HORSES FOR COURSES
Chapter 6 : Forever Or Not
Written by :
Adinda Amalia
Characters :
1. Yamaguchiya Arisa
2. Yamaguchiya Rafu
3. Lixeu
4. Gavin
5. Mosses
5. Daniel
6. Eric
7. Rocky
8. Manager
9. Hwannie
10. CEO Phyon Entertainmnent
11. Arisa's Staff
12. LAUDE's President
Nama tokoh akan diungkap satu per satu seiring dengan berjalannya cerita.
.
.
Selamat membaca~
Perjalanan mereka memakan waktu hingga matahari terbit kembali. Untung saja Arisa membawa pesawat yang cukup besar, sehingga mereka bisa menghabiskan malam dengan nyaman. Arisa tidur di kabin tempat tidur, sedangkan ketiga member LURIOUS itu tidur di kabin ruang tengah. Bahkan hingga keempat bocah itu bangun tidur dan selesai mandi serta berganti pakaian, pesawat baru menunjukkan tanda-tanda hendak mendarat.
Begitu ketiga lelaki itu mengintip keluar dari jendela, mereka seketika dikagumkan dengan pemandangan yang sangat-sangat indah, sebuah pulau yang dikelilingi oleh lautan yang jernih. “Arisa, ini?”, tanya Mosses dengan penuh rasa kecurigaannya itu, ia sepertinya cukup tau tentang tujuan mereka kali ini. Tak hanya Mosses, Gavin dan Rocky juga ikut menatap Arisa, dan menunggu jawaban dari sang gadis itu. Arisa menatap ketiga lelaki di hadapannya itu sesaat, lalu ia mulai menunjukkan senyuman penuh kebanggaannya, “Welcome to Caye Chapel Island!”.
Perasaan gembira seakan-akan merasuki tubuh ketiga lelaki itu, mereka seketika terlihat sangat antusias dan tak sabar untuk segera turun dari pesawat. Bahkan Rocky nampak sangat antusias dengan kalimat Arisa barusan, “Keren gila!”. “Gue nggak nyangka bakal bisa kesini”, ucap Mosses seakan-akan tak percaya. Gavin pun juga nampak sangat senang, ia mengamati pemandangan di bawahnya itu dengan senyuman yang tak pudar-pudar.
Begitu pesawat mendarat, ketiga lelaki itu segera menuju villa yang telah dipesan oleh Arisa. Mereka segera menyusuri seisi villa ini. Dan sesuai dugaan, villa ini jauh lebih keren daripada Jeju Gaviota Pension. Mereka bertiga bahkan tak henti-hentinya mengagumi seisi tempat ini. “Gila, ini bener-bener keren”, Rocky selalu saja menjadi yang terdepan dalam hal antusiasme. “Woahh”, hanya satu kata itu yang bisa keluar dari mulut Mosses, ia sudah terlalu terpana dengan keindahan villa ini. Dan Gavin sendiri, ia tak henti-hentinya tersenyum pada setiap benda di villa ini, bukti rasa kagumnya yang begitu mendalam.
Berbeda dengan tiga lelaki itu yang asik berputar-putar untuk mengagumi sesisi villa. Arisa justru segera pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian dan berdandan sesaat. Selesai dengan pakaian dan tata rias barunya itu, Arisa pun segera pergi kembali. Tentunya ketika ia melewati ketiga member LURIOUS itu, seketika ia dibanjiri pertanyaan oleh mereka. “Kok pake jas?”, “Mau kemana?”, “Kita kan baru dateng, masa mau pergi lagi?”, kira-kira itulah yang bisa disimpulkan dari berbagai macam pertanyaan mereka.
“Kalian nyantai aja di sini, gue booking tempat ini buat seminggu kok”, ujarnya santai seraya mengecek kembali beberapa dokumen yang telah ia bawa. Rocky yang semula nampak bingung dengan keberadaan Arisa itu mendadak menjadi sangat antusias, bahkan melebihi antusiasmenya yang sebelum-sebelum ini. “Seminggu?! Woahh, gila! Arisa terbaik lah emang”, ujarnya seraya memberi acungan jempol menggunakan kedua tangannya. Arisa yang merasa dijunjung tinggi itu hanya menatap Rocky dengan senyumannya. Kedua member LURIOUS lain pun nampak memberikan senyuman yang sama pula, sungguh sebuah senyuman manis yang penuh rasa terima kasih. “Lu baik banget sih”, ujar Gavin seraya menepuk pundak Arisa pelan. “Makasih banget lho ya”, Mosses pun ikut menimpali, wajah manisnya itu semakin lengkap dengan eye smile dan dimple di pipi kirinya. Arisa sendiri hanya mengangguk kecil dan tersenyum semakin lebar.
“Emang lu mau kemana sih?”, ujar Mosses seraya menatap Arisa dari bawah sampai ke atas dengan detail. Arisa sempat terdiam sejenak karena tingkah Mosses yang mengamatinya dengan begitu seksama itu. “Gue ada rapat”, ujarnya santai. “Lama nggak?”, Gavin pun ikut menimpali. Arisa hanya mengangkat kedua bahunya sesaat, “Tergantung peserta rapatnya, enak diajak nego apa nggak?”. Dan ketiga lelaki itu hanya mengangguk pelan guna menjawab kalimat Arisa. “Ya udah gue pergi dulu ya?”, ujarnya sesaat sebelum pergi meninggalkan ketiga lelaki itu.
Gavin, Mosses, dan Rocky bahkan mengikuti Arisa hingga gadis itu masuk ke dalam pesawat. Sesaat sebelum pintu pesawat ditutup, ketiga lelaki itu memberikan senyuman mereka dan tak lupa melambaikan tangannya pada Arisa. Arisa pun membalas dengan senyuman dan lambaian tangannya pula. Pintu pesawat kini tertutup, dan dalam hitungan detik kuda besi itu telah menghilang dari pandangan ketiga member LURIOUS tersebut.
Tempat tujuan Arisa bukanlah tempat yang jauh. Mungkin Arisa berpindah negara, namun negara tersebut juga masih dalam Benua Amerika, sehingga tak perlu waktu lama untuk sampai ke sana. Lebih tepatnya, gadis itu pergi menuju Mexico. Begitu pesawat Arisa mendarat di halaman depan sebuah bangunan, Arisa pun segera turun. Gadis kecil itu menuruni tangga pesawat dengan anggunnya, setelah jas serta tumpukan dokumen dan laptop yang ia bawa membuat penampilannya terlihat semakin elegan.
Dilihatnya sebuah gedung pencakar langit dengan ukuran super besar. Dari bawah sini, kita dapat melihat sebuah tulisan di bagian depan gedung itu yang berbunyi, “LAUDE CENTRAL BUILDING”. Arisa segera melangkahkan kakinya menuju bagian dalam gedung. Gadis kecil itu tanpa ragu masuk ke dalam lift dan menekan tombol bertuliskan, ‘100’. Keadaan lift yang hanya terisi oleh Arisa sendiri itu membuatnya agak bosan, apalagi perjalanan dari lantai satu ke lantai seratus memakan waktu yang cukup lama.
Di sela-sela waktu menunggunya, Arisa melirik sebuah cermin di sisi kiri lift. Tanpa ragu, Arisa menatap bayangan dirinya di balik cermin itu dengan senyuman penuh kebanggaan. Dengan spontan, Arisa menyibakkan rambut panjangnya itu sesaat sebelum ia keluar dari lift, bahkan Arisa masih mempertahankan senyumannya itu ketika ia berjalan menyusuri lobi gedung.
Langkah Arisa terhenti ketika ia sampai di depan sebuah ruangan bertuliskan, “Exclusive Meeting Room”. Arisa membuka pintu itu dengan perlahan, “Selamat pagi”, ujarnya pelan begitu ia memasuki ruangan itu. Seluruh mata memandang tertuju padanya, namun Arisa sama sekali tak merasa terganggu, ia dengan santainya melangkahkan kaki menuju tempat duduknya.
“Baru datang?”, ujar seorang pria dengan tulisan “LAUDE’s President” yang terpampang nyata di atas mejanya. Arisa menahan diri, ia yang hendak duduk itu terhenti dan berdiri di depan kursinya. “Menurut jadwal, rapat dimulai pada pukul 11:30, dan sekarang…”, Arisa menjeda ucapannya. Ia merentangkan tangan kirinya sesaat lalu mendekatkan pergelangan tangan kirinya itu pada wajahnya, sungguh sebuah aksi songong yang terlihat jelas. “Pukul 11:30, tepat waktu!”, lanjutnya disertai senyumannya yang justru terlihat menyebalkan itu.
Pria itu hanya menghela nafas panjang, dan tak mencoba untuk menyangga kalimat Arisa. Seisi ruang rapat sepertinya diisi oleh orang-orang yang tidak terlalu menyukai sikap Arisa. Namun sebenci apapun mereka pada Arisa, pangkat tinggi yang terpampang di setelah jas Arisa itu sukses membuat semua orang bungkam, dan hanya menyimpan kebenciannya dalam-dalam. Arisa pun duduk di kursinya dan meletakkan dokumen-dokumen serta laptopnya di atas meja. Sosok Rafu, kakaknya yang duduk di sebelahnya sedari itu kini melirik Arisa dengan cukup tajam. Arisa yang menyadari tatapan Rafu itu justru membalasnya dengan tawa yang sangat meremehkan.
Rapat dimulai, Presiden LAUDE memimpin rapat kali ini. Berbagai macam presentasi yang disertai gambar-gambar kurva, diagram, serta kumpulan data itu secara perlahan mulai menurunkan konsentrasi Arisa. Arisa yang nampak semakin mengantuk itu kini menyangga kepalanya menggunakan tangan kirinya. Rafu yang menyadari tingkah Arisa itu segera melirik adik kecilnya, “Konsentrasi!”, ujarnya pelan namun cukup tegas. Arisa yang masih bertopang dagu itu melirik kakaknya pula, “Iya iya bang, tau ih!”, ucapnya ketus. Rafu yang masih sempat menatap Arisa itu akhirnya mengalihkan pandangannya kembali.
Arisa yang masih saja bertopang dagu itu kembali mengganggu sang kakak, “Lagian kalo masalah ini kan urusan lu, gue cuma bagian kebijakan-kebijakan doang”. Rafu yang mendengar ocehan Arisa itu pun kembali meliriknya, kali ini dengan tatapan tajam. “Iya iya dek, diam deh lu!”, ujarnya sesaat sebelum ia kembali fokus pada presentasi. Arisa yang merasa terabaikan itu pun menghela nafas panjang dan menatap slide presentasi dengan berat hati.
Setelah rapat berjalan cukup lama, akhirnya Arisa menemukan bagian yang menarik baginya. “Lalu, bagaimana dengan kebijakan baru LAUDE mengenai adanya hak veto? Semua setuju kan?”, ujar sang presiden. Para peserta rapat nampak setuju-setuju saja dan tak berusaha untuk menyanggah sedikit pun. Hingga sosok termuda di ruangan ini mulai bicara, “Saya menolak…”, Arisa menjeda ucapannya. Seisi ruangan memfokuskan pandangannya pada Arisa, bahkan Rafu pun nampak keberatan dengan argumen Arisa. “...adanya hak veto”, lanjut Arisa dengan wajah seriusnya yang terlihat sangat meyakinkan.
Dari keseluruhan peserta rapat itu, nyaris tak ada satupun yang terlihat setuju dengan argumen Arisa. Arisa kini berdiri agar ia bisa berbicara dengan lebih leluasa, “Saya tau tuan dan nyonya sekalian pasti tak sepemikiran dengan saya, karena saya yang termuda di sini”, Arisa sejenak menatap orang-orang dewasa di hadapannya itu. “Kenapa juga harus ada hak veto? Mau cari aman? Takut jika ada keputusan yang tidak sesuai?”, ucap Arisa dengan nada yang agak menyindir. “Tentu, bukankah itu bagus?”, ujar sang presiden.
Arisa meletakkan kedua tangannya di atas meja, yang memaksa tubuhnya untuk sedikit membungkuk. “Lalu apa gunanya rapat umum jika keputusan yang dihasilkan justru dibatalkan dengan hak veto?”, nada bicara Arisa kini terdengar lebih serius. “Mungkin hak veto bisa diterapkan di LAUDE layaknya apa yang dilakukan oleh beberapa negara besar di dunia. Namun apa gunanya kalian mati-matian mempertahankan demokrasi jika ujung-ujungnya demokrasi itu justru dihancurkan dengan sekali tebas oleh kebijakan hak veto?”, lanjutnya.
“Udah lah, nggak perlu repot-repot pake hak veto. Saya yakin perusahaan-perusahaan di LAUDE sudah cukup berpengaruh untuk merubah dunia ini. Tanyalah pada anak-anak anda jika kalian tak percaya! Calon-calon pemimpin perusahaan itu pasti memiliki pemikiran dan rancangan masa depan yang sebelas-duabelas dengan saya”, jelasnya panjang lebar.
Arisa yang mungkin nampak malas-malasan dengan rapat ini sesungguhnya tak semalas itu juga. Ia memang tak bersemangat dengan tema rapat tertentu, namun sekalinya ada yang mengganggunya, ia akan segera mengusirnya sejauh mungkin. Yap, Arisa memang tipe orang yang bertindak ketika saat-saat tertentu saja. Ia bukan gadis rajin nan tekun yang akan bekerja setiap hari, ia adalah gadis yang bertindak sesuai keinginannya.
Beberapa saat setelah rapat selesai, ruangan pun kembali sepi. Menyisakan dua sosok bersaudara yang masih malas-malasan di posisinya masing-masing. Arisa yang terlalu malas itu pun bahkan dengan nyamannya meletakkan kepalanya di atas meja. Sedangkan Rafu, ia mulai beranjak dari kursinya dan melangkahkan kakinya menuju sebuah laci kecil yang terletak di salah satu sisi dinding. Tumpukan buku-buku yang tergeletak di dalam laci kecil itu sempat menjadi mainan oleh Rafu. Rafu membolak-balik buku itu sesaat, lalu mengembalikannya lagi.
Tak lama, Rafu mulai tenggelam dalam pikirannya. Buku-buku di hadapannya itu kini bukan menjadi fokus utamanya. Rafu sepertinya benar-benar memeras otaknya, entah apa yang ia pikirkan, yang jelas hal itu memiliki pengaruh yang cukup besar baginya. Hingga Rafu akhirnya mulai angkat suara. “Arisa”, ujar Rafu pelan dari posisi yang cukup jauh dengan Arisa. Anehnya, Arisa masih saja bisa mendengar ucapan kakaknya itu. Perlahan Arisa mengangkat kepalanya, dan menatap sosok kakaknya itu dari kejauhan, “Kenapa bang?”. Rafu menatap Arisa begitu serius, ia melangkahkan kakinya beberapa kali, berjalan menuju salah satu sisi meja rapat yang berhadapan lurus dengan Arisa.
Arisa yang menatap kakaknya dengan wajah malasnya itu sama sekali tak bereaksi. Ia sungguh tak merasa aneh sedikitpun pada sikap Rafu yang mendadak serius. Atau mungkin, ia hanya tak peduli? Entah bagaimana isi pikirannya, yang jelas Arisa bukanlah sosok yang mudah ditebak. “Ar, gue mau lu jujur sama gue”, ucapnya masih dengan serius. Arisa yang mulai merasakan keseriusan Rafu itu pun perlahan memperbaiki posisi duduknya. Arisa sedikit menegakkan tubuhnya, dan menatap kakaknya itu dengan lebih serius.
“Gue serius, gue mau lu jujur”, Rafu yang semakin serius itu kini menatap adik kecilnya dengan cukup dalam. Arisa mengangguk dengan pelan, namun ekspresi wajahnya menunjukkan rasa antisipasinya yang cukup tinggi. Rafu yang sebelumnya hanya meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja itu kini juga meletakkan kedua sikunya pula, membuatnya semakin membungkuk dari posisinya semula, dan lebih mendekat pada Arisa pula.
“Yang sama lu kemarin itu siapa?”, ujarnya pelan. Arisa terdiam, ia menatap kakaknya dengan wajah datar yang sulit diartikan. Bahkan Rafu sendiri sama sekali tak bisa menebak isi pikiran adik kecilnya yang satu ini. “Ar, jujur”, Rafu kali ini menatap Arisa semakin dalam. Namun Arisa masih saja terdiam dengan ekspresi yang tak berubah sama sekali. Rafu yang mulai kehabisan akal itu akhirnya berdiri kembali. Ia menjilat bibirnya sesaat dan mencoba untuk bernegosiasi sekali lagi, “Gue cuma mau lu jujur”.
Kalimat Rafu untuk sontak membuat Arisa tertawa kecil dengan raut wajah yang sangat tidak mengenakkan. Ia sempat terdiam sejenak dan akhirnya menjawab pertanyaan kakaknya itu. “Temen kok”, ujarnya singkat. Rafu sepertinya agak kaget dengan jawaban Arisa barusan. Tatapannya yang dalam pada Arisa itu perlahan berubah menjadi tatapan yang cukup berbeda. Rafu menghela nafas panjang, berusaha menghilangkan raut emosi yang mulai muncul di wajahnya itu.
“Arisa, dengerin gue ya”, “Gitu katanya cuma pengen gue jujur?”, ujar Arisa yang agak memotong kalimat Rafu barusan, lengkap dengan nada meledek yang terdengar dengan jelas. Sesaat setelah Arisa mengutarakan sanggahannya itu, Rafu menatap Arisa dengan emosinya yang mulai terlihat. “Kadang-kadang bohong juga perlu, Ar!”, ujarnya agak menaikkan nada bicaranya.
Ekspresi wajah Arisa yang begitu meremehkan Rafu itu terlihat jelas. Bahkan gayanya yang mengalihkan pandangan dari Rafu itu semakin memperjelas arti dari raut wajahnya. Rafu yang melihat sikap Arisa itu tentu merasa semakin kesal, ia mengerutkan kedua alisnya dan siap mengutarakan kemarahannya.
“Jangan deket-deket sama orang biasa!”, satu kalimat gertakkan dari Rafu itu sukses membuat Arisa kembali menatap pada kakaknya. Arisa pun sepertinya juga mulai tersulut api kemarahan, ia dengan beraninya menunjukkan tatapan tajam pada kakaknya. Dengan wajah kemarahan Arisa itu pula, Rafu semakin merasa kesal. “Jangan deket-deket sama idol!”, ujarnya lagi mempertegas kalimatnya.
Mereka berdua sempat bertatap-tatapan dengan sama tajamnya, seakan-akan tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Setelah cukup lama, Arisa justru tertawa dengan begitu meremehkannya, “Gitu ya?”. Keseriusan Arisa dalam kalimatnya itu begitu jelas dirasakan oleh Rafu, ia yang semula merasa marah itu bisa dengan seketika berubah menjadi khawatir.
Arisa beranjak dari kursinya. Masih dengan senyuman songongnya itu, Arisa mengangguk perlahan. Sungguh sebuah anggukan meremehkan yang begitu lancang. Rafu yang justru merasa agak miris itu pun menatap Arisa begitu dalam, “Arisa, lu--”. “Maaf bang, gue sibuk”, gadis itu pergi begitu saja meninggalkan Rafu, bahkan tanpa mendengarkan ucapan kakaknya sedikitpun. Sesaat sebelum ia melewati pintu, diliriknya kakaknya itu seraya memberikan smirk yang begitu meremehkan.
To Be Continue-
.
.
Mohon maaf apabila ada kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kasar dan menyinggung perasaan pembaca. Kesamaan nama, tempat kejadian, atau cerita itu hanya kebetulan belaka.
Salam, penulis.
Semangat... Konflik kekuasaan... Keren
Comment on chapter PROLOG