LXII
Ruang kerja raja Banadis,
Tampak dari luar penerang di ruangan itu masih menyala.
Padahal malam sudah larut untuk beraktifitas.
Tuan Rakat penasaran. “Siapa yang ada di ruangan kerja malam – malam begini?”
Beliau berdiri diam di ambang pintu.
Melihat pembantu tugasnya sedang mengerjakan sesuatu.
Yang membuat penguasa Banadis itu tidak habis pikir, dengan santainya Rasti duduk di kursi kerja dirinya.
Tampak tenang, dan menghayati perannya.
Seolah – olah cewek itu sudah pantas duduk di kursi tempat Tuan Rakat bekerja.
“Kamu kayaknya menikmati banget ya, Ras,”
Cewek itu bengong. “Astaga!, Maaf, Tuan Rakat,, Maaf,,”
Rasti segera meraih dokumen – dokumen itu dan berpindah tempat duduk.
Tuan Rakat melangkah masuk,
Lalu duduk di hadapan kursi kerja beliau.
Sambil melihat Rasti. “Kenapa kamu pindah duduk di sana?”
Tampak gugup. “Maaf, tuan,, Tadi saya tidak sengaja,”
“Bagaimana rasanya duduk di sini tadi?”
“Tidak ada rasanya, tuan. Hanya lebih empuk saja.”
“Saya pingin kamu jujur, Bagaimana perasaan kamu waktu duduk di kursi itu?”
“Mm,, Mm,, Sayaa, sayaa, hanya lebih bisa menghayati bagaimana Tuan Rakat bekerja,”
“Hahaha,,” Tuan Rakat beranjak dari duduknya.
Berjalan menuju tempat minuman.
Dengan membawa segelas minuman Tuan Rakat menghampiri cewek itu.
“Tapi kamu juga harus mencoba ini,” Menyerahkan gelas minuman kepada Rasti.
“Maaf, tuan,, saya tidak minum,”
“Cobalah sedikit,”
Terpaksa, Rasti menerima gelas minuman itu.
Lalu menghirup sedikit isinya.
“Hahaha,,” Tuan Rakat tertawa melihat ekspresi Rasti saat meminum anggur itu.
“Gimana rasanya?”
“Lumayan, tuan,,”
“Haha,, Jangan lupa untuk beristirahat,”, ucap Tuan Rakat.
Beliau beranjak dari kursi, lalu keluar dari ruangan itu.
LXIII
Distrik Banyu Biru,
Terasa hening dan tenang,
Suatu lokasi untuk menempuh jalan spiritual.
Dengan latar pohon – pohon pinus yang menjulang.
Walaupun terisolir, Tapi kesadaran yang hakiki ada di tempat nan damai itu.
Seolah – olah manusia langsung ditunjukkan oleh tuhan, yang benar atau yang salah,
Setelah selesai bermeditasi,
Yoslin melangkah keluar rumah.
Dirinya melihat angkasa.
Puluhan bintang tampak bekerlap – kerlip.
Juga dewi rembulan terlihat utuh sebagian pada langit malam.
Rasa cintaku, Rasa sayangku,
Sedang menggodaku,
Jarakku dan dirinya hanya sebatas tembok – tembok bata,
Tapi menemui mu, terasa dibentangkan begitu jauh,
Bahkan melebihi titik terdekat langit dan bumi.
Sungguh aku hendak mencumbumu, sekali lagi,
Mengungkapkan diriku atas buah cinta kita,
Kesenangan dan kehangatan kita waktu dulu telah bertunas,
Ada siapakah dengan dirimu di sana malam ini?,
Aku ingin menemani tidurmu nan lembut itu,
Adakah yang membangunkanmu dalam mimpi gelisahmu,
Sungguh aku ingin memberikan ketenangan pada kerapuhanmu,
Yoslin kembali melangkah ke dalam rumah.
Udara nan dingin terasa mulai mengharukan jiwa.
LXIV
Entah makhluk apa yang telah membawa kesadaran Rasti,
Dengan berani dirinya menuju ke suatu tempat.
Lokasi yang harusnya hanya untuk seseorang saja.
Di antara rasa inginnya Rasti menyusuri lorong istana.
Sungguh beruntung,
Apa yang diinginkan masih terjaga.
Dengan perlahan – lahan Rasti mendekati seseorang itu.
Tampak seseorang itu sedang termenung.
Raut muka nan garang itu layaknya serigala yang merindukan koloninya.
Sedih, namun tampak tegar.
Sungguh tampilan itu membuat Rasti ingin terus mendekat.
“Tuan,, Tuan belum tidur?”
Terkejut. Lamunan beliau buyar. “Oh, kamu,, Ada apa kamu kemari?”
Berucap, “Ohh, Saya hanya tertarik kemari, melihat tuan termenung dari seberang sana,”
“Ohh, jadi kamu sedang memata – matai saya,”
“Untuk apa memata – matai tuannya sendiri? Saya cuma sedang menghayati tuan saja,”
“Huh, Tak mengapalah,, Silakan hayati sesuka dirimu,”
Tuan Rakat kembali melayangkan pandangan ke angkasa.
“Tuan mau,?” Menyodorkan minuman.
Laki – laki garang itu melihat perbuatan Rasti.
“Oh, maaf,, ini sudah bekas gelas saya,”, ucap cewek itu.
Tidak disangka olehnya, Tuan Rakat akan meraih gelas bekas itu.
Lalu, tanpa ragu menenggak isinya.
“Egh,, rasanya tidak sebagus tuangan pertama tadi,”
“Apa tuan selalu begitu? Selalu menginginkan tuangan pertama yang bagus?”
“Memang tuangan yang pertama mengandung kebanggaan dalam diri.”
“Tadi tuan sudah menuangkan tuangan yang pertama untuk saya, Mungkin saya bisa menuangkan yang pertama kali kepada tuan,”
“Terkadang tuangan air panas untuk yang pertama kali bisa membakar kulit,”
“Apakah ini mengenai nona Yoslin?”
Tiba – tiba, “Prakk,!” Gelas itu dipukulkan pada pinggiran balkon.
“Jaga bicaramu itu,! Jangan pernah menyebut nama Yoslin di hadapanku lagi,!”
Tersentak. Tanpa disadari air mata Rasti tumpah.
“Maaf, tuan,, Maaf,,” Segera cewek itu berlari, menjauhi Tuan Rakat.
Menjadi pilu. “Ya tuhan,, apa yang telah aku lakukan?”
LXV
Esok harinya,
Ruang kerja itu masih sepi.
Tidak ada kegiatan, ataupun eksistensi seseorang.
Tuan Rakat memasuki ruangan itu.
Terheran – heran. “Kemana Rasti? Biasanya sudah ada jam segini,”
Beliau duduk di kursi kerja.
Meraih dokumen – dokumen kerajaan.
Melihat sekilas satu per satu tumpukan dokumen itu.
“Hmm,, Bagus, Sesuai semua,,”
Tuan Rakat mengembalikan tumpukan dokumen ke tempatnya.
Kemudian beliau melihat pembukuan kerajaan.
Kali ini Tuan Rakat melihatnya dengan teliti. “Hmm,, bagus, Kayaknya sudah pas semua,”
“Ternyata ada peningkatan yang luar biasa dari kerajaan di timur itu,”
Teringat seseorang.
Menghela nafas. “Tapi tampaknya aku harus melakukan sesuatu terhadap Alap – Alap,”
“Selalu saja pembukuannya tidak benar, padahal sudah dikasih pembantu tugas,”
“Apa aku pindahkan lagi Alap – Alap ke Alas Matuk ya,?”
Spontan, “Yar, gimana ,, ”
“Ya ampun,, Tayar kan lagi nyari Yoslin,”
“Bagaimana ya pencarian mereka itu? Sudah lebih dari 30 hari kok belum melapor,”
Tuan Rakat merasa ada yang aneh dengan pencarian itu.
“Mereka sebenarnya berhasil menemukan Yoslin atau enggak ya,?”
“Bisa – bisa aku kehilangan dua orang anak buahku kalo mereka tidak kembali ke Banadis,”
LXVI
Beberapa jam kemudian,
Tuan Rakat sudah pada batas kesabarannya.
Beliau tidak dapat memberikan toleransi lagi pada Rasti.
Dokumen – dokumen semakin menumpuk.
Juga pemesanan SoF harus segera dibukukan.
Dengan kesal Tuan Rakat mendatangi rumah cewek itu.
“Dok,! Dok,! Dok,!”
“Rasti, Rasti,”
Sekali lagi. “Dok,! Dok,! Dok,!”
“Rasti, kamu ada di dalam? Rasti,!”
“Dok,! Dok,! Dok,!”
“Rasti, buka pintunya,!”
Semakin kesal,
“Rasti,! Atas nama kerajaan Banadis buka pintunya, atau pintu ini saya dobrak,”
Tidak lama pintu itu dibuka dari dalam.
Dengan mata sembap Rasti menghadap rajanya.
“Rasti, kenapa kamu tidak hadir di ruang kerja?”
Cewek itu tidak menjawab.
“Rasti, kamu dengar apa yang saya katakan,?”
Cewek itu masih tidak menjawab.
“Rasti,! Apa kamu dengar perkataan saya!? Kenapa kamu tidak hadir hari ini?!”
“Tuan bisa mendapatkan kepatuhan saya, tapi tidak perasaan saya,”
Mendengar ucapan itu sontak ego beliau tersayat – sayat.
Laki – laki itu menjadi kalap.
Tanpa sadar Tuan Rakat mencekik Rasti.
Dan membenturkan tubuh cewek itu ke arah dinding.
“Auw,! Tuan,”, jerit Rasti.
Cewek itu merasakan sakit pada punggungnya.
Tuan Rakat berbicara berhadapan muka dengan Rasti.
“Apa maksudmu aku tidak bisa mendapatkan perasaanmu?!,”
“Aku akan mendapatkan perasaanmu,! Aku akan mendapatkan perasaanmu sekarang juga,!”
Tuan Rakat melepas cekikannya, lalu menarik lengan kanan cewek itu masuk ke dalam rumah.
Dengan tertarik – tarik Rasti mengikuti langkah marah tuannya itu.
LXVIII
Ketika kesadaran telah kembali pada tempatnya,
Tuan Rakat duduk di samping perempuan yang baru saja disiksanya.
“Apa kamu tidak menyesalinya, Ras?”
Dengan tatapan ketegasan yang penuh cewek itu berucap,
“Tidak, tuan,, Saya justru bangga bisa memberikan tuangan yang pertama untuk tuan.”
“Tapi suatu saat kamu pasti akan merasakan panasnya, Rasti.”
“Saya sudah siap, tuan,, Tinggal tuan nanti berbuat apa terhadap saya dan kehormatan saya,”
Tuan Rakat merasa terharu.
Beliau seolah – olah mendapatkan Banadis dari eksistensinya.
Kerapuhan yang dulu meluluhlantahkan kesadaran, seakan – akan ditopang tanpa syarat oleh cewek itu.
“Rasti, sungguh jika aku tidak bisa memberikan kehormatan itu, kamu terbaslah saja kepalaku ini,”
“Tuan patut mencobanya, dan berusaha mendapatkan kehormatan untuk saya, Tuan sudah berjanji,”
“Baiklah, Rasti,, Baiklah,, Kamu akan mendapatkan kehormatan itu,”
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan