“Dia Mark Simpson, sahabat baik kakakmu, Ada!” ujar Clara dengan riang. Geez, Ada merasa dunianya akan hancur sekarang.
Lima tahun yang cukup panjang.
???
Pesta topeng mungkin menjadi tradisi bagi The Magic School setiap akhir tahun. Anak-anak sangat bersemangat untuk mengenakan baju pesta dan topeng terbaik yang mereka miliki. Belum lagi, mereka sudah berlatih dansa selama satu bulan penuh untuk berdansa di akhir acara.
Ada Swara dan Chelsea Margareth tersenyum senang menatap ratusan siswa The Magic School yang telah memenuhi gedung. Ada Swara mengenakan gaun berwarna emas dengan panjang selutut, rambutnya diikat tinggi sehingga memperlihatkan lehernya yang jenjang, dan topengnya berwarna emas juga. Sedangkan Chelsea mengenakan gaun berwarna merah terang, seolah menyatakan dirinya berani.
“Well, tahun lalu kita pemenangnya,” ujar Chelsea dengan bangga. “Aku penasaran, apa tahun ini aku akan menang lagi dan dapat mengetahui nama seseorang.”
Ada Swara meneguk wine miliknya. “Siapa yang ingin kau ketahui, C?”
Chelsea tersenyum, lalu menunjuk sosok pria dengan tuksedo hitam, rambut hitam, dan bola mata biru segelap langit malam. Ada Swara tahu anak laki-laki itu, dia bernama palsu Elang.
“Kau penasaran dengannya?” tanya Ada.
“Kau bilang, namanya itu berasal dari bahasamu. Aku hanya penasaran nama aslinya dan apa alasan ia memperkenalkan diri sebagai Elang dibandingkan Eagle dengan logat British miliknya yang seksi.”
Ada Swara meletakkan gelas wine miliknya ketika seorang pelayan seragam hitam putih lewat di nampan yang dibawanya. “Apa dia berasal dari Indonesia juga?” tanya Ada sambil terkekeh. “Well, aku belum menjadikan orang Indonesia satupun sebagai teman ketika tinggal di New York.”
Chelsea terkekeh. “Tapi Ada, jika nanti kau adalah pemenangnya dan dia juga salah satunya, kau harus berbaik hati padaku.”
“Apa?”
“Saat Elang memberitahu namanya yang asli nanti, kau harus membagikannya padaku.”
Ada Swara tertawa lebar. “Seolah aku akan menang saja.”
“Kau sudah tiga kali menang di setiap pesta topeng. Kau mengetahui namaku, nama jagoan di sini, dan nama Kepala Sekolah kita.”
Ada Swara mengangguk pelan. Dalam tiga tahun pesta topeng terakhir, Ada selalu memenangkan sesi tanya jawab. Dua orang yang berhasil menjawab, ia akan menaiki panggung dan mendapatkan hadiah berupa mengetahui nama pemenang lainnya.
The Magic School memang sekolah akademik biasa seperti sekolah lainnya. Namun, sekolah ini diisi dengan peraturan-peraturan lucu yang tidak ada di sekolah lain di New York atau bagian Amerika manapun. Peraturan yang paling utama adalah: tidak membiarkan siapapun tahu nama dirimu.
Dan dalam tradisi pesta topeng, dua orang yang bisa menjawab soal tersulit akan mengetahui nama mereka masing-masing. Yang mana biasanya tradisi ini justru dijadikan ajang untuk membongkar rahasia nama jagoan-jagoan sekolah atau cassanova.
“Hey, Snow!” Panggilan itu membuat Ada Swara menoleh. Benar, Snow adalah nama palsunya di The Magic School. “Kau sudah mempersiapkan mental untuk kalah malam ini?”
Perempuan yang menyapa Ada Swara ini bernama Princess. Entah apa alasannya ia menamai dirinya begitu, mungkin tertarik pada dunia kerajaan Disney dan berharap suatu saat nanti akan menjadi seorang puteri cantik.
“Kalah? Apa maksudmu?” Seperti biasa, Chelsea dan sentimentalnya akan selalu muncul setiap kali merasa ada yang merendahkannya atau Ada Swara.
“Well, aku sudah berlatih keras untuk mengetahui nama asli Elang. Tentu saja, aku berharap Snow sudah mempersiapkan mental kekalahannya.”
Chelsea memutar bola matanya dengan malas. “Serius? Kau yakin menang?”
Princess mengangguk dan tersenyum congkak. “Kita lihat saja nanti.” Dan berlalu.
“Apa ini? Pesta memperebutkan nama asli Elang?” celoteh Ada Swara sambil terkekeh geli. Pasalnya, ia benar-benar tidak perduli soal nama anak laki-laki itu. Lagipula, kalaupun ia menang nanti, belum tentu Elang menang juga sehingga mereka bisa sama-sama tahu nama mereka.
Acara dimulai. Semua pemakai topeng bersedia menjawab soal yang mereka dengar dari headset masing-masing. Setelah itu menuliskan jawabannya di sebuah kertas dengan pulpen merah.
“Sial, aku tidak tahu jawabannya,” bisik Chelsea, tepat satu detik setelah suara soal berakhir. “Kenapa mereka membuat soal lebih sulit dibandingkan soal masuk perguruan tinggi?”
“Kau sudah mencoba masuk perguruan tinggi, eh?” tanya Ada Swara sambil terkekeh geli. Ia menuliskan jawabannya dengan perlahan.
“Belum, sih! Tapi, aku dengar soal perguruan tinggi benar-benar sulit,” ujar Chelsea sambil menghempaskan pulpen merahnya, lalu bersandar di tembok putih gedung sambil memandangi kertasnya yang kosong. “Well, mungkin bukan tahun ini.”
“Tahun depan kau sudah tidak di sini, Rose,” ujar Ada sambil melipat kertasnya dan tersenyum kecil. “Ayo kita kumpulkan kertas ini.”
Setelah sesi tanya jawab berakhir, semua orang kembali berpesta, minum, dan berdansa. Mereka menikmati pesta tahunan ini, apalagi tahun angkatan Ada Swara yang tidak akan merasakan pesta ini lagi tahun depan. Mereka akan lulus dan mengikuti tes perguruan tinggi.
“Kau tahu, kenapa soal pesta topeng selalu sulit sekali?” tanya Chelsea pada teman-teman sekelasnya yang sedang berkumpul.
“Aku dengar, soal yang kita punya itu ada kembarannya!” jawab salah satu anak laki-laki.
“Astaga, Bird! Bukan kembaran,” sahut Princess dengan gaya bicaranya yang selalu anggun. “Ada banyak soal yang sama di tes tadi. Yang membuat kau menang adalah ketika seseorang yang memiliki soal sama denganmu dan ia menjawab hal yang juga sama denganmu.”
“Ikatan batin, eh?” sahut Ada Swara sambil terkekeh geli. “Apa itu artinya aku dan Kepala Sekolah punya ikatan batin?”
Teman-teman Ada Swara sontak tertawa. “Kumis yang ia punya mungkin yang memberi sinyal padamu, Snow!”
“Astaga,” gumam Ada sambil mengunyah permen cokelat di mulutnya. “Kapan pengumumannya?”
Tidak lama setelah pertanyaan Ada itu, Kepala Sekolah naik ke atas panggung. “Well, apa kalian siap menyambut dua pemenang kita hari ini?”
“Hey, Snow, apa kau mau memberitahu kami siapa nama asli Kepala Sekolah?” tanya Bird dan ia benar-benar menunjukkan raut wajah penuh harapan. Tapi sayangnya, Ada Swara mengangkat bahu dan menggeleng tidak mau.
“Pemenangnya adalah...” Seperti pengumuman pada umumnya, sang pembicara pasti menggantung ucapannya untuk membuat semua orang penasaran dan semakin tegang. “Snow dari Kelas 3!”
Saat itu juga semua orang menatap ke arah Snow dengan pandangan takjub. “Well, aku rasa aku harus bertanya pada ayahku, apa aku punya keturunan magis dan mengetahui jawaban-jawaban.” Setelah mengucapkan itu dan membuat teman-temannya tertawa, Ada Swara langsung berjalan menuju panggung.
“Kau selalu berbakat, Snow!” puji Kepala Sekolah saat Ada Swara telah berada di atas panggung. “Ada Swara,” bisik Kepala Sekolah, tanpa mikrofon sambil terkekeh geli. “Kurasa kau perlu bertanya pada Mr. Swara, apa kau memiliki keturunan ilmu magis.”
Ada tertawa geli. “Percaya atau tidak, aku baru saja mengatakan itu pada teman-temanku.”
Kepala Sekolah mengangkat bahu. Lalu ia kembali berbicara di mikrofonnya. “Mungkin tahun ini adalah tahun bersejarah. Kita lihat berapa banyak sorak untuk pemenang yang satu lagi.”
“Apa itu guru Bahasa Jepang kami?”
“Dia cukup seksi, tapi kurasa otaknya tidak secerdas yang kau kira,” bisik Kepala Sekolah dan Ada Swara tertawa.
“Dia adalah Elang dari kelas 3!”
Dan bukannya sorak yang ramai. Gedung ini seketika sunyi dan hening.
“Hello!” sapa Elang ketika ia dipersilahkan menggunakan mikrofon dan tersenyum ke semua penontonnya. “Maksudku, hello untukmu, Miss!” ujarnya kemudian ke arah Ada Swara.
Hey, apa langit turut campur tangan malam ini?
“Aku tidak tahu kenapa tidak ada tepuk tangan untukku malam ini,” ujar Elang dengan logat British miliknya yang begitu kental. Semua orang langsung bertepuk tangan dan bersorak senang, mungkin baru tersadar. “Apa kita berjodoh? Kurasa begitu. Kau tahu, kudengar hanya yang memiliki ikatan batin yang bisa memenangkan pesta topeng ini.”
“Apa?” lirih Ada Swara. Sialan, kenapa suaranya jadi seperti ini?
“Sekarang, mulai darimana kita? Kau mau aku membisikkan namaku terlebih dulu padamu?”
Ada Swara menggeleng. “Tidak, tidak, boy. Ladies first, kau pasti tahu itu.”
“Oh, tentu,” sahut Elang dengan riang. “Jadi, little girl, siapa namamu?” Ruangan semakin meriah kala Elang menunduk karena tinggi badannya yang terlalu jauh dengan Ada Swara. Elang bahkan tersenyum manis dan mencondongkan tubuhnya lebih mendekat ke arah Ada Swara.
Ada Swara menggerakkan tangannya, menyuruh anak laki-laki itu mendekatkan telinganya ke bibir Ada. Setelah begitu dilakukan, Ada berbisik, “Namaku adalah Snow.”
“Jangan bercanda, itu bukan namamu,” ujar Elang, tidak lagi menggunakan mikrofon.
“Snow. Itu namaku.”
“Pilihan yang buruk untuk membodohiku di panggung ini, little girl.”
Ada Swara mengangkat bahunya dengan asal. “Jadi, siapa namamu?”
Elang membisiki Ada Swara. “Sejauh ini, Elang adalah namaku.”
Holly shit. Orang-orang bertepuk tangan dengan semakin meriah saat Elang menegakkan kembali tubuhnya dan menebarkan senyumannya. “Kau tahu, dia memiliki nama yang sangat bagus. Kurasa, kita bisa berteman, Snow.”
Ada Swara terkekeh. “Tentu saja!”
Sebelum pesta topeng benar-benar berakhir, salju pertama tahun itu turun di New York. Ada Swara ke luar dari gedung dan memegang salah satu salju yang jatuh di telapak tangannya.
“Kau tahu, salju turun! Mana mungkin kau bisa bertahan di luar.” Suara itu membuat Ada Swara terkejut dan mendapati anak laki-laki bernama Elang berada di belakangnya.