GAME OVER
'Jika semua permainan dimulai dengan game start, permainan hidupku ini harus diawali dengan game over sebelum aku meraih mimpi.'
Hidup ini seperti sebuah lukisan di atas kanvas putih. Berawal dari sucinya kanvas putih baru, kita sebagai manusia harus mengoleskan cat warna ataupun sekedar sketsa tipis di atas kanvas putih. Pelan-pelan saja tak perlu satu hari langsung selesai. Ya, jika kalian perhatikan pernyataan di atas mirip dengan filosofi kehidupan.
Satu pertanyaan, apa jadinya jika warna yang kita poles dipandang rendah oleh orang lain, terlebih keluarga kita? Lukisan itu jati dirimu tapi mereka-orang-orang terdekatmu-ingin merusaknya. Haruskah kau pasrah dan membiarkan lukisanmu rusak dalam sekejap? Ataukah kau mempertahankan dengan apapun caranya?
Hanya saja mempertahankan lukisan karya sendiri sangat sulit bagi Joo. Iya, Jooliet Maharani. Seorang gadis yang menaruh mimpinya menjadi seorang pelukis. Hanya dengan melukis Joo dapat mengungkapkan perasaannya namun, bagaimana jadinya jika media pelampiasan perasaannya di rusak habis-habisan oleh ayah dan ibunya?
Beberapa kanvas jatuh dari kayu penyangga, lembar demi lembar buku gambar A3 robek, berbagai ukuran kuas jatuh, cat air dalam palet mengering, dan juga kumpulan warna pensil dan pastel telah tak bisa dipakai lagi. Kamar seorang Joo hancur bersamaan dengan dirinya. Siapapun yang masuk ke dalam kamar Joo pasti akan mengeluh melihat kondisi yang sudah seperti kapal pecah.
CKLEK!
Pintu kamar terbuka. Seorang lelaki berparas tampan dengan balutan jas putih berdiri mematung. Kedua mata berlipat ganda dan iris hitam pekat itu membulat sempurna. Apa yang dilakukan adiknya semalam? Kenapa kamarnya sangat berantakan?
Perlahan Rafa-lelaki itu-melangkahkan kaki jenjangnya memasuki kamar. Pandangannya tak bisa berhenti megedar ke setiap sudut kamar. Ini adalah hari pertamanya pulang dari Singapura. Asal kalian tahu saja, Rafa adalah seorang dokter spesialis jantung yang dinas di negara tetangga dalam kawasan Asia Tenggara. Sekarang Rafa kembali ke kampung halaman karena diberi amanah membimbing calon koas yang akan praktek di salah satu rumah sakit terbesar di Singapura.
"Kenapa semua lukisannya berantakan seperti ini? Apa ia masih suka melukis?"
Rafa mengambil satu kanvas yang mencium permukaan lantai. Netranya menatap teduh lukisan gemerlap malam dari sudut pandang di balik jendela. Senyum tipis tersimpul dari kedua sudut bibir Rafa. Lukisan Joo memang selalu cantik.
Lukisan itu Rafa letakkan ditempatnya. Kemudian tangan Rafa menyibak selimut. Ia tak akan meneriaki nama adiknya. Rafa tahu Joo akan merasa pusing jika ia berteriak untuk membangunkannya. Tapi--
"Jooliet Maharani!"
Rafa menelan pernyataannya sendiri. Ia meneriaki nama Joo. Itu semua karena adiknya tak ada dikamarnya. Sejak kepulangannya kemarin malam Rafa belum melihat batang hidung Joo. Sepertinya ada yang tidak beres dengan keadaan saat ini. Segera saja Rafa meninggalkan kamar kosong Joo. Ia harus meminta penjelasan pada kedua orang tuanya sebelum mereka berangkat dinas ke rumah sakit.
***
Orang yang dikhawatirkan Rafa sekarang sedang menangis tersedu di dalam mobil. Mengemudi seorang diri, Joo menjerit frustasi. Berkali-kali tangan putih susunya memukul setir. Kemudinya tidak lagi terarah, mobilnya berjalan lebih dari satu jalur jalan.
Joo menarik ingusnya kasar. Menghapus selaput bening yang memburamkan penglihatannya. Melirik jam di mobil yang menunjukkan pukul delapan pagi. Sudah dua jam lamanya Joo mengemudi tanpa tujuan. Joo kabur dari rumahnya. Ia marah pada kedua orang tuanya yang memaksanya untuk menjadi seorang dokter.
"Jahat! Semua yang ada di dunia ini jahat! Kenapa aku tak bisa mengejar mimpiku disaat semua orang yang punya mimpi mengejarnya. Aku benci kenyataan ini!" teriak Joo dengan suara paraunya.
Drrt... Drtt..
Ponsel pintar Joo bergetar. Sekilas Joo melirik nama yang tertera di layar. Marcel. Ternyata si penelepon adalah kekasih Joo. Dengan lemas Joo mengambil ponselnya, menatap layar ponselnya cukup lama. Haruskah Joo mengangkat panggilan telepon kekasihnya dengan keadaan kacau seperti ini?
Bagaimanapun Joo berpikir, ia tak pernah menyia-nyiakan waktu yang dimiliki kekasihnya. Jemari lentik Joo menggeser ikon warna hijau untuk mengangkat panggilan. Tangan kiri Joo menempelkan benda pipih itu disamping telinganya, satu tangan lainnya sibuk mengemudi.
Diam. Joo hanya bisa mengangkat panggilan dari Marcel. Joo tak mampu berbicara dengan suara paraunya. Dalam hati Joo hanya berharap lelaki itu dapat melupakan semua kesedihannya hari ini.
"Good morning, Joo sayang!"
Sapaan suara berat itu sukses membangkitkan senyum Joo. Ya, meski hanya senyum getir saja. Joo masih tak mampu berbicara menyahuti sapaan hangat Marcel. Ia tak ingin mengkhawatirkan lelaki itu.
"Joo kau masih disana, kan? Kok diam saja sih?"
Lagi-lagi suara yang paling Joo suka melontarkan pertanyaan. "Marcel.." lirih Joo pelan. Hanya ini yang bisa ia lakukan.
"Kok suaramu terdengar parau? Joo, kau baik-baik saja kan?" terdengar khawatir suara di seberang telepon.
"Flu." Joo kembali menjawab kecemasan Marcel dengan satu kata.
Suara helaan napas terdengar samar di telinga Joo. "Astaga, Joo! Kok bisa flu sih, kamu gak ingat pesanku tentang makan rutin dan beristirahat secukupnya? Jangan-jangan kau bergadang malam kemarin?" omel Marcel melebihi perhatian kedua orang tua Joo.
Kepala Joo menggeleng pelan. Jujur saja akhir-akhir ini Joo tak memiliki selera untuk mengisi perutnya dengan asupan makanan bergizi. Ia hanya meminum secangkir kopi. Kedua orang tuanya menghancurkan hidup putrinya sendiri. Satu lagi, seminggu penuh ini insomnia Joo kambuh. Terlalu banyak yang mengganggu pikirannya sehinnga ia tak bisa tidur.
"Joo..?"
Jantung Joo tersentak kaget. "Iya, Marcel. Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku."
"Joo maafkan aku tak bisa mengantarmu hari ini. Aku ada urusan penting di kampus. Kau bisa kan berangkat sendiri? Aku janji bakalan jemput nanti."
Rentetan kalimat yang dilontarkan Marcel menghempaskan harapan kecil Joo. Benar, tak ada seorang pun yang dapat memahami Joo. Marcel tak mampu menghibur Joo. Apa ucapan penuh dusta Joo sepenuhnya mengelabui Marcel?
"Tak apa, Marcel. Kau juga tak perlu menjemputku. Aku ada libur hari ini, selesaikan saja urusanmu."
Sambungan telepon Marcel terputus. Joo yang memutusnya. Hari ini Joo tak akan pergi ke kampus. Mana mungkin ia kuliah dengan penampilan acak-acakkan seperti ini? Apa kata para penggemarnya jika seorang artis cantik Instagram dengan followers 12m ini pergi ke kampus dengan penampilan mengerikan. Lebih baik Joo mencari tempat tinggal untuk beberapa malam kedepan. Kali ini Joo benar-benar kabur dari rumah.
***
"One two three four five six seven eight."
Bibir mungil berlapis lipstik baby pink itu tak pernah lelah menghitung setiap ketukan tarian anggota klub dance. Posisi Greeze tepat di belakang anggota klub dance. Mata belo-nya menatap tajam setiap gerakan bimbingannya. Satu bulan lagi Greeze akan mengikuti kompetisi dance untuk terakhir kalinya bersama para junior di klub dance.
Langkah-langkah anggota klub dance telah teratur dan sama. Ekspresi yang mereka pancarkan juga bisa dibilang mendekati sempurna. Meski ada satu dua anggota yang masih kurang menjiwai tariannya. Tapi bagi Greeze latihan hari ini sudah lebih baik daripada kemarin.
"Enough, kita istirahat lima belas menit dulu ya.." Greeze menghentikan tarian dan memberikan waktu istirahat.
Semua anggota langsung bubar dari formasi dance yang telah terbentuk. Termasuk Greeze, gadis berambut kecokelatan bergelombang itu berjalan ke sudut ruangan. Ia kembali fokus pada buku dan pensil. Gadis itu menguras pikirannya untuk mengatur formasi tim yang ia pimpin.
Sekeras apapun Greeze mencoba berpikir, pikirannya tetaplah tak bisa menyatu. Di dalam pikirannya hanya ada satu masalah. Joo. Sahabat kecil yang kemana-mana lengket dengannya tak masuk kuliah hari ini. Hal itu membuat Greeze cemas. Sejak kecil Joo memang sangat sering membuat orang disekitarnya menjadi khawatir.
"Kak Greeze, kok ngelamun sih,"
Kedua mata Greeze mengerjap begitu kibasan telapak tangan Alvin menyadarkannya. Alvin adalah junior Greeze di klub dance dan juga teman dekatnya selama ini. Meskipun junior Greeze, kemampuan dance Alvin tak bisa dipandang sebelah mata. Tarian energik dan emosional, itu adalah kelebihan Alvin.
"Lho kok ngelamun lagi?" heran Alvin menepuk bahu Greeze.
Greeze menggelengkan kepalanya. Tangannya segera menutup buku yang ia abaikan sejak duduk. Pantatnya bergeser ke belakang agar punggungnya bisa nyaman bersandar.
"Alvin, Joo nggak masuk kuliah hari ini." ungkap Greeze cemas.
"Joo? Salah satu kakak populer disini? Yang konyol, gak bisa diam, dan suka bernyanyi itu? Yang sering lihat kami latihan?"
Greeze menggoyangkan kepalanya ke atas bawah mengiyakan cercahan bawel Alvin. Lelaki lebih muda dua tahun darinya itu selalu saja heboh jika diajak bercerita. Koneksi teman Alvin juga sangatlah banyak, baik kalangan laki-laki ataupun perempuan.
"Aku salah satu followers Kak Joo! Postingannya cantik-cantik, aku suka! Apalagi lukisan yang sering ia posting, wah.. keren banget deh!" jiwa fanboy Alvin meledak.
Bukan hal tabu lagi bagi Greeze mendengar para lelaki menunjukkan ketertarikannya pada sahabatnya-Joo. Greeze sebagai perempuan mengakui bahwa sahabatnya itu sangat cantik dan memiliki tubuh yang didambakan hampir semua perempuan. Sikap Joo kepada orang lain juga ramah. Tapi apa daya dengan nasib penggemar Joo setelah tahu idola mereka punya kekasih yang juga saingan berat.
Jitakan keras mendarat pada pelipis Alvin. Greeze geram sendiri menatap Alvin yang sudah menggilai sosok Joo. "Dia nggak masuk kuliah hari ini, Alvin. Katanya kau penggemarnya, kenapa kau tidak khawatir jika idolamu tak masuk?! "
Oh tidak, ungkapan Greeze menggelitik perut Alvin. "Satu hari nggak masuk Kak Greeze sudah mengkhawatirkan Kak Joo. Sudahlah, Kak Greeze. Kak Joo mungkin dapat kontrak iklan ataupun model. Sayang banget jika perempuan secantik Kak Joo hanya eksis di dunia maya." kekeh Alvin bangkit dari duduknya lalu menarik tangan seniornya itu untuk kembali berlatih.
Greeze menahan tenaga Alvin untuk membuatnya bangkit. Resah. Greeze tak bisa tenang jika tak mendapat kabar dari Joo. Wajah cemas Greeze membuat Alvin ikutan memasang wajah resah namun hanya sementara sebelum bibirnya mencebik kesal.
"Kak Greeze, teman-teman sudah siap kembali berlatih. Tumben banget sih manja banget. Mana kakak tegas berkharisma kebanggaan klub dance?" Alvin menarik tangan Greeze.
"Tapi Joo itu--"
"Kakak telepon saja dulu, aku tunggu. Hari ini harus selesai semua gerakannya. Kompetisi makin dekat." Alvin melepaskan tautan tangannya pada Greeze begitu gadis itu berdiri.
Kali ini Greeze yang memukul kepalanya sendiri. Bodoh. Greeze sama sekali tak terpikirkan untuk menelepon Joo. Ternyata benar jika kecemasan dapat menjadikan kita lupa segalanya. Kalau Alvin sudah mengingatkan seperti tadi, Greeze jadi malu sendiri. Ah sudahlah, Greeze harus menelepon Joo.
***
Di dalam ruangan sejuk, Fredy duduk santai. Kedua jendela dunia minimalisnya menatap lurus seorang lelaki berdasi rapi tengah membaca hasil tugas-tugas yang dosennya berikan. Semalam suntuk Fredy bergadang mengabaikan rasa kantuk hanya untuk merevisi semua tugas-tugasnya.
Pergerakan Fredy sungguh menenangkan. Napasnya teratur, wajahnya terus menyimpan senyum tipis yang membuat mata sipitnya tak terlalu terlihat. Sikap Fredy menunjukkan bahwa ia menunggu dosen setengah baya itu mengeluarkan pendapatnya tentang tugasnya.
"Fredy, apa yang membuatmu mengumpulkan tugas paling awal. Ini masih berjalan tiga hari sedangkan saya memberi waktu satu semester." takjub Pak Emo.
"Tidak apa-apa, Pak Emo. Saya hanya ingin segera lulus dan meringankan beban orang tua saya. Buat apa kuliah lama-lama jika mampu mempersingkat waktu yang ada?" Fredy berucap santai.
Dosen muda itu mengangguk-anggukan kepalanya mendengar alasan logis Fredy. Bagus sekali, sudah lama ia tidak melihat mahasiswa sekarang ngebut ingin menerjang waktu semester. Ya, dua tahun terakhir ini Pak Emo lebih sering melihat para mahasiswa yang suka membuang uang orangtuanya dengan tak bersungguh-sungguh kuliah.
Fokus Pak Emo berhenti. Ia menaruh essai di atas meja, menunjukkan kesalahan kecil pekerjaan Fredy. Tak lama bagi Pak Emo untuk mengoreksi tugas-tugas anak didiknya. Bermenit-menit berlalu Pak Emo menghabiskan waktunya untuk memberi masukan dan koreksi pada pekerjaan Fredy.
***
Sinar mentari terasa hangat. Langit biru pergi bersama sang mentari. Semburat jingga telah menggantikan posisi cerahnya langit. Pemandangan yang indah, tapi tak semua orang bisa menikmati indahnya penampakan alam ini. Orang-orang di pusat kota terlalu sibuk untuk menatap ke atas-indahnya ciptaan Tuhan. Jangankan orang yang beraktivitas, Joo yang duduk diam di jendela hotel hanya menatap kosong ke depan.
Joo tak pernah melepaskan niatannya. Ia tak akan kembali ke rumahnya, ia akan terus mengejar mimpinya, dan ia benar-benar bolos kuliah hari ini. Saat ini Joo hanya ingin sendiri tapi ia merasa tak tenang dalam kesendirian yang ia ciptakan. Menghiraukan semua panggilan dari teman-teman dan para fans-nya.
"Aku ingin membuktikan pada semua orang bahwa aku bisa menjadi pelukis tapi nyatanya aku terlanjur tak bisa memulai lagi."
Kepala Joo tertunduk ke bawah. Menatap kedua kakinya yang mengayun bebas dari ketinggian. Karya-karya lukisannya tak lagi tersisa, semuanya hancur. Padahal selama ini Joo sering ikut lomba dan menjuarainya. Sudah dekat perjuangan Joo tapi langkahnya justru terhenti di ambang udara hanya karena satu hambatan datang.
Beginilah seorang Joo. Gadis cantik itu akan benar-benar bersemangat untuk menggapai semua keinginannya tapi begitu ada kendala, Joo langsung berhenti. Ia tak memiliki banyak keyakinan untuk kembali melangkah. Joo membutuhkan seseorang untuk menuntunnya kembali melangkah maju.
GREB!
Sesuatu yang terasa hangat menghantam punggung Joo. Tapi Joo mengabaikan kehangatan itu. Sekalipun hembusan napas menggelitik leher jenjangnya, Joo sudah tahu siapa orang yang memeluknya erat. Bau parfum mint-nya telah membekas di penciumannya. Dia adalah Marcel. Kekasih Joo yang telah berjanji menemaninya sore ini.
"Sayang, kok kamu diam saja. Apa ada masalah?" Marcel menyelipkan anak rambut Joo di belakang telinga.
"Aku merindukanmu, Marcel." Joo berucap lirih.
"Maafkan aku, Joo. Akhir-akhir ini aku sibuk sekali." sesal Marcel menenggelamkan kepalanya pada bahu Joo, mencium semerbak aroma tubuh Joo.
Joo tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya perlahan. "Tak apa-apa aku senang kau disini sekarang." telapak tangan Joo mengusap rahang tegas Marcel.
Sikap Joo yang cuek seperti ini meledakkan kerinduan Marcel. Tak biasanya Joo bersikap cuek, bahkan gadis ini lebih sering ceria dan banyak memamerkan senyum pada Marcel. Oh ya, Marcel juga sempat heran dengan kepindahan kekasihnya. Aneh saja, anak dari pasangan dokter kondang ini memilih pindah ke hotel sementara rumahnya sudah mewah dan luas.
"Joo.." panggil Marcel lirih.
"Hmm..?"
Marcel menghembuskan napasnya perlahan. Joo yang ia kenal seolah berubah hari ini. Apa Marcel telah keterlaluan meninggalkannya berhari-hari terakhir ini sampai Joo menjadi gadis pendiam? Tapi Marcel meninggalkan Joo juga ada alasan dibalik semuanya.
"Happy third years anniversary, baby Joo." bisik Marcel tepat di telinga Joo.
Tubuh Joo serasa membeku. Ia baru ingat jika hari ini hari bersejarah hubungan yang ia jalin bersama Marcel. Bagaimana bisa Joo melupakan tanggal jadian mereka? Ah, ini semua gara-gara keluarganya yang telah berhasil menghancurkan mood-nya.
"Marcel!"
Lengkingan suara serak Joo memenuhi kamar hotelnya begitu kedua tangan Marcel mengangkat tubuhnya untuk memindahkan posisi duduknya. Dari yang duduk di jendela menjadi di tepi ranjang berukuran besar itu.
Kedua mata Joo terbelalak. Netra kecoklatannya menangkap sebuah kue tart blackforest terletak di atas meja. Mulutnya terbuka lebar tatkala Marcel menyalakan lilin di atasnya dan mengambil duduk disampingnya.
"Ayo kita rayakan anniversary ke tiga ini. Buat harapan sebelum meniup lilinnya," Marcel mencubit kedua pipi tirus Joo untuk menutup mulutnya yang terbuka lucu. Tak sampai disitu, Marcel juga mengatupkan kedua tangan Joo untuk membangun harapan.
Dengan patuh Joo menundukkan kepalanya. Marcel juga siap membuat harapan, meski sambil menahan tawa. Ya, ekspresi Joo sebelumnya sangat menggemaskan di mata Marcel. Joo benar-benar terlihat seperti anak kecil.
Wush!
Tanpa aba-aba Joo meniup beberapa lilin di atas kue tart. Dalam satu tiupan, lilin bewarna-warni itu padam. Kali ini giliran Marcel yang tertegun melihat Joo. Kekasihnya tersenyum lebar. Senyum pertama yang ia lihat hari ini. Senyum yang ia nanti-nantikan menghiasi wajah cantiknya.
"Joo terima kasih telah bersedia menjadi kekasihku dan mengertiku selama ini. Aku mencintaimu, Joo!" Marcel memeluk Joo yang hendak memotong kue dengan pisau.
Joo lagi-lagi membeku dalam pelukan Marcel. Ia membiarkan tangan lembut Marcel mengusap punggungnya pelan. Entalah, kehadiran Marcel benar-benar membuat Joo tenang. Sekarang Joo bahkan sudah tak lagi bersedih karena kejadian kemarin malam.
Marcel melepaskan pelukannya, kedua tangannya memegang lembut bahu Joo. Juga tersenyum hangat untuk cahaya hidupnya. "Harapanku di tahun ketiga ini, aku hanya ingin kau bahagia setiap saat, selalu tersenyum menghadapi hidup yang diberikan Tuhan, dan tak pernah menyerah untuk meraih mimpimu menjadi pelukis. Aku medukungmu, Jooliet."
"Marcel.." lirih Joo terbata.
Kedua mata Joo berkaca-kaca. Hatinya tersentuh dengan kejutan yang Marcel berikan padanya. Tutur katanya memberinya semangat untuk kembali berjalan. Setiap sentuhan lembutnya seolah mengisyaratkan kepercayaannya pada Joo. Sungguh, Joo ingin menangis bahagia akibat ulah Marcel.
"Terima kasih telah bersamaku. Aku suka kau yang memberiku kebebasan, kau yang tak pernah marah dengan sikapku yang terkadang malu-maluin, kau yang tak pernah cemburu dengan penggemarku di kampus. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu." tangis Joo pecah. Mungkin ini pertama kalinya dalam hari ini, Joo berucap sepanjang ini dengan perasaan tulus tidak penuh amarah.
Kekasih Marcel telah kembali menjadi gadis yang ia kenal. Sikap dingin Joo telah mencair bersamaan dengan kejutannya. Ucapan satu dua kata menjadi ucapan dengan puluhan kata. Wajah datarnya menjadi lebih hidup dan ceria. Marcel mengusak rambut berantakan Joo.
"Tenang saja, aku akan selalu ada untukmu kapanpun kau mau." Marcel tersenyum lalu merebut pisau dari genggaman tangan Joo, memotongkan satu irisan kue untuk gadis pujaan hati.
"Oh ya, aku masih punya satu kejutan lagi untukmu!" seru Marcel usai menyuapkan sepotong roti di mulut Joo.
Joo mengatupkan mulut penuh dengan kue yang hancur di dalam dan mengerutkan alisnya bingung. Kejutan apalagi ini? Kehadiran Marcel sudah menjadi kejutan tersendiri bagi Joo. Apalagi lelaki itu telah membangkitkan suasana hatinya.
Entah dari mana datangnya, Marcel sudah mengulurkan sebuah kotak bewarna biru langit berhias pita berukuran besar pada Joo. Lelaki itu tak pernah lelah mengumbar senyum menawannya pada Joo sejak kedatangannya. "Ini hadiah dariku, Joo. Semoga kau menyukainya ya.."
Perlahan Joo menerima kotak besar itu. Setelah kotak itu sepenuhnya ada ditangannya, Joo mengacak pelan kotak itu. Tak ada bunyi berlebihan, hanya terdengar sebuah gesekan pelan. Suara itu membuat Joo semakin penasaran saja.
"Kamu bisa membukanya, Joo." Marcel mempersilahkan Joo membuka kotak pemberiannya.
Pikiran Joo berubah cepat. Joo rela menahan rasa penasarannya terhadap isi dari kotak hadiah pemberian Marcel. Apapun isinya nanti, Joo yakin bahwa isi di dalam kotak itu adalah barang kesukaannya. Seperti hadiah-hadiah anniversary sebelumnya.
Kepala Joo menggeleng. "Nanti saja, sekarang kita santai-santai saja dulu. Banyak hal ingin kuceritakan padamu."
Marcel mengangguk paham. Ia selalu menghargai setiap keputusan Joo. Biarlah kejutannya tertahan, nanti juga Joo akan membuka hadiah yang sudah ia persiapkan jauh hari. Menuruti permintaan Joo, Marcel kembali duduk disamping Joo. Siap mendengarkan segala keluh kesahnya.
***
Sebuah mobil sport membelah keramaian malam jalan raya. Tak begitu padat kendaraan tapi keramaian masih terlintas di tepi jalanan. Rafa dengan tenang duduk mengemudi. Ia baru saja menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Sekarang ia hanya ingin segera beristirahat di rumah, memeluk gulingnya erat dan menenggelamkan tubuhnya dalam selimut tebalnya.
Handsfree yang terpasang di kedua telinga Rafa begetar menandakan ada panggilan masuk. Rafa melirik sejenak nama yang tertera di layar ponselnya. Ternyata telepon dari ayahnya, segera Rafa menggeser ikon hijau.
"Ayah ada apa?"
"..."
"Apa? Joo tidak kembali ke rumah?!"
"..."
"Astaga! Sebenarnya apa yang ayah dan ibu lakukan pada Joo?" Rafa menahan amarahnya pada kedua orang tuanya.
Bagaimana tidak marah kalau kedua orang tuanya menghancurkan rencana dibalik kepulangannya sebelum Rafa beraksi. Rasa lelah Rafa meluap. Ia harus bertemu dengan adik yang ia rindukan itu.
"Ok, aku akan mencarinya sampai ketemu malam ini juga." Rafa melepas handsfree.
Mata elang Rafa fokus ke penjuru jalan. Sebenarnya Rafa tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mencari adiknya. Beberapa tahun belakangan ini Rafa tak pernah lagi berbincang dengan adiknya, Rafa tak punya kontak teman-temannya, dan juga tak tahu tempat persinggahan Joo di luar rumah.
Hanya satu cara Rafa sekarang. Menelepon Joo. Semoga saja kontak Joo masih aktif. Percuma saja Rafa pulang jika tak bertemu adiknya.
***
Ranjang putih memantul. Joo menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Matanya terpejam. Hari ini ia kembali tenang. Kehadiran Marcel beberapa jam lalu telah memulihkan rasa stress Joo.
Joo membuka matanya. Hampir saja ia melupakan sesuatu yang telah ia tahan. Penuh semangat Joo bangkit dari posisinya. Tungkainya melangkah mendekati meja diseberang ranjangnya. Disana ada kotak pemberian Marcel yang masih terbungkus rapi.
Kedua tangan Joo menyentuh lapisan pembungkus kotak itu. Dengan cepat Joo merobek kertas kado dan membuka kardus itu. Kedua mata Joo berbinar. Di dalam sana ada kanvas berukuran sedang. Benar dugaannya, hadiah dari Marcel memang tak pernah mengecewakan. Perlahan Joo mengangkat kanvas itu.
Binar dalam mata Joo langsung padam. Kanvas pemberian Marcel bukan sekedar kanvas putih. Permukaan kanvas itu telah tergores cat minyak setengah kering. Cat merah darah itu membentuk sebuah tulisan menyanyat hati.
JOO, SI GADIS JALANG, MENJAUHLAH DARI MARCEL. KAU TAK PANTAS DENGANNYA. MARCEL TERLALU SEMPURNA UNTUKMU. OH YA, BERHENTILAH MELUKIS. LUKISANMU JELEK SEPERTI CAKARAN KUCING LIAR!
Joo melempar kanvas itu keras-keras. Tubuh Joo merinding. Tanpa disadai, Joo mengambil langkah mundur. Binar ketakutannya menatap pergelangan tangannya yang telah berlumur cat minyak bewarna merah darah. Mata Joo berkaca-kaca.
"Marcel, inikah hadiah darimu sebenarnya?"
"Apa maksud tulisan mengerikan ini?"
"Kau tak lagi mencintaiku?" Joo menggelengkan kepalanya. "Aku memang harus menghentikan mimpiku sebagai pelukis ya," suara Joo terdengar parau.
Hati Joo kembali gelisah. Pertahanan tubuhnya runtuh, ia duduk meringkuk, memeluk kedua lututnya di atas dinginnya lantai keramik. Tangis Joo pecah diikuti isakan kecilnya. Harapannya yang telah terbangun lebur tak menyisakan pijakan sedikitpun.
Tangisan Joo semakin keras, sampai-sampai tangisannya melebihi nada dering telepon Joo di atas nakas dekat tempat tidur. Berkali-kali ponsel Joo berbunyi heboh. Tubuh Joo rapuh hanya untuk sekedar mengangkat telepon.
"Ok, aku akan berhenti. Apa gunanya jika aku bahagia melukis tapi tak ada yang menyukai lukisanku. Aku akan berhenti mulai sekarang." racau Joo menginjak kanvas pemberian Marcel, merusak semua tulisan kebencian di atas kanvas.
***