“Dahulu, jauh sebelum jaman manusia modern dimulai. Tepatnya pada masa kuno, ada kaum bernama Lemuria yang berbudi luhur nan jaya. Namun mereka dijajah, dibantai dan akhirnya yang tersisa memutuskan untuk meninggalkan bumi mencari kehidupan di planet lain.”
“Lalu, apa hubungannya itu dengan kedua orang tuaku?” Sina masih tetap pada posisinya, menyendiri di sudut ruang tahanan yang gelap tersebut.
Tiara menutup matanya sebentar dan memikirkan suatu hal. “Kedua orangtua ayahmu, adalah bangsa Lemuria.”
Sina terkejut, ia akhirnya mendekat pada Tiara meski masih merasa takut. Mendengar nama bangsa Lemuria pun baru kali ini, dan barusan secara tidak langsung dikatakan bahwa ia termasuk keturunannya?
“K-kau bicara apa barusan?”
Tiara mengganti posisinya, kini ia berhadapan langsung dengan wajah Sina. Netranya bersinar, “Kakek dan nenekmu, serta ayahmu dan aku adalah bangsa Lemuria. Yang manusia sebut sebagai bangsa yang hilang,”
Netra Sina bersinar, demikian kalung bintangnya. Tiara yang sedari tadi tidak menyadari cahaya yang dihasilkan Sina, akhirnya melihat hal itu dan ia begitu kebingungan. Bagaimana bisa?
“Sina, sejak kapan kalung dan netramu?”
Kalung? Netra?
“Apakah bersinar juga? Aku pun baru menyadarinya..” Jawab Sina santai.
“Bukankah bibi seharusnya tidak terkejut begitu? Bukankah aku keponakanmu? Itu artinya aku sama denganmu..” Meski sulit diterima, Sina tidak menganggap rumit persoalan tentang keturunan yang baru mereka bahas. Toh, hidupnya akan berakhir juga. Ia hanya penasaran pada akar masalah ini.
“Lalu, apa hubungannya antara bangsa Lemuria dengan mereka semua?”
Tiara terdiam. Ia masih terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Sina, bukanlah keturunan murni. Bagaimana bisa dia melakukannya?
“Bibi Tiara?”
Panggilan Sina membangunkannya. “Kau panggil aku bibi?”
“Bukankah aku keponakanmu?” Tanya Sina heran.
Tiara kembali terdiam. Memang, Sina adalah keponakannya. Tapi ia terlalu nyaman dengan Sina menjadi anaknya. “Ya, aku memang bibimu..” Jawab Tiara lesu. “Apa yang kau tanyakan tadi?”
Pintu perlahan terbuka, memotong percakapan Tiara dan Sina. Seorang pria berpakaian serba putih yang merupakan salah seorang anak buah para peneliti di laboratorium pun masuk. Ia menarik paksa tubuh Tiara yang sudah lemah karena siksaan selama di pengadilan sebelumnya.
“Hei, apa yang kau lakukan?” Sina berteriak kencang dan menarik jas pria itu. Namun ia terdorong oleh lengan kiri pria tersebut dan terlempar ke dinding bata. Ia meringis kesakitan.
Tiara dengan tenaganya yang tersisa, berusaha menyingkirkan pria itu dari hadapannya. “Sina!” Ia menghampiri Sina yang tak sadarkan diri karena terbentur dinding bata yang keras.
“Sina, bangunlah!” Tiara menggerakkan pundak Sina, menepuk pipinya dengan perlahan. Berharap gadis itu tak apa-apa.
Namun, Sina tak kunjung membuka matanya. Sedangkan pria berbaju putih tadi sudah menarik lengan Tiara dan membawanya dengan kasar.
“Kau kan bisa, membawaku dengan cara yang baik! Kau tidak harus menyakiti dia!”
Seakan tak perduli dengan ocehan Tiara, pria tersebut terus saja menarik lengan Tiara dan membawanya keluar. Membiarkan Sina yang tergeletak tak berdaya di lantai ruangan itu.
***
Tiara terus meronta saat dibawa ke ruang laboratorium. Dalam hatinya terus terbayang, apa yang akan ia hadapi selanjutnya. Saat masih bertugas menjadi kepala unit, ia sering melihat para manusia dijatuhi hukuman yang sama dengan dirinya. Kasus para manusia itu beragam, mulai dari mangkir tugas, percobaan pengkhianatan, lari dari hutang. Bahkan ada yang diserahkan oleh klien yang memiliki dendam pribadi karena ingin orang tersebut disiksa dalam percobaan yang tidak manusiawi ini.
Namun meski terus menjadi tikus percobaan, mereka satupun belum pernah ada yang meninggal kecuali karena bunuh diri atau faktor umur yang sudah tua. Hal itu dikarenakan saat seorang tahanan sekarat karena percobaan, maka mereka akan diberikan sebuah pil khusus yang mencegah mereka kehilangan nyawanya. Sungguh bentuk penyiksaan yang amat kejam.
Akhirnya, tibalah ia diruangan tempat uji coba. Ia melihat wajah para peneliti yang sebelumnya sempat menjadi rekan untuk misi rahasianya.
“Ya ampun, sungguhkah ini Tiara? Bagaimana bisa kau berakhir disini?” tanya salah seorang peneliti berambut coklat. “Hei, 102! Lepaskan tangan kotormu itu! Dia ini sahabatku!!”
Beberapa orang langsung menarik peneliti tersebut, bahkan ada yang berbisik. “Andrew, tolong jangan buat keributan. Aku tahu dia ini orang yang sangat kau kasihani sampai kau memberinya pekerjaan disini. Tapi ini juga salahnya, kau masih tidak percaya rumor itu?”
“Lepaskan aku!” Andrew menepis lengan kawan yang menariknya. Ia berbicara pada Pak Orsh, pemimpin para peneliti. “Biarkan aku bicara padanya, pak. Setidaknya yang terakhir sebelum dia kita uji coba,”
Pak Orsh menatap tajam pada Tiara, gadis lemah dihadapannya. Ia sangat ingin marah pada Andrew, namun ia mencoba mengerti jalinan kedekatan mereka. “Waktumu 30 menit,”
“Terimakasih,” Andrew memapah Tiara kedalam sebuah ruangan kedap suara yang diperuntukkan untuk pertemuan rahasia didalam lab.
“Kita lihat apa yang akan dilakukannya kali ini,”
***
“Ugh!!” Sina perlahan membuka matanya. Ia meraba punggungnya yang terasa ngilu. Sebuah cairan yang terasa sedikit kental dan lengket menempel pada lengannya kini. Tak ada sedikitpun cahaya dalam ruangan yang dapat digunakannya untuk melihat apa itu. Namun, ia mencobanya sekali lagi. Benar saja, cairan itu berasal dari punggungnya dan mungkin sudah sedikit mengotori kemejanya.
Ia meraba-raba dinding bata dibelakangnya, terasa kasar dan beberapa bagian agak tajam. Mungkin itulah alasan mengapa punggungnya sampai terluka. “Aku lemah sekali, begini saja sudah terluka. Lalu bagaimana dengan dia yang sepertinya sudah banyak mengalami penyiksaan disini?”
Sina memeluk lututnya, menahan rasa sakit pada punggungnya itu. Lalu teringat kembali hal apa saja yang telah ia alami selama beberapa waktu yang lalu. Ini sungguh lebih buruk dari keadaannya sebelum sembuh dari depresi.
“Lemuria, sebenarnya ada apa dengan bangsa itu? Namanya terdengar kuno, tapi orangtua ayah adalah bagian dari mereka? Lalu apakah ibuku juga dari bangsa yang sama? Atau ibuku seorang manusia biasa?”
Sina terus berasumsi, ia masih sulit untuk percaya sepenuhnya. Bagaimana tidak? Selama berpuluh tahun ia dirawat oleh orang yang membantunya mengalami masa kelam yang ternyata membohonginya. Dan sekarang, ia berada dalam keadaan akan-segera-mati karena hal yang sungguh tak ia ketahui penyebabnya. Ia merasa menjadi manusia yang teramat bodoh. Belum lagi, ingatannya telah kembali seutuhnya. Membuatnya mengingat detik-detik kematian orang tuanya, hatinya sangat sakit.
“Bibi Tiara itu, apa dia orang baik?”
Perlahan air mata Sina menetes kembali. “Jika dia benar bibiku, kenapa ia tega membohongi aku?”
Ia menyembunyikan kepalanya dibalik kedua lutut untuk meredam tangisnya. Dahulu, monster dalam kepalanya adalah hal terburuk yang ia temui. Tapi nyatanya, mengetahui semua fakta tentang kehidupannya selama ini adalah sesuatu yang mengerikan. Jika orang yang selalu ada bersamanya ternyata adalah pembohong, lalu siapa yang akan dia percaya kemudian? Haruskah ia menyerah saja dan pasrah diujung kehidupannya?
Suara tangis Sina semakin keras, bahkan sampai terdengar ketelinga para penjaga khusus yang ditempatkan dibalik pintu ruang tahanan itu.
“Cih, dasar wanita cengeng. Memang ya, rata-rata wanita yang cantik tapi bodoh itu doyan menangis,” ucap salah seorang penjaga.
“Aku bisa gila mendengarnya! Ini sudah hampir waktunya aku tidur! Ruang istirahat kan bersebelahan dengan ruangan ini!” Penjaga lainnya mulai geram dengan tangisan Sina. Ia mengetuk pintu ruang tahanan tersebut dengan sekuat tenaga. “Woy! Bisa diam tidak! Dasar wanita cengeng! Ck!”
“Sabar bro, bagaimana jika bos tahu kelakuanmu ini? Gadis itu ‘kan tahanan yang istimewa..”
“Aishh, aku mau istirahat saja. Semakin pusing aku dengar ocehanmu!”
“Tidak berkaca dia, siapa coba yang sedari tadi mengoceh bagai orang gila,”
Dibalik pintu, Sina telah menghentikan tangisnya. Ia begitu terkejut ketika para penjaga itu mengumpat dan membentaknya. Seumur hidup, baru kali ini ia merasa sangat sakit hati. Semua ini, andai saja hanya mimpi...
“Tunggu!” katanya tiba-tiba. “Sepertinya aku melupakan sesuatu. Tapi apa ya?”
Sina mencoba mengingat berulang kali, ada bagian dari asumsinya yang tadi sempat timbul malah menghilang karena ocehan para penjaga.
Tring!! Netranya berkilau. Ah, ia ingat. Si calon ketua OSIS!
***
“Kenapa? Apa kau ingin mengucapkan salam perpisahan?” tanya Tiara lesu. Ia hampir tak memiliki cukup tenaga untuk berbicara. Dan si Andrew ini malah menariknya untuk berbincang. Apakah pria itu tidak sedikitpun mengerti dengan keadaanya?
“Apa kau.. Sudah makan?”
Kedua alis Tiara berkerut. Salam perpisahan macam apa ini?
“Hah,” Tiara terkekeh. “Kau harusnya lebih tahu. Hentikan basa-basimu. Langsung saja pada intinya,”
“Pegang tanganku, dan tutup matamu.”
“Bercandamu lucu sekali..”
“Aku serius. Lakukan saja apa susahnya sih? Bukankah ini kesempatan terakhir kita bertemu?”
Dengan terpaksa Tiara menuruti kemauan pria itu. Ia tak mengerti jalan pikiran Andrew. Bahkan disaat seperti ini, dia mau melakukannya?
“Lakukan dengan cepat. Kalau bukan karena kau kakaknya Frank, mungkin aku sudah..”
Tiara berhenti sesaat, semilir angin yang sejuk melewati pori kulitnya. Pun terdengar suara hiruk pikuk keramaian tak jauh dari mereka. Ia dengan cepat menjauhkan tangannya dari Andrew lalu membuka mata. “Kau membawaku kemana?”
Tiara melihat sekeliling. Tiba-tiba dalam sekejap mereka berada di tempat yang tak asing. Sebuah rumah makan padang berada dihadapannya. Banyak pula manusia berlalu-lalang yang seakan tak memperdulikan kehadiran mereka berdua yang muncul secara tidak lazim.
Ia menunjuk-nunjuk kepada Andrew. “K-kau! Bagaimana bisa? Tele..”
“pon!” Andrew memotong perkataan Tiara dan membawanya masuk kemudian duduk disalah satu meja yang kosong. “Kau mau pesan apa?”
“Aku..”
Baru saja Tiara hendak mengatakan sesuatu, Andrew sudah lebih dulu pergi kedepan dan memesan makanan seenaknya saja.
“Aishh! Kebiasaan! Tidak menghargai orang lain! Dasar ego.. Uhuk, uhuk..”
“Nih..” Andrew datang membawa dua buah teh tawar panas dan memberikannya satu kepada Tiara. “Jangan buang energimu, aku tau beberapa hari ini sangat berat buatmu.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku..” Tiara memberengut.
“Yang mana? Aku tidak dengar!” Andrew mengangkat kedua tangannya.
Tiara memukul kepala andrew dengan keras, “Masih saja pura-pura tidak tahu! Kau pikir aku bodoh hah? Darimana kau dapat kekuatan itu? Sejak kapan? Aku.. uhuk uhuk, uhuk, haish!”
“Huahaha! Sudah kubilang jangan buang-buang energimu! Kau bahkan sudah tidak memiliki kalung itu lagi!”
Tiara meraba lehernya. kalung bulan berwarna gold yang sangat ia rindukan. Kalung pemberian orang tuanya semenjak mereka memutuskan tinggal di Bumi.
Andrew menyadari kesalahannya, ia mengingatkan gadis itu pada barang kesayangannya. “Uhm.. maaf..”
“Permisi pak! Ini makanannya. Maaf agak lama ya, soalnya rendangnya baru diangkat dari wajan,”
“Ah! Iya terimakasih bu,” Andrew mengambil sendok garpu untuknya dan Tiara. “Makanlah. Aku minta maaf mengingatkanmu soal itu..”
“Tidak apa-apa,”
Mereka berdua makan secara lahap dan keadaan menjadi tegang selama beberapa waktu. Andrew sangat sedih melihat keadaan Tiara. Bagaimanapun, ia sudah menganggap Tiara sebagai adiknya. Ia sangat menjaga Tiara karena wasiat dari adik kandungnya juga, yang merupakan mantan kekasih gadis itu.
“Percuma saja kau memberiku makan,”
Andrew menghentikan makannya dan mengunyah secara perlahan. Apa gadis ini sudah menyerah? Tentu saja tidak boleh! Apa dia tidak tahu jika masih punya harapan?
“Kau berkata seolah-olah kau benar akan mati setelah ini,”
“Tentu saja! Tapi bukan mati yang sebenarnya, aku juga tahu itu,” Tiara mengambil gelas dan meneguknya sampai habis. “Ah! Segar!!”
“Bu, bisa tolong isikan air ini lagi?”
“Setelah ini, entah sampai kapan aku akan menjadi tikus payah disana.” Gadis itu mengalihkan pandangan ke langit-langit rumah makan. “Ini seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Dahulu aku selalu merasa iba pada para tahanan itu, dan kini lengkap sudah keibaanku. Bahkan pada saat inipun aku masih memikirkan nasib mereka,”
“Kau memang Lemurian sejati, ayahmu pasti bangga padamu..”
“Terima kasih, dan aku hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menyusulnya. Aku sudah kehilangan kalung itu, aku tidak punya harapan untuk bertahan ataupun meminta pertolongan pada Layiwa dengan segera..” Tiara menunduk menahan tangisnya. “Aku bahkan tidak bisa menjaga anak itu, entah apa reaksi mereka jika tahu ada keturunan murni yang lemah sepertiku.”
Andrew berpindah tempat duduk kemudian mengambil tisu dan memberikannya pada Tiara. “Simpanlah tangismu untuk kemenanganmu nanti..”
Tiara mengangkat kepalanya, “Apa maksudmu? Mengapa sedari tadi kau bercanda terus padahal aku sedang menangisi takdirku seperti ini?” bentaknya.
“Sabar, bu. Sabar,” Andrew menenangkan gadis itu. Bahkan saat lemahpun terlihat ganas, pikirnya.
“Apa kau tidak ingat pada keponakanmu yang cantik itu?”
“Jangan menggoda Sina!”
“H-hei, dengarkan aku dulu.” Andrew setengah berbisik. “Dia bukan Lemurian murni kan?”
Tiara memasukkan tisu yang penuh dengan airmatanya kedalam mulut Andrew yang sedang terbuka. “Makan nih! Tidak ada gunanya kau menanyakan sesuatu yang sudah jelas!”
“Puh!” Andrew menarik tisu yang sudah menempel sebagian pada dinding mulutnya. Gadis ini benar-benar berbahaya kalau sedang kacau. “Gadis labil, dengarkan aku!”
Tiara memelototi dirinya dengan tatapan kalau-kau-bicara-lagi-akan-kubunuh-kau!
“Kau tidak bisa tenang ya?” Andrew kembali berbisik. “Kau memangnya tidak ingat ibunya Sina, kakak iparmu itu siapa? Apa tidak terlintas difikiranmu sama sekali?”
Tiara terdiam. Lelaki ini menyebalkan tapi benar-benar jenius. Ia sama sekali lupa kenyataan tentang silsilah itu!
“Tumben kau pintar! Hehe,”
waaah kasihan sekali depresi sampai 12 tahun but premisnya oke banget, gimana kisahnya manusia depresi 12 tahunnn bikin penasaran??? 1 bulan ada masalah aja udah kaya org gila hehehe. :( udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1. Lost Then