Setelah kepergian Newt Swara dengan emosinya, Mark Simpson terkekeh geli. “Aku mengenal adikmu, sepertinya.”
???
“Kami senang kau datang,” ujar Jason dengan riang kepada seorang pria paruh baya, istri pria itu, dan seorang anak perempuan berusia 10 tahun. “Jessie bilang padaku, kalian sudah seperti keluarga. Maka dari itu, aku mengundang kalian untuk datang dan kita bisa berkenalan dengan baik.”
Pria paruh baya di depan Jason tertawa kecil. “Tidak usah kaku begitu, Jason. Jessie dan kami adalah keluarga, jadi ketika kau dan anakmu menjadi bagian darinya, maka kalian juga menjadi keluarga kami.”
“Aku senang karena anak kita akan pulang minggu depan,” ucap istri pria itu. “Mark bilang kalau ia akan membelikanku banyak makanan dari Jerman.”
“Oh ya? Newt tidak bilang apa-apa. Dia selalu menolak panggilanku dan berkata hey mom, I’m busy right now. Lalu aku mempercayainya,” sahut Jessie sambil tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. “Tapi, Caroline, aku rasa Mark memang lebih patuh padamu dibandingkan Newt kepadaku.”
“Tidak juga Aunt Jessie, kadang Mark suka sekali mengembalikan kiriman bunga dari mom.” Perempuan 10 tahun itu menyahut. Rambutnya dikuncir tinggi, gigi-giginya bersih, dan... oh, Ada jadi bertanya-tanya apakah kenalan dokter gigi yang dimaksud Jessie adalah Caroline.
“Aku menginginkan mereka segera berkeluarga. Kau tahu, Mark Simpson selalu populer. Pun dengan Newt, dia pria selektif yang jarang sekali berkencan,” sahut Caroline.
“Apa masalahnya? Kita bisa menjodohkan mereka,” sahut suami Caroline.
“Memangnya ini zaman apa, Zayn?” tanya Jason sambil tertawa kecil. “Kurasa mereka akan memilih sendiri pasangan mereka.”
Ada mengunyah fish and chips buatan koki kepala dan errr, rasanya benar-benar biasa saja! Ia jadi penasaran kenapa koki kepala itu bisa menjadi koki kepala di mansion Jessie. Setahunya, Jessie mengerti cita rasa dan ia tidak akan mungkin mengangkat seseorang yang bahkan tidak bisa memasak fish and chips dengan baik menjadi koki kepala.
“Ada apa, Ada? Kau mau makanan lain?” tanya Jessie sembari tersenyum hangat dan memegang tangan Ada.
“Tidak, Jessie. Aku hanya terlalu kenyang,” ujar Ada sembari tersenyum.
“Kenyang?” tanya Jessie dan matanya menunjuk ke arah piring Ada yang belum setengah termakan. “Kau mau aku mengganti koki kepala?”
Ada menggeleng pelan. “Aku sungguh baik-baik saja dengan mereka.”
“Jawabanmu terlalu tidak meyakinkan,” sahut Caroline sambil tertawa kecil. “Omong-omong, di mana kau tinggal saat di Amerika?”
“Aku dan Jason tinggal di New York.”
Caroline mengangguk-angguk. “Mark, anakku, suka sekali bepergian ke New York. Dia bilang, perempuan di sana seksi-seksi.”
“Sebenarnya London tidak kalah juga,” sahut Jason sambil tertawa, Jessie mencubit pelan lengan pria itu. “Maksudku, tidak ada yang lebih darimu, sweety.”
Oh, menjijikan. Ada bahkan yakin raut wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang begitu berlebihan. “Jason, aku harus ke kamar sekarang.”
“What’s wrong, honey?” tanya Jason yang telah merubah aksen British menjadi Amerika seperti Ada. “Kau mau housemaid membawakan makanan ke kamarmu?”
“Tidak. Aku hanya ingin istirahat,” ujar Ada lalu pergi meninggalkan meja makan.
???
“Uncle Zayn dan Aunt Caroline masih berada di mansionku. Mereka menghabiskan malam dengan pesta barbekyu yang meriah,” ujar Newt Swara saat dirinya dan Mark Simpson sudah menaiki taksi untuk melesat ke mansion Jessie.
Mark terkekeh. “Menyambut ayah dan adik baru ya?” tanya Mark Simpson, menggoda Newt.
Newt menghela napas. “Tapi sepertinya, Ada adalah adik yang periang dan menyenangkan. Kurasa begitu, kau tahu, dia menyapaku dengan sangat riang.”
“Memaksamu, eh?”
“Kecuali bagian itu,” ujar Newt sambil berdecak kesal. “Aku tidak tahu apakah perempuan itu bohong soal Webbie Law Office dan kenalannya di sana. Tapi, entah kenapa, aku mempercayainya.”
“Kalau sampai kau benar-benar mendapatkan satu sesi wawancara di sana?” tanya Mark Simpson sambil menekan tombol di sebelahnya, kaca mobil turun perlahan. Tangannya ke luar kaca, salju pertama menyentuh tangannya. “Aku tidak percaya sudah selama ini,” gumamnya.
“Apa katamu?”
Mark menoleh. “Eh? Aku bertanya, bagaimana jika kau mendapatkan satu sesi wawancara di sana.”
“Oh,” sahut Newt sambil menyandarkan kepala di jok mobil dengan baik. “Aku akan mentraktir kalian berdua makan di Gioe.”
“What?” pekik Mark Simpson. Lalu ia terkekeh. “Siapkan reservasi dari sekarang, Newt. Aku yakin adikmu tidak berbohong dan aku tidak mau menunggu satu atau dua minggu untuk makan di Gioe.”
“Reservasi yang benar-benar sulit. Aku akan menghubungi pihak Gioe nanti saat di rumah, kalau adikku itu benar-benar memberikannya padaku.”
Mark Simpson mengangguk kecil. Tatapannya ke luar lagi ke arah jalanan London yang sepi dan turun salju. “Tiba-tiba, aku rindu New York.”
“Perempuan di sana seksi-seksi, huh?”
Mark tertawa kecil. Ia menekan tombolnya lagi, kaca mobil naik sampai tertutup. Kepalanya disandar ke jok dan ia menghembuskan napas dengan pasrah. “Kau tahu, New York tidak selamanya begitu. Ada alasan mengapa aku selalu kembali ke sana dan kembali ke London.”
“Apa?”
“Ada yang selalu ingin aku temui di New York, tapi aku tidak menemukannya, lalu aku kembali ke London.”
Newt Swara tertawa kecil. “Jadi maksudmu, kalau kau menemukannya di New York suatu saat nanti, kau tidak akan pernah kembali ke London?” Mark Simpson mengangguk dan Newt sedikit terkejut melihat perubahan raut wajah sahabatnya.
“Ada banyak hal yang ingin aku katakan padanya. Mungkin itu membutuhkan waktu selamanya.”
Newt terdiam. “Ini bukan sesuatu, tapi seseorang. Siapa dia, Mark?”
Mark menarik napas panjang. Lalu menggeleng kecil dan berkata, “Entahlah. Aku tidak tahu.”
“Kau benar-benar gila,” sahut Newt sambil membuang pandangannya ke arah jalanan London. “Oh, salju sudah turun,” ucap Newt pelan, tapi Mark Simpson masih bisa mendengarnya dengan jelas. “Apa perempuan itu datang menemuimu di saat salju pertama di New York?”
Mark menoleh ke arah Newt. Kali ini, tatapan mata pria itu kosong, sebelum akhirnya helaan napasnya terdengar. Ia memejamkan mata, lalu berkata, “Ia datang dan meninggalkanku di saat salju pertama di New York.”
???
“Bagaimana caranya aku bisa kabur?”
Hale melipat baju-baju dengan kecepatan kilat dan tingkat kerapihan yang luar biasa. Seraya berkata, “Kau hanya perlu ke luar dari mansion ini, Nona Muda.”
Ada Swara mendecih sebal. “Tentu saja, hal penting untuk ke luar dari mansion ini adalah ke luar dari mansion ini.”
“Maksudku, kau bisa langsung ke luar dari pintu. Tidak dengan melompat dari jendela dan berakhir dengan luka di kaki dan tanganmu.”
“Bagaimana dengan Jessie?”
Hale menggeleng pelan. “Nyonya Swara tidak akan mengetahuinya. Saat ini, semua orang berada di halaman belakang mansion dan memanggang barbekyu. Mereka tidak akan tahu selama para penjaga CCTV dan gerbang tidak berbicara.”
“Kau telah memastikan mereka?”
Hale mengangguk. “Aku akan membuatkan mereka makan malam yang enak, itu bayaran untuk tutup mulut.”
Ada Swara tertawa geli. “Tidak kusangka Jessie memiliki pelayan yang tidak setia.” Hale menyengir. “Omong-omong, apa konser The Boo terbuka untuk umum?”
“Kudengar ya, Nona. Mereka mengadakan konser untuk anak-anak panti asuhan, jadi mereka hanya membutuhkan donasi saat konser itu berjalan.”
“Oh, kurasa Jessie mesti mengeluarkan uangnya kali ini,” sahut Ada sambil terkekeh geli. Setelah itu Ada mengambil ponselnya di dalam tas kecilnya dan melakukan pengeluaran uang dari rekening. “Berapa angka yang harus kita tulis, ya?” tanyanya sambil terkikik geli.
“Kuharap kau tidak membuat Nyonya marah, Nona,” ujar Hale, lalu ia ke luar dari kamar Ada dengan baju-bajunya.
Ada Swara benar-benar tidak sabar untuk ke luar dari mansion ini dan menghirup udara segar di London. Ini adalah kali kedua Hale membantunya ke luar dari mansion Jessie, melewatkan pengawasan ketat penjaga-penjaga hanya karena suapan makan malam yang enak.
“Hey, Sis!” Sapaan itu membuat Ada terkejut ketika Ada baru saja ke luar dari kamarnya. Ternyata ia adalah perempuan dengan gigi-gigi bersih itu, anak Caroline dan Zayn. “Namaku Carla, kau pasti sudah tahu.”
Ada mengangguk dan terkekeh. “Ya, tentu.” Padahal ia sama sekali tidak tahu nama anak perempuan itu. “Ada yang bisa kubantu?”
Carla merangkul Ada Swara dengan tiba-tiba. “Begini, Ada, aku, hmm....”
“Hm?”
“Hm, aku membutuhkan bantuanmu.”
Ada Swara mengangkat satu alisnya. “What?” Merasa nadanya terlalu ketus, Ada kembali bersuara. “What can I do for you?”
Carla tersenyum lembut. “Ada konser The Boo di Hyde Park dan aku harus menontonnya. Tapi, kau pasti tahu, mom dan dad tidak akan membiarkan aku pergi tanpa izin mereka.”
Well, Ada tahu ke mana ini akan berlanjut. Ia tersenyum geli. “So?”
“Apapun yang kau minta, Ada, apapun. Aku akan mengabulkan satu permintaan berhargamu, jika kau berhasil membawaku ke luar dari mansion Aunt Jessie dan melewatkan pesta barbekyu yang membosankan.”
“Anything?”
“Yes, anything.”
Ada terkekeh. “Boleh juga. Aku akan membantu kau ke luar, Clara.”
“Kau serius?” tanya Clara dengan riang. Bahkan suaranya tidak lagi berbisik. Sesaat setelah ia tahu ia terlampau berisik, Clara menutup mulutnya dengan cepat. “Oh, aku benar-benar senang sekali!” Ia memeluk Ada Swara.
Err.... “Kau bisa melepaskan pelukanmu, Clara,” ujar Ada sambil tersenyum canggung. Setelah pelukannya terlepas, Ada menghembuskan napas lega. “Well, pertama-tama, kita harus menunjukkan diri di halaman belakang. Setelah menghabiskan sepuluh menit, oh tidak, lima menit, maka kita ke luar.”
“Lalu? Kita tidak akan kembali ke sana, melainkan melewati penjagaan ketat mansion Aunt Jessie?”
Ada Swara mengangguk. “Aku bisa membantu kau, Clara. Tidak perlu khawatir.”
“Baiklah. Aku hanya perlu ikut memanggang dan memakan sedikit potongan daging. Setelah itu langsung mengambil tasku dan pergi bersamamu. Benar?”
“Benar sekali,” ujar Ada sambil bertepuk tangan kecil. Ia merangkul Clara menuju ke halaman belakang. “Nah, sekarang kita cicipi dulu masakan Jessie dan Caroline.”
Mereka berjalan pelan sambil membayangkan konser The Boo yang meriah dan penuh orang-orang beraksen Britsh. Ada Swara benar-benar tidak sabar dengan udara malam London yang akan ia hirup dalam beberapa menit lagi.
“Ayo, aku tidak sabar mencicipi barbekyu mom!” Suara itu membuat Ada berhenti.
“Oh, apa itu Newt? Dia sudah pulang dari Jerman? Bukannya masih seminggu lagi?” Suara Carla langsung memenuhi indra pendengaran Ada Swara.
Langsung saja, Ada merasa berhasil membujuk kakak tirinya itu untuk pulang. “Newt Swara? Kakak tiriku?”
“Iya,” sahut Clara sembari tersenyum senang. “Apa Mark bersamanya juga?”
“Kakakmu?” tanya Ada sembari mengingat-ingat nama Mark disebut di sarapan tadi. “Apa kalian selalu memastikan semua orang ikut berkumpul di acara memanggang?”
“Sepertinya begitu. Tradisi,” jawab Clara sambil terkekeh geli. “Ayo kita temui mereka!”
“Oh, Newt, kau kekanak-kanakkan sekali!” Seruan yang satu ini sekali lagi membuat Ada Swara terhenti. Sebentar, Ada seperti pernah mendengar suara ini sebelumnya. Serak, dalam, dan di satu sisi juga lembut.
Ada Swara menarik napas. Tidak mungkin.
“Kau tahu, salju turun! Mana mungkin kau bisa bertahan di luar.”
Kau tahu, salju turun! Mana mungkin kau bisa bertahan di luar.
Tidak, tidak. Salju tidak turun hari ini. Suara itu bukan suara orang yang sama. Kalimat itu hanya kebetulan sama dengan 5 tahun lalu. Dan Ada Swara sama sekali tidak perduli!
“Kau punya pengalaman buruk saat salju turun, ya?” sahut sebuah suara yang Ada yakini sebagai suara Carla.
Lalu terdengar suara tawa kecil. “Aku? Pengalaman buruk? Mana mungkin!”
Tidak, tidak.
“Hey, Ada! Kenapa kau masih di sana? Biar kukenalkan kau dengan Newt dan Mark Simpson!” teriak Carla.
“Apa dia adik tiri Newt?” Suara yang sama kembali terdengar.
Astaga, tidak! Ada Swara mendongak dan melihat di ujung sana terdapat sosok pria yang pernah ia lihat sebelumnya. Sialan, ia tidak salah dengar tadi.
“Dia Mark Simpson, sahabat baik kakakmu, Ada!” ujar Clara dengan riang. Geez, Ada merasa dunianya akan hancur sekarang.
Lima tahun yang cukup panjang.