"Kamu menikah?" tanyaku. Yang langsung disambut senyum bahagia dari Aris.
Dan aku, harus bereaksi bagaimana? Tak mungkin kan aku harus menangis dihadapannya. Atau merengek - rengek meminta membatalkan acara sakral ini. Tak mungkinkah? Memang siapa aku?
"Jangan memasang wajah seperti itu. Seakan kau baru saja mendengar pernyataan cintaku." Aris mencoba mencairkan suasana. Membuyarkan gemuruh aneh dalam dadaku.
"Enggak lucu." kataku.
"Lha siapa juga yang mau ngelucu?" kata Aris tak terima.
Aku diam tak menanggapi. Pandanganku kini tertuju pada selembar undangan yang masih aku pegang. Yang disana tertulis jelas dua nama yang tak asing. Begitu juga Aris, dia juga ikut diam. Mengikuti keterdiamanku. Mungkin, sedang menunggu reaksi apa yang akan aku keluarkan selanjutnya.
"Selamat ya." kataku kemudian. Membuat Aris menatapku dengan pandangan yang sulit ku artikan. Lalu, kami kembali diam. Membiarkan detik demi detik berlanjut menjadi menit. Hingga helaan nafas panjang keluar dari mulut laki - laki itu. Membuatku menatapnya dengan bingung.
"Kenapa? Kamu mau menikah malah menghela nafas penuh beban seperti itu?" tanyaku.
"Karena seseorang yang saat ini duduk didepanku." jawabnya. Sambil menatapku.
"Kenapa dengan seseorang itu?" tanyaku penuh penasaran.
"Dia tampak tak bahagia. Mungkin?"
Aku tersenyum sarkas mendengar jawaban Aris. "Darimana kamu tahu?" tanyaku kembali. Tapi, tak langsung dijawab oleh Aris. Ada jeda sebelum Aris bersuara.
"Aku hanya menerka." jawabnya. Membuatku menggeleng pelan.
"Perasaan tak bisa diterka, Ris."
Aris kembali diam. Matanya menatap tajam kedua mataku.
"Kamu cemburu?" tanyanya dengan tiba - tiba.
Dan bagaimana aku harus menjawabnya. Tak mungkinkan aku bilang iya. Memang siapa aku?
"Jelas, aku cemburu." jawabku. "Semua sudah menikah, dan aku saja yang belum."
"Bukan itu yang aku maksud. Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan." ancam Aris. Masih menatapku dengan tajam.
Sekarang, giliranku yang menghela nafas panjang.
"Kenapa kita harus membahas hal yang tak perlu dibahas?" tanyaku, masih mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Agar tak ada lagi rasa sakit dan penyelasan."
Aku terkekeh pelan. "Semua sudah berlalu. Buat apa lagi ada rasa sakit dan penyelasan. Bilang saja kamu mau mengenangnya bersamaku." kataku. Mengumbar senyum yang sedari tadi kuusahakan untuk keluar. Membuat Aris juga ikut tersenyum.
"Mungkin benar, obat terbaik dari sakit hati adalah waktu."
"Kenapa tiba - tiba?" tanyaku tak mengerti.
"Karena Tari yang sekarang aku temui, cukup berbeda dengan Tari yang dulu aku tinggal."
"Sebenarnya, bukan itu jawabannya." kataku mengoreksi.
"Lalu?" Aris bertanya.
"Karena sekarang aku sudah dewasa." jawabku. Kali ini berhasil membuat tawa kami kembali. Menghilangkan suasana aneh beberapa menit yang lalu.
"Jadi, kau akan datang kan?" tanya Aris. Kembali memasang wajah seriusnya.
"Datang kemana?" aku mencoba menggoda.
"Datang kepernikahanku lah." Aris tampak kesal. Membuatku tersenyum geli. Laki - laki ini benar - benar tidak berubah. Digoda sedikit saja, marah.
"Entahlah. Sepertinya tidak." jawabku. Sukses membuat Aris melongo tak percaya.
"Wah, benar - benar. Bisa - bisanya bilang seperti itu." Dan kini Aris benar - benar tampak kesal. "Memang apa yang membuatmu tak bisa hadir. Dan dengan begitu mudahnya mengabaikan janji yang dulu kita buat." lanjutnya lagi.
"Bukankah kamu juga mengabaikan janji yang dulu kita buat, untuk saling memberi kabar." kataku. Membuat Aris kembali terdiam. Dan kembali menatapku tajam.
"Coba bayangkan saja, yang lain datang dengan pasangan mereka. Sedang aku, masa aku datang sendiri. Enggak enak dong." keluhku. Yang tak mendapat reaksi apapun dari Aris. Aris tetap diam dan menatapku tajam.
"Apa kau masih bertahan?" tanyanya tiba - tiba.
"Menurutmu?" tanyaku balik.
"Tidak." jawab Aris mantap. Dan aku hanya mengangguk. Meskipun sebenarnya hatiku berkata ya.
"Apa kau masih menunggu kabarku?" kembali Aris melanjutkan pertanyaannya.
"Menurutmu?" Dan kembali aku melempar tanya.
"Tidak." Kembali Aris menjawab tidak. Dan kembali aku menggangguk. Meskipun sebenarnya selama ini aku memang benar - benar menunggu kabar darinya.
"Apakah kau sudah menemukan penggantiku?" Aris kembali bertanya. Dan kali ini, aku hanya diam. Menatap kedua mata yang saat ini tengah menatapku. Yang dulu sangat aku gilai.
"Belum, ya kan?" Aris menyela. Mencoba mencari jawab dalam keterdiamanku.
"Salah." jawabku. "Yang benar iya." Sembari tersenyum penuh arti ke arah Aris.
"Bohong." jawab Aris tak percaya.
"Dan apa kamu lebih percaya, selama 7 tahun ini aku menunggumu?" tanyaku. Membuat Aris diam. "Itu lebih tak mungkin, Ris. Kamu bisa bersama dengan yang lain. Kenapa aku tidak? Kamu bisa bahagia dengan yang lain, kenapa aku juga tidak?" Tak ada jawab. Aris tetap diam. Tapi, dalam hati, aku punya jawaban dari semua pertanyaan itu.
"Apa kau menyesal. Dengan apa yang terjadi dulu?" Aris melanjutkan pertanyaannya. Membuatku kembali menghela nafas panjang.
"Sebenarnya, tujuan utamamu kesini itu apa? Kenapa obrolan kita mengarah ke hal - hal yang seharusnya tak perlu kita bahas."
"Hanya mencoba tak ada jarak denganmu. Kau terlihat mencoba membuat jarak denganku."
Salah. Yang benar kamu, yang mencoba membuat jarak antara kita.
"Aku ingin persahabatan kita baik - baik saja. Begitu juga hubungan kita. Kau dan aku."
Lihat, siapa yang membuat jarak. Bahkan, kata "kamu" yang dulu sering kamu ucapkan telah berganti.
Aku menggangukkan kepalaku. "Sampai nanti pun, persahabatan kita tetap abadi." kataku. Sambil mengukir senyum diwajahku.
"Tenang saja. Hubungan kita juga akan baik - baik saja. Aku akan datang kepernikahanmu." kataku lagi membuat Aris sedikit terkejut.
"Dengan siapa? Kau bilang tak akan datang karena tak punya pasangan."
"Dan kamu percaya?" Aku menggeleng pelan.
"Jadi, kau benar - benar sudah menemukan penggantiku?"
"Tentu saja." jawabku mantap.
"Siapa dia?" tanya Aris penasaran.
"Dia, seseorang yang akan langsung membuatmu jatuh cinta hanya dalam 3 detik." jawabku. Diiringi hujan deras yang tiba - tiba saja turun pagi ini. Membuatku dan Aris langsung terkejut.
"Hujan? Kenapa bisa hujan?" tanyaku. Sambil mengintip dari balik jendela. Menyaksikan derasnya hujan yang turun diluar.
"Karena sudah memasuki bulan penghujan." jawab Aris.
"Aku tahu, Ris, kalau itu. Maksudku kenapa bisa hujan padahal langit tadi sangat cerah?" Aku mencoba menjelaskan.
"Siapa bilang. Tadi sudah mendung sewaktu aku tiba disini." terang Aris membuat kedua mataku melebar.
"Benarkah?" tanyaku tak percaya. Dan disambut anggukan dari Aris.
"Wah!!" seruku tiba - tiba mengingat percakapanku dengan Mbok Im tadi pagi.
"Kenapa?" tanya Aris penasaran. Bahkan sampai mendekatkan kepalanya untuk mengamati keadaan luar yang sampai membuatku berseru.
"Ahh, tidak ada apa - apa. Aku hanya berpikir apa kamu bisa mengemudi ditengah hujan lebat seperti ini?" Aku mencoba mencari jawaban.
"Ohh, itu. Mungkin aku akan disini lebih lama lagi. Atau mungkin sampai hujannya reda. Apa tidak apa - apa?" Aris meminta ijin.
"Tentu saja tidak apa - apa. Daripada nanti kamu dijalan kena apa - apa." Aris mengangguk mengiyakan.
"Kalau begitu tunggu sebentar. Aku buatkan teh hangat dulu untukmu." kataku sambil beranjak.
"Tunggu!" cegah Aris. Membuatku menahan langkah untuk ke dapur. "Kamu sudah bisa membedakan garam dan gula?" tanyanya. Yang langsung membuatku memasang wajah sebal.
"Tentu saja." jawabku sambil kembali melangkah menuju dapur. Dan tak menghiraukan tawa mengejek dari Aris.
Kenapa juga laki - laki itu tahu banyak tentang semua kekuranganku.