HORSES FOR COURSES
Chapter 14 : Neo [END]
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Yamaguchiya Arisa
2. Yamaguchiya Rafu
3. Lixeu
4. Gavin
5. Mosses
5. Daniel
6. Eric
7. Rocky
8. Manager
9. Hwannie
10. CEO Phyon Entertainmnent
11. Arisa's Staff
12. LAUDE's President
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Semakin lama suara gemuruh itu terdengar semakin keras, mereka bertiga tentu nampak begitu gelisah. Namun lagi-lagi Arisa justru terlihat tenang, bahkan kini ia sudah bisa menebak dari mana suara itu berasal. Dan dalam seketika, Arisa mulai menunjukkan smirk-nya yang begitu meremehkan seperti biasa.
Dilihatnya sebuah pesawat Arthur N-22 dari kejauhan. Kuda besi itu semakin mendekat ke arah mereka, membuat angin berhembus dengan sangat kencang dan suara gemuruh terdengar sangat bising. Mereka berempat dengan kompaknya menutup kedua mata mereka dan melindungi wajah mereka menggunakan lengan bagian bawah, bersamaan dengan sebuah pesawat jet yang telah melaju di atas tanah melewati mereka itu.
Angin kencang dan suara bising itu perlahan mereda, di saat yang sama nampaklah sebuah pesawat yang mendarat beberapa meter di depan mereka. Tak berselang lama, pintu pesawat itu terbuka. Keluarlah sesosok lelaki dari dalam pesawat itu, yang sukses membuat Arisa kini menunjukkan smirk-nya yang semakin menjadi-jadi.
Berbanding terbalik dengan Arisa yang nampak santai dengan kemunculan sosok itu, tiga lelaki yang berada di depan Arisa itu segera beranjak. Mereka berdiri dan berusaha mensejajarkan posisi mereka dengan posisi Arisa guna menatap sosok itu dengan lebih baik. Sosok itu pun berjalan mendekati empat bocah yang seakan-akan menyambutnya itu.
Setelah sang sosok berada cukup dekat dengan mereka, Arisa mulai mengucapkan sebuah kalimat dengan nada yang begitu meledek, “Kenapa bang, kok kesini?”. Sosok di depan Arisa justru itu nampak tak suka dengan kalimat gadis itu barusan. Akan tetapi Rafu bukanlah sosok yang dengan mudahnya mengungkapkan isi hatinya menggunakan raut wajah, lelaki itu masih sanggup untuk menatap adik kecilnya itu dengan wajah yang terlihat cukup keren.
Melihat kakaknya yang tak kunjung memberikan respon, Arisa pun kembali berusaha meledek sosok di hadapannya itu. “Nyari siapa?”, ujarnya masih dengan smirk dan nada suara yang begitu mengganggu. Namun Rafu belum juga memberikan respon pada adiknya itu. Mungkin ia muak, atau mungkin ia sengaja membiarkan Arisa untuk berbicara sepuasnya. Entahlah, Rafu juga memiliki kepribadian yang sebelas-dua belas dengan Arisa, susah ditebak.
Arisa nampaknya justru merasa semakin kejer untuk meledek sang kakak, “Mau kenalan sama cowok gue?”. “Ini terakhir, Ar”, Rafu akhirnya mulai menunjukkan responnya. Sekalinya ia merespon pun, nada bicaranya begitu tenang dan dingin. Akan tetapi tak cukup dingin untuk menusuk hati Arisa.
Masih belum merasa puas, Arisa kembali melontarkan kalimat yang begitu meledek. “Gue jago kan kalo nyari pacar? Bisa dapet yang bagus”, bahkan kini Arisa dengan beraninya menunjukkan wajah penuh rasa sombongnya. “Arisa!”, merasa agak muak, Rafu mulai menaikkan nada bicaranya.
Akan tetapi, Arisa justru pura-pura tak mendengar dan kembali meledek kakaknya itu. “Abang mau nyari pacar juga?”, ujarnya dengan smirk-nya yang kini terlihat semakin lebar. Kalimat itu nampaknya membuat Rafu semakin muak. Lelaki itu mendadak menarik pergelangan Arisa dengan cukup kuat, membuat gadis kecil itu terpaksa maju satu langkah dari posisinya guna menyesuaikan badannya dengan tangan kanannya yang ditarik oleh Rafu tersebut.
Merasa terganggu, Arisa berusaha untuk melepaskan genggaman tangan kakaknya itu. Gadis itu mencoba untuk menarik tangannya kembali. Namun sayang, percobaannya itu gagal. Rafu terlanjur memegang tangan Arisa dengan begitu kencang. Sesaat gadis itu nampak gelisah, ia nyaris tak tau harus berbuat apa, ia juga cukup kaget dengan tindakan kakaknya itu.
Demi harga dirinya, Arisa mencoba menutupi rasa gelisahnya. Ia mulai menatap sosok kakaknya itu dengan cukup tajam. Akan tetapi Rafu tentu saja tetap bisa menyadari rasa gelisah di hati Arisa. Mau bagaimana tidak? Rafu adalah kakak Arisa, sosok yang menemani gadis itu sejak ia lahir. Tidak mustahil jika Rafu hafal dengan segala bentuk usaha penutupan Arisa dari rasa takutnya.
Belum selesai dengan tatapan tajamnya. Arisa kini melontarkan kalimat dengan nada yang cukup dingin, “Bang! Lepasin!”. Akan tetapi Rafu justru menanggapi ucapan adiknya itu dengan pelan, “Ayo pulang”. Kata-kata Rafu itu segera mendapat jawaban dari Arisa dengan begitu tegas, “Nggak!”.
Masih belum menyerah, Arisa terus berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Rafu. Berkali-kali ia mencoba, namun hasilnya tetap nihil. Bahkan setelah Arisa menggunakan tangan kirinya untuk membantunya, hasilnya tetap nihil. Genggaman Rafu masih saja melekat erat pada pergelangan tangan kanan Arisa dengan begitu kuat.
Rafu yang merasa agak kesal itu pun mundur beberapa langkah seraya menarik tangan adiknya itu secara mendadak. Sukses membuat Arisa kembali melangkah ke depan beberapa kali guna menyesuaikan dirinya dengan tangan kanannya yang ditarik oleh Rafu itu. Kali ini giliran Rafu yang beraksi, ia menatap adik kecilnya itu dengan tatapan yang sangat tajam. “Kenapa lu nggak pernah dengerin ucapan gue?”, Rafu mungkin mengucapkan kalimatnya itu dengan nada pelan, namun itu justru membuatnya terdengar agak menyeramkan.
Dalam sekejap, Arisa nampak kaget. Gadis itu perlahan mulai terlihat gelisah pula. Ia secara spontan menatap kakaknya itu dengan wajah berbalut rasa takut yang sedikit-sedikit sudah mulai terlihat. Arisa hanya terdiam, ia tak tau harus mengucapkan kalimat macam apa. Hingga beberapa saat berlalu, Rafu mulai angkat bicara kembali. “Ayo pulang”, ujarnya seraya berbalik badan, dan hendak pergi dari tempat ini.
Akan tetapi, sebuah suara sukses menghentikan langkah lelaki itu. “Ben!...”, ujar Arisa dengan agak berteriak, menunjukkan sebuah kata yang keluar dari mulutnya secara refleks. Begitu menyadari teriakkan yang tak seharusnya itu, Arisa melanjutkan kata-katanya dengan nada pelan. “Tar…”, lanjutnya dengan begitu pelan, jauh lebih pelan dari yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Arisa menatap kakaknya yang perlahan kembali berbalik badan itu. Membuat dua sosok tersebut saling bertatap-tatapan. Satu dengan tatapan dalam, dan satunya lagi dengan tatapan datar tanpa rasa peduli. Dengan rasa antisipasi yang begitu kuat di hatinya itu, Arisa memberanikan diri untuk berbicara. “Kemana?”, ucapnya seraya menunjukkan ekspresi wajah yang tak kunjung ia rubah itu.
Berbeda dengan Arisa yang begitu terlihat hati-hati itu, Rafu justru menjawab dengan begitu santainya, tanpa banyak berpikir lagi. “Ke rumah barat, di London”, ujarnya. Perkiraan Arisa nampaknya benar, gadis itu secara spontan menunjukkan senyumannya yang miris. Sedikit menggambarkan luka di hati gadis kecil itu.
Akan tetapi perkiraan Arisa tak sampai di situ saja, ia kembali menanyakan sesuatu yang sudah ia perkirakan jawabannya pula. “Sampai kapan?”, ucapnya dengan nada bicara pelan. Rafu justru tersenyum, akan tetapi senyuman itu membuat Arisa semakin merasa begitu gelisah. “Menurut lu?”, ujar Rafu dengan senyumannya yang masih melekat erat di wajahnya itu.
Senyuman Rafu mungkin terlihat manis, namun tak semanis apa yang dirasakan Arisa. Gadis itu mungkin sudah tau jawaban akan pertanyaannya, akan tetapi ia sama sekali tak mau mengakui jawaban itu. Masih tak menyerah juga, gadis itu kembali bernegosiasi dengan kakaknya. “Bang, tolong jangan lama-lama”, ujarnya dengan wajah yang mulai memelas. “Lagian sekolah gue juga di sini”, lanjutnya.
“Gue udah urus surat pindah sekolah buat lu”, ujar Rafu dengan begitu yakinnya. Arisa pun tau betul bahwa kalimat kakaknya itu sama sekali tak mengandung kebohongan. Arisa tau pasti bahwa kakaknya itu benar-benar serius. Gadis itu nampak semakin kaget, rasa ketidak percayaan mulai muncul di hatinya. Ingin rasanya ia menolak, tapi hal itu tak akan semudah yang dibayangkan.
Rafu kini semakin mendesak Arisa, “Ayo”, ujarnya. “Bentar, bang!”, Arisa mendadak agak menaikkan nada bicara dan menatap kakaknya itu dengan lebih serius. Tak berselang lama, gadis itu mengalihkan pandangannya. Ditatapnya tiga sosok lelaki yang berada sekitar dua meter di belakangnya itu. “Kalian nggak mau ngomong apa gitu?!”, ujar Arisa dengan tatapan mirisnya itu. Sayangnya ketiga lelaki itu justru terdiam, tak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk angkat bicara walau hanya satu kata.
Arisa sempat terdiam sesaat mengamati reaksi Gavin, Mosses, dan Rocky itu. Gadis itu nampak tak percaya, dan menunjukkan wajah mirisnya yang semakin menjadi-jadi. “Serius kalian?!”, ujarnya dengan nada bicara yang juga masih terdengar miris itu. Bukannya memberikan jawaban berupa kalimat, ketiga lelaki itu justru menundukkan kepalanya. Mereka mungkin terlihat berat hati, namun mereka merasa lebih berat lagi jika harus menanggapi ucapan Arisa.
Arisa kini terdiam semakin lama, ia terpaku menatap ketiganya. Rafu yang mulai merasa tak sabar itu kembali mendesak adiknya, “Ayo, Ar”. “Bentar, Bang Rafu!”, ujarnya seraya menatap kakaknya dengan cukup dalam. “Nggak ada bentar-bentaran!”, Rafu agak menaikkan nada bicaranya. “Kita mau perjalanan jauh! Jangan buang-buang waktu!”, lanjutnya masih dengan nada suara yang agak membentak itu.
Arisa yang semakin kehilangan harapan itu kini menatap kakaknya dengan raut wajah yang begitu melas. Rafu mungkin agak luluh dengan tatapan Arisa itu, namun rasa kesal di hatinya telah menguasainya terlebih dahulu. Lelaki itu sempat menghela nafas panjang sebelum memberikan penjelasan pada adiknya itu dengan pelan, “Kan gue udah peringatin dari dulu”.
Rafu menatap adiknya itu dengan dalam, “Lu aja yang nggak dengerin”, lanjutnya masih dengan nada bicaranya yang pelan nan terdengar semakin lembut itu. Dengan sisa keberaniannya, Arisa menatap kakaknya itu dengan penuh harapan. “Gue mohon”, ujarnya dengan sangat pelan, bahkan hanya Rafu lah yang dapat mendengar kalimat Arisa barusan.
Namun Rafu nampaknya tak menggubris kalimat adiknya itu. “Ayo buruan pulang”, justru itu lah kalimat yang keluar dari mulutnya. “Bisakah gue kembali?”, ujar Arisa, kalimat itu mungkin terdengar pelan. Namun sesungguhnya ia agak menaikkan nada bicara dari yang sebelumnya, memungkinkan ketiga lelaki di belakangnya itu untuk mendengar ucapannya barusan.
Rafu terdiam menatap Arisa, ia nampaknya agak sedikit terpaku oleh kalimat Arisa itu. “Setelah gue tinggal di London cukup lama, bolehkah gue balik ke Korea lagi?”, ujarnya dengan begitu pelan dan lembut, jauh dari sosok Arisa yang suka berbicara dengan nada yang keras nan songong itu.
“Gue nggak jamin”, ujar Rafu. “Kemungkinannya?”, Arisa yang belum merasa puas itu masih ingin mendapatkan jawaban yang lebih baik. “Nol koma sekian persen”, ujar Rafu seraya menatap adiknya itu dengan rasa acuh tak acuh yang mulai nampak di wajahnya. Dalam sekejap gadis itu terdiam, ia benar-benar tidak percaya dengan ucapan kakaknya yang ia rasa cukup jahat itu.
Akan tetapi Arisa bukanlah tipe gadis yang mudah menyerah, ia akan terus mencari cara lain guna menggapai tujuannya. Gadis itu menolehkan kepalanya, menatap tiga sosok lelaki yang sejak tadi diam mematung di belakangnya. “Dengerin itu!”, ujar Arisa dengan cukup tegas, namun juga masih terdengar memelas.
“Kalian mungkin nggak bakal bisa liat gue lagi!”, lanjutnya. Ia menatap ketiga lelaki itu satu per satu. Arisa berusaha menunggu jawaban mereka, namun mereka masih juga tak kunjung menjawab. “Nggak apa-apa kah?”, ujarnya lagi. Kali ini Arisa benar-benar mengutarakan kalimatnya dengan nada memelas yang sungguh terlihat jelas.
Hal yang sama masih juga terjadi. Tak ada satu pun dari Gavin, Mosses, dan Rocky yang berniat untuk menjawab, dan mereka justru semakin menunduk. Arisa nampak begitu tak percaya, dengan tatapan yang kini terlihat sangat sedih itu, ia mengatakan satu kata penuh harapan, “Mosses…”.
Mosses mungkin memendam rasa pada Arisa, namun keloyalannya pada LURIOUS masih sanggup untuk melawan perasaan itu. Ditambah dengan rasa kekecewaannya pada Arisa yang muncul beberapa saat yang lalu, sukses membuat Mosses semakin loyal pada LURIOUS. Tanpa mengangkat kepalanya sedikitpun, Mosses mengutarakan satu kata dengan begitu pelan, “Maaf”.
“Mosses!”, Arisa menjeda kalimatnya, menatap sosok itu dengan begitu tak percaya. “Jangan gitu!”, namun Mosses masih juga tak berkeinginan untuk menarik permintaan maafnya itu. “Ini kesempatan satu-satunya!”, ujarnya lagi. Dan lagi-lagi, Arisa tak mendapatkan reaksi yang berarti baik dari Mosses maupun dua sosok lelaki lainnya.
Arisa terdiam, ia begitu tidak percaya pada peristiwa yang baru saja ia lihat itu. Ia sempat menatap Mosses dengan begitu dalam, hingga akhirnya gadis itu mulai menargetkan sosok yang lain. “Rocky…”, ujarnya pelan. Namun Rocky justru melipat kedua bibirnya, memberi kode dengan jelas bahwa ia tak ingin berbicara.
Masih tak menyerah, Arisa kini menaruh harapannya pada satu-satunya lelaki yang tersisa di situ. “Vin…”, ujar Arisa masih dengan nada bicara yang sama persis. Sayangnya, kali ini Gavin juga memberikan reaksi yang tak jauh berbeda, membuat harapan Arisa runtuh seketika.
“Udah cukup, Ar”, ujar Rafu dengan begitu pelan, dalam hati kecilnya ia ingin sedikit mengikis rasa sakit di hati adiknya itu. Masih dengan menggenggam pergelangan tangan kanan Arisa, Rafu pun membalikkan badannya, dan melangkahkan kakinya perlahan. Arisa yang sudah tak berdaya itu hanya bisa mengikuti langkah kakaknya dengan pasrah. Namun dalam benaknya, ia tak mau menyerah. Sehingga dalam langkahnya itu, Arisa tak mau mengalihkan pandangannya dari ketiga sosok lelaki di belakangnya itu.
Merasa aneh sikap Arisa, Rafu pun menghentikan langkahnya, yang membuat Arisa terhenti pula. Namun tatapan mata Arisa tak kunjung beralih. “Jangan liat kebelakang”, ujar Rafu. “Nggak mau”, Arisa masih juga tak berkeinginan untuk menyerah. Rafu sepertinya hendak mengucapkan sebuah kalimat, namun ia nampaknya ragu.
Butuh beberapa saat hingga akhirnya Rafu cukup berani untuk mengucapkan kalimat itu. “Itu nggak ada gunanya”, ujarnya. Kalimat itu sukses menusuk hati terdalam Arisa, membuat gadis itu kaget setengah mati dan terdiam semakin tak berdaya. Gadis itu perlahan nampak semakin sedih, ia pun menyadari apa yang sesungguhnya terjadi. “Sialan!”, ujarnya lirih namun sangat dipenuhi emosi yang mendalam.
Dengan rasa berat hati, Arisa perlahan mulai menatap ke depan. Rafu pun mulai melangkahkan kakinya kembali, dan Arisa pun mengikuti langkah kakaknya itu pula. Rafu rupanya mulai terpikirkan oleh sesuatu. Tak lama, Rafu pun terhenti kembali, dan Arisa mau tak mau juga harus ikut menghentikan langkahnya lagi.
Rafu sedikit menoleh ke belakang, melirik tiga sosok lelaki yang sempat menjadi tempat Arisa menaruh harapannya. “Eh, kalian!”, ujar Rafu dengan agak berteriak, namun ia tak menunjukkan amarahnya kok, ia hanya berteriak karena jarak diantara mereka terlalu jauh. Ketiga lelaki itu pun dengan kompaknya mengangkat kepala mereka, dan menatap Rafu dengan seluruh perhatian mereka.
Arisa yang menyadari peristiwa itu justru menundukkan kepalanya, dan melirik Rafu yang berdiri di sebelahnya itu. “Kalian mau tampil di CAMA kan?”, ujarnya lagi. Gavin sebagai wakil dari teman-temannya itu pun menjawab, “Iya”. “Buruan pergi bawa pesawat gue”, ujar Rafu seraya menunjuk ke arah pesawat Arthur N-22 yang ia bawa kemari itu.
Gavin, Mosses, dan Rocky sempat merasa bingung, mereka justru menatap Rafu dengan perasaan percaya tak percaya yang menghantui diri mereka. Rafu yang merasa agak gregetan itu pun segera memberi arahan kembali, “Buruan!”. Gavin pun dengan segera menjawab ucapan Rafu itu, “Oh, iya! Iya! Paham!”. Gavin segera berjalan menuju pesawat Rafu, diikuti oleh Rocky dan Mosses di belakangnya. “Makasih Tuan Rafu”, ujar Rocky seraya mengejar langkah Gavin itu. Tak mau ketinggalan, Mosses pun ikut bersuara pula, “Makasih, tuan”.
Arisa yang semula melirik kakaknya itu kini telah beralih. Ia menatap tiga lelaki yang berjalan tergesa-gesa menuju pesawat itu dengan miris. Rafu pun menyadarinya pula, ia melihat dengan pasti seperti apa tatapan adiknya itu, dan kemana arahnya. Sesaat kemudian, Rafu pun melanjutkan langkahnya kembali. “Ayo”, ujarnya. Arisa sesaat tak langsung mengikuti langkah kakaknya itu. Sehingga setelah beberapa dekit berlalu, gadis itu terpaksa berjalan dengan langkah besar beberapa kali karena tangannya yang mulai terseret oleh genggaman tangan Rafu itu.
Dengan rasa berat hatinya itu, Arisa melanjutkan langkahnya hingga ia sampai di depan pintu helikopternya. Gadis itu baru saja menaikkan salah satu kakinya ke dalam helikopter, namun sebuah pemandangan tiba-tiba menariknya itu mengalihkan pandangannya. Arisa menatap ke arah pesawat Arthur N-22 yang terletak sekitar 15 meter dari posisinya itu.
Pandangan Arisa terfokus pada sosok yang berdiri di depan pintu pesawat itu. Yang sukses membuat Arisa benar-benar kaget, sungguh pemandangan yang membuatnya terpaku begitu tak berdayanya. “Hwannie”, ujarnya begitu pelan dan penuh perasaan. Hwannie mungkin tak mendengar panggilan Arisa barusan, namun sang asisten itu ternyata menyadari tatapan Arisa padanya.
Hwannie tersenyum pada nonanya itu, dan membungkukkan badannya, memberi hormat pada Arisa. Tak berselang lama, Hwannie pun mengangkat tubuhnya kembali. Lelaki itu memasuki pesawat dan menutup pintu rapat-rapat. Arisa nampaknya sungguh-sungguh tak rela dengan tindakan Hwannie barusan, namun Rafu yang mulai merasa muak itu dengan kasarnya mendorong Arisa masuk ke dalam helikopter.
Setelah Arisa duduk di kursinya, Rafu pun ikut masuk ke dalam helikopter dan menutup pintu dengan rapat. “Berangkat!”, ujarnya begitu tegas. Arisa kali ini sungguh-sungguh tak mendengarkan hal-hal lain sama sekali, pikirannya sudah terlalu berantakan. Otaknya sudah dipenuhi oleh benang-benang berserakan yang justru saling mengikat satu sama lain.
Ekspresi sedih di wajah Arisa itu nampak semakin dan semakin jelas. Kini ia nyaris tak bisa melakukan apa-apa lagi. ‘Kenapa jadi gini? Padahal gue naruh niat baik…’, pikir gadis itu. Ia mungkin telah skatmat, namun ia harap ada pion ajaib yang bisa membantunya. ‘Bahkan Hwannie yang gue kira loyal, ternyata…’, ia harap pion itu benar-benar ada.
Hembusan angin dari baling-baling helikopter itu terasa lebih kencang dari pada biasanya. Bukan tanpa alasan, hal itu nyatanya disebabkan oleh pesawat Arthur N-22 yang juga take off bersamaan dengan helikopter itu. Akan tetapi tak hanya meluncur secara bersamaan, kedua kuda besi itu sepertinya juga memiliki suasana yang sama pula.
Duduk di kursi paling belakang, sesosok lelaki itu menghela nafas seraya menatap sebuah pesan teks yang berbunyi, ‘Lu bukan siapa-siapa! Jangan coba-coba gangguin rencana gue!’. Isi pesan itu terus saja membuat kepalanya serasa ingin pecah, hati kecilnya itu pun tersayat begitu dalam. Dengan rasa bersalahnya yang begitu mendalam, ia membisik kecil pada dirinya sendiri, "Maaf, Nona Arisa".
FIN-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.
Terimakasih telah membaca hingga akhir cerita.
Semangat... Konflik kekuasaan... Keren
Comment on chapter PROLOG