Read More >>"> Horses For Courses (Internal Problem) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Horses For Courses
MENU
About Us  

HORSES FOR COURSES

Chapter 9 : Internal Problem

Written by :

Adinda Amalia

 

Characters :

1. Yamaguchiya Arisa

2. Yamaguchiya Rafu

3. Lixeu

4. Gavin

5. Mosses

5. Daniel

6. Eric

7. Rocky

8. Manager

9. Hwannie

10. CEO Phyon Entertainmnent

11. Arisa's Staff

12. LAUDE's President

Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.

 

.

 

.

 

Selamat membaca~

 

LURIOUS fokus pada latihan mereka. Irama yang terdengar hingga ke luar ruangan itu tak kunjung juga berhenti. Bahkan suara hentakkan sepatu yang berkali-kali menggebrak lantai itu masih juga menggema. Sesekali para dancer andalan memberi arahan kepada member LURIOUS lainnya, berusaha memperbaiki performa mereka yang terkadang masih kurang maksimal. Terutama Rocky, ialah sang koreografer yang berperan penting dalam penampilan sempurna para member LURIOUS.

 

Latihan berlangsung cukup lama, mereka sangat berambisi untuk memberikan sebuah penampilan yang luar biasa. Mungkin hanya beberapa menit mereka beristirahat, hingga akhirnya kembali ke latihan mereka yang cukup keras itu. Manager LURIOUS juga tak mau berdiam diri, sesekali memberikan arahan guna memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil oleh anak-anaknya itu. Setelah cukup lama, manager pun pergi dan mempersilahkan kelima member LURIOUS untuk beristirahat.

 

Selesai dengan latihan, Eric dan Daniel segera pergi untuk menuju cafeteria, mencari sumber ‘bahan bakar’ mereka yang telah mencapai ‘kotak terakhir’. Menyisakan Gavin, Mosses dan Rocky, ketiga lelaki itu merasa lebih nyaman beristirahat di ruang latihan. Setelah meletakkan botol minumnya di atas meja, Mosses pun memutuskan untuk duduk di lantai dan menyandar pada tembok. “Eh gue ke cafeteria ya?”, ujar Rocky sesaat sebelum keluar dari ruangan latihan, menyisakan Gavin dan Mosses. Gavin yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Mosses itu akhirnya menghampiri sosok lelaki di salah satu sisi ruangan tersebut.

 

“Mos”, ujarnya segara duduk di sebelah Mosses. Mosses sendiri tak banyak bicara dan hanya menatap ke arah Gavin. Gavin terdiam sejenak dan menarik nafas begitu dalam, seakan-akan sebuah batu besar menghalanginya untuk mengungkapkan tujuannya. Beberapa saat kemudian, barulah Gavin mulai berbicara. “Gue rasa ini bukan sesuatu yang harus gue kasih tau. Tapi gue pikir, lu harus tau tentang ini”, ujarnya pelan. Kalimat Gavin yang cukup belibet barusan tentunya membuat Mosses berpikir keras. Dengan wajah bingungnya itu, Mosses mencoba memperbaiki posisi duduknya agar ia bisa menatap Gavin dengan lebih baik, “Maksud lu?”. Gavin kini nampak serius, ia juga merubah posisi duduknya agar ia dapat berhadap-hadapan dengan Mosses.

 

“Ini tentang Rocky”, ujar Gavin dengan rasa berat hati yang terlihat jelas. Mosses yang semula nampak bingung itu sepertinya mulai memahami perkataan Gavin, ia mengangguk kecil dan menatap sosok di hadapannya itu dengan serius pula. “Gue rasa… Rocky cuma manfaatin Arisa doang”, Gavin kini menatap Mosses dengan wajah yang agak terlihat sedih. Mosses terdiam, terpaku dalam posisinya. Pikirannya mendadak bercampur aduk, membuatnya shock selama beberapa saat.

 

Perlahan, ia mengerutkan kedua alisnya, bibir bawahnya seraya ia gigit dengan pelan. Wajahnya itu seakan-akan menunjukkan ketidakpercayaan yang cukup mendalam, “Yakin lu?”. Gavin mengangguk dengan yakinnya, tanpa ragu sedikitpun. Ekspresi di wajah Mosses itu kian terlihat dengan jelas. Ia terdiam kembali, mencoba mengingat-ingat peristiwa beberapa hari yang lalu. Mosses sebenarnya selama ini selalu saja mengamati sikap Rocky, terutama sikapnya terhadap Arisa. Sekilas mungkin tak ada yang salah, Rocky bersikap dengan cukup baik. Akan tetapi apabila kita mengamati lebih jauh, sepertinya ucapan Gavin memang ada benarnya.

 

“Mos, lu nggak apa-apa kalo kayak gini?”, Gavin yang masih memperlihatkan wajah khawatirnya itu agak mendekatkan wajahnya pada Mosses. Mosses terdiam, pertanyaan Gavin itu masih susah untuk ia jawab dengan pasti. Gavin merasa igit-igitan pada jawaban Mosses yang tak kunjung keluar itu, hingga ia berusaha meyakinkan Mosses, “Mos, gue serius Mos. Gue yakin! Rocky punya tujuan tersembunyi!”. Gavin menjeda ucapannya seraya menatap dalam pada Mosses yang belum juga mengutarakan pendapatnya. “Rocky mungkin bercanda soal minta tambahan waktu nginep di Caye Chapel Island dan soal Ferrari Monza SP2, tapi siapa tau kalo sebenernya dia nyimpen niat jahat? Siapa tau sebenernya dia serius?”, ujar Gavin dengan pelan, namun terdengar sangat serius.

 

“Gue nggak mau Arisa jadi bahan galian tambang buat Rocky”, Gavin yang menunjukkan wajah mirisnya itu sukses menggerakkan Mosses. Mosses yang mendadak terlihat marah itu segera berdiri dari posisinya. “Mos, kemana lu?”, ujar Gavin yang agak kaget dan heran dengan tindakan Mosses. “Lu diam aja, biar gue yang urus!”, ujar Mosses dengan nada suara yang begitu dingin. Mosses pun pergi meninggalkan Gavin. Gavin mengamati Mosses langkah demi langkah hingga lelaki itu kini benar-benar hilang dari pandangan Gavin.

 

Mosses mendengar dengan pasti bahwa beberapa saat yang lalu Rocky sempat bilang jika ia hendak pergi ke cafeteria, Mosses pun menyusulnya. Begitu sampai di cafeteria, Mosses segera menarik tangan Rocky dan membawanya keluar. Berusaha mencari tempat yang aman, Mosses pun memaksa Rocky untuk pergi bersamanya lebih jauh lagi, “Eh, anjir! Lu mau bawa gue kemana!”. Mosses tak kunjung menjawab, ia hanya memegang pergelangan tangan Rocky dengan erat dan menyeretnya menuju ke suatu tempat.

 

“Mosses, lu mau kemana?!”, uujarnya lagi. Lagi-lagi, Mosses tak menjawabnya. Hingga mereka berdua keluar dari gedung pusat Phyon Entertainment melalui pintu belakang. Begitu melewati pintu belakang itu, Rocky sesaat nampak heran dan tak bisa berkata apa-apa. Baru setelah beberapa detik berlalu, ia mulai merasa aneh dengan tindakan Mosses. Dengan keadaannya yang masih  diseret dengan kasar oleh Mosses itu, Rocky mulai berusaha untuk memprotes, “Mosses! Jangan asal bawa gue!”. “Diem lu bangsat!”, ujar Mosses sesaat sebelum ia melempar Rocky dengan cukup keras ke arah dinding

 

Akibat lemparan Mosses itu, Rocky sukses menghantam dinding dan nyaris jatuh karena kehilangan keseimbangan. Namun tak lama, ia  segera bangkit kembali, “Siapa yang tadi lu kata bangsat?!”. “Elu lah!”, Mosses menatap Rocky dengan wajah yang penuh emosi. Rocky yang merasa menjadi korban itu ikut menatap Mosses dengan emosi pula, “Kenapa lu tiba-tiba marah sama gue?!”. Kalimat itu justru membuat Mosses terlihat semakin emosi, “Jangan main-main lu sama Arisa!”.

 

Rocky terdiam, ia mengerutkan alisnya sesaat setelah mendengar kalimat Mosses barusan. “Lu mungkin jago akting! Tapi gue bakal tetep bisa tau niat buruk lu!”, Mosses yang sudah benar-benar emosi itu bahkan dengan beraninya menunjuk ke arah kepala Rocky. Sukses membuat Rocky tersinggung, ia pun tak mau kalah. Rocky segera menampar tangan Mosses jauh-jauh. “Lu tau apa tentang gue?!”, Rocky yang semakin tersulut api kemarahan itu kini menatap Mosses dengan semakin tajamnya.

 

Di sisi lain, sesosok lelaki nampak berdiri di sisi samping gedung pusat Phyon Entertainment. Lelaki itu melirik sesaat, ke arah kedua bocah yang sedang tersulut amarah itu. Beberapa waktu berlalu, hingga lelaki itu memastikan bahwa Mosses dan Rocky benar-benar sedang bertengkar. Dalam hati kecil sang lelaki, ia merasa puas. Diperlihatkannya sebuah smirk yang begitu tajamnya. Dan tak lama, lelaki itu pergi meninggalkan posisinya. Angin yang begitu kencang ini menerpanya tanpa ragu, membuat rambut serta kemejanya berayun-ayun beberapa kali. Namun, sang lelaki nampak tak terganggu sedikit pun. Bahkan setelah sebuah angin yang lebih kencang menerpanya, ia masih juga tak terganggu. Akan tetapi, angin kencang itu membuat kemeja bersibak begitu jauh, mengekspos kaosnya yang bertuliskan, “LURIOUS”, dan “GAVIN”.

 

Angin yang cukup kencang masih bertiup di sisi-sisi gedung pusat Phyon Entertainment. Dua lelaki di belakang gedung itu sama sekali tak terganggu oleh angin yang berkali-kali menyibakkan rambut mereka. Dan masih dengan posisi yang seperti semula, mereka tak kunjung juga meredakan amarah di wajah mereka. Kedua lelaki itu sama sekali tak ada yang ingin mengalah.

 

“Rocky! Jujur sama gue!”, Mosses menjeda ucapannya. Rocky dengan amarahnya itu menatap Mosses begitu tajam, dan terdiam menunggu kalimat Mosses selanjutnya. “Kenapa lu manfaatin Arisa?!”, lanjutnya. Seketika Rocky mengerutkan kedua alisnya, ia nampak begitu kaget dengan ucapan Mosses. “Manfaatin?”, ucapnya. Sebelum Rocky sempat mengatakan kata-kata lagi, Mosses telah lebih dulu menyelanya, “Lu cuma ngincer uangnya Arisa kan?! Jujur aja! Ngaku lu!”.

 

Rocky nampak tak percaya, dengan wajah yang mulai terlihat sedih itu, ia mencoba membela diri, “Kenapa lu ngomong gitu? Apa karena gue minta tambahan waktu nginep di Caye Chapel Island? Apa karena gue minta Ferrari Monza SP2?”, ujarnya pelan. Mosses justru nampak semakin geram, ia mendongakkan kepalanya ke atas dan menatap Rocky seraya agak meremehkannya. “Nah, itu udah jelas kan?”, ucapnya masih dengan emosi.

 

Rocky menunduk sesaat dan menarik nafas dengan agak berat, tak lama ia kembali menatap Mosses dengan emosi yang telah menghilang dari dalam dirinya. “Mos, gue nggak ada niatan buat manfaatin uang Arisa”, ujarnya pelan dan cukup dalam. Mosses hanya mendecak kesal dan menatap Rocky dengan penuh-penuh emosi. Sesaat tak ada pembicaraan diantara mereka, dua sosok lelaki itu hanya saling bertatap-tatapan dengan raut wajah yang saling berbanding terbaik.

 

Masih merasa jengkel, Mosses pun kembali berusaha memojokkan Rocky, “Nggak mungkin!”. “Apanya yang nggak mungkin?”, Rocky menatap Mosses sesaat. Hingga Mosses kembali berbicara, “Lu pasti ada niatan! Sekecil apapun!”. Rocky justru menghela nafas panjang dengan semakin beratnya, seraya menatap sosok di depannya itu, Rocky berusaha untuk meyakinkan Mosses, “Gue nggak ada niatan sekali sekali, Mos”.

 

Lagi-lagi Mosses mendecak kesal, namun kali ini Rocky nampak benar-benar serius dengan perasaannya, “Gue sayang sama Arisa, nggak mungkin gue punya niatan kayak gitu”, ia menjeda kalimatnya. Mosses menatap Rocky dengan raut wajah yang sama sekali tak berubah. “Gue nggak tega kalo harus manfaatin dia”, ujarnya begitu pelan dan penuh perasaan.

 

Mosses terdiam, wajahnya sesekali nampak semakin geram. Lelaki itu menatap Rocky tanpa mengalihkan perhatiannya sama sekali, diamnya Mosses mungkin karena ia sedang mencerna ucapan Rocky. Tak butuh waktu lama, Mosses pun akhirnya angkat bicara kembali. “Munafik”, ujarnya sesaat sebelum meninggalkan Rocky. Kaget bukan main, Rocky segera menatap sosok yang pergi meninggalkannya itu dengan rasa tidak percaya. “Mosses!”, namun Mosses tak menggubris panggilan Rocky sama sekali, ia bahkan menutup pintu belakang gedung Phyon Entertainment itu dengan kasar, hingga menimbulkan suara yang cukup keras.

 

Suasana di sekitar gedung Phyon Entertainment nampaknya cukup kacau. Beberapa waktu telah berlalu, syukurlah hari ini LURIOUS di beri waktu lebih untuk beristirahat, sehingga Mosses dan Rocky mempunyai waktu yang cukup untuk mendinginkan kepala mereka. Sekilas tak ada yang aneh, Daniel dan Eric sibuk makan-makan di cafeteria, Rocky dan Mosses sudah kembali ke apartemen dan berdiam diri di kamarnya masing-masing. Akan tetapi, kemana kah Gavin?

 

Angin berhembus kencang di depan kediaman Yamaguchiya. Rumput-rumput kecil di beberapa titik area halaman yang luas itu berkali-kali bergerak kesana dan kemari. Bahkan semakin lama gerakan rerumputan itu justru semakin cepat. Puncak dari angin yang semakin kencang itu diiringi oleh mendaratnya sebuah helikopter di sela-sela rerumputan itu.

 

Baling-baling helikopter secara perlahan mulai melambat, membuat angin kencang di sekitarnya itu semakin lama kian mereda. Sesaat setelah baling-baling benar-benar berhenti, pintu helikopter pun terbuka dan seorang gadis kecil keluar dari sana. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya yang berjarak beberapa meter dari helikopternya itu.

 

Namun, sebuah suara mendadak menghentikan langkah gadis itu. “Arisa”, gadis yang merasa namanya dipanggil itu pun membalikkan badannya, menatap ke arah dimana asal suara itu berasal. Arisa mendapati sesosok yang sangat-sangat tidak asing itu, “Kenapa, Vin?”. Gavin berjalan beberapa langkah mendekati Arisa, ia sedikit tersenyum untuk memberikan salamnya pada gadis itu. “Gue ganggu nggak?”, ujarnya begitu ia merasa cukup dekat dengan Arisa dan mulai menghentikan langkahnya itu. “Nggak kok, kebetulan gue juga baru pulang dari sekolah”, ujar Arisa. Gadis itu meletakkan tasnya di sebuah set meja kursi yang tertata rapi di beranda rumahnya itu. “Duduk, Vin”, ujar Arisa yang telah duduk terlebih dahulu itu.

 

Gavin pun duduk tepat di hadapan Arisa, ditatapnya sosok gadis kecil itu dengan serius. Namun sebelum Gavin sempat berbicara, Arisa telah menyelanya terlebih dahulu, “Tumben lu mau ngomong serius sama gue”. Gavin sempat tertawa kecil sebelum ia kembali ke ekspresi seriusnya, Gavin sengaja terdiam sejenak, membiarkan agar Arisa perlahan-lahan ikut serius pula.

 

Merasa keduanya telah sama-sama serius, Gavin pun memulai pembicaraan. “Ar, dengerin gue baik-baik”. Arisa menatap sosok di hadapannya itu tanpa sepatah kata pun, meminta Gavin agar ia segera melanjutkan kalimatnya. “Gue nggak ada niat buruk sama sekali ya, tapi gue rasa gue harus bilang tentang semua ini demi kebaikan lu”, Gavin menatap Arisa dengan dalam. Arisa pun menyadarinya, ia tau Gavin tak akan mengatakan sebuah lelucon padanya.

 

“Gue cuma mau bilang ke elu aja, kalo sebenernya Rocky sama Mosses deketin lu itu cuma punya niat buruk doang”, kalimat Gavin itu sukses membuat Arisa mengerutkan kedua alisnya, sungguh sebuah tatapan penuh rasa serius yang baru pertama kali ini ia tunjukkan pada Gavin. Arisa yang perlahan mulai merasa janggal itu akhirnya angkat bicara, “Maksud lu?”.

 

Gavin meletakkan kedua tangannya di atas meja, dan mendekatkan wajahnya pada Arisa beberapa centi meter. “Gini, gue jelasin dari awal ya?”, ujar Gavin. Arisa pun mengangguk, mempersilahkan Gavin untuk melanjutkan kalimatnya. “Kita kan idol, kehidupan kita di agensi juga cukup keras. Nggak jarang lah kalo kita ngerasa tertekan, stress, atau gimana. Bahkan kita mau deket sama cewek aja susah”, Gavin menjeda kalimatnya. Sosok di hadapan Arisa itu sempat menghela nafas panjang, yang sukses membuat Arisa semakin merasa penasaran pada kelanjutan ceritanya.

 

“Kalo bukan karena lu yang deketin kita duluan, mungkin kita nggak bakal punya temen cewek yang seakrab ini”, Gavin berbicara dengan nada lembut yang begitu mendalam. Dan lagi-lagi ia menggantungkan kalimatnya. Akan tetapi kalimatnya kali ini rupanya membuat Arisa merasa cukup aneh, “Terus masalahnya apa?”, ujar Arisa dengan rasa penasarannya. “Yah, karena kehadiran lu itu”, Gavin kini menatap Arisa dengan wajah khawatir yang begitu terlihat jelas di wajahnya.

 

Arisa terdiam, terpaku dalam pikirannya yang masih berputar guna mencerna ucapan Gavin. “Kehadiran gue?”, ujarnya begitu pelan, ia masih belum bisa memahami kalimat Gavin betul-betul. “Mereka cuma manfaatin lu doang, Ar”, ujarnya seraya agak mempertegas nada suaranya di akhir kalimatnya.

 

“Mereka cuma nyari uang lu doang, mereka cuma nyari kekuasaan lu doang. Mereka jadi semena-mena mentang-mentang lu punya kebebasan yang luas”, lanjutnya. Arisa sempat terpaku sesaat, ia cukup kaget dengan ‘tamparan’ Gavin padanya itu. “Gue cuma dimanfaatin?”, ujar Arisa dengan begitu mirisnya. “Iya, Ar!”, Gavin yang terlihat khawatir itu berusaha mensejajarkan pemikiran Arisa dengannya.

 

“Nggak cuma uang dan kekuasaan, Ar. Posisi lu sebagai cewek juga dimanfaatin”, ujarnya dengan begitu pelan dan dalam, terutama di akhir kalimatnya. Arisa menunduk, ia tenggelam dalam pikirannya. Gavin mungkin tak mengucapkan kalimatnya dengan begitu jelas, namun sosok semacam Arisa tak perlu penjelasan panjang lebar agar sebuah informasi dapat masuk ke dalam otaknya.

 

“Tadi kan gue udah bilang, Ar. Kita bahkan kesusahan buat kenalan sama cewek”, Gavin kembali menjeda ucapannya, lelaki itu menatap Arisa yang masih saja menunduk itu. “Makanya dengan adanya elu, cewek cantik dengan level yang cukup tinggi, mereka langsung ngelunjak”, Arisa segera menghela nafas panjang dengan begitu berat begitu ia mendengar kalimat Gavin barusan. “Iya, iya gue ngerti”, ujarnya dengan penuh berat hati.

 

“Saat ini mungkin belum keliatan, tapi nggak menutup kemungkinan kalo suatu saat lu jadi pelampiasan nafsu mereka, iya kan?”, kalimat Gavin barusan justru membuat Arisa menghela nafas dengan semakin berat. Gadis itu kini mengangkat kepalanya kembali, menatap sosok lelaki di hadapannya itu. “Lu sendiri juga mungkin kan ntar bakal kayak gitu?”, ujarnya berusaha menyanggah kalimat Gavin. Namun Gavin dengan wajahnya yang mendadak serius itu segera menjawab pertanyaan Arisa dengan tegas, “Nggak, gue bukan tipe cowok yang kayak gitu”.


Gavin sukses membuat Arisa kembali terdiam, gadis itu nampak skakmat dengan ucapan Gavin barusan. Lelaki itu menghela nafas sejenak dan beranjak dari tempat duduknya,”Gue cuma mau ngomongin ini doang kok”. Sosok itu perlahan menjauh beberapa langkah dari set meja kursi di beranda rumah Arisa itu. “Mau gimana pun tindakan lu, itu terserah sama lu sendiri”, ujarnya seraya memberikan sebuah senyuman kecil. “Tapi nggak usah khawatir, gue bakal berusaha sekuat tenaga biar lu nggak disentuh sama mereka”, lanjutnya. Gavin pun menganggukkan kepalanya sekali dengan pelan, sebelum ia akhirnya pergi dari hadapan Arisa. Arisa yang masih terpaku di tempat itu hanya menatap Gavin yang kian lama semakin menjauh dari pandangannya.

 

 

To Be Continue-

 

.

 

.

 

Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.

Salam, penulis.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • rara_el_hasan

    Semangat... Konflik kekuasaan... Keren

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
29.02
386      186     1     
Short Story
Kau menghancurkan penantian kita. Penantian yang akhirnya terasa sia-sia Tak peduli sebesar apa harapan yang aku miliki. Akan selalu kunanti dua puluh sembilan Februari
Mars
980      543     2     
Romance
Semenjak mendapatkan donor jantung, hidup Agatha merasa diteror oleh cowok bermata tajam hitam legam, tubuhnya tinggi, suaranya teramat halus; entah hanya cewek ini yang merasakan, atau memang semua merasakannya. Dia membawa sensasi yang berbeda di setiap perjumpaannya, membuat Agatha kerap kali bergidik ngeri, dan jantungnya nyaris meledak. Agatha tidak tahu, hubungan apa yang dimiliki ole...
My LIttle Hangga
747      479     3     
Short Story
Ini tentang Hangga, si pendek yang gak terlalu tampan dan berbeda dengan cowok SMA pada umunya. ini tentang Kencana, si jerapah yang berbadan bongsor dengan tinggi yang gak seperti cewek normal seusianya. namun, siapa sangka, mereka yang BEDA bisa terjerat dalam satu kisah cinta. penasaran?, baca!.
Gerhana di Atas Istana
13980      4683     2     
Romance
Surya memaksa untuk menumpahkan secara semenamena ragam sajak di atas kertas yang akan dikumpulkannya sebagai janji untuk bulan yang ingin ditepatinya kado untuk siapa pun yang bertambah umur pada tahun ini
LANGIT
25316      3669     13     
Romance
'Seperti Langit yang selalu menjadi tempat bertenggernya Bulan.' Tentang gadis yang selalu ceria bernama Bulan, namun menyimpan sesuatu yang hitam di dalamnya. Hidup dalam keluarga yang berantakan bukanlah perkara mudah baginya untuk tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti istilah yang menyatakan bahwa orang yang sering tertawalah yang banyak menyimpan luka. Bahkan, Langit pun ...
Sang Penulis
9058      2016     4     
Mystery
Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat menggambarkan sebuah kejadian di masa depan. Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dan tak ada juga yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat merusak kehidupan seseorang. Tapi, yang paling tak disangka-sangka adalah penulis tulisan itu sendiri dan alasan mengapa ia menuliskan tulisan i...
If Only
330      207     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
Memoreset (Sudah Terbit)
3283      1261     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...
Garuda Evolution
1747      905     0     
Fantasy
Sinetra seorang pemuda culun. Bertemu sosok lainnya bernama Eka, diri lain darinya. Mereka dipertemukan dengan Mirna Kemala, seorang Pahlawan Garuda. Dia menawarkan mereka untuk bergabung di Aliansi Garuda. Akhirnya mereka bergabung, dan berteman dengan dua teman mereka sesama Pahlawan Garuda. Tugas dari seorang Pahlawan Garuda adalah mencari lima kartu yang tersimpan daya sihir, membawa mereka k...
#SedikitCemasBanyakRindunya
2980      1079     0     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.