Aku menelfon Widi di pagi buta sekitar jam 5 pagi. Alarm yang berteriak-teriak telah membangunkanku masih dengan setengah malas.
Lama sekali nada panggil berdering.
“Apaan Dit, subuh gini udah nelfon?” masih dengan nada setengah sadar
“Kamu mau berangkat ngantor?”
“Heem bentaran lagi aku siap-siap, jam setengah enam.”
“Aku mau cuti, Wid.”
“Lha kenapa?"
"Aku males ke kantor, kemaren aku ribut ma Andrean. Gila, parah dia ninggalin aku di restoran terus nelfon Miko suruh bawa aku anterin ampe rumah.”
“Asli? Kamu serius.”
“Iya, tanya Miko. Aku mau cuti sehari, mau me time dulu. Peduli lah sama atasan, cuti doang sehari.” Jawabku asal
“Emang cutinya mau ngapain?” tanya Widi penasaran
“Mau ke mall, nonton bioskop, makan terus mau shopping, mau ngecengin cowok ganteng kali aja ada yang nyangkut, mau naik roller coaster sama main yang lain, mau happy dulu lah biar gak mumet terus kebawa ke kerjaan.”
“Aku ikut.” Jawabnya semangat
“Lha?” aku terperangah
“Bodo sama kerjaan, aku juga mau main, kita on the way berdua okey?”
Aku tertawa senang dan mengakhiri pembicaraan.
Seperti biasa, aku berangkat seperti akan pergi ke kantor. Dengan motor matic dan helm berwarna pink yang selalu menemaniku. Tetapi kali ini, aku belok arah dan datang ke rumah Widi tak jauh dari komplek rumahku. Rumah kami hanya beda komplek terhalangi oleh pertigaan jalan depan komplek. Kami sempat berbincang, sedikit menertawakan diri kami. Entahlah kebodohan jenis apa ini.
“Parahlah kamu Dit, kamu nularin galau.” Widi asal bicara sambil mengeringkan rambutnya dengan kipas listriknya.
“What?” aku bertanya tidak paham dengan wajah setengah serius
“Nih dengerin yah kamus aku yang satu ini, galau itu bisa berpindah dari satu orang ke orang yang lainnya, dengan kata lain galau itu menular.”
Aku ketawa keciciran. Setauku, itu kan teori energi yang mengatakan bahwa energi tidak dapat dimusnahkan dan energi hanya dapat berpindah dari satu energi ke energi lainnya. Widi plagiat, aku ketawa puas.
“Lha galau bisa berpindah, energi kali ah.”
Ia hanya tertawa tak memikirkan.
Tinggalkan persoalan pekerjaan, terkadang terlalu mengikuti rule itu tidak baik. Bukan menjadi patuh, tetapi untuk bisa menikmati kesenangan terkadang manusia harus memiliki pola pikir yang berbeda. Segala sesuatu yang mengekang, persoalan hidup yang terlalu rumit dan menekan, kemudian persoalan hidup yang runyam.
Tungkasnya :
“Kita hanya butuh hiburan walau sebentar.” Widi tertawa licik dan menata rambutnya yang diurai sebahu
Tidak akan ada yang tau, aku dan Widi cuti bersama karena kita berbeda bagian. Tentu tidak akan dicurigai. Kami kompak dalam hal ini, untuk kali ini. Ini bukanlah sesuatu keburukan, mungkin sebagian orang pernah melakukan hal yang sama.
“Terus, terus Andrean sekarang gimana?”
“Ya gak gimana-gimana, kita masing-masing gitu.”
“Anjayyy, emang Andrean gitu sih kamu juga tau. Aku cuma ngakak ajalah pas kamu bilang udah jadian ama Andrean. Antara percaya gak percaya gitu, seorang Andrean wkwk.”
“Saat ribut gitu, dia tetep punya pemikiran sendiri dan you know dia bilang apa? Welcome to my life.”
“Wekkk.” Ekspresi Widi sambil menjulurkan lidah
“Itu kan artinya, ini gue ya lu harus terimain sikap gue ya gue gini adanya.” Aku menahan kesal
Kami adalah dua orang perempuan yang saling menularkan kegalauan dan persoalan mimpi yang terpendat. Aku bilang pada Widi, untuk kesekian kalinya naskah novelku ditolak lagi oleh Penerbit. Lebih parahnya, Andrean selalu menghina dan berkata bahwa sampai kapanpun aku tidak akan pernah menjadi Penulis.
“Aku kek jadi paling bodoh tau.” Duduk terdiam di meja rias kamar Widi
“Yeh, apaan sih jadi gak semangat gitu. Andrean Cuma asbun (asal bunyi) dia.”
“Iya sih Wid, tapi aku kesel tau dari awal dia gitu mulu. Kalau asbun kan cuma sekali, nah ini berkali-kali. Niat banget dia jatuhin aku. Pacar jenis apaan dia?”
“Iya, parah emang. Aku juga lagi berantem sama Febrian. Dia diemin aku seminggu. You know? Gara-gara si Andrean nyeramahin Febrian pas curhat lagi berantem ma aku. Seenak dengkul, Andrean bilang suruh diemin aku. Sekarang udah seminggu kita gak komunikasi. Lebih bodo-nya lagi tau gak? Si Febrian chat aku terus pake bawa-bawa Andrean so bijak bahwa harus diemin aku biar aku jera gitu.”
“Agh Andrean.” Aku melemparkan bantal guling ke lantai
“Kamu kuat rasanya didiemin kek gitu, Dit. Kamu udah sering ma Andrean di gituin. Aku baru tau rasanya.”
Kami saling terdiam.
Teori bahwa galau itu memang menular, kupastikan itu benar - Andita
***
Andita. Nama ini mengingatkan saya pada seorang guru menulis saya. Kak Raindita. Bahkan karakternya sama. Jutek juga.
Comment on chapter Bagian 1 : Cinta Bersemi dibalik Pertaruhan