HORSES FOR COURSES
Chapter 10 : Jeopardize
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Yamaguchiya Arisa
2. Yamaguchiya Rafu
3. Lixeu
4. Gavin
5. Mosses
5. Daniel
6. Eric
7. Rocky
8. Manager
9. Hwannie
10. CEO Phyon Entertainmnent
11. Arisa's Staff
12. LAUDE's President
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Dengan setelah baju santai yang terlihat cantik itu, Arisa keluar dari pintu rumahnya dan mengunci kembali pintunya. Begitu Arisa berbalik badan, ia nampak sedikit kaget. Bukan karena pesawat jetnya yang sudah terpampang hanya di halaman rumahnya, namun karena pintu pesawat yang terbuka dan menunjukkan sosok lelaki yang sangat sangat tak asing baginya itu. “Nona~”, ujar lelaki itu seraya berdiri di belakang pintu pesawat.
Arisa hanya menatap asistennya itu acuh tak acuh. Gadis itu berjalan dengan santainya melewati sosok yang mempersilahkannya di pintu pesawat itu. “Songong kayak biasanya, ya?”, ujar Hwannie dengan senyuman mirisnya itu. Selagi rasa berat hatinya itu masih tersisa, ia pun menutup pintu dan berjalan beberapa langkah guna mendekati nonanya itu. Pesawat yang mendadak melaju tanpa aba-aba khusus dari Arisa itu sukses membuat sang asisten kaget bukan main, “Nona mau kemana?”. Namun Arisa hanya melirik sekilas pada asistennya itu, “Ntar juga tau sendiri”.
Hwannie yang sudah hafal dengan karakter Arisa itu pun memilih untuk diam. Ia tau jawaban Arisa yang seperti itu tak akan bisa ia lawan atau bahkan ia negosiasi sedikitpun. Arisa yang semula tak terlalu menggubris keberadaan lelaki di sebelahnya itu sepertinya mulai terpikirkan oleh sesuatu. Ia perlahan menatap Hwannie, dan dalam waktu yang cukup lama. Hingga lelaki itu merasa aneh dan memutuskan untuk menatap balik nonanya itu.
“Hwan, kemarin kenapa lu tiba-tiba nyusul ke Caye Chapel Island?”, ujar Arisa dengan wajah datarnya yang susah diartikan. Hwannie sempat terdiam sejenak menatap ekspresi wajah Arisa yang tak ia mengerti itu, “Nona marah ya?”, ujarnya pelan. Masih dengan tatapan dan raut muka yang sama, Arisa pun menjawab pertanyaan asistennya itu dengan singkat, “Nggak”. Hwannie kali ini pun sempat terdiam sejenak, mengumpulkan sedikit keberaniannya itu berbicara kembali, “Serius nggak marah?”. “Cepetan cerita atau gue beneran marah?!”, kali ini baru lah Arisa menunjukkan wajah kesalnya, yang membuat Hwannie yakin dengan kalimat Arisa itu. “Oh, iya iya. Jadi gini…”.
Flashback On
Hwannie merapikan berbagai macam barang-barang berserakan di rumah Arisa. Gadis kecil itu memang memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengan asistennya yang begitu cinta dengan kerapian. Di sela-sela pekerjaannya itu, Hwannie agak terganggu dengan panggilan masuk tiba-tiba ke ponselnya.
Dengan malasnya, lelaki itu mengambil ponsel di sakunya. Namun ia buru-buru mengangkat panggilan itu ketika ia melihat nama yang terpampang di layar ponselnya, “Iya, Tuan Rafu?”, ujarnya dengan nada suara yang begitu sopan. Agak berbeda dengan Hwannie, sosok di balik telpon itu justru berbicara dengan cukup santai, “Nona lu dimana? Lu nggak pengen nyusul?”. “Nona di Caye Chapel Island, dia ngelarang saya buat ikut”, ujarnya.
“Susul aja dia”, ujar sosok di balik telepon itu. “Kenapa?”, Hwannie nampaknya agak bingung dengan ucapan Rafu. “Udah deh, susul ada dia. Lagian gue udah ngirim pesawat Arthur N-22 ke depan rumahnya Arisa”, ujar sosok itu begitu santai. Hwannie terdiam, dan memang benar, sebuah pesawat dengan ukuran yang lumayan besar itu mendarat di depan rumah nonanya ini. “Kenapa juga saya harus bawa pesawat yang lebih besar daripada pesawat yang dibawa Nona Arisa?”, ujarnya seraya menatap berjalan beberapa langkah menuju pesawat itu. “Udah deh, buruan pergi sana. Arisa mungkin bakal pake pesawat yang lu bawa itu, cewek songong itu butuh harta yang lebih besar buat pamer”.
Flashback Off
“Pamer?!”, Arisa mendadak nampak kasal. Gadis itu menatap asistennya dengan raut wajah yang cukup mengerikan. “Kalo mau marah jangan ke saya lah, saya kan cuma nurutin ucapannya Tuan Rafu”, ujar lelaki itu seraya mencibirkan bibirnya. Nada bicara Hwannie yang cukup lucu itu secara perlahan menghilangkan rasa geram di hati Arisa. Gadis itu perlahan mengalihkan pandangannya, ia memilih untuk menatap keluar jendela pesawat.
“Na, emangnya Tuan Rafu dimana sih? Kok nggak pernah pulang ke Seoul?”, ujarnya seraya menatap pada gadis di sebelahnya itu. “Di rumah barat”, jawab Arisa dengan singkat. “Rumah barat? England?”, tanyanya lagi. Arisa hanya menggerakkan kedua alisnya beberapa kali untuk menjawab pertanyaan asistennya itu.
Pesawat mulai terbang dengan semakin rendah dan rendah, bersiap untuk landing. Hwannie terdiam, ia mengamati kira-kira dimana pesawat ini mendarat. Begitu kuda besi ini menyentuh tanah, Hwannie dikejutkan oleh pemandangan tak asing namun baru pertama kali ini ia lihat, “Gedung pusat Phyon Entertainmnent?”.
Arisa tak menggubris sang asisten yang nampak agak bingung, ia segera membuka pintu pesawat dan bersiap untuk turun. “Na, mau nemuin siapa?”, ujar Hwannie begitu Arisa mulai melangkahkan kakinya di anak tangga. “Nona cerita sendiri kan ke saya, kemarin Gavin ngomong apa? Nona nggak dengerin ya?!”, ujar Hwannie begitu melihat Arisa yang tetap saja turun dari pesawat tanpa menggubris kalimatnya. “Gue nggak nemuin mereka kok”, ujar Arisa sesaat sebelum ia menutup pintu pesawat dengan rapat.
Arisa berjalan memasuki gedung pusat Phyon Entertainment, seluruh karyawan dan staff segera membungkuk padanya begitu gadis itu lewat di hadapan mereka. Arisa dengan penuh percaya diri melangkahkan kakinya melewati koridor dan berbagai macam ruangan-ruangan di seisi gedung. Masih belum menemukan tempat tujuan, Arisa justru teralihkan oleh sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka, ruangan latihan LURIOUS.
Arisa berdiri di balik pintu itu, dan mencuri-curi dengar percakapan di antara dua orang yang berada di dalam ruangan itu. “Gue udah bilang, Mos! Gue nggak ada niatan buruk sama sekali!, “Dasar munafik! Kapan lu bisa punya kepribadian baik?! Sama temen sendiri aja bohong!”. Arisa terdiam seketika setelah ia mendengar kalimat dua orang itu barusan, gadis itu bergerak dengan langkah kecilnya beberapa kali menjauhi pintu, berusaha membuat dirinya tak diketahui oleh orang lain.
“Gue nggak bohong, Mos!, Gue nggak berniat jahat ke Arisa sama sekali!”, ujar Rocky dengan penuh keyakinannya. Nama 'Arisa’ yang dibawa-bawa oleh Rocky dalam pertengkarannya tersebut sukses membuat gadis itu kaget bukan main. Arisa mulai merasakan ketidaksinkronan antara apa yang ia dapat kemarin dengan apa yang ia dapat hari ini.
Akan tetapi Mosses nampaknya tak mau terima dengan kata-kata Rocky itu, ia mendecak kesal dan menatap Rocky dengan begitu tajamnya. “Terus maksud lu gimana?! Maksud lu justru gue gitu yang punya niat jahat sama Arisa?!”, ujarnya dengan penuh emosi itu. “Kenapa nggak?”, Rocky kini nampak emosi pula.
“Rocky lu jangan bikin gue marah!”, ujar Mosses seraya berusaha menahan amarahnya. Namun Rocky lah yang justru terlihat semakin emosi, “Harusnya gue yang ngomong gitu! Bisa-bisanya lu ngefitnah gue dan ngatain gue bohong?!”. Arisa yang masih berdiam diri di balik dinding itu kini menundukkan kepalanya, pikirannya mendadak kacau balau. Gadis itu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, ‘Siapa yang bisa gue percaya?’.
Di tengah-tengah pikirannya yang masih gundah gulita itu, mendadak seseorang menabrak Arisa dari samping. “Eh, maaf”, ujar sosok itu seraya membantu Arisa untuk berdiri kembali. “Loh? Gavin?”, ujar Arisa begitu ia menatap sosok di hadapannya itu. “Elu Arisa ya? Nggak keliatan soalnya tadi lu nutupin wajah lu. Emangnya ada apa sih?”, ujar Gavin sesaat setelah ia mendapati sosok yang tak asing itu. Arisa justru terdiam, ia agak menunduk dan sedikit melirik ke arah bagian dalam ruangan.
Gavin pun mengikuti arah pandangannya Arisa, di dapatinya dua sosok yang sama-sama menatapnya pula. “Arisa, sejak kapan lu di situ?”, ujar Mosses begitu Arisa mengikuti arah pandangan Gavin secara perlahan. “Dari tadi”, jawab Arisa dengan pelan. Mosses dan Rocky yang semula sudah kaget karena kedatangan sosok tak diundang itu kini menjadi semakin kaget karena ucapan Arisa. “Lu denger pembicaraan kita?”, ujar Rocky dengan ekspresi khawatir yang melekat di wajahnya.
Arisa mengangguk pelan, dan sukses membuat lelaki itu terdiam. Rocky sempat menghela nafas panjang, hingga akhirnya ia kembali bicara, “Ar, gini--”. Ucapan Rocky terpotong seketika saat Gavin mendadak menarik tangan Arisa, membawa gadis itu menjauh dari dua sosok lelaki itu. Arisa hanya menuruti kemana arah Gavin membawanya, tanpa protes maupun bertanya sedikitpun.
Nyatanya, Gavin memang tak membawa Arisa menuju tempat yang aneh, Gavin hanya mengajak Arisa ke atas balkon, merasakan semilirnya angin perkotaan yang setidaknya sudah cukup untuk menenangkan pikiran. Gavin dan Arisa berdiri di pinggir pagar balkon, menatap jalanan yang ramai akan lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang berjalan ke sana kemari.
Mereka hanya berdiam diri, belum ada satu pun dari mereka yang hendak mengawali pembicaraan. Arisa bahkan kini melipat kedua tangannya di atas pagar balkon, lalu perlahan menunduk hingga menempelkan kepalanya pada tangannya itu. Gavin menatap Arisa yang nampaknya merasa depresi itu, Gavin tentu ingin membantunya, namun ia tak yakin bagaimana cara yang tepat untuk menghibur Arisa saat ini.
Dengan penuh keberaniannya, akhirnya Gavin mulai meraih pundak Arisa dengan perlahan. Tak lupa, Gavin juga sesekali menepuk-nepuk pundak Arisa itu dengan pelan. “Gue nggak tau harus percaya sama siapa”, kalimat Arisa yang semula ia pendam itu akhirnya ia kemukakan juga. Gavin masih saja memegangi pundak Arisa itu seraya mendengarkan kalimat Arisa. “Bahkan elu pun belum tentu bisa dipercaya, iya kan Vin?”, ujar Arisa seraya memiringkan kepalanya, menatap Gavin menggunakan salah satu matanya itu.
Gavin sempat terdiam sejenak, hingga akhirnya ia mulai bisa mencerna ucapan Arisa. Gavin nampak sedikit kaget dan segera melepaskan tangannya dari pundak Arisa. “Kenapa? Apa gue masih belum pantes buat dipercaya?”, ujarnya dengan cukup dalam. Arisa menatap sosok di sebelahnya itu beberapa saat, membuat mereka bertatap-tatapan dalam waktu yang cukup lama. Gadis itu mulai tertawa kecil, ia mengangkat kepalanya kembali dan memutar posisi tubuhnya, menyandar pada pagar balkon.
“Seenggaknya buat saat ini lu masih bisa dipercaya”, ujar gadis itu seraya menatap sosok di sebelahnya, tak lupa ia juga memberikan senyumannya yang cukup manis itu. Gavin memberikannya senyuman pula, “Gue ngelakuin ini semua demi kebaikan elu doang kok”. Arisa yang masih menatap Gavin dengan cukup dalam itu mendadak teralihkan perhatiannya. Sebuah angin yang sangat kencang mendadak menerpa mereka, membuat Arisa seketika kembali membalikkan posisi tubuhnya guna menatap sumber angin itu dengan lebih baik.
Angin kencang itu mereda bersamaan dengan sebuah pesawat jet yang mendarat di depan gedung pusat Phyon Entertainment. “Pesawat lu?”, ujar Gavin seraya menatap Arisa yang berdiri di sebelahnya itu. Arisa mengangguk, “Ya udah, gue pulang dulu ya”, ujarnya seraya pergi beberapa langkah meninggalkan Gavin. “Ar”, suara itu sukses menghentikan langkah Arisa, dan membuat gadis itu membalikkan badannya guna menatap sosok yang memanggil namanya itu. “Mau gue anter?”, ujar Gavin. Sosok lelaki itu menekuk tangan kirinya membentuk sudut 45 derajat dan meletakkannya di belakang tubuhnya, seraya mengulurkan tangan kanannya pada Arisa.
Gadis itu tersenyum dan mengangguk perlahan, memberikan izin pada Gavin untuk menemaninya. Gavin dengan sigapnya berjalan mendekati Arisa dan menggandeng tangan gadis itu. Arisa pun berjalan beriringan dengan Gavin, canda tawa juga sesekali mereka lontarnya untuk memperindah suasana.
Hingga ketika mereka mencapai lantai satu, sebuah suara seketika mengalihkan perhatian Arisa. “Ar, mau kemana?”, ujar sosok itu mendekati Arisa dan Gavin yang kini telah menghentikan langkahnya. “Mau pulang”, ujar Arisa dengan pelan seraya menatap sosok Rocky itu dengan cukup dalam, nampaknya gadis itu masih merasa nyaman berada di sisi lelaki yang baru saja datang menghampirinya itu. “Buru-buru ya?”, tanya Rocky lagi. “Nggak kok”, kalimat Arisa itu sukses disambut oleh senyuman bahagia di wajah Rocky. Namun Gavin terlihat tidak suka dengan jawaban Arisa itu, ia memegang tangan Arisa yang masih ia gandeng itu dengan lebih erat, membuat Arisa kembali teringat pada ucapan Gavin sebelum-sebelum ini, “Rocky deketin lu cuma punya niat buruk doang”.
“Kalo lu nggak buru-buru bisa main ke apartemen kita bentar nggak?”, ujar Rocky masih dengan senyuman gembiranya itu. Arisa mendadak tersenyum dengan berat hati, “Eh maaf, Ky. Gue harus buru-buru pulang”. Arisa dan Gavin pun berjalan kembali, meninggalkan Rocky yang masih terdiam di tempatnya, bersamaan dengan rasa bingung Rocky yang mendadak muncul itu. Lelaki itu sukses semakin bingung ketika ia dengan yakinnya melihat tangan Gavin dan Arisa yang bergandengan.
Sesaat sebelum Gavin melewati pintu keluar gedung pusat Phyon Entertainment, ia melirik ke belakang, dilihatnya sosok Rocky yang menatapnya bukan dengan wajah bingung, melainkan wajah datar yang cukup susah diartikan. Gavin hanya menatap tajam pada Rocky sesaat dan kembali menatap ke depan.
Gavin melepaskan tangan Arisa begitu gadis itu sudah berjarak beberapa meter dari pesawatnya. Arisa membuka pintu pesawatnya dan segera masuk ke dalam kokpit. Gadis itu tak lupa melambaikan tangannya sesaat sebelum ia menutup pintu pesawatnya. Gavin pun juga melambaikan tangannya pada Arisa, seraya tersenyum dan menatap kuda besi di hadapannya itu hingga melaju kencang dan terbang tinggi di atas kota.
Tak berselang lama, Gavin pun sedikit memutar kepalanya, melirik pada sosok yang telah mengamatinya sejak beberapa saat yang lalu. Rocky yang semula berdiri jauh dari Gavin itu kini sudah berada sekitar dua meter di belakangnya. “Kenapa lu tadi bersikap kayak gitu, Ky?”, ujarnya dengan pelan namun agak sinis. Akan tetapi Rocky hanya berdiam diri di tempatnya, dan menatap Gavin tanpa mengatakan sepatah kata pun.
To Be Continue-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.
Semangat... Konflik kekuasaan... Keren
Comment on chapter PROLOG