliau sih?”
“tapi beliau lhoo yang minta kamu untuk ada di posisi ini, berarti tandanya kan beliau merasa cocok dengan kamu… ya kan? Ya kan? Ya kan?”
Aku ingat sekali, saat itu aku hanya mengiyakan apa yang ia katakan. Sudah malas sekali rasanya aku mendengar kalimat-kalimat Diana setelahnya.
Selain itu, aku tidak terlalu kenal dengan anak lelaki yang berada satu divisi denganku kali ini. Ada Rama, Rio dan Reyhan. Mereka semua anak IPA seingetku, itulah kenapa aku tidak terlalu kenal. Hanya sekedar tahu nama dan tampang aja, sesekali.
Rama anak band sekolah, dia terkenal pintar tapi suka slengean, menurutku lebih ke-sksd. Dia mudah berbaur dengan orang lain, menurutku, tapi aku kurang cocok dengan anak yang terlalu terus terang seperti dia ini. Tambahan lainnya, dia punya banyak fans, dan ini sungguh menggelikan.
Dari tampang siiih menurutku biasa aja, tapi karena dia vokalis di band sekolah ditambah dia bisa main gitar, jadilah dia pujaan cewek-cewek tukang dandan di sekolah. Menggelikan!
“Heh Lana! Kamu kok diem aja dari tadi.. dengerin gue ngomong ga siih??”
Aku melirik Rama malas.
“iya, denger.”
“apa? Apa yang lo denger?”
“gue denger… tadi lo ngomong soal kerja sama buat study banding dengan anak SMA 28 JakSel iya kan? gue setuju aja, tapi gue ga mau kalau diutus ke sana.”
Rama terlihat mengernyitkan mukanya.
“kenapa? Kenapa lo ga mau ke sana? Lo tuh wakil ketua divisi, ya kemungkinan yang jalan itu lo sama gue.”
Aku lihat muka Rama serius. Ah, kenapa juga harus sekolah itu?
Aku merasa bahwa Arra memandangiku dengan mukanya, yang entah seperti apa ekspresinya, aku malah melihat. Lebih tepatnya, aku malas mengiyakan semua sangkaannya.
“ya emang harus ada alasan tertentu gitu kalau gue ga mau? Gue cuma males aja ke sana, jauh tau. ”
Muka Rama sedikit melongo kemudian dia tertawa.
“Ya Allah Lanaaaa.. gue kira kenapa.. gue kira lo punya musuh di sana sampe ga mau ke sana. Kalau cuma soal jauh dan lo, mungkin, ga mau bawa motor sendiri. Yaaa boncengan aja sama gue, lo cukup traktir gue minum dah kaga perlu ikutan iuran bensin.. ahaha”
Aku memandang muka Rama malas, aku yakin dia tau aku tidak akan suka dengan kalimatnya tadi.
“Ya menurut lo aja.. gue makin males ke sana kalau ditawarin naik motor ama lu. Yang ada gue ga selamet nanti ama fans-fans ga jelas lo itu. Hiiiih..”
Semua tertawa, ada sedikit kelegaan di muka Arra. Mungkin, dia merasa aku sudah baik-baik saja. Yaaaahh… biarlah. Akupun ikut tertawa.
Sepersekian detik dari kalimat batin terakhirku, aku menangkap sesosok lelaki yang sungguh tidak ingin kulihat dalam waktu 5 tahun mendatang. Dia sedang tertawa bahagia dengan… siapa dia? Mungkinkah…
Mukaku pucat, aku berusaha untuk memalingkan wajah, lebih tepatnya berusaha menyembunyikan kekhawatiranku di hadapan Arra dan di hadapan semua orang.
“Lo kenapa Na? pucet amat muka lu…”
Sial! Rio punya mata yang cukup bagus, menurutku.
“ga papa, kebanyakan ketawa kali.”
“masa?? Ahahaha.. lu siih si wanita es! Makanya sering sering ketawa lah… ahahah”
Jika bukan dalam situasi ini, ingin rasanya aku membalas ledekan Rama barusan.
“lho, Lana??”
Seketika semuanya terasa sangat menyebalkan. Arra langsung menatapku tajam, kasihan, lebih tepatnya. Sedangkan cowok-cowok dihadapanku semua hanya melongo dan menoleh ke sumber suara.
Aku?
Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus menyapa balik atau tidak, tidak tahu… harus bagaimana…
“Siapa Na? kenalan lo?”
Rio berusaha memecah ketidaktahuanku. Aku hanya meringis.
Dan lelaki tidak tahu diri ini tetap di tempat dengan, entah siapa, di sampingnya itu yang tersenyum manis namun menatapku bingung.
Dia bukan perempuan itu, lalu siapa? Lalu kemana perempuan itu? Ah, aku tidak peduli. Aku ingin segera pergi.
“iya kan, bener kan. Kamu Lana kan? Aku pangling lho..”
Penyebutan aku-kamu yang dia sebutkan membuat semua orang, termasuk wanita di sampingnya, semakin bingung.
Bahkan dengan sangat jelas, aku bisa melihat kebingungan di mata Rama. Kenapa Rama mandang gue kaya gitu sih? Dan kenapa dia masih ber-aku-kamu? Sungguh menggelikan.
“ya, ini gue.”
Kalimatku kecil, tertahan mungkin tidak terdengar. Aku bahkan tidak memandang matanya, aku tidak benar-benar melihatnya. Aku hanya berusaha mengalihkan perhatian, hanya berusaha mengalihkan keadaan tegang, yang entah darimana ini.
“oh.” Suara lelaki tadi terkesan kaget dengan jawabanku yang, mungkin, terdengar dingin di telinganya.
Aku tidak perlu berbaik-baik lagi dengannya bukan? Tidak perlu melembutkan diri kembali bukan?
“ah ya, kalau begitu sampai jumpa lagi Lana. Kerudungmu.. terlihat cocok kamu kenakan. Cantik.”
Kemudian semua orang kembali memandangku heran, kecuali Arra, tentu saja. Perempuan disampingnya mulai melihatku dengan tatapan tidak suka. Sungguh, hari apa ini? Kenapa rasanya semua yang aku dapati pagi ini terasa tidak menyenangkan?
Sepergian lelaki tadi, sepertinya semua yang mengelilingiku masih penasaran.
“jadi… ” suara Rama mulai memecah keheningan. Suaranya digantungkan, mungkin dia sedang berfikir, apakah perlu bertanya atau tidak. Mungkin juga dia sedang memprediksi, apakah aku akan menjawab pertanyaannya atau tidak.
“jadi, siapa dia tadi? Dan siapa perempuan di sampingnya?”
Semua menunggu jawaban. Aku tertunduk lesu, malas sekali menjelaskan keadaan ini.
“sepertinya, gue pernah liat cowok itu deh. Mukanya familiar banget..”
Rio menimpali, dan itu sama sekali tidak membantuku.
“iya, iya kaya kenal gue juga. Makanya tadi gue fokus mikir aja dia siapa, dan siapanya lo Lana? Dia ngomong aku-kamu lhooo..”
“masa sih lo pada kenal? Ko gue kenal?” pertanyaan Rama yang terakhir menambah jumlah pertanyaan yang harus aku jawab. Tapi aku masih diam, aku tidak merasa harus menjawab.
Sedangkan Arra, sudah mulai gelisah duduknya. Aku tau sekali, dia tidak ingin masalah ini diperpanjang, setidaknya dia ingin segera menghentikan pertanyaan ‘siapa dia?’ tapi Arra bahkan tidak bisa mengatakan apapun.
“jadi, dia siapa Lana? Lo mau ngacangin gue seribu tahun juga bakal gue tungguin jawabannya.”
Aku melirik ke arah Rama, tidak percaya. Apa peduli lo?
“bukan siapa-siapa, cuma temen lama.”
Aku memilih menghentikan semua pertanyaan dan semua tatapan menjengkelkan dari mereka. Walaupun aku tahu, jawabanku yang seperti itu justru menambah rasa ingin tahu mereka dan pertanyaan mereka akan semakin banyak.
“temen? Yakin? Lo temen gue tapi lo bahkan ga suka kalau gue ber-aku-kamu. Cowok tadi sampe bikin pacarnya jealous lho..”
Pacar? Jadi wanita tadi pacarnya? Lalu kemana wanita yang dulu akhirnya membuatku menghindarinya dan hampir membencinya seumur hidupku?
“apa peduli gue? Bukan urusan lo juga. Uda selesein aja rapatnya abis itu gue mau pulang.”
Rio dan Reyhan menghela napas kecewa tapi sepertinya Rama masih penasaran. Rama tetap menatapku tidak percaya. Sebelum mulutnya terbuka lagi untuk bertanya aku berusaha menghentikannya.
“kalo lo tanya-tanya lagi hal yang ga berkaitan dengan OSIS gue pulang sekarang juga.”
Kali ini ada kalimat penekanan dalam kalimatku, aku hanya perlu memastikan kepadanya kalau aku tidak mau diusik dengan semua pertanyaan yang aku tidak akan pernah mau jawab, setidaknya tidak dengan Rama.
Rama menghela napas, menyandarkan badannya ke kursi sambil memejamkan matanya sebentar, kemudian menjawab, “oke. Kita lanjutin rapatnya.”
Dia menyerah. Baguslah. Karena aku juga tidak akan pernah mengatakan apapun padanya. Tidak akan pernah.
Ketika waktu menunjukkan pukul 12 tepat, aku dan Arra mengundurkan diri, segera pulang. Sebelum pulang, aku masih sempat melihat tatapan Rama yang tidak biasa tapi tetap aku abaikan.
Bukan urusan dia, bukan urusanku pula jika dia akan merasa penasaran terus menerus seperti itu.
Sisa hari itu aku habiskan dengan melakukan beragam aktifitas untuk mengalihkan pikiranku dari kejadian menyebalkan beruntun yang terjadi.