“Jadi, kau sudah selesai?” Pak Orsh menatap tajam kearah Andrew yang baru saja keluar dan memapah Tiara. “Aku sangat penasaran apa yang kalian lakukan didalam, sayangnya tidak ada CCTV ya..”
“Kau masih selalu curiga kepadaku, pak..”
Tiara melepaskan tangannya dan menepuk pundak Pak Orsh. “Kau akan menyesalinya,” katanya setengah berbisik.
“Pastinya kami membiacarakan sesuatu yang tidak harus anda ketahui,” Andrew meninggalkan mereka berdua dan melanjutkan pekerjaannya. “Aku harap gadis itu bertindak secepatnya. Semoga Tiara dapat bertahan sampai waktunya tiba..” gumamnya.
“Kunjungilah keponakanku, aku khawatir meninggalkannya di ruang gelap itu sendirian.”
“Oke. Baiklah-baiklah!” Andrew melirik kearah Pak Orsh dan peneliti lain yang sedang mempersiapkan uji coba. “Aku rasa waktunya tepat.”
Ia berjalan perlahan menjauhi laboratorium. Jika Pak Orsh tahu dia melarikan diri lagi, mungkin bukan hanya omelan yang ia dapat. Bisa saja suatu saat ia dimutasi menjadi tukang bersih-bersih. Tapi tetap saja, meski taruhannya adalah jabatan. Andrew sudah lama menunggu saat ini, dimana instansi yang menyebalkan tersebut akan hancur. “Demi Frank, demi Tiara, Demi kedamaian dunia..”
Ia terus berjalan dan menyapa para penjaga ruang tahanan seperti biasa, mengurangi rasa curiga mereka yang akan muncul jika ia berperilaku aneh.
“Maaf, tuan. Anda peneliti? Tikus yang akan diuji sudah dibawa beberapa jam yang lalu..”
Dengan tenang Andrew menunjukkan ID nya. “Saya peneliti yang akan mengecek kesehatan tahanan didalam. Ini adalah perintah dari atas langsung,”
Melihat nama dan jabatan yang tertera pada ID tersebut, para penjaga tidak dapat berkutik. Mereka membuka segel dan mempersilahkan pria itu masuk.
“Aku tahu bahwa ID lama ini akan berguna. Hehe,”
Andrew memasuki ruangan gelap itu dengan sebuah obor ditangan kirinya. “Sina? Vierrasina?”
Tidak ada jawaban.
“Sina? Kau didalam?” Ia menyorot obornya ke seluruh ruangan, namun sosok yang dicari tak kunjung nampak. Ruangan itu masih terlalu gelap bahkan dengan sebuah obor yang dibawanya. Ia terus berjalan dan meraba dinding bata disisinya. Tiba-tiba telapak tangannya menyentuh sesuatu. Cairan amis berwarna merah yang sudah sedikit mengering. “Darah?”
Andrew lalu menyoroti setiap bagian dinding bata itu, menyusuri jejak darah yang nampaknya masih segar tersebut. “Ba-banyak sekali darahnya?”
“Sina sayang, kau tidak apa? Aku paman Andrew, sahabat bibimu. Jangan ta-”
Matanya terbelalak ketika mendapati sesosok tubuh tergeletak di sudut ruangan jauh kedalam. Seorang gadis, dengan rambut panjangnya terlihat berusaha menggapai sesuatu. Dan tubuhnya berlumuran darah.
“Sina!!”
Andrew menghampiri gadis tersebut dan memeriksa seluruh bagian tubuhnya. Sebuah beling bekas botol obat berada tak jauh dari tangannya. Apa gadis ini mencoba bunuh diri?
Pria itu kebingungan. Jika ia membawa Sina ke laboratorium, maka sudah pasti jasadnya akan langsung dibuang entah kemana. Dan Tiara, tidak akan punya harapan lagi.
Tidak-tidak, gadis itu masih bernapas.
“A-apa yang harus aku lakukan?”
Jika ia membawa Sina dengan kekuatannya, maka sudah pasti aksinya menyelinap mengunjungi penjara akan segera diketahui.
“Aishh! Tapi tidak ada cara lain!”
Ia menggenggam kedua tangan Sina. Dan seketika sebuah cahaya memenuhi ruangan itu, bahkan sampai terlihat oleh para penjaga dari luar.
“Ada apa..”
Para penjaga membuka segel ruangan dan masuk hingga ke ujung ruangan tersebut.
“Tahanan dan peneliti hilang!!!!!”
***
“Menyebalkan! Sudah capek aku berlari kesekolah karena katanya latihan basket siang ini, ternyata mereka semua mengerjaiku! Harusnya ‘kan aku bisa tidur siang dengan bebas di hari libur yang cerah ini..”
Ghara berjalan melewati depan rumah sakit yang ramai. Lalu sesuatu menabraknya. “Aduh!!”
Ia hampir saja melontarkan seluruh kata-kata kasar, tetapi diurungkan karena melihat siapa yang menabrak dirinya.
“Maafkan aku,” pria itu menunduk. Pria itu, Andrew terlalu tergesa-gesa menggendong Sina yang sudah mulai kehilangan banyak darah hingga tidak memperhatikan jalan. Kemudian ia segera bangkit dan mengangkat tubuh Sina kembali yang terlihat sudah semakin parah kondisinya.
“Tidak apa. Biar saya bantu, pak.”
Mereka tiba didalam rumah sakit dan Sina segera dibawa ke UGD. Andrew sangat panik, membayangkan segala kemungkinan penyelamatan gadis itu.
“Pak, silahkan duduk dulu. Bapak jangan panik ya,” Ghara menarik lengan Andrew dan mendudukkannya di atas kursi tunggu. “Apa gadis itu, anak bapak?”
Andrew diam sejenak, memperhatikan gaya berpakaiannya. Ia merogoh saku dan mengambil sebuah handphone untuk bercermin. “Nak,” katanya. “Memangnya aku kelihatan sudah tua ya?”
Jleb! Ghara terpaku untuk beberapa saat. Antara menahan tawa dan juga merasa bersalah. Tapi memang tadi pertanyaannya salah ya? Pria itu ‘kan menggendong gadis yang usianya terlihat seumuran dengan dia, tidak mungkin jika kekasihnya. Eh, tunggu. Rasanya wajah gadis itu familiar..
“Namaku Andrew, aku pamannya gadis itu. Namanya Vierrasina..” Andrew menjabat tangan Ghara yang masih terdiam bergelut dengan pikirannya. “Hei, jangan tegang dong. Aku tadi hanya bercanda, haha.”
“Ha, ha.” Ghara memaksakan tawanya. Vierrasina ya? Vierra, Sina. Ah, benar itu Kak Sina!
“Anda pamannya?” Ghara mulai curiga.
“Iya, seperti yang baru saja kukatakan pada-”
“Apa gadis itu nama panggilannya Sina?”
“Hmm, bagaimana bisa ka-”
“Dimana mommynya?”
Andrew berfikir sejenak. Kenapa rasanya anak ini menginterogasi dirinya ya? “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Apa kau baru saja curiga padaku? Kau berfikir darah itu-”
“Stop! Saya akan telepon polisi!!” Ghara mengambil handphone di saku celananya kemudian menekan sebuah nomor.
Dengan cepat Andrew menarik handphone Ghara dan menyembunyikan dibalik punggungnya. “Kau pikir aku penjahat?”
“Kembalikan ponsel saya!!”
“Tidak! Sampai kau katakan padaku kenapa kau mencoba menelepon polisi!”
“Anda pikir saya orang bodoh? Saya ini peringkat tertinggi dikelas!” Ghara menyombongkan diri. Ia terus berfikir bahwa pria ini pasti telah melakukan sesuatu pada Sina sampai kondisinya semengerikan itu.
“Lalu, apa hubungannya denganku? Seseorang yang melakukan sesuatu tanpa bertanya terlebih dahulu dan mengambil keputusan yang gegabah adalah orang yang lebih rendah dari orang bodoh!”
“Sina itu tidak punya keluarga selain ibunya! Itupun juga tidak sedarah, ia ibu tirinya! Dan aku merasa aneh, dia seperti mengirim pesan meminta tolong padaku dan tidak bisa dihubungi! Kak Sina juga menghilang dari sekolah. Mereka bilang keluarganya sendiri yang menelepon, tapi itu tidak masuk akal! Karena yang telepon itu bukan ibunya!” Ghara meluapkan pikirannya bahkan tanpa sadar telah berbicara tidak sopan pada orang yang lebih tua dihadapannya.
Andrew membungkam mulut Ghara. “Berisik sekali sih! Laki-laki tapi cerewet!”
“Lepaskan!”
Andrew menjauhkan tangannya dari mulut Ghara dan memberikan kembali ponsel anak itu. Kepalanya sakit memikirkan bagaimana cara menjelaskan peristiwa ini. Terlalu rumit baginya. “Kau ini temannya Sina?”
Ghara mengangguk, ia sudah mulai tenang. Mungkin mendengar penjelasan pria ini tidak ada salahnya. “Bukan teman dekat sih, tapi dia anggota OSIS disekolah kami. Dan saya calon ketua OSIS yang baru. Kita sering bertemu dalam rapat. Dan baru-baru ini dia mengirim pesan aneh pada saya, sayapun seperti mendengar suaranya meminta tolong.”
“Kau, mendengar suaranya?”
Ghara terdiam. Ia sadar bahwa dirinya sudah kelepasan. Bagaimana bisa dia menceritakan semua hal yang masih terasa aneh baginya pada pria asing ini? “Maaf, saya mengatakan hal yang aneh. Anda bukan pamannya ‘kan? Terima kasih telah menolong teman saya dan silahkan pulanglah. Saya akan menelepon ibunya setelah anda pergi,”
Andrew menarik napas dalam selama beberapa kali, menahan amarahnya. “Aku memang bukan paman kandungnya, aku adalah teman masa kecil Tiara. Tiara juga bukan ibu tirinya, dia adalah bibinya.”
Ghara terkejut. Bagaimana bisa begitu? Apa dia ketinggalan berita lagi? Atau kakak OSIS kemarin membohonginya? Tapi bahkan Ghara sudah mengecek ke teman yang lain dan bertanya pada guru BK, dan gosip itu benar.
“Tiara membohongi Sina selama belasan tahun juga untuk kebaikan gadis itu. Kau pasti juga tahu bahwa keluarganya yg lain dibantai bukan? Itu juga karena mereka..”
Ghara benar-benar tidak habis pikir. Apa kini dia akan terseret dalam kasus besar seperti kelompok mafia pembunuh atau pengedar narkoba di televisi? “Ba-baiklah, kalau begitu. Saya rasa, anda sudah jujur. Jadi, saya akan pergi. Mohon maaf atas sikap saya paman,”
Ghara meninggalkan pria tersebut dan sudah tidak perduli. Ia memang tadi merasa harus menjaga Sina, mengingat firasatnya tentang gadis itu selama beberapa hari ini. Tapi mendengar kata-kata paman itu barusan, membuatnya merinding. Lebih baik menjauh dan tidak ikut campur dalam masalah seperti ini.
“Tunggu!”
Ghara berhenti dan menengok kembali kepada Andrew, “Iya, pak?”
“Kau tadi bilang hal semacam dia memberi pesan dan kau mendengar suaranya meminta tolong?”
Wah, gawat! Hal yang Ghara takutkan benar-benar akan terjadi. Ia harus menghindar sebisa mungkin dari masalah ini. Bagaimana nasib paman dan bibinya jika ia dibunuh dengan sadis oleh sekelompok mafia? Dan Putra pasti hanya akan menangisi kematiannya dengan pura-pura lalu menjadi anak manja kesayangan paman dan bibi, anak itu tentu akan menyusahkan mereka. Itu tidak boleh terjadi!
“A- Hm- Pa- paman, aku hanya-”
“Aku yakin kau ksatria itu,”
“Ksatria?”
***
Jam dinding menunjukkan pukul empat sore. Awan mendung mulai menyelimuti langit, membuatnya menjadi gelap dan menimbulkan hawa dingin. Air hujan perlahan turun menyerbu, menyapa tanah kering yang telah lama kehilangan kelembapannya. Anak-anak kecil tertawa riang bermandikan hujan.
Sementara itu, jauh didalam hutan sayup terdengar suara bayi menangis merasakan air hujan yang telah membasahi tubuh mungilnya. Bayi itu telah menangis berjam-jam tanpa lelah, namun tak seorangpun iba dan mendatanginya. Bahkan untuk sekedar memberi kehangatan pada dirinya yang lemah.
Senja mulai datang, sebuah pelangi muncul dan ikut serta menghiasi langit jingga nan indah itu. Sang bayi sudah tak lagi meronta, mungkin batinnya telah pasrah pada apapun takdir hidup yang akan diberikan tuhan kepadanya. Tubuhnya kedinginan, perutnya lapar, namun ia harus tetap membuka matanya dan menaruh harapan pada semilir angin yang melewatinya. Andai saja, sang angin dapat berbaik hati mengirim pesan kepada siapapun untuk membantunya..
“Yaampun! Mas! Sini mas!”
Bayi itu tersenyum lemah. Ia sangat ingin menangis, memberi tanda bahwa dirinya masih bernapas. Namun tenaga sang bayi telah habis.
“Ada apa sayang? Jangan lari-lari! Kamu sedang hamil besar loh!!” Sang suami mengejar istrinya setelah membaringkan motor kesayangannya. Duh, cobaan apa lagi ini tuhan? Mau punya anak cobaannya gini amat, batinnya. “Kita ketinggalan rombongan sayang, ayo pulang udah sore ini..”
“Kita akan dapat malaikat kecil lagi! Buat teman calon anak kita!”
“Aduh, kamu ini. Sudah ngidam pengen jalan-jalan dihutan pakai motor trail, bikin jantungku mau copot. Sekarang malah minta malaikat kecil?”
“Sini dulu, sini.. Uhh, manisnya.. Dia bisa jadi temannya calon anak kita sayang,”
“Eh, sini aku aja yang gendong! Kamu baru aja abis aku bonceng naik motor trail! Jangan angkat yang berat-berat!” Sang suami mengambil bayi yang digendong istrinya. Di tengah hutan begini, ada bayi?
Sang istri mengambil kain yang menjadi alas bayi itu saat terbaring diatas rumput. Ia memberikan sweaternya untuk menghangatkan tubuh sang bayi. “Eh, mas. Ada tulisan di kain ini, Varagha?”
“Bukan! Vaghara itu tuh!”
“Mas! Aku ini hamil, bukan rabun! Tulisannya Varagha, walaupun emang udah agak luntur..”
“Engga! Namanya Vaghara tau! Lagipula ini anak siapa sih? Badannya sampe dingin banget, jangan-jangan dia kehujanan tadi?”
“Mungkin si Varagha ini dibuang mas, sama orang tuanya. Gimana kalau kita angkat jadi anak saja? Yah! Yah..”
“Hus! Kamu ini. Bagaimana kalau orang tuanya datang dan mencari anak ini?”
“Itu tidak mungkin, mas. Mana ada orang tua yang membiarkan anaknya terbaring di rumput sedangkan hujan turun?” Sang istri mengeluarkan jurus andalannya, mata bersinar yang memelas. “Kasihan mas, ayolah,”
Suami memberenggut, “Yaudah, iya iya. Jangan pasang muka begitu, aku tinggalin kamu disini!”
“Yeayyy...”
“Tapi kita hanya merawatnya saja ya. Kita menjadi paman dan bibinya. Kita tidak boleh membohongi dia soal ini,” katanya sambil berlalu meninggalkan istrinya. “Dan namanya Vaghara, inget itu.”
“Yaudah, gapapa. Yang penting anak kita bakal punya saudara yang ga beda jauh umurnya! Siapa tau anak kita cewe, kita jodohin aja dari sekarang! Aaaa, aku sayang masku!!”
Dan saat melahirkan, anak mereka ternyata laki-laki. Namanya Putra.
waaah kasihan sekali depresi sampai 12 tahun but premisnya oke banget, gimana kisahnya manusia depresi 12 tahunnn bikin penasaran??? 1 bulan ada masalah aja udah kaya org gila hehehe. :( udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1. Lost Then