Jean Garner duduk kuyu di depan ruangan otopsi jenazah RSCM. Perasaan dan air matanya kering sudah. Enam jam lalu ia dimintai keterangan, ditenangkan oleh orang-orang dari pihak kepolisian dan rumah sakit sebelum dibawa masuk ke kamar otopsi hanya untuk mengidentifikasi serpihan daging berlumur darah segar yang belum lagi mengering.
Jean masih berpakaian perawat ketika dijemput segera dari rumah sakit swasta tempatnya bekerja oleh kepolisian pusat untuk mengidentifikasi jenazah suaminya. Awalnya ia marah kepada semua orang dalam ruangan. Bagaimana mungkin orang-orang ini berpikir ini Mike? Apa buktinya? Apakah ini lelucon? Jika ini lelucon, maka ini adalah lelucon yang jahat!!!
Sepotong jari manis bercincin kawin kemudian diletakkan persis di depannya bersama dengan dompet kulit setengah hangus beserta isinya. Tanpa perlu lagi mengecek, Jean sangat mengenali cincin yang melingkar sama di jarinya. Sebulir dua bulir air mata jatuh sebelum histeria merobek-robek dirinya. Kejam!!!
Suaminya, Mike Mayer adalah salah satu anggota Kepolisian Intelijen Republik Indonesia yang diperbantukan untuk menghalau dan melindungi rakyat sipil ketika bom bunuh diri meledak di Jl. MH. Thamrin. Tiga bom meledak berdekatan di sekitar lokasi tersebut.
Mike sedang membopong seorang wanita terluka yang sekiranya adalah korban namun ternyata wanita itu adalah istri salah satu pelaku bom bunuh diri. Bom keempat yang digendong istri pelaku meledak dan tidak menyisakan apapun dari Mike selain jari manisnya untuk dikenali.
Dinding kelabu di koridor dan udara AC yang apak seakan mengerti suasana hatinya. Suara dari TV yang terpasang di sudut ruangan mengarah ke pintu keluar, berkali-kali memutarkan informasi yang sama mengenai peledakan yang baru saja terjadi dan memakan korban meniggal serta luka-luka. Peristiwa itu menjadi makanan lahap pemburu berita.
Ketika ia berpikir air matanya sudah kering, sebulir air mata lolos meluncur dari pipinya. Mike ...
Jean membalikkan badan dan mendapati sosok lelaki yang dikenalnya berbalik keluar. Devlin? Mengapa dia pergi? Mengapa dia tidak berusaha menjelaskan apa yang terjadi? Kemarahan membuncah di dadanya. Jean bergegas bangkit dari kursinya, dengan menggunakan sisa kekuatannya ia berlari mengejar Devlin.
Nafasnya terasa sesak saat bulir-bulir air mata mulai turun. Ia ingin menggapai lelaki itu; ingin marah dan menumpahkan emosi di peluknya, dan mendapat penghiburan, karena hanya Devlin yang benar-benar mengenal Mike dan mungkin sama-sama terluka dengan dirinya saat ini. Devlin berada di seberang taman terbuka ketika Jean meneriakkan namanya.
Devlin Roland bergegas, ia baru akan berbelok ke ruang otopsi jenazah ketika dilihatnya bayangan sesosok tubuh ramping terkulai di bangku tunggu. Langkahnya terhenti. Tubuh Jean terduduk miring dengan kepala disandarkan ke dinding. Nafasnya mencelos dan hatinya terasa perih, kemudian mual melanda tubuhnya ketika yakin Jean telah selesai mengidentifikasi suaminya. Padahal Devlin berencana mendampingi Jean untuk menguatkannya, namun ia tertahan oleh serangkaian laporan serta pemeriksaan fisik sebagai standard operasional pekerjaannya.
Mike dan Devlin sama-sama adalah anggota Kepolisian Intelijen Republik Indonesia. Baginya, Mike adalah teman yang lebih erat hubungannya daripada keluarga. Mereka pernah berada satu tim untuk mengungkap kejahatan besar, hampir mati, dan saling menyelamatkan satu sama lainnya.
Sebelum bom meledak keempat kalinya, Devlin sudah menarik Mike menjauh dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) karena tim khusus penjinak bom sudah datang. Dan sebagai polisi penyamar, mereka harus bertindak layaknya rakyat sipil.
Dasar lelaki keras kepala! Mike kembali ke TKP untuk menyelamatkan seorang wanita yang ternyata istri salah satu anggota teroris. Tangan Devlin terkepal sampai buku-buku jarinya memutih mengingat detik kejadian dimana bom keempat meledak tepat di depan matanya dan Mike hilang dari pandangan. Tiga orang rekannya dengan sigap menyeret tubuh besar Devlin keluar dari TKP sebelum ia menggila.
Kini, Devlin menatap nanar pada Jean yang duduk membelakanginya, Devlin bukan pria seperti Mike yang supel dan tau harus berkata apa di saat yang tepat. Devlin ingin mengatakan bahwa ia tau bagaimana perasaan Jean. Namun sedekat apapun ia dan Mike, Devlin tidak tau sama sekali seberapa dalam terlukanya Jean saat ini.
Ia berdoa agar Mike mau memberinya kekuatan untuk dapat menghibur Jean, lalu pikirannya mencoba merangkai tata bahasa penghiburan yang bahkan bibirnya tak yakin bisa untuk mengeja kalimat-kalimat tersebut. Sekilas wajah Jean terbayang di pikirannya dan alih-alih mendekati Jean, Devlin memutuskan untuk berbalik keluar. Ia tidak akan sanggup menghadapi Jean, tidak untuk saat ini.
Langkah panjangnya membawanya menjauh dari koridor tempat Jean berada. Devlin menghentikan langkahnya dan berbalik ketika mendengar namanya di udara. Tepat saat wajah itu, wajah Jean berubah menjadi seputih kertas dan wanita itu roboh di depan matanya.
"Jean!!!" Pekiknya panik sambil berlari secepatnya melewati orang-orang yang berlalu lalang, menyeberangi taman terbuka untuk menghampiri Jean yang sudah tergeletak di lantai. Ia menelan ludah ketika melihat darah mengalir dari antara kaki Jean. Oh, Tuhan!
Secepat kilat, Devlin membopong Jean menyusuri lorong utara rumah sakit RSCM menuju ruang IGD. Bibirnya tak henti menyebut nama Jean berulang-ulang, berusaha membangunkan wanita itu dari ketidak-sadarannya.
100 meter dari pintu depan IGD, petugas security yang berjaga dengan tangkas meneriakkan sesuatu. Dua orang perawat laki-laki segera berlari keluar dari dalam sambil mendorong brankar pasien. Jean dibaringkan dan kedua perawat itu langsung mendorongnya masuk ke dalam.
"Apa yang akan terjadi padanya, Pak?" Suaranya terdengar khawatir sembari menyesuaikan kecepatan langkahnya membayangi kedua perawat lelaki itu.
Perawat yang tinggi diam, pertanyaan Devlin dijawab oleh perawat lain, "Jangan khawatir pak, istri bapak akan mendapatkan perawatan terbaik disini." Kening Devlin berkerut, Istri?
"Pertama-tama kami akan menghubungi dokter kandungan untuk pemeriksaan fisik dan kondisi rahim apakah sudah bersih dari jaringan bekas keguguran atau masih terdapat sisa jaringan sehingga harus ada tindakan kuret. Kemudian akan ada pengambilan darah untuk pemeriksaan lebih lanjut," jelas si perawat melanjutkan sambil tergesa-gesa menyusuri lorong IGD yang penuh sesak dengan wajah-wajah cemas, termasuk wajahnya sendiri saat ini.
Sesampainya di pintu ganda dua arah, perawat yang tinggi – dengan gerakan efisien dan tanpa bicara – menghadang Devlin dan mempersilahkannya menunggu di ruang tunggu. Devlin berbalik, menuju kamar mandi untuk membersihkan tangannya dari darah Jean.
Teronggok di ruang tunggu, Devlin merenung. Selama karirnya yang berbahaya, ia tidak pernah memanjatkan doa sebelum beraksi, ia sangat percaya bahwa insting adalah satu-satunya penyelamat. Kali ini dengan tangan terpaut, ia memejamkan mata dan mulai berdoa.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1