Helaan napas panjang mengiringi langkah Albina keluar dari gedung bertingkat tinggi di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Bibirnya tertarik, mengukir senyum kecut. Debaran jantungnya tak jua mereda. Kian menggila juga semakin nyeri luar biasa. Kepalanya menunduk. Menatap ujung heels hitam yang dikenakanannya. Spontan langkahnya terhenti. Albina meremas kerah kemeja putihnya seraya memejamkan mata juga menarik napas berulang-ulang. Berharap bisa mengenyahkan sesak yang terasa menyiksa.
Namun, ketika semuanya hanya sia-sia, Albina melangkahkan kaki kembali sambil menundukkan kepalanya. Tak ingin mendung yang mulai tercipta di netranya terlihat semesta. Sebab, Albina tak ingin semesta kembali menertawakan nasibnya.
Albina duduk di ubin pembatas tanaman yang berada di depan gedung bank swasta terbesar di Indonesia. Mendekap map berwarna merah erat-erat ke dadanya. Bibirnya menekuk kala karyawan lalu-lalang melewatinya. Ngilu itu tak berlalu. Memburunya untuk mengingat kenangan masa lalu. Luka yang sama.
Albina pernah merasakan hal ini. Tepatnya dua tahun lalu. Dan rasa sakit itu tetap sama. Menusuknya tanpa ampun dan belas kasih.
Terkadang, Albina ingin bertanya dengan lantang pada semesta. Kenapa? Kenapa dia orangnya? Kenapa terus-menerus harus begini? Kenapa tak berhasil juga? Kenapa tak terwujud? Kenapa akhirnya tetap demikian? Apa yang salah? Apa yang perlu diperbaiki? Atau apa yang perlu diubah? Kenapa siklusnya tetap sama? Kenapa tak berhenti?
Harus berapa lama lagi Albina mencoba? Harus berapa lama lagi Albina berusaha? Hal semacam apa yang pantas untuk Albina? Apakah Albina tak boleh berharap seperti orang di luaran sama? Kenapa semesta masih terus senang mempermainkan Albina?
Lagi, Albina menghela napas panjang. Tangan kanannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Beban kian terasa berat di pundaknya. Kembali memikul kekecewaan. Yang harus ia bawa pulang. Entah bagaimana cara menyampaikan kegagalannya kali ini pada keluarganya. Yang pasti, yang Albina tahu, Albina masih tak bisa membuat kedua orangtuanya bangga. Sembilan belas tahun lamanya.
Albina tertawa parau. Membiarkan bagaimana semesta menulis akhir kisahnya. Apakah berujung sama atau berakhir bahagia.