Lebih dari empat tahun telah berlalu..
Sina telah menjalani pengobatan Hypnoteraphy selama tiga tahun secara rutin. Dan setahun belakangan, Sina hanya dianjurkan sesekali berkonsultasi jika ada hal-hal lain yang ia rasakan. Obat dari dokter yang dulu sering ia minum, kini tidak pernah ia sentuh sekalipun. Sina berharap, ia akan sembuh total. “Semoga ingatanku yang hilang itu cepat kembali..” gumamnya.
“Hey, Sina. Kamu disuruh rapat OSIS tuh diruang guru..”
“Oh, iya. Makasih, Sindi.”
Sina terus tersenyum selama perjalanan menuju ke ruang OSIS sambil membawa berkas yang diperlukan. Kini, ia tak merasa kesepian lagi, tak merasa takut akan apapun lagi. Beban pikiran yang selalu menghantuinya bagai terangkat dan dibuang jauh entah kemana.
“Selamat siang, maaf saya terlambat.”
Sina memasuki ruang rapat tak lupa dengan senyum ramah yang menjadi ciri khasnya.
“Siang..”
“Baik. Karena Sekretaris OSIS kita sudah datang, mari kita mulai acaranya. Silahkan saudari Sina untuk membuka dan memandu rapat.”
“Terima kasih, kak.”
“Tunggu..” Seseorang memasuki ruang rapat tersebut. “Maaf, saya baru datang, saya tadi ada urusan sebentar dengan guru.”
“Oiya, kawan-kawan. Kali ini rapat OSIS kita dihadiri oleh calon Ketua OSIS satu-satunya disekolah ini, namanya Ghara. Yah, kalian tahu lah adik kelas kita sudah tidak ada yang semangat. Haha,”
Seketika ruang rapat gaduh dan penuh dengan suara tawa para peserta rapat tersebut. Ghara hanya sedikit tersenyum lalu masuk dan duduk di tempat yang sudah disediakan. Ia melihat kepada seluruh peserta rapat diruangan itu. Kemudian pandangannya terhenti, pada Sina yang sedang berdiri hendak membuka rapat.
“Sudah, cukup. Perhatian semua..” Sina mengedarkan pandangan kepada seluruh peserta rapat, lalu menghela napas panjang. Ia menunggu keadaan kondusif untuk dia membuka rapat. Tak disangka mata Sina dan Ghara bertemu. Selama beberapa detik lamanya mereka bertatapan. Sekilas terlihat netra Sina berubah menjadi biru terang, sementara Ghara keemasan.
Ghara dan Sina sama-sama terkejut melihat perubahan warna netra masing-masing. Namun keduanya tak dapat saling memberi pertanyaan karena kondisi dan jarak mereka yang berjauhan. Akhirnya, Sina melepas pandangannya dan memulai rapat itu.
***
“Aku rasa tadi melihat netra mata cowo itu berubah..” gumam Sina.
Sina berulang kali mengingat kejadian di dalam ruang rapat. Dimana matanya, dan mata sang calon ketua OSIS saling bertemu untuk pertama kalinya. Ia sangat terkejut melihat hal tersebut, jelas karena meski sekilas ia yakin perubahan warna itu sangat terlihat dan netra emas itu berkilau amat terang dihadapannya.
Tapi ia memikirkannya kembali. Jika memang benar netra keemasan itu yang dia lihat, lalu mengapa yang lain seperti tidak ada yang menyadarinya. Tidak mungkin kan, hanya Sina yang melihat hal itu.
“Aduh, mikir apa sih aku ini.” Sina meletakkan gelas berisi es teh manisnya dengan cukup keras. Untung kantin itu sedang sepi, karena Sina jajan saat bukan jam istirahat. Selama memimpin rapat tadi ia sangat kehausan, jadi Sina langsung lari kekantin setelah menitipkan pesan pada temannya.
“Atau mungkin karena dia tampan, itulah sebabnya terlihat seperti emas. Haha, sudahlah.” Sina lalu beranjak dari kursinya dan meninggalkan kantin menuju kelas.
Sementara itu, Ghara juga memikirkan hal serupa. Ketika memasuki ruang rapat tadi, ia merasakan energi yang terasa aneh. Lalu ketika Sekretaris OSIS itu berdiri, ia merasa tak asing dengan wajahnya. Perasaaan kagum dan hormat seketika memenuhi hatinya.
“Cahaya tadi apa ya?” gumamnya. Ghara kemudian mencoba kembali fokus pada guru yang sedang menerangkan di kelas. Tapi pikirannya terus terganggu oleh suatu hal. Ia mencoba mengingat, sayangnya ingatan Ghara sangat buruk tentang seseorang.
Butuh waktu lama baginya untuk berfikir. Lima menit, sepuluh menit. Lama kelamaaan ia frustasi dan sakit kepala.
“Bu Siska!” teriaknya tiba-tiba.
“Iya, Ghara. Kamu ingin bertanya apa?”
“Bukan, bu. Saya mau izin ke UKS, kepala saya sakit sekali..”
“Tumben, ya sudah kamu nanti minta obat dan istirahat saja ya di UKS. Hati-hati jalannya..”
Ghara kemudian bergegas meninggalkan kelas dan pergi ke UKS. Ia terus berusaha mengingat. “Biarlah kepalaku tambah sakit sekalipun, toh nanti bisa minum obat dan tiduran selama jam pelajaran,”
Netra biru terang. Ya, kini ia yakin. Sebelumnya ia pernah melihat hal seperti itu dalam mimpinya saat berumur 5 tahun. Ketika itu tak banyak kenangan yang mampu diingatnya, kecuali mimpi itu. Bahkan ia sangat penasaran hingga sekarang.
“Apa mungkin ini takdir?” Ghara menghentikan langkahnya sebentar. Ia kembali berfikir dan memutar otak. Menghubungkan semua kemungkinan tentang mimpinya sewaktu kecil dan perjumpaannya dengan gadis itu.
“Ya tuhan..” katanya sambil menunjukkan raut wajah bersyukur. “Ternyata engkau mengirimkan jodoh padaku secara cepat dan sempurna..”
Wajah Ghara seketika memerah dan mulai salah tingkah. “Yaampun, ternyata dia lebih cantik dari dugaanku..”
“Apa dia memimpikanku juga? Aku jadi ingin tahu dan menanyakannya ..” Ghara terus mengoceh sepanjang perjalanan.
“Dia kakak kelas yang menawan..” Tetapi sedetik kemudian wajahnya mulai masam, ketika ingat kata ‘kakak kelas’. Setelah itu ia mulai kesal, “Aishhh tapi dia lebih tua dariku!!”
Kemudian Ghara menghapus kemungkinan tentang ‘jodoh’ dan ‘takdir’ itu. Sepertinya ia harus mencari prasangka yang lebih rasional. “Sadar Ghara, sadar. Dia itu tua. Nanti kamu dibilang suka yang tua-tua lagi.”
Ghara memegangi kepalanya. “Argghh, kepalaku tambah sakit..”
***
“Kamu punya penyakit apa belakangan ini?” tanya petugas jaga UKS yang sedang mengecek Ghara.
“Saya selama ini belum pernah sakit, dok.” Jawab Ghara dengan wajah lesu. Kemudian teringat sesuatu, “Ah, iya. Kemarin ketika mengantar paman check up ke dokter, saya juga ikut periksa kesehatan. Katanya saya ada gejala..”
“Gejala apa?”
“Penyakit, terlalu tampan.. Kekeke”
Petugas jaga tersebut memasang muka masam, lalu mengambil sebuah jarum suntik berisi sebuah cairan dan menunjukkannya pada Ghara. “Belum pernah disuntik dipantat ya kamu?”
“Eits! Bercanda, dok.” Ghara tertawa kecil. “Aku tidak sedang sakit sih, dok. Dulu aku sih punya alzheimer, terus berobat jalan kemudian perawatan selama setahun. Ajaibnya, aku disuruh pulang karena ternyata aku tidak punya gejala apapun tentang itu lagi. Padahal sehari sebelum dokter memberi pernyataan itu, aku sempat pingsan selama 5 jam karena sakit kepala hebat.”
“Jadi Alzheimermu itu sembuh begitu saja?”
“Kira-kira begitu.”
Petugas itu berfikir sebentar, “Ghara, kamu harus periksa kembali ke dokter. Barangkali kamu punya Vertigo atau mungkin gejala Alzheimer itu muncul lagi.” Ia mengambil sebuah obat dalam kotak P3K. “Sementara minum ini dulu, lalu istirahat ya. Saya mau pulang, jam kerja saya sudah habis.”
Ghara menerima obat itu sambil menggeleng kecil. Ia mengingat kembali apa yang dikatakannya sesaat sebelum memikirkan wanita itu.
“Biarlah kepalaku tambah sakit sekalipun, toh nanti bisa minum obat dan tiduran selama jam pelajaran,”
Ghara menarik napas panjang, “Hhh, kini harus kulakukan lagi..”
Ghara terus memperhatikan pil obat ditangannya dan terus bergumam, “Ck.. Lama tak jumpa, sobat.” Ia tersenyum kecil, mengingat seberapa muaknya ia terhadap segala bentuk pengobatan. Mulai dari pil berbentuk bulat, lonjong, kapsul, sirup manis maupun pahit, hingga segala macam terapi yang melelahkan. Tak hanya itu, ia menghabiskan waktu selama kurang lebih setahun di kamar pasien yang membosankan. Belum lagi jika mengingat perjuangan paman dan bibinya untuk membiayai seluruh perawatannya selama sakit, Ghara sangat menderita melihat kesusahan mereka demi dirinya.
Rasa muak itu muncul kembali dan semakin memuncak. Ia benci obat.
“Aku sangat ingin menelanmu dalam sekali teguk!!” Ghara menelan obat itu dengan cepat, namun lupa untuk mengambil minum. Tak lama kemudian, ia tersedak.
“Hoek!”
waaah kasihan sekali depresi sampai 12 tahun but premisnya oke banget, gimana kisahnya manusia depresi 12 tahunnn bikin penasaran??? 1 bulan ada masalah aja udah kaya org gila hehehe. :( udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter 1. Lost Then