Tiara tersudut, napasnya mulai terengah. Telah lama ia tak menggunakan kalung itu, kalung yang menyimpan kekuatan dan energinya. Mungkin pria itu benar, ia memang bukan tandingannya. Tapi, tak ada pilihan lain. Ini satu-satunya cara untuk bertahan hidup dan bertemu dengan Sina kembali.
“Tuhan, izinkan aku bertemu dan meminta maaf pada Sina untuk yang terakhir kali. Tolong kuatkan aku,”
“Apa? Apa? Kamu barusan mengatakan pesan terakhir? Uh, sedihnya..”
Presdir memperkuat serangannya, menyerang Tiara dari berbagai sisi. Ia tak memberi sedikitpun gadis itu ruang, bahkan untuk bernapas sekalipun. Pria itu menggila, sangat menikmati pertarungannya dengan lawannya yang lemah.
“Sial, kenapa pria ini semakin kuat saja.. Uhuk, uhuk.”
Tiara sudah berada pada batasnya, kekuatannya sungguh tak sebanding dengan lawan yang ia hadapi. Ia hanya bisa terus menahan serangan, tak ada celah sedikitpun untuk menyerang. Kalau begini caranya, tenaga Tiara bisa habis.
Prang!
Terdengar benturan yang amat keras, sesuatu menahan serangan presdir Choi dan memberi Tiara ruang untuk mengistirahatkan tubuhnya. Benda bercahaya yang terlihat sangat indah, sebuah pedang cahaya yang legendaris. “Pedang cahaya Nirranthea?” Tiara bergumam.
“Salam hormat dariku. Namaku Panca, Ksatria Nirranthea.”
Panca mendorong pedangnya, membuat presdir Choi terjatuh. Sorot matanya menyiratkan kebencian, netra abunya melebar. “Sial, rupanya kau kuat juga. Dasar penghianat!”
“Cih, kau tidak pernah bercermin ya pak tua?”
“Tidak sopan!” Presdir bangkit dan kembali melancarkan serangannya, kali ini ia membiarkan Tiara yang masih memulihkan tenaganya. Ia melawan Panca, dengan semangat dan dendam yang menggebu.
“Kini kita sebanding, bukan?” Panca terus menyerang Presdir dengan kekuatan cahayanya. Bahkan terkadang, sengatan listrik muncul dari cahaya yang keluar di tubuhnya. Mereka bertarung dengan sengit. Energi gelap, melawan Cahaya yang terang.
“Mister adalah bangsa Nirranthea, Presdir Choi adalah Atlantean. Jangan-jangan Andrew..”
Tiara menggeram, sekujur tubuhnya terasa sakit. Jika seperti itu, maka pemulihan kekuatannya takkan berlangsung cepat. Ia butuh istirahat lebih.
Tak diduga, ternyata presdir terpojok dan ujung pedang cahaya telah menyentuh kulit lehernya. Ia menarik napas panjang, aura hitamnya telah pergi. Menyisakan wajah penuh dendam dengan senyum sinis dan sorot tajamnya pada sang ksatria.
“Jadi, kau ingin membunuhku? Haha, padahal aku tahu banyak yang ingin kau tanyakan bukan?”
Genggaman Panca dengan pedangnya mengendur, membuat Presdir tersenyum penuh harap.
“Jadi aku benar, kan? Aku yakin kau ingin tau info itu..”
Panca menatap tajam presdir, ia menarik pedangnya. Diangkatnya tubuh pria itu, kemudian sebuah cahaya muncul. Cahaya terang benderang, yang juga membawa tubuh mereka berdua.
***
“Jadi disini gerbang utamanya?” Sina menunjuk kepada sebuah gedung tua yang sudah disegel dan sepertinya telah lama ditinggalkan.
“Terakhir aku keluar untuk menghadiri peringatan kematian adikku, lewat sinilah aku masuk kembali. Itu pertama kalinya aku keluar dari tempat dengan aura hitam itu.”
Ghara menatap penuh tanya pada Andrew, ia mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya, sudah berapa lama paman disana? Dan, mengapa tidak pernah keluar sekalipun? Maksudku, bagaimana bisa? Itu sangat tidak masuk akal!”
Andrew mengacak-acak rambut Ghara, “Kau ini sungguh sangat ingin tahu ya? Ceritanya panjang, aku disini karena tidak punya pilihan lain. Tepatnya bukan hanya aku, tapi yang lain juga..”
Ia menghela napasnya, “Yah, tidak satupun dari kami yang bisa keluar tanpa alasan khusus. Semua yang telah masuk, tidak akan bisa keluar. Kami menghabiskan sisa hidup untuk mengabdi kepada presdir brengsek itu. Mati disana adalah suatu kehormatan katanya, haha. Dia memang pak tua gila.”
Sina menghentikan langkahnya, “Tunggu, paman. Maksudmu mister yang berjubah hitam itu? Diakah presdir?”
Andrew menggedikkan bahu dan tertawa lebar, “Si mister itu mana pantas jadi pemimpin! Dia sama sepertiku dan yang lainnya. Hanya saja, dia orang kepercayaan presdir.” Ia sedikit berbisik pada Sina, “Ada yang bilang ia sangat kuat. Ada rumor yang mengatakan bahwa dahulu sebelum ia masuk, bahkan presdir kalah ditangannya..”
“Itu tidak masuk akal, paman.” Ghara menyanggah. “Lalu kenapa sekarang ini pria itu menjadi kepercayaan si pak tua seperti kata paman?”
“Hei-hei, tidak sopan! Kau menguping pembicaraanku dengan Sina? Aku membicarakan hal rahasia padanya, tahu!”
Ghara memberenggut, “Salah sendiri bisik-bisik disebelahku. Telingaku kan tajam.”
“Sudah, sudah. Kalian ini.” Sina menengahi, “Aku ingin tahu apa yang terjadi padanya paman.”
Andrew memimpin jalan, ia menunjukkan arah sambil bercerita. “Presdir itu bukanlah orang yang sangat kuat, sebenarnya. Ia memiliki energi hitam yang akan sangat merepotkan jika yang dilawan memiliki emosi gelap yang labil.”
Sina dan Ghara mengangguk bersamaan.
“Saat itu Mister lengah, dan pak tua menemukan kelemahannya. Ia memancing emosi Mister dan membuat pria itu tunduk padanya. Entah dengan cara apa.”
“Oh iya, Sina. Kau tahu mengapa ia membencimu dan juga Tiara?”
“Ah, iya paman. Aku juga penasaran dengan itu.”
Andrew meraba dagunya, kemudian memainkan kumis tipis diatas bibirnya. “Jadi begini, ini hanya analisaku loh ya.” Ia mengecilkan suaranya, membuat Ghara dan Sina berembuk disekelilingnya, “Aku rasa si pak tua, memanipulasi otak Mister. Ia membuat seolah Ayah Sina yang seorang detektif, adalah penyebab kematian orang tuanya. Pak tua itu juga membuat data palsu, termasuk rumah orang tua, data kejahatan, dan foto keluarga yang ‘katanya’ milik Mister. Padahal setelah aku menyelidiki secara diam-diam, Mister itu hmm apa ya..”
Andrew berpikir sejenak, membuat dua manusia dihadapannya semakin penasaran. Ia mencoba mencari kata yang ‘pas’ untuk menggambarkan penemuannya tentang masa lalu Mister.
“Ayolah, paman. Aku penasaran tingkat dewa nih.”
“Aku rasa, Mister itu berasal dari tempat yang sama dengan kalian. Ia juga mungkin memiliki misi yang sama denganmu, Ghara.”
Ghara dan Sina saling memandang. Mereka tak tahu apa yang harus dikatakan. Benarkah Mister itu seorang ksatria juga?
“Kita hanya akan tahu, jika sudah masuk dan bertanya langsung pada sumbernya.”
Mereka bertiga, sudah sampai didepan sebuah gerbang besi di puncak gedung tua itu. Tak lama kemudian, sebuah sinar menyilaukan muncul dibelakang mereka. Sementara mereka tengah masuk kedalam gerbang tersebut.
“Katakan padaku, jelaskan padaku!!” Panca berteriak keras, dendam dan emosinya memuncak.
“Bagus, teruskanlah. Keluarkan emosimu, dan bunuh aku.”
Presdir Choi menyeringai, sementara tangannya sudah mulai mengumpulkan kekuatan kembali.
“Katakan padaku, brengsek!” Panca melempar presdir hingga tersungkur dan hampir jatuh dari atas gedung berlantai lima tersebut. “Kenapa kau membohongiku? Membuatku hampir membunuh saudara bangsaku sendiri?”
“Cih, nyatanya kau belum sadar sepenuhnya. Ternyata dugaanku benar, serbuk itu lebih kuat efeknya. Harusnya kuberikan juga pada gadis setengah lemuria itu.”
“Kau tidak mendengarku? Mengapa mengoceh sendiri pak tua?” Panca berlari dan mencoba menyerang dengan pedang cahayanya. Ia menghunuskan pedang itu di dada presdir.
“Hahaha, terimakasih untuk kebodohanmu.”
Tiba-tiba saja presdir berada dibelakang Panca, ia mencoba menyerang pemuda yang sedang lengah tersebut. Mereka terus bertarung, ditemani semilir angin senja yang mengiringi.
“Aish!!”
Presdir Choi mengeluarkan pedangnya, yang memiliki aura hitam kuat bagai siap mengincar darah lawan dihadapannya. Ia mengincar pedang Panca, karena itulah kekuatan terbesarnya. Berkali-kali ia mencoba menjatuhkan pedang cahaya legendaris itu.
“Kenapa tidak mengincar tubuhku dan melukainya? Jangan bilang kau tertarik pada pedang cahaya yang cantik ini! Dasar serakah!”
“Banyak omong!!”
Pertarungan mereka berlangsung sengit, dan akhirnya mulai terlihat siapa yang unggul. Presdir Choi, yang telah memancing emosi lawannya berhasil membuat Panca terdesak. Ia mendorong pemuda itu ke pinggir atap tanpa pembatas tersebut. Membuat setengah badan sang ksatria hampir tak menyentuh lantai.
“Polos sekali dirimu, lihatlah siapa yang sekarat kini.” Presdir tersenyum penuh kemenangan. “Kau harusnya mati dengan cara terhormat diruanganku tadi, jadi aku tak perlu repot menyakiti dan menggores harga dirimu.”
“Uhuk..” Panca berusaha melepas tangan presdir Choi yang mencekiknya. Dengan susah payah ia berusaha bicara, “Pak tua sialan!”
“Kau itu mudah sekali dibohongi, bahkan kau percaya soal keluargamu yang kuceritakan itu. Sebuah dongeng yang indah, bukan?”
Mata Panca terbelalak, ia sungguh tak percaya bahwa dirinya telah ditipu.
“Selamat tinggal, payah.”
Presdir melepaskan genggamannya, membuat tubuh perkasa pemuda itu jatuh. Tak menunggu lama, ia pun berbalik. “Ah, aku tak suka melihat kematian yang menyedihkan.”
Panca merasakan ajal sudah tepat berada dihadapannya. Tubuhnya terus terjun diiringi terbenamnya matahari dan semilir angin malam yang dingin.
waaah kasihan sekali depresi sampai 12 tahun but premisnya oke banget, gimana kisahnya manusia depresi 12 tahunnn bikin penasaran??? 1 bulan ada masalah aja udah kaya org gila hehehe. :( udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1. Lost Then