Loading...
Logo TinLit
Read Story - 3600 Detik
MENU
About Us  

Senin pagi yang indah. Tak ada titik - titik air yang turun seperti kemarin. Tak ada angin dingin yang membuat malas beranjak dari kasur. Dan, tak ada jalanan basah yang pagi ini aku lewati. Itu yang paling penting. 

Oh ya. Hai, perkenalkan namaku Mentari. Yang tidak terlalu suka dengan ornamen berbentuk matahari. Dan malah menggemari semua benda berbentuk sabit. Umur sudah hampir 26 tahun dan masih sendiri. 

Bagiku, kesendirian ini bukanlah masalah yang cukup besar. Tapi tidak dengan orang - orang disekitarku. Yang terus saja menatapku dengan pandangan hina. Yah, kalian paham kan apa yang aku maksud?

Bahkan diantara mereka ada yang repot - repot mencari bahkan mengatur jadwal kencan untukku. Yang sudah dapat dipastikan tidak akan pernah aku datangi.

Bukannya aku tidak menghargai usaha mereka membantuku. Tapi mereka saja yang tidak mengerti apa mauku. Aku hanya ingin sendiri. Bukan untuk selamanya. Tapi untuk beberapa waktu ini. Menikmati setiap inchi perjalanan hidupku. Yang bagiku cukup luar biasa. Yang kata orang - orang sangat membosankan. Hanya berkutat dengan berbagai macam bunga setiap harinya. 

Aku memiliki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar. Dan ada beberapa karyawan yang membantuku dalam mengelola toka tersebut. Kalau tidak salah, sudah hampir tiga tahun aku mendirikan toko yang ku beri nama seperti namaku. Dan aku sangat menikmatinya.
Melihat mereka tumbuh. Dari kuncup mungil menjadi mekar merekah. Sangat indah. Lalu, mencium harum dari setiap  bunga tersebut. Sangat mendamaikan. Ditambah lagi, diiringi suara radio lawas hadiah dari ayah. Mengingatkanku akan masa - masa itu. 

Masa dimana kita hanya memikirkan permainan apa yang bakal kita mainkan nanti. Atau, makanan apa yang nanti akan kita beli. Tanpa memikirkan rumitnya dunia orang dewasa. 

Ah. . . Lagi - lagi mengingat masa lalu. 

Inilah alasan kenapa aku sangat menyukai pekerjaan ini. Karena aku dapat mengingat semua kegilaan - kegilaan yang pernah ku lakukan bersama mereka. Dulu. Yang sekarang, kebanyakan mereka sudah berkeluarga. 

Dulu kami menamai kelompok kami dengan nama power ranger's. Kenapa? Karena kami berlima. Walaupun empat dari kami adalah perempuan dan satu laki - laki. Dan dulu, kelompok kami sangat terkenal. Terkenal rusuhnya. 

Kalau diingat - ingat, sebenarnya, dulu aku adalah gadis yang sedikit tomboy. Tidak suka dandan, tidak suka bunga, bahkan tidak pernah bertingkah manis. Tapi, satu kejadian merubahku. 

"Tar?" Satu panggilan diiringi suara pintu terbuka. Membuat senyum langsung mengembang diwajahku. Sembari berlari kecil menuju pintu. Menyambut perempuan yang rambutnya sebagian sudah berganti warna. Perempuan yang mungkin sebaya dengan ibuku. 

Yang tiap pagi bekerja menjajakan jualannya dengan naik sepeda tuanya. Dan aku sudah menjadi langganannya. Mbok Im namanya. Yang masih semangat berjualan aneka jajanan pasar buatannya sendiri. Memang macamnya tak banyak. Tapi rasanya tidak diragukan lagi. Enak. 

"Ini pesananmu, Nduk." kata beliau sambil menyerahkan kantong plastik terisi penuh kepadaku. 

"Wah, makasih Mbok." jawabku sembari menerima kantong plastik tersebut. Sampai pandanganku tertuju pada benda yang terletak dikeranjang depan sepeda Mbok Im. Payung.

"Tumben Mbok bawa payung. Kayaknya enggak bakal hujan sampai nanti sore." kataku sambil memandang langit yang tampak biru bersih membentang.

"Siapa yang tahu, Nduk. Kamu boleh bilang seperti itu, tapi yang diatas yang punya kuasa. Simbok yang hanya manusia biasa cuma bisa berjaga - jaga. Lagi pula, ini sudah memasuki bulan pergantian musim. Kemarin saja, satu hari penuh tak ada sinar matahari." terang beliau. Membuatku mengangguk dan tersenyum penuh arti. Mengagumi satu sosok ini yang tak pernah lupa untuk berhati - hati. 

"Iya Mbok. Semoga hari ini enggak hujan supaya dagangan Simbok laris. Biar Simbok juga enggak susah cari tempat berteduh." Doaku membuat perempuan paruh baya itu tersenyum.

"Sepertinya yang bakal kehujanan tokomu, Nduk. Dan sepertinya yang bakal susah cari tempat berteduh kamu." Mbok Im berkata dengan senyum yang masih terukir diwajahnya. 

"Maksudnya apa Mbok. Orang tokonya Tari aja sudah ada gentingnya. Enggak bakal bocor." balasku mencoba bercanda.

"Menunggu itu boleh, Nduk. Asal yang ditunggu bakal kembali. Tapi kalau yang ditunggu sudah lari. Buat apa. Kan mending cari yang lain." 
Satu kalimat dari Mbok Im kali ini benar - benar menusukku. Membuatku hanya tersenyum canggung menanggapi. 

"Ya sudah, Simbok keliling dulu ya. Takut nanti kesiangan." pamitnya. Yang hanya kubalas dengan anggukan dan senyum canggung yang belum pudar. 

"Iya Mbok, hati - hati." kataku mengiringi kepergian Mbok Im. 

Lalu, aku kembali masuk ke dalam toko yang masih sepi. Belum ada satu karyawanpun yang datang, karena jam kerja mereka memang dimulai dari jam 10 pagi. Sedang sekarang masih jam setengah 8 pagi. 

Otakku masih mencari arti dari perkataan Mbok Im tadi. Toko ku yang akan kehujanan. Dan aku yang akan susah mencari tempat berteduh. Apa jangan - jangan hanya daerah pertokoan ini saja yang terguyur hujan. Lalu apa artinya aku akan susah mencari tempat berteduh? Hampir 3 tahun aku bernaung disini, melewati berbagai musim disini. Melewati derasnya hujan angin dengan berteduh disini, belum ada catatan genting bangunan ini bocor. Lalu, apa maksud dari perkataan Mbok Im tadi?

Satu pikiran buruk tiba - tiba muncul. Apa mungkin nanti akan ada bencana alam. Yang menimbulkan dampak cukup parah. Dan cukup menghancurkan daerah ini. Tapi, bagaimana Mbok Im tahu? Apa Mbok Im paranormal. Atau semacam penyihir - penyihir dalam film fantasi. Atau semacam malaikat seperti dalam drama - drama yang pernah aku tonton. Dan, ahh, kenapa pikiranku semakin melantur tak jelas. 

Mungkin tadi Mbok Im hanya menerka - nerka. Satu kalimat yang aku sugestikan kedalam otakku. Tapi, tetap saja tak membuat rasa penasaranku berkurang.

Membuatku tiba - tiba mendongak ke langit lewat jendela. Mengamati langit pagi ini. Masih cerah, dan tidak ada mendung. 

"Ahh, mungkin Mbok Im sedang mencoba menakutiku." kataku akhirnya. 

Setelah itu, aku kembali sibuk dengan pekerjaanku. Menata apa yang perlu ditata. Membersihkan apa yang perlu dibersihkan. Sampai kembali terdengar suara pintu terbuka. 

"Tari?" 

Dan suara itu. Yang mampu membius seluruh tubuhku. Dalam beberapa detik, seakan duniaku hancur. Hanya dengan suara itu. 

Aku memberanikan diri menoleh. Dan benar, dia tlah berdiri disana. Didepan pintu tepat didepanku. Dengan setelan jas mewah yang membalut tubuhnya. Dengan senyum yang masih sama ketika dia memakai seragam sekolahnya. 

Aku tersenyum lebar. Menyambutnya, yang tlah jauh - jauh datang kemari.

"Aris? Tumben mampir? Ada apa? Mau pesan bunga?" tanyaku memberondong laki - laki bertubuh tinggi itu. Sambil meletakkan sapu yang tengah ku pegang dan menghampirinya. Mencoba menutupi kegugupanku. 

Aris, laki - laki itu tertawa kecil. Membuatku menaikkan sebelah alisku. 

"Kenapa, ada yang lucu?" tanyaku sambil menuntun Aris duduk dibangku yang terletak didekat jendela.

"Aku tak pernah membayangkan akan melihatmu seperti ini." katanya. Membuatku bingung.

"Seperti ini, maksudnya?"

"Yah, seperti ini. Melihat Tari memakai celemek. Melihat Tari menyapu. Sangat lucu. Diluar bayanganku." 

Aku mencoba memasang wajah kesal. 

"Jadi seperti ini kalimat sambutanmu kepada sahabatmu yang bertahun - tahun tak kamu temui?" tanyaku. Kembali membuat Aris tertawa kecil.

"Tadi kalimat sambutanmu juga cukup mengecawakanku. Tidak ada ekspresi bahagia. Tidak tampak terkejut. Dan malah menawariku memesan bunga. Apa - apaan coba?" protesnya. 

"Apa perlu kita ulang?" tanyaku memberi solusi. 

"Apa kau tak malu dengan umurmu?" Aris balik bertanya. Membuat kami tertawa bersama. 

"Jadi, ada perlu apa Mister Aris datang kemari?" tanyaku, ditengah tawa kami.

"Aku merindukanmu." balasnya cepat. Sambil memasang wajah seriusnya. Membuatku kembali mencoba memasang wajah kesalku. 

"Ingat, aku bukan lagi anak SMA yang bisa kamu gombali!" 

Aris kembali tersenyum.

"Apa kau tidak merindukanku? Sudah berapa lama kita tidak bertemu?" 

Aku mencoba mengingat. Terakhir kali aku bertemu Aris adalah sebelum dunia perkuliahanku dimulai. Sekitar kurang lebih 7 tahun yang lalu. Ternyata sudah sangat lama sekali. 

"Kurasa hampir 7 tahun kita tidak bertemu. Benar bukan?" tanyaku memastikan.

"Hampir 8 tahun." Aris membenarkan. "Dan reaksimu tadi, benar - benar membuatku kecewa."

"Kenapa? Apa aku harus pingsan atau aku harus menangis?" 

"Yah, seharusnya seperti itu." jawab Aris. Membuatku menggelengkan kepala pelan.

"Sebenarnya, aku sudah diberi tahu. Jadi aku terlalu tidak kaget." 

"Oleh siapa? Padahal aku menyuruh yang lainnya untuk diam?"
"Kenapa kamu menyuruh yang lain diam?" 

"Biar surprise." jawabnya. Kembali terkekeh. 

"Walaupun seperti itu, aku tidak akan kaget." 

"Benarkah?" Aris seakan mengejekku dengan ekspresinya. "Kalau seperti ini, kau akan kaget tidak?" tanyanya sambil meletakkan sebuah amplop putih dihadapanku.

"Apa ini? Kamu memberiku uang?" tanyaku. 

"Buka saja." suruhnya. 

Aku menuruti perkataan Aris barusan. Dengan perlahan aku membuka amplop putih tersebut. Dan dengan perlahan pula mengeluarkan isinya. 

Sebuah undangan. Untukku.

Aku menatap Aris bingung.

"Itu untukmu." kata Aris membalas kebingungan yang kuperlihatkan di kedua mataku. 

"Undangan nikah?" tanyaku. Yang langsung disambut anggukan kecil dari Aris.

"Siapa yang menikah?" kembali ku bertanya.

"Buka saja." kembali Aris menyuruhku. Dan kembali aku menuruti perintahnya. 

Dengan sedikit cepat ku buka lipatan kertas tebal itu. Diiringi degup jantungku yang kian keras. Hingga kedua nama itu muncul, dan kembali membuatku terjatuh kedalam lubang yang tlah lama aku tutup.

Sekarang aku mengerti maksud dari perkataan Mbok Im tadi. Memang benar, hanya tokoku yang terguyur hujan. Hujan badai. 

"Kamu menikah?" tanyaku. Yang langsung disambut senyum bahagia dari Aris.

Dan aku, harus bereaksi bagaimana? 

 

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
I'll Be There For You
1293      619     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Sunset In Surabaya
373      272     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
Dessert
1052      555     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Luka Adia
827      503     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
Special
1624      858     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Enigma
1695      913     3     
Inspirational
Katanya, usaha tak pernah mengkhianati hasil. Katanya, setiap keberhasilan pasti melewati proses panjang. Katanya, pencapaian itu tak ada yang instant. Katanya, kesuksesan itu tak tampak dalam sekejap mata. Semua hanya karena katanya. Kata dia, kata mereka. Sebab karena katanya juga, Albina tak percaya bahwa sesulit apa pun langkah yang ia tapaki, sesukar apa jalan yang ia lewati, seterjal apa...
Lentera
902      614     0     
Romance
Renata mengenal Dimas karena ketidaksengajaan. Kesepian yang dirasakan Renata akibat perceraian kedua orang tuanya membuat ia merasa nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dimas memberikan sebuah perasaan hangat dan mengisi tempat kosong dihatinya yang telah hilang akibat permasalahan kedua orang tuanya. Kedekatan yang terjalin diantara mereka lambat laun tanpa disadari telah membawa perasaan me...
Loading 98%
652      399     4     
Romance
TRIANGLE
342      225     1     
Romance
Semua berawal dari rasa dendam yang menyebabkan cella ingin menjadi pacarnya. Rasa muak dengan semua kata-katanya. Rasa penasaran dengan seseorang yang bernama Jordan Alexandria. "Apakah sesuatu yang berawal karena paksaan akan berakhir dengan sebuah kekecewaan? Bisakah sella membuatnya menjadi sebuah kebahagiaan?" - Marcella Lintang Aureliantika T R I A N G L E a s t o r ...
Berawal dari Hujan (the story of Arumi)
1135      609     1     
Inspirational
Kisah seorang gadis bernama Arumi Paradista, menurutnya hujan itu musibah bukan anugerah. Why? Karena berawal dari hujan dia kehilangan orang yang dia sayang. Namun siapa sangka, jika berawal dari hujan dia akan menemukan pendamping hidup serta kebahagiaan dalam proses memperbaiki diri. Semua ini adalah skenario Allah yang sudah tertulis. Semua sudah diatur, kita hanya perlu mengikuti alur. ...