“Wen, Weena...”
Aku bergegas keluar kamar saat teriakan mama terdengar memanggil namaku. Aku memakai celana selutut dengan kaos merah darah. Ku hampiri mama yang tengah sibuk membersihkan taman di belakang rumah. Bunga mawar dan anggrek tumbuh segar di halaman belakang, berwarna-warni hingga membuat mata segar memandangnya. Begitulah hobi mamaku, berkebun dan memasak. Selain itu, mama juga sering membuat lukisan-lukisan lucu, seperti wajahku dan ayah. Kebetulan ayah tengah berlayar saat ini, pekerjaan itu menntutnya untuk jarang pulang. Ah, rasanya aku rindu.
Aku mendekat dan bertanya ke mama ada apa, ambilkan pemotong rumput di gudang, katanya. Aku mengangguk dan bergegas ke gudang. Tempat itu terletak tak jauh dari tempat mama berkebun, akhirnya aku segera mengambil benda itu. Kubuka pintu cokelat yang sudah usang, bunyi khas pintu berdecit terdengar. Di dalam terdapat banyak sekali benda-benda tajam yang tersusun rapi di dinding. Aku masuk, mencari alat yang dimaksud mama. Nihil, benda itu tak bisa kutemukan. Saat aku ingin keluar dan bertanya dengan mama, tiba-tiba pintu cokelat itu menutup sendiri.
“Hallo Weena.”
Dua kata yang membuatku membisu. Ingin rasanya aku berteriak, namun lidahku kelu. Mendadak tangan dan kakiku bergetar, jantungku berpacu cepat, dan rasa takut mengendalikan badanku. Tulisan di pintu itu ditulis dengan darah segar yang tercium bau amisnya. Gudang seluas 5m x 5m itu mendadak dipenuhi hawa misteri. Telingaku menangkap suara isak tangis, tetapi aku tak melihat siapa yang menangis. Lalu dilanjut dengan suara tawa yang lambat laun melemah.
“Mamaaaaa,” teriakku sekeras mungkin, tetapi tiba-tiba aku terbelalak mendapati sosok gadis yang tertidur cantik di depanku. Dengan rasa takut aku mendekatinya, namun seketika aku melangkah mundur. Dengan mata kepalaku, aku melihat wajah gadis itu begitu seram. Wajahnya penuh dengan luka, matanya memutih seketika, tangannya keriput dengan kuku-kuku yang panjang. Ia tersenyum sambil mengatakan “Hallo Weena.” Reflek aku menjerit, ku lempari dia dengan benda-benda di sampingku. Dia menghilang.
“Mama, mama di mana? Kenapa mama tak mendengarku?” Aku mendobrak-dobrak pintu gudang dan mencoba membukannya. Namun, tidak bisa di buka. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya, sayangnya tak hanya sampai disitu. Sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundakku. Tangan itu mencekram kuat bajuku hingga aku menjerit keras. Semua terasa gelap, aku jatuh pingsan.
Saat aku mengerjapkan mata, aku telah berada di kamarku. Kulihat mama terlihat cemas.
“Maa..”
“Sayang sudah bangun? Kenapa kamu masuk ke gudang?”
“Mama Weena takut.” Aku memeluk mama dengan jantung yang masih berdetak kencang.
“Tenanglah, cerita sayang. Kenapa kamu masuk gudang itu?”
“Bukankah mama yang menyuruhku,” ucapku sambil terbingung.
“Kamu lupa? Mama tadi sedang ke pasar dan gudang itu telah lama tak terpakai. Jangan mengada-ada kamu Ween,” jawab mamaku hingga membuat mataku seketika membulat.
“Jadi, tadi bukan mama?” Aku semakin takut, seumur-umur tak pernah aku mengalami hal seperti ini. Bertemu dengan makhluk mengerikan yang seakan ingin menancapkan kukunya di leherku. Rasanya aku hampir saja mati sia-sia karena ulah hantu itu.
“Dengar Weena, jangan masuk ke gudang itu lagi! Kamu tau? Di sana berbahaya,” ucap mama was-was.
“Ada apa di sana?”
“Di sana, arwah kakakmu tinggal.”
“Ka..kakak..”
Manis sih, tapi masa kakaknya jahat gitu? ???? Kan kasihan Weena nya.