Rindu pura-pura tertidur, ia tidak ingin melihat leo dalam keadaan dirinya yang tidak berdaya. Leo sedang berusaha mengancingkan kemeja, sedangkan rindu masih terdapat di tempat tidur hanya dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
“gue tau lo udah bangun. . jadi nggak perlu pura-pura . . dan gue ada urusan pagi ini, jadi lo pulang sendiri . . oke?!”
Rindu tidak bergerak, gadis itu merapatkan matanya. Leo tidak berencana untuk benar-benar membuat rindu bangun. Terserah, kalau gadis itu tetap mau seperti itu. Leo cepat-cepat mengenakan celana panjangnya
Rindu tidak bergerak, gadis itu merapatkan matanya. Leo tidak berencana untuk benar-benar membuat rindu bangun. Terserah, kalau gadis itu tetap mau seperti itu. Leo cepat-cepat mengenakan celana panjang, setelah dirasa seluruh pakaiannya rapih. Tanpa berkata apapun lagi, leo keluar kamar, sengaja menutup pintu dengan kuat.
Rindu akhirnya bisa bernafas lega, gadis itu bangun dengan selimut yang melilit tubuh telanjangnya. Melihat pantulan dirinya yang acak-acakan dari kaca besar dikamar itu. Mata rindu memerah, tapi tidak ada airmata yang keluar. Ia telah memulai api ini, hingga akhirnya menjadi terlalu besar dan membakar mereka. Rindu tidak sanggup memadamkannya atau bahkan berlari menghindar, semuanya sudah hancur berantakan. Rindu hanya bisa pasrah, dan memerima semua sakit ini.
Rindu menggelengkan kepala, mencoba mengembalikan akal sehatnya. Waktu berjalan tidak berhenti walau rindu sedang mengutuki dirinya sendiri. Ia harus tetap berangkat ke kantor. Tapi tidak dengan penampilannya seperti ini. Kalau semua orang dikantor melihatnya memakai pakaian yang sama, mereka pasti berfikir yang tidak-tidak.
-
Rindu keluar dari butik pakaian bersamaan dengan edo yang sedang berjalan searah dengan rindu. Keduanya saling bertatap canggung. Banyak yang ingin edo tanyakan, tapi laki-laki itu bingung harus mulai dari mana.
“kau sudah sarapan ?” akhirnya edo memilih untuk membicarakan hal yang ringan. Rindu mencengram erat pakaian lamanya didalam tas belanjaan. Seolah edo bisa mengetahui segalanya dari tas yang ia bawa.
“rindu ?” edo menanggil rindu sekali lagi.
“oh, iya mas edo . .” rindu kembali pada kesadarannya, “saya sudah sarapan. Terimakasih . .”
Rindu mempercepat langkahnya, saat edo dengan sengaja berjalan seirama dengannya. Rindu melirik sekilas kearah edo. Laki-laki paling menarik dikantornya. Lajang, karir yang baik, anak tunggal dari riwayat ayahnya pensiunan dari jendral angkatan darat.
Ingatan rindu melayang ke 2 tahun lalu, saat edo pertama kali menginjakkan kaki ditempat rindu bekerja. 12 departemen dikantor tersebut heboh dengan kedatangan laki-laki tampan yang menjadi list teratas perempuan jomblo di sana.
“perkenalkan, nama saya edo pamungkas. Umur saya 29 tahun, belum menikah, tinggal sendiri. Dan selalu terbuka untuk diajak makan malam bersama . .”
Perkenalanan unik dari edo membuatnya menjadi semakin terkenal, sikapnya yang ramah dan cendrung cerewet tidak seperti laki-laki pada umumnya justru membuat nyaman wanita yang dengan sengaja selalu mencari perhatiannya.
“hei . .” rindu mendelik pada laki-laki yang tiba-tiba akrab dengannya, “saya edo, manajer eksekutif bidang pemasaran . .” edo mengulurkan tangannya kedepan wajah rindu. Rindu mengacuhkannya dengan kembali menekuni laptop didepannya. “departemen kita emang jauh banget, dan mungkin nggak berkaitan satu sama lain, tapi pasti ada masa nya kamu yang cantik ini akan butuh saya, jadi lebih baik sebelum kita jadi canggung, berkenalan adalah solusi terbaik. .”
Rindu mendesah jengah, mungkin karna laki-laki ini baru jadi dia tidak mengenal reputasi rindu yang tidak pernah ramah pada siapapun, “rindu . .” jawabnya pendek.
“hah?, tapi saya tidak sedang rindu sama kamu . .”
Tanpa sadar rindu tertawa saat ingatan pertama kali mereka berdua, setelah itu wajah edo memerah padam, tapi justru itu yang mencairkan es penghalang yang sengaja rindu bangun.
“kok ketawa sih ?”
Rindu tergagap saat edo memperkoginya sedang tertawa sendiri. Edo melihat wanita yang salah tingkah justru membuatnya ikut tertawa. “apa sih yang kamu pikirin tadi?” edo semakin penasaran.
Rindu bukan wanita yang bisa tersenyum sesuka hati, mata gelap wanita itu selalu kelabu seolah topan selalu menerjangnya, mencekal kakinya dan melukai seluruh tubuhnya. Edo bukannya berlebihan karna selama edo berkerja disana, rindu tidak pernah bisa berbaur dengan karyawan lain. Sikapnya bagai es batu yang tidak goyah meski dihantam beberapa kali. Ia selalu menjaga jarak dengan lain, berbicara seperlunya tanpa bertanya lebih, namun justru edo melihat itu semua dengan cara yang unik. Ia selalu menganggap rindu seperti anak kecil yang sedang tersesat dan tidak mampu menemukan jalan pulang, maka edo akan berperan sebagai laki-laki dengan hati luar biasa yang akan menyelamatkannya. Itulah misi edo.
“tiba-tiba aja ingat waktu kita pertama kali kenal . ., wajah mas edo yang memerah ..” rindu berkata polos.
Edo berkenyit, mengutuki dirinya sendiri dalam hati karna bersikap bodoh saat perkenalan mereka. Saat itu edo hanya tidak menyangka, kalau wanita didepannya benar-benar bernama rindu, dia kira saat itu sedang ditanya bukan dijawab.
“sudah ya mas edo, saya duluan . .” rindu berjalan mendahului edo saat kantor bertingkat itu semakin dekat. Ia tidak ingin orang-orang kantor melihatnya berjalan berdampingan dengan edo. Tidak ingin edo mendapat omongan buruk karna berjalan bersamanya.
Edo hendak memanggil rindu, tapi teman-teman edo yang lain mulai berdatangan dan bercakap-cakap hingga edo mengurungkan niatnya. Dan hanya menatap pungung rindu yang semakin menghilang.
-
Leo menutup presentasi mengesankan di pagi itu dengan tepuk tangan meriah dari seluruh penjuru ruangan. Leo sedikit membungkukkan tubuhnya, bersikap sopan dengan senyum puas diwajahnya.
“bagus sekali pak leo . .” kata seorang laki-laki setengah baya, dengan akrilik direktur utama. Laki-laki tersebut mengulurkan tangannya, sebagai apresiasi pada hasil memuaskan dari leo.
Leo dengan cepat menyambar tangan direktur dan mengenggam erat, “terimakasih pak, terimakasih atas kesempatan yang bapak berikan. .”
Satu persatu orang-orang yang ada didalam ruangan itu bersalaman dengan bergantian. Meninggalkan leo dengan ucapan selamat.
“gila bro . .” andri tidak bersalaman seperti yang lainnya, sahabat leo yang satu ini justru menepuk-nepuk pungung leo dengan keras. Leo meringis, tapi tidak berniat membalas andri.
“lo emang parah banget sih tadi. . presentasi lo perfect.., gue liat tadi pak dirut bowo puas sama kerja lo . ., pake dukun mana sih ?”
Leo tertawa terbahak-bahak sambil tangannya merapikan laptop dan berkas, “bawel lo. . mau gue traktir atau nggak nih ?”
Andri mengangguk cepat tanpa berfikir. Dan membuat gerakan seperti mengunci mulutnya, hingga membuat leo harus menyeret andri agar cepat keluar dari ruang rapat.
Dengan mobil andri, keduannya sampai disebuah restaurant di daerah kuningan. Rumah makan adat sunda sudah hampir dipenuhi oleh pengunjung. Leo dan andri mengambil tempat di sudut kiri yang berbatasan langsung dengan taman restaurant. Leo mengamati aktivitas di taman itu dengan diam, ada anak yang bermain dan ada juga pasangan muda yang sedang bercengrama di bangku taman dengan gembira. Leo tidak bermaksud melihat pasangan muda itu, tapi ujung matanya selalu menangkap adengan demi adegan tanpa izin. Kepala nya kembali memutar kenangan yang hampir ia lupakan.
Jasmine menyandarkan kepalanya pada pundak leo. Leo sendiri sedang asik dengan laptop didepannya.
jasmine merengut bosan, saat leo sedang fokus maka tidak ada yang bisa menganggunya.
“kalau kita nikah nanti, kamu mau punya anak berapa ?” jasmine bersuara memecah keheningan.
Tangan leo diatas tuns keyboard langsung berhenti, pertanyaan jasmine membuat dirinya juga berhenti bernafas, leo masih terdiam dengan mulut yang terkunci rapat.
“kok malah diem sih ?” jasmine menyadari tubuh leo yang tiba-tiba menjadi kaku.
Leo memutar isi kepalanya, mencari jawaban terbaik, “ya, kaget aja tiba-tiba kamu nanya begitu . .” kilah leo. Menikah?, punya anak?. Leo menggeleng samar, bahkan memacari jasmine adalah rencana candangan yang tidak ia inginkan. Sebagai seorang yang baru mengembangkan karier, menjalin hubungan sama saja seperti mengikat dirinya sendiri.
“kok kaget ?, emang kamu nggak mau nikah sama aku ?” sunggut jasmine.
Leo menarik nafas dalam dan menghembuskannya keras. Ini yang membuat leo tidak pernah mengidealkan wanita macam jasmine. Terlalu fairytale. Menikah dan bahagia semalanya, mana ada omong kosong macam itu. Tapi leo menelan cepat kata-kata yang mungkin menyakitkan jasmine. “Jangan sekarang, gue masih membutuhkan gadis ini. .” pikir leo pada dirinya sendiri.
Leo menarik jasmine agar semakin mendekat padanya, dan memulai peran sebagai pacar idaman, “bukan begitu . . aku sangat memikirkan hubungan kita, karna itu aku bekerja keras sekarang. . setelah aku memiliki segala, kita bisa merencanakan masa depan yang indah bersama. .”
Jasmine menunduk, bermain-main dengan ujung bajunya, “tidak bisakah hanya aku ?, aku adalah hal pertama yang kau usahakan . .”
“woi, makan itu nggak boleh sambil bengong. .pamali . .” teguran andri dengan mulut penuh makanan mengembalikan kesadaran leo. Kenangan tentang jasmine datang tanpa permisi. Kembali mengetuk hatinya dan membuka luka leo yang selalu ia tutupi.
“makan dan bicara itu harus gantian, pamali dilakuin bersamaan. .” leo membalas dengan acuh. Andri seolah tidak terganggu melanjutkan makanan yang ada dipiringnya.
Baru saja leo mengambil sendok, ponselnya berdering. “om browo” nama yang berkedip disana. Segera leo menyambar ponselnya, berdiri agak menjauhi andri.
“ia om ?” jawab leo sopan.
“kemari, ada yang ingin saya sampaikan. .”
-