Di hadapannya berdiri makhluk bersisik abu-abu, berkepala buaya dan berambut panjang. Bola matanya hijau bergaris hitam memandangnya tak berkedip. Dia tertawa senang sambil memamerkan gigi-giginya yang runcing. Di tangannya memegang rantai dengan sebuah hati berwarna hitam. Hati itu berdetak hidup.
Mutiara tidak takut. Makhluk bersisik itu berdiri di pojok kamarnya, dia tertawa seperti wanita centil. “Kurang ajar! Berani mengganggu dalam rumahku! Pergi!”, geram Mutiara sambil melangkah maju mengusir makhluk itu dengan pukulan sapu bergagang bambu, dan makhluk itu menghilang. Jelas sekali itu bukan mimpi! Dengan nafas yang masih tersengal-sengal, Mutiara sadar lalu memandangi bantal dengan selimut yang masih terlipat rapi. Gim tidak pulang, lagi.
~~~
Gim membuka mata dan termenung. Dia bermimpi. Duduk diatas kursi kulit merah mahoni, memimpin rapat. Di hadapannya, para dewan komisaris duduk dan bertepuk tangan memberi selamat, merayakan keberhasilannya. Disampingnya, seorang wanita berlipstik merah muda memakai rok mini hitam dengan blazer bercorak sisik abu-abu tersenyum sambil ikut bertepuk tangan. Dia tidak mengenal satupun orang-orang yang ada dihadapannya itu, namun mereka, sepertinya sudah akrab satu sama lain. Sekilas tidak ada yang aneh. Namun, saat mereka menjabat tangannya, bola mata mereka semua hijau bergaris hitam, seperti mata seekor buaya.
Gim lalu menurunkan kakinya dari tempat tidur dan menyalakan sebatang rokok. Tak habis pikir apa arti mimpi barusan itu. Sebuah pelukan jemari bercat kuku maroon, merangkul pinggangnya dari belakang dengan mesra. Kemudian tersenyum saat wajahnya muncul disamping pundaknya, dengan rambut panjang ikal menutupi sebelah matanya. Baju satin tipis menerawang sengaja tidak ditutupi selimut untuk memamerkan kaki putihnya. Tangannya mulai mengusap punggungnya dengan sentuhan menggoda. Mengajaknya bermain dalam pelukannya kembali, seperti ketika mereka berendam di kolam pemandian air panas. Gim melirik jam dinding di meja, 01.44 pagi.
~~~
“Kukira, saat kau berikan lilin putih itu, akan menjadi lentera pemberi kehidupan, kehidupan berwarna, yang merangkul hangat dalam genggamanmu. Tak pernah tersirat, saat mengukir bersama waktu, rangkulanmu membakar hati, hati yang memilih, berteman rambatan akar dendam, yang berkuasa di atas keangkuhan. Perih..., mengenang dirimu, menyelimuti hati dengan jemari kegelapan, yang bermain mengulum racun bibir merah jambu. Dan kau biarkan menjual jiwamu, kepada yang menyamar untuk menghancurkan, dibalik senyum malaikat menawan”.
Gambar cincin menutup tulisan itu dengan tanggal 4 April 1996 dibawahnya. Lalu Mutiara memejamkan mata. Angin tengah malam berhembus dari luar jendela kamar. Air matanya mengalir menyentuh pipi. Mutiara menarik nafas panjang yang menusuk hati.
~~~
Gim memperhatikan sosok dirinya dari pantulan kaca, yang seperti wajah manusia tanpa hati, tanpa jiwa. Terbayang kembali saat mereka berdua menyusuri Curug 7 Cimanganten, Garut, melakukan ritual doa dan mandi di tujuh tingkatan air terjun. Gim memang meminta pengasihan agar sukses menduduki jabatan tertinggi di kantornya dan disegani semua orang, selain membalaskan dendamnya kepada orang-orang yang mencoba menghancurkan karir dan martabatnya.
Dengan membayar jasa cukup banyak kepada Abah yang menyanggupi untuk membantu mendapatkan keinginannya, Gim menjadi percaya dan menuruti segala perkataan Abah. Ritual ini sudah dilakoninya sejak 1,5 tahun yang lalu. Ditemani wanita yang suka mencumbunya dengan bibir merah jambunya itu. Kini Gim menjadi sangat tergantung kepada Abah karena takut jabatannya di rebut orang lain.
Thank you so much RezaGustin...