“Ma, aku punya saudara kandung tidak?” tanyaku pada Mama.
“Tidak, Sayang. Mengapa kau menanyakan itu? Kau kesepian?” tanya Mama khawatir.
“Eeeh? Tidak, kok,” aku mengelak.
“Ooh. Ya sudah, Mama mau pergi dulu. Kau jaga rumah, ya,” perintah Mama.
“Iya, Ma.” Aku pun masuk ke kamar.
Bruk!
“Senangnya tinggal di Korea~,” gumamku dengan nada yang bahagia sekali.
Piip! Piip!
“Ah, mengagetkan sekali. Baru kali ini aku dapat panggilan telepon.” Aku mengambil hp ku dari atas meja. “Dari ‘sahabatku Nam Shin-Hye’.” Aku membaca nama si penelpon. “Oh, dari Shin-Hye ternyata. Ada apa ya?”
“Yeobseyo. Shin-Hye? Ada apa?”
“Hmm... tak ada. Aku hanya... ingin minta maaf untuk kejadian tadi. Aku tadi terlalu tajam, ya?”
“Tidak juga, sih. Tapi itu cukup untuk membuatku ketakutan. Aku juga mau tanya. Memangnya ada apa sih dengan Tae-In?”
“Itu besok saja. Yang tau banyak tentangnya itu Jae. Atau, kalau kau memang sudah penasaran, kau bisa bertanya langsung pada Jae-Min. Kau punya kontaknya. Tapi itu pun kalau ia mengizinkan. Soalnya dia itu punya peraturan yang sangat ketat. Sekali tidak, ya tidak,” jelas Shin-Hye panjang.
“Jadi kau menelponku hanya untuk mengatakan hal itu?”
“Ya, intinya aku mau minta maaf. Dan aku pesankan, jangan pernah dekati Tae-In. Bye.”
“Tapi ak-.” Terlambat. Shin-Hye sudah memutuskan sambungannya. Ugh... padahal aku hanya ingin bilang kalau aku sama sekali tak mengharapkan bisa tahu segala hal tentang Tae-In.
PIP!
“Ada pesan dari Jae. ‘Aku disuruh Shin-Hye untuk memberitahu kau tentang Tae-In. Tapi aku tak mengizinkanmu untuk tahu. Jadi aku tak akan memberitaumu’. Apa-apaan ini? Siapa yang mau tahu?! Ah, dasar mereka berdua.”
Tok! Tok! Tok!
“Masuk saja, Ma.” Mama masuk.
“Kau kesepian?” tanyanya.
“Tidak.”
“Kalau kau kesepian, kau bisa mengunjungi rumah Shin-Hye. Hanya terletak 5 rumah lebih jauh, kok,” jelasnya.
Ah, ini pasti gara-gara aku bertanya pada Mama soal tadi. “Ya, kapan-kapan aku akan ke rumahnya.”
“Oh, ya. Mama membelikanmu novel, nih. Mmm... dulu kau memang tidak terlalu menyukai novel. Tapi mungkin sekarang sifatmu sudah berubah?”
“Yeaay! Terima kasih, Ma. Aku suka kok.” Aku menatap sampulnya. Yang kutahu, novel Korea itu menarik-menarik. Bahkan tidak sedikit juga yang novelnya dijadikan drama. Dan ini adalah novel Korea yang pertama akan kubaca.
__ __ __
Kriing!
Bel istirahat berdering.
“Well, kau diam saja dari tadi. Kenapa? Ngambek karena Jae-Min tidak memberitahumu soal Tae-In?”
Aku meliriknya. “Biar seru, aku akan mencarinya sendiri.” Aku menyeringai.
“Jangaaan!” teriak Shin-Hye dan Jae-Min.
“Kenapa, sih?” tanyaku sebal.
“Tae-In berbahaya, tauuk! Jangan dekat-dekat dengannya!” larang Jae-Min.
Aku mengangkat bahu. “Terserah kalian.”
“Kau tidak mau jajan di kantin? Ikut, yuk!” ajaknya.
“Tidak,” jawabku singkat. Mereka tak peduli dan pergi meninggalkanku. Dasar.
__ __ __
Aku melepas bando dan meletakannya di laci meja. Wajahku terlihat kusut sekali. Aku lalu turun ke lantai bawah dan mendapati Mama yang sedang menonton TV.
“Oh, Myung-Joo. Duduk sini.” Aku duduk di samping Mama.
“Bagaimana dengan keadaanmu di sekolah? Baik-baik saja, kan?” tanya Mama memastikan.
“Ya. Hanya saja, Shin-Hye dan Jae-Min sedang aneh,” jawabku datar.
“Aneh kenapa? Bukannya mereka baik padamu?”
“Iya. Baik sekali, sampai-sampai mereka melarangku untuk mengetahui sesuatu.”
Mama malah tersenyum. “Bagus dong? Itu berarti mereka sayang padamu. Mereka ingin kau tetap aman.”
“Iya, sih...,” gumamku. “Tapi....” Seberapa berbahaya nya Tae-In sampai-sampai aku tak diperbolehkan untuk dekat-dekat dengannya?
Aku mencoba untuk mengalihkan topik. “Ada makanan tidak? Aku lapar,” keluhku.
“Ada jajangmyeon. Makan saja.” Aku mengangguk.
__ __ __
“Myung, ada pesan dari Shin-Hye kalau ia demam. Jadi ia tidak bisa mengantarkanmu ke sekolah. Kau bisa pergi ke sekolah sendiri?”
“Hm, ya. Aku ingat tempatnya kok,” jawabku seraya memakaikan sepatu ke kakiku. Aku mengambil tas, lalu merangkulnya. “Ma, aku berangkat sekolah ya!” sahutku.
“Ya, hati-hati ya!” pesan Mama.
Aku berjalan menuju sekolah. “Pertama, jalan ke halte bus. Pilih tujuan ke halte bus dekat sekolah. Lalu turun dan berjalan sedikit ke sekolah. Sampai. Aku hapal jalannya, kok.”
__ __ __
Aku duduk dimana aku biasa duduk.
“Yuhuu! Hello, Park Myung! Dimana Shin-Hye?” sapa Jae-Min.
“Dia demam,” jawabku datar.
“Waduh, gawat! Nanti kita tengok ke rumahnya, ya.” Aku hanya membalasnya dengan menganggukkan kepala.
Kriing!
“Oh, sudah bel masuk kelas. Aku duduk di bangku dulu, ya.” Aku mengangguk.
__ __ __
Kriing!
“Ya, pelajaran kali ini cukup sampai disini. Sekarang kalian boleh keluar kelas.” Semua anak langsung berhamburan ke luar kelas. Aku memasukkan buku pelajaran ke dalam loker meja.
“Yuk, ke kantin!” ajaknya. Siapa lagi kalau bukan Jae-Min. Aku mendengus pelan. Tiba-tiba Jae-Min terlihat kesal.
“Kau ini kenapa?” tanyanya sebal. Ia menaikkan kedua ujung bibirku. Seketika ia senang kembali. “Nah, gini kan baru enak dilihat! Ayo ke kantin!”
Kini aku benar-benar tersenyum. “Oke, deh. Yuk, ah, ke kantin!” ajakku.
“Yeaay!”
Aku tersenyum sambil meliriknya. Jae-Min itu periang sekali, seperti anak kecil. Beda tuh, sama Shin-Hye yang cemberut terus tiap hari. Hihi, pikirku.
“Mau nyoba jajanan apa hari ini?”
Aku menyapu pandangan ke seluruh sudut kantin. Tatapanku berpindah ke Jae-Min. “Churro, boleh?”
__ __ __
Zrashh!!
Aku menoleh ke jendela kelas. Ah, sial sekali. Mengapa harus hujan? Sedangkan waktu pulang sekolah sebentar lagi.
Kriing!
Tuh, kan. Aku terus menggerutu di dalam hati sambil menatap jendela kelas, sampai aku tak sadar jika Jae-Min sudah ada di depanku.
“HEI,” panggilnya.
Aku terkejut. “A-apa?”
“Hujan. Jadi kita tak jadi ke rumah Shin-Hye,” katanya. Aku mengangguk, dan kembali menatap jendela.
“HEI.”
Aku menatap Jae-Min dengan perasaan yang agak sebal. “Ada apa lagi?”
“Kau tidak apa-apa pulang sendiri di tengah hujan deras begini? Bareng denganku saja, yuk. Aku pulang dengan mobil,” tawarnya dengan wajah yang sedikit khawatir.
“Ah, tidak. Tidak usah. Terima kasih. Aku bisa menunggu sampai hujannya reda. Arah rumah kita berlawanan, bukan? Aku tak mau merepotkanmu,” tolakku.
“Tapi kan kau.... Aku tak mau kau kenapa-kenapa!” Jae-Min memelukku erat.
“Aku sudah besar, Jae-Minie. Ini hanya hujan, bukan apa-apa. Kau pulang saja.”
“Tapi kan-.”
“Hei, bukannya kalau kau pulang terlambat, kau akan dimarahi?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Oh, iya! Ya sudah, aku pulang dulu!” Ia pergi seakan lupa denganku. Baguslah.
Aku tersenyum. “Aku hanya tak mau merepotkanmu, Jung Jae-Min.”
Aku menengok ke kanan dan ke kiri. “Ah, sebaiknya aku pulang sekarang saja.” Aku akhirnya terpaksa harus menerjang hujan deras dengan berlari untuk sampai ke rumah.
__ __ __
Ckiit!
Aku turun dari bus dan langsung berlari secepat mungkin. “Ah, hujannya mulai agak reda,” gumamku. Aku memperlambat langkah.
Samar-samar, aku melihat ada seseorang yang sedang berjalan di tegah hujan begini. Ia terlihat sangat santai sekali. Dan tunggu... wow, dia siswa, siswa dari sekolahku juga.
“Annyeong!” aku berusaha menyapanya. Ia lalu menoleh.
“WAAA!” Wow, aku tak percaya ini. Tapi, warna matanya... beda sebelah, hitam dan hijau. Tatapan matanya tajam sekali. Warna rambutnya hitam pekat. Ia pakai anting di telinganya. Apa semua laki-laki di Korea memakai anting di telinganya? pikirku. Ia juga tampan sekali.
Ia menatapku sebentar, lalu berbalik badan dan pergi. Aneh, dingin, tampan. Tunggu, dia... “Jung Tae-In?” gumamku lirih.
Ia berhenti. “Ne?”
Aku tersentak. “I-itu namamu?”
Kami seketika diam. Aku pun langsung berlari kabur.
__ __ __
Tuk!
“Ini tehnya.”
“Hm? Oh, terima kasih, Ma.” Aku meneguk seteguk teh.
“Hmph... Mengapa kau pulang hujan-hujanan? Sendirian pula. Apakah tidak ada satu pun temanmu yang menawari pulang bersama?” tanya Mama.
“Jae-Min. Tapi kutolak. Aku tidak mau merepotkannya. Soalnya rumah dia kan jauh sekali. Aku tidak enak kalau sampai merepotkannya,” alasanku.
“Setidaknya kau bisa menunggu sampai hujannya reda.”
“Aku ‘kan tidak tau kapan hujannya reda. Kalau sampai malam belum juga reda bagaimana?”
“Yah, terserah kau saja.” Mama pergi dengan kecewa. Ia tak bisa melawan anaknya yang keras kepala ini.
Aku diam. Uuh... suhu di Korea lebih dingin daripada di Amerika.
__ __ __
Aku mengirimi pesan pada Jae-Min.
Me : Aku sudah tau siapa Tae-In.
Jae-Min: MWO? Jangan dekati dia!
Me : Kenapa, sih? Dia aman-aman saja, kok.
Jae-Min: Jangan terpengaruh dengan ketampanannya.
Me : Tidak peduli. Aku mau tahu banyak tentang dia *weeks*
Aku mematikan hp sambil tertawa cekikikan. “Tae-In itu berbahaya, ya?”
Di luar masih hujan... “HACHU!” Aku turun ke bawah untuk membuat cokelat panas.
“Myung-Joo, belum tidur?” tanya Papa.
Aku menatap Papa datar. “Masih pukul delapan. Ya, aku belum tidur.” Papa tertawa kecil.
Aku membuat cokelat panas di dapur sambil sesekali bersin. Selesainya aku membuat cokelat panas, aku membawanya ke teras belakang rumah. Wah, serasa di dalam drakor. “Nyaman.”
__ __ __
Aku sampai di sekolah bersama Shin-Hye. Katanya, keadaannya sudah baikan. Jadi ia sudah bisa masuk sekolah. Aku meletakkan tasku di atas bangkuku.
“Lho, tas Jae-Min ada. Tapi dia dimana?” tanyaku.
Shin-Hye berpikir. “Oh, ayo ikut aku,” ajaknya. Ia mengajakku ke halaman belakang sekolah. Oh, Jae-Min sedang santai-santai di bawah pohon rindang sambil memakai earphone di telinganya. Wah, dia cantik sekali. Aku baru tahu kalau ia ternyata secantik ini.
“JAE-MIN AH!”
Jae-Min membuka matanya lebar-lebar. “Oh, Shin-Hye, Myung-Joo. Hai.” Ia melepas earphone dari telinganya.
“Hai juga,” balas kami berdua kompak.
“Denger lagu Kpop lagi ya?” tebak Shin-Hye.
“Iya, hehe.”
“Lho, Jae-Min suka lagu Kpop?” tanyaku. Aku jadi teringat Lui yang juga menyukai musik Kpop.
“Iya. Kau juga suka?”
Aku menggeleng. “Bahkan, aku tidak pernah mendengar salah satu lagunya sama sekali.”
Jae-Min tersenyum. “Mau dengar?” tawarnya.
Hatiku berdebar. “Ya... boleh?"
Jae memakaikan satu bagian earphone nya ke telingaku. Aku memejamkan mata sambil menikmati iramanya. “Ini lagu untuk remaja...,” gumamku.
Kriing!
Dering bel sekolah mengagetkan kami semua.
Aku langsung cepat-cepat melepas earphone dan berlari menuju gedung sekolah. “JAEE! Tadi judul lagunya apaa!” sahutku.
“EVERYDAY!!” Aku menganggukkan kepala.
__ __ __
“Lalu ini dikali ini. Nah, hasilnya lalu dibagi ini.” Aku mengikuti arahan dari Shin-Hye.
“Oke, makasih. Hasilnya begini bukan?”
“Langsung minta nilai pada Jin Seonsaengnim saja.” Aku berjalan menuju Jin Seonsaengnim untuk meminta nilai.
“Ya, nilaimu bagus. Kau dibantu Shin-Hye, kan?” tebak Jin Seonsaengnim.
“Eh? Iya...,” jawabku takut-takut.
“Tak apa. Kau baru bangun dari koma, dan amnesia ‘kan? Jadi kau belum mengerti pelajarannya. It’s okay. Tapi untuk selanjutnya, kerjakan sendiri, ya,” nasihatnya. Aku mengangguk, lalu kembali duduk di bangku dengan lesu.
“Bagaimana? Benar semua ‘kan jawabannya?” tanya Shin-Hye antusias.
“Huh. Iya, tapi katanya aku harus kerjakan sendiri untuk selanjutnya.”
“Haha. Tak apa. Kau kan pintar. Ya sudah, bagaimana kalau nanti aku main ke rumahmu sekalian belajar bersama?” usulnya.
Wajahku kembali cerah. “Benar?” Ia mengangguk. “Yes!” aku bersorak.
Tiba-tiba Jae-Min datang. “Hei~ tolong ajarkan aku soal matematika ini~,” pintanya dengan wajah yang muram sekali. Kami tertawa.
“Oke-oke, aku akan mengajarimu.”
__ __ __
Kriing!
“Yash, sudah bel!” sorakku, lalu dengan sigap mengeluarkan handphone. Aku mencari lagu yang kudengar bersama Jae-Min di halaman belakang sekolah tadi. “Everyday,” gumamku.
Tik! Tik! Tik!
“Duh, kok tidak ada ya?” Aku terus mencari lagu Everyday tang tadi kudengar. Tapi pasti yang kutemukan hanyalah lagu yang berbeda dengan nama yang sama.
Shin-Hye melirik. “Ngapain, sih?”
“Myung, ngapain? Kok kayaknya serius amat?” tanya Jae bingung dengan raut wajahku yang memang kelihatan serius sekali.
“Ini. Aku sedang mencari lagu yang tadi kita dengarkan. Tapi kok nggak ada, ya?” tanyaku bingung.
“Iiih! Kamu lucu banget, sih! Jarang, lho ada orang yang langsung tertarik sama Kpop kayak kamu. Sini aku cariin.” Aku memberikan handphone ku pada Jae-Min. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah. “Kalo kamu nyarinya begini, kapan ketemu nya, Myung-Joo??”
“Eh? Salah ya?”
Jae-Min menggeleng pelan. “Kalau mau cari lagu, kasih keterangan lagunya yang lengkap, dong. Kasih nama penyanyinya juga. Lagu yang namanya Everyday kan banyak,” jelas Jae-Min lebar. Aku hanya garuk-garuk kepala. “Nah, ketemu. Lagunya yang ini ‘kan?” tanyanya. Wajahku berseri-seri. “Dan juga, aku sudah menyimpannya ke dalam playlist di hp mu.”
“Aaah! Terima kasiih! Dengan begini, hidupku akan jadi lebih berwarna!” seruku sambil memeluk hp ku erat.
“Hei, aku masih punya rekomendasi lagu yang lebih berwarna lagi, lho.”
“Waah, ayo beri tahu padaku!”
“Nanti saja, deh. Tuh, Pangeran Shin-Hye sudah tak sabar ingin makan di kantin, hihi,” sindir Jae-Min.
“Heii! Aku wanita!”
“Hahaha!”
__ __ __
“Jae-Min. Mau ikut main ke rumah Myung-Joo, tidak?” tawar Shin-Hye seraya fokus dengan hp nya.
“Mmm... aku dibolehkan tidak, ya? Coba, deh aku izin dulu dengan Mom.” Jae-Min mengeluarkan hp nya.
“Semoga boleh,” gumamku.
Setelah ia selesai berurusan dengan Momnya, padangannya beralih pada kami. “Oke, boleh main.”
“Yes!”
“Pergi ke rumah Myung-Joo dengan mobilku, ya.”
“Okeeey!”
__ __ __
Kami sampai di depan rumahku.
“Permisii!” sahut Shin-Hye dan Jae-Min. Aku membuka pagar rumah.
“Myung-Joo sudah pulang. Eh, ada Shin-Hye dan Jae-Min juga,” ujar Mama.
“Iya, Tante. Kami izin mau main.”
“Ya, silahkan.”
“Yuk, ke kamarku,” ajakku.
“Permisi, Tante.”
Cklek!
“Ayo, silahkan masuk,” aku mempersilahkan mereka untuk masuk ke dalam kamarku.
“Wah, kamarmu rapih sekali, ya,” puji Jae.
“Iya. Enggak kayak kamarmu yang super rame,” sindir Shin-Hye.
“Eeeh???”
“Memang ada apa dengan kamar Jae-Min?” tanyaku penasaran.
“Dinding kamarnya penuh dengan poster-poster idol Kpop. Rak bukunya semua berisi buku-buku Kpop. Ia juga punya rak khusus untuk album-album Kpop nya yang sudah segunung. Bahkan meja dan lemarinya ditempeli foto-foto idol Kpop. Mengesankan.”
“Ehehehe,” Jae-Min hanya terkekeh.
“Hahaha.”
Aku pun melepas bandoku dan menguncir rambutku dengan kuncir ekor kuda. Aku menarik meja bulat berukuran sedang ke tengah-tengah ruangan. “Oke, silahkan duduk.” Kami diam.
Shin-Hye melirikku. “Ada apa?” tanyaku risih.
“Tadi aku kesini niatnya kan mau belajar bareng,” katanya.
Aku menghela napas berat. “Ya sudah, kita belajar dulu. Baru main.”
“Kok gitu, siih?? Kalau tahu begini aku tadi tidak ikut kesini.” Sepertinya Jae-Min memang tidak punya niatan sama sekali untuk belajar.
“Haha, jangan gitu dong. ‘Kan belajar sama main harus diimbangi,” bujuk Shin-Hye.
“Iya deh, iya.”
__ __ __
Sudah puluhan menit kami belajar bersama.
“Nah, kalau yang ini caranya mudah. Asalkan hapal rumusnya, pasti bisa,” jelas Shin-Hye pada Jae-Min.
“Kalau yang ini, Shin?” tanyaku.
“Oh, kau belum catat yang itu, ya. Ini. Buku catatanku kau pinjam dulu saja.” Shin-Hye menyodorkan buku catatannya.
“Terima kasih.” Aku melirik Shin-Hye. “Nam Shin-Hye. Apa kau tak perlu kami jelaskan sesuatu? Pasti kau yang selalu menjelaskan.”
“Ah, Shin-Hye mah tidak perlu dijelaskan apa pun lagi. Dia sudah pintar.”
“Woaah... Memangnya dia ranking berapa di kelas?” tanyaku kagum.
“Ranking 2, lho! Ya... kalau saja ia lebih bersosialisasi dengan semua teman di kelas, ia pasti sudah mendapat ranking 1 dengan sangat mudah!” jelas Jae-Min dengan bangga.
Aku melongo. “Woah, keren. Anak sepintar dia bisa bersahabat denganku. Memangnya dia benar-benar pintar?” tanyaku masih tak percaya. Soalnya dari luar Shin-Hye seperti anak biasa-biasa saja, sih. Hehe.
“ENGGAK.” Kami terdiam.
“Heiii! Katamu aku pintar? Kok sekarang malah menjelek-jelekanku, sih?! Sini kau!” Shin-Hye mengejar-ngejar Jae-Min.
“Ampuun!”
“Ga ada kata ampun!”
Aku berbaring di atas lantai sementara mereka kejar-kejaran. “Sudah, ah belajarnya!”
Shin-Hye berhenti memukuli Jae-Min. “Hei, memangnya kau sudah mengerti semua pelajaran?”
Aku cemberut. “Sudah, kok.”
“Terus mau ngobrolin apa?” tanya Jae.
“Hmm....” Kami bertiga berpikir.
“OYA!”
“Apa?”
Aku tersenyum smirk. “Aku sudah tahu Tae-In.”
Bruk!
Jae-Min memelukku sampai terjatuh. “Jangan dekat-dekat dengan Tae-Iiiin!”
“Uuuh. Kenapa, sih kalian itu melarangku untuk mendekati Tae-In? Lagipula siapa juga yang mau mendekati dia!”
“Ya, pokoknya jangan didekati. Eh, coba kutanya. Tae-In itu yang mana? Jangan-jangan kau hanya pura-pura tahu?” tantang Shin-Hye.
Aku mendengus. Mereka tidak percaya denganku ternyata. “Hmm... Dia itu dingin, aneh, tampan, pakai anting di telinganya,” sebutku.
“Itu spesifik sekali. Hampir semua laki-laki begitu.”
Aku mencoba untuk memikirkannya lebih dalam lagi. “Oya. Bola mata sebelah kanannya berwarna hitam, dan sebelah kirinya berwarna hijau. Right?” Mereka terbelalak.
“Kok tahu? Tahu darimana? Apa? Dimana? Kapan? Siapa? Mengapa dan bagaimana?” tanya mereka terkejut setengah mati.
“Aku tahu sendiri. Waktu pulang sekolah pas hujan-hujan itu, lho. Aku bertemu dengannya langsung.” Mereka saling berbisik. Aku mengerutkan dahi.
PIIP! PIIP!
“Ne, Yeobseyo? Oh. Iya, Mom. Iya-iya, aku segera pulang.”
PIP!
“Myung-Joo, Shin-Hye, maaf. Aku harus pulang. Mom menyuruhku untuk pulang. Bye,” pamit Jae-Min, lalu pergi. Aku mengangguk. Kini hanya ada aku dan Shin-Hye berdua.
“Jung Tae-In itu bukan manusia biasa. Dia manusia yang tidak normal. Dia sangat berbahaya. Dan semua tahu itu,” ujarnya seraya merangkul tasnya. “Sudah sore. Sebaiknya aku juga pulang. Daah.”
Cklek!
__ __ __
“Hmm... hhh... HUAA! Mengapa kata-kata Shin-Hye tadi terus terngiang-ngiang di telingaku?! Lagipula, apa pedulinya aku dengan berbahaya atau tidaknya Tae-In?! Kukatakan, AKU BUKAN STALKER NYAA!!” Aku tersadar. “Oh, ya ampun. Sekarang aku malah berteriak-teriak sendiri seperti orang gila.”
“Huft... pokoknya besok aku harus mencari tahu apa sebab Shin-Hye dan Jae-Min melarangku untuk mendekati Tae-In. GANBATTE.”
__ __ __
“Mama, mana sarapanku?” tanyaku lesu.
“Ini. Pagi ini kita sarapan dengan sup Naengmyeon, ya,” jelas Mama.
Aku mengangguk. “Iya, Ma. Terima kasih.” Aku menaruh sumpit ke dalam mangkuk dan mengaduk-adukan sup nya.
“Tumben bangun pagi sekali? Ada apa nih?” tanya Papa.
“Hm? Hanya sedang semangat untuk sekolah saja.”
“Semangat sekolah kok wajahnya muram begitu sih? Hayoo, ada apa nih?” goda Papa.
Aku tersenyum, senyum yang dipaksakan. “Aku jujur, bukan? Nah, karena sarapan sudah selesai, aku mau berangkat ke sekolah.”
Mama dan Papa mengerutkan dahi. “Kau ini kenapa?”
Aku menggeleng. “Hanya sedang ingin berangkat pagi, salahkah?”
“Lalu bagaimana dengan Shin-Hye? Kau mau berangkat dengannya sepagi ini?” tanya Mama.
“Aku sendiri,” jawabku seraya memakai sepatu. “Baiklah, aku akan pergi sekolah. Dah Ma, Pa, aku pergi dulu!” pamitku.
Aku berjalan menuju sekolah dengan wajah yang datar. Lalu aku berhenti. Ini tempat dimana aku dan dia bertemu. Berarti rumahku dan rumahnya tak terlalu berjauhan, dong? Itu menyeramkan, pikirku, lalu kembali berjalan.
Tap... Tap...
“Siapa itu?” Hening. Perasaan saja mungkin. Aku kembali berjalan, tapi kali ini lebih cepat lagi.
__ __ __
Tik! Tik!
Aku mengetik keyboard di layar hp ku.
“Myung-Joo ah! Waah, pagi sekali kau datang,” sapa seseorang.
“Oh, emm... Bae-Won....”
“Bae-Won Young, Young Bae-Won,” lanjutnya.
“Ya, maaf aku lupa.”
“Tidak apa.”
Aku menaruh hp ku di atas meja. “Ada keperluan denganku?” tanyaku.
“Kenapa kau ketus begitu? Terpengaruh oleh Shin-Hye, ya?!” tuduhnya tiba-tiba.
“HEI. Jangan salahkan sahabatku! Aku hanya sedang tak mood, kok! Aaah... kelihatan, nih, sifat aslimu.” Aku menyeringai.
“A-aku... ke toilet dulu.” Ia pergi. Sukurlah.
__ __ __
Aku memakaikan earphone ke kedua telingaku, lalu keluar kelas. Entah secepat apa aku terpengaruh dengan dunia Kpop, tapi lagu Kpop memang dengan mudah menghipnotisku.
Aku terus menyusuri lorong sekolah, sampai akhirnya aku sampai di halaman depan sekolah.
“Saranghae~,” senandungku pelan. Aku hendak duduk di kursi panjang, tapi ada sesuatu yang mengganjal penglihatanku yang menyuruhku untuk tak jadi duduk. Hijau-hitam. Ya, dia Tae-In.
Ia melirikku, lalu ia lari ke lantai atas, seakan-akan dia tahu kalau aku akan mengejarnya. Ya, aku memang sudah punya ancang-ancang untuk mengejarnya. Akhirnya aku benar-benar mengejarnya.
Sampai akhirnya ia berhenti di depan ruangan bertuliskan ‘kelas 2-5’. Itu kelasnya. Aku kecewa karena belum sempat basa-basi dengannya.
“Baca pesanku,” ia memberi kode, lalu masuk ke dalam kelasnya.
Aku merenyitkan dahinya. “Pesannya? Memang dia punya kontakku?”
Aku mengecek hp ku. Aku terkesiap.
Tae-In: Rumahku ada di gang xxx nomor xx.
__ __ __
“Park, ayo jajan bareng!” ajak Shin-Hye. Ia tersenyum miring. “Kau kenapa? Kok kayak anak kecil lagi ngambek?” ejeknya.
Aku meliriknya geram. “Diam kau.”
“Ku tak tau apa yang bisa membuatmu bahagia~.” Jae-Min menyanyikan satu kalimat dari lagu yang sedang kusukai.
Aku mengangkat kepala. "Ku bukan yang sempurna untukmu~," lanjutku.
“AAAH HAA-AAAH!!”
“Hais! Tidak usah dilanjutkan, Shin-Hye!” tegur Jae-Min.
“Suaranya melengking pula,” sambungku.
“Yah, setidaknya aku tahu kelanjutannya ‘kan?” tanya Shin-Hye sambil mengangkat kedua bahunya. Kami tertawa bersama.
“Mau makan apa nanti di kantin?”
“Jajangmyeon.”
“Bakal habis, tuh?”
“Hahaha.”
__ __ __
Aku men-scroll hp ku. “Oh, ini kontaknya.” Aku menekan foto profilnya. Hanya foto warna matanya. Nuasa hitam dan hijau. Dia miserius sekali. Pokoknya nanti aku harus kerumahnya, harus. Aku penasaran, mengapa Jae-Min dan Shin-Hye melarangku untuk mendekatinya.
__ __ __
Aku berlari ke dalam kamar dan langsung mengganti pakaianku dengan pakaian santai.
“Mamaa, aku pergi dulu, ya!” sahutku.
“Kemana?”
“Ke rumah teman, Ma!”
“Ya sudah, jangan lama-lama!”
“Siip!”
Aku mencari gang rumah Tae-In. Gangnya sudah, sekarang nomornya. Aku sempat bertanya pada warga sini juga saking bingungnya.
“Halo Unnie Ung-Joo! Duh, Unnie kemana saja, sih? Ji-Mi kangen.” Seorang Gadis kecil menyapaku. Sepertinya ia anak dari gang sini. Tapi kenapa ia mengenalku?
Oh, ada teorinya. Mungkin dulu aku berteman or bersahabat dengan Tae-In. Makanya kami sama-sama punya kontak. Tapi aku tak tahu kenapa aku baru tahu kalau aku punya kontak Tae-In. Nah, jadi aku sering ke rumahnya Tae. Jadi aku juga kenal anak ini. Kemungkinan besar, anak itu juga berteman dengan Tae-In. Tapi sepertinya anak ini tak tahu kalau aku koma. Dan pasti ia juga tak tahu apa itu koma. Itu tebakan, sih.
“Mmm... maaf, deh. Unnie sibuk, jadi Unnie jarang main kesini.” Namanya Ji-Mi ‘kan? “Ji-Mi tau rumahnya Tae-In Oppa ‘kan? Tolong antar Unnie kesitu, yuk.”
Ji-Mi cemberut. “Rumah teman sekolah sendiri lupa! Ya sudah, yuk Ji-Mi anter!” omelnya. Ia mengamit tanganku.
“Maaf, ya, Ji-Mi. Kak Myung-Joo lupa, hehe.”
Ji-Mi menatapku tajam. “Iya, tidak apa-apa. Eh, Ji-Mi punya cerita, lho. Ji-Mi waktu itu pernah liat Tae-In Oppa sedih, dia sampai menangis, lho. Kak Tae-In sampai enggak mau keluar rumah, dan enggak mau main sama Ji-Mi,” cerita Ji-Mi.
“Berarti Tae-In enggak sekolah, dong?” candaku.
“Iya.”
Aku terkejut. “Kapan, itu?”
“Sejak Kakak udah enggak kelihatan main lagi sama Kak Tae. Itu lamaaa sekali. Satu tahun ada kali, ya? Terus habis itu Kak Tae masuk sekolah lagi, deh. Tapi Kakak Tae jadi pendiam dan murung sekali. Yaa... sebelumnya Kak Tae-In memang pendiam. Tapi kali ini ia terlihat lebih murung,” jelas Ji-Mi panjang lebar. Anak kecil mah tahan kalau disuruh cerita panjang.
“Gara-gara apa?”
“Mungkin gara-gara Unnie sudah enggak main lagi sama Tae-In Oppa kali? Tanya saja sen- NAH! Ini rumahnya! Sudah ingat? Ji-Mi mau pulang dulu, deh,” pamit Ji-Mi.
“Lho, enggak mampir dulu?”
Ia menggeleng. “Daah, Myung-Joo Unnie!”
“Daah!”
“Woaah... ini benar rumah Tae-In? Besar sekali... Dia anak orang kaya, ya?” Aku melirik kanan-kiri. Ketemu. Aku menekan tombol bel rumahnya.
Ting! Tong!
“Annyeong haseo~!” Pagar rumah tergeser. Duh, kok aku bisa disini sih? Kok aku berani? pikirku. Aku masih tak percaya kalau aku akan ke rumah ini. Bagaimana kalau dia memang benar-benar berbahaya? Hiiy.
“Ne?” Sebuah menyembul dari balik pagar.
“K-kau benar-benar Tae-In?” tanyaku ragu. Ia mengangguk. “HYAAA!” Aku tiba-tiba menjerit histeris.
“A... ada apa?” tanyanya. Aku menggeleng.
“Iya, aku Tae-In. Jelas-jelas aku Tae-In ‘kan?” tanyanya heran. “Masuk." Aku akhirnya masuk, dengan perasaan ragu.
Aku menatap keseliling rumahnya. Keren..., gumamku dalam hati.
“Duduk.” Ia menyuruhku untuk duduk di kursi taman.
Aku duduk di samping Tae. “Tae... In...,” panggilku. Ia menoleh. Ayo Angel, eh, Myung-Joo, kau bisa mengatakannya! “Kamu itu... sebenarnya siapa?” tanyaku tegas, menutupi rasa takutku.
Ia menatapku datar, lalu menjawab. “Kau juga siapa?” tanya Tae-In enteng.
Dasar! “Ganti pertanyaan, deh. Mmm... aku mau tanya, mengapa Shin-Hye dan Jae-Min menganggapmu berbahaya? Dan mengapa aku dilarang untuk mendekatimu? Oh, ya. Mata hijaumu itu... kok bisa?”
“Mana kutahu? Kalau masalah mataku, ini memang dari lahir. Tak dibuat-buat,” jelasnya.
“O-oh....”
“Sekarang gantian. Jadi, bagaimana dengan kehidupan barumu itu, An?”
Aku tersentak. “HAH? Kehidupan baru itu... maksudnya apa ya? M-maaf, aku tak mengerti,” ujarku dengan gugup.
“EEH? Enggak-enggak! Maaf, aku juga salah tanya. Maksudku... mmm....”
Kali ini, aku yang heran, heran dengan tingkah Tae-In sekarang. Terlihat jelas kalau ia sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Jelas-jelas tadi dia memanggilku An. An dari kata Angel. Angel itu ‘kan namaku sewaktu di Amerika. Tapi... ia tau darimana? “Hei, perjelas pertanyaanmu.”
“Ma... maksudku... AH, kau itu kan baru terbangun dari koma ‘kan? Kau juga habis kehilangan ingatan. Jadi maksudku... bagaimana dengan kehidupanmu sekarang ini?” ralat Tae-In.
“Jelas-jelas kau tidak menanyakan itu tadi,” ujarku tegas. Kali ini, benar-benar tegas.
“UHHH....” Ia mendesah kebingungan. “Kau... mau menjaga rahasiaku?” pintanya memelas.
“Kiyeowo~,” gumamku pelan, pelan sekali. “Ya.”
“Ng... iya. Aku memang seperti apa yang kau bayangkan,” katanya.
“Apanya?” tanyaku masih tak mengerti.
“Aku tahu kalau kau dari dunia lain. Dari Amerika, kan, ya?” tebaknya.
Mulutku terbuka lebar sekali. “B-bagaimana kau bisa tahu?!”
“Aku juga sama, dari dunia lain. Tepatnya dari Amerika, sama sepertimu.”
“Lho, berarti kau juga bisa Bahasa Inggris, dong?” Ia malah tertawa. Ucapanku salah?
“Aku tidak bisa.”
“Kok tidak? Seberapa lama kau tinggal disini? Saking lamanya, sampai melupakan bahasanya sendiri,” tanyaku sambil berkacak pinggang. Tae-In kembali tertawa. Ah, aku semakin konyol sekarang di depannya.
“Kenapa, sih?”
“Hahaha! Sebenarnya aku ini tidak benar-benar berasal dari Amerika. Hanya saja, aku punya 2 tubuh yang dikendalikan dengan satu jiwa, yang terpisahkan dari dunia lain,” jelasnya.
“HOOOH.... Kok aku dan kau beda, sih. Apa tubuhku yang di Amerika sekarang ini sedang dikendalikan dengan jiwa yang sama? Kalau iya, mengapa aku sama sekali tak merasakannya?”
“Kau ini. Aku ini beda tingkatnya denganmu. Aku ini penguasanya, aku penguasa dua kehidupan.”
“Wuah... hebat,” gumamku.
“Ya. Eh, aku ingat. Kurasa... aku pernah bertemu denganmu di tubuhku yang lain, di Amerika!” serunya.
Aku merenyit. “Kapan?”
“Masa lupa? Itu, lho... waktu kau dan kelima temanmu itu sedang minum-minum di cafe, ada aku ‘kan?” tanya Tae-In antusias.
“Hah? Kau itu... cowok pirang, bermata biru-kuning? Itu kau?!” tanyaku syok.
“IYA! Itu aku!” serunya.
Aku menggeleng pelan. “Aku tak menyangka kalau itu kau.”
“Bukannya kami mirip?”
“Tapi style kalian berbeda sekali. Yang ada di Amerika sana lebih berkelas. Kalau yang ini, lebih misterius,”
“Hei-hei. Tapi aslinya aku bukan begitu, lho.”
“Iya-iya... Eh, aku ingin tahu, deh. Bagaimana bisa roh Angel dan roh Park Myung-Joo bisa tertukar?”
“Kau serius ingin mengetahuinya?” tanyanya memastikan. Aku mengangguk dengan wajah dan tatapan yang serius.
“Hmph... Baiklah, aku akan menceritakannya semua....”
@SusanSwanshWkwk
Comment on chapter Peurollogeu