XLV
Sebagai langkah awal mereka mencari target di distrik Gebyah dan Bengkolan.
Dengan tersenyum – senyum Alap – Alap masuk ke ruang kerja pengampu Bengkolan.
“Bos Nawangg,, aku punya sesuatu yang bakal bikin kamu iri, bos Nawangg,,”
“Halah,, Kamu itu apa to, Alap – Alap? Bisa bikin iri aku gimana?,”
Sambil Nawang sibuk mendata orang – orang di Bengkolan.
“Tahu enggak, bos Nawang? Aku ditugasi Tuan Rakat untuk ngurusi Jegrek selama Jedeng pergi,”
“Heh?, Mosok, Lap? Kok enak sih,?”
“Wk wk wk,, enak dongg,,”, sahut Alap – Alap.
“Halah, paling sebentar kamu kembali ngurusi Alas Matuk.”
“Haha,, Nggak pa – pa,, Yang penting aku pernah ngerasain nikmatnya ada di Jegrek yang banjir bandang itu,”
“Kamu kok malah seneng to Alap – Alap dipindah ke Jegrek?, Aku aja pusing mikirin pesenan yang non stop itu,”, sahut Jedeng.
“Haha,, pusingnya kan sebanding sama nilainya, daripada di Alas matuk, Udah capek, bau tapi nilainya kecil tok,”
“Oh, Kalo aku mudeng masalah hutan aku mau kok tukar sama kamu,”
“?? Kamu masih ditugasi nyari Yoslin dua hari udah gesrek gitu, Apa nggak salah kamu mau ninggalin tambang emasnya Banadis?”
“Kamu nggak tau sih, Wang? Di sana itu kamu harus melek 24 jam,”
“Bener itu, Wang,, Tapi kalo kamu mau besok tak rekomendasikan ke Tuan Rakat,”
“?? Nggak jadi, nggak jadi,, Banyak koin tapi penyakitan sama juga bohong,”
“Lha tadi katanya kamu pingin tempat yang banjir bandang gitu?”, ejek Tayar, sambil ikut mendata.
“Nggak, nggak,, Nggak jadi, Enakan di sini,”
“Huuhh,, Dasar kamu itu yang males,”
“Bukan masalah males, Yar,, Kerja kalo 24 jam itu sama saja dengan bunuh diri,”
XLVI
Persinggahan kedua, markas Ki Lanang di Alas Purna.
Sambil menikmati kopi panas di sore hari,
“Ohh, Yoslin kabur to, Pantesan saya kemarin ke Banadis Tuan Rakat aneh gitu,”
“Iya, Ki,, Ini kami sudah 4 hari nyari tapi belum ketemu juga,”
“Apa Ki Lanang tahu asalnya Yoslin darimana?”
Jedeng tampak begitu menghayati wanginya aroma kopi pedesaan.
“Kalo Yoslin tu anak dusun Accita aja, Sebelah utara Alas Purna ini,, Apa kalian mau mencari kesana?”
“Ya dicoba, Ki,, Kalo ada,”
“Tapi dusun itu sendiri kayaknya udah kosong lo,”
“Kok bisa kosong, Ki?”
“Yaa, karena nggak ada pemasukan dari tempat itu, Mereka kayaknya semua ke barat sana,”
Jedeng meraih satu getuk bakar.
“Oh gitu, Kami tetap mau ke sana saja, Ki,, Sekalian lihat – lihat,”
“Ya, ya,, Silakan, silakan,, Moga cepet ditemukan saja itu Yoslin, Takutnya Tuan Rakat nanti stop pesen cewek – cewek sama saya,”
“Haha,, Siap, Ki,, Siap,,”
XLVII
Dusun Accita,
Tampak sunyi, Tidak ada kehidupan di tempat itu.
Gubuk – gubuk telah roboh,
Hanya terlihat alang – alang yang tumbuh subur, menutupi jalan dusun.
Tidak ada yang bisa diharapkan dari tempat itu.
Seolah – olah dusun itu adalah sisa – sisa ketidakberpihakan manusia pada yang lemah.
Tayar menghela nafas.
“Mau nyari kemana lagi ini?”
Seolah – olah penampilan dusun yang luluh lantah itu sama dengan diri Tayar.
Sebentar lagi akan dibuang oleh Tuan Rakat hanya karena seorang cewek penghibur.
“Sabar, Yarr,, Kita harus tetap punya keyakinan,”
“Aku mati kemarin itu, atau mati besok juga sama saja,”
Tampaknya tragedi pedang di ruang kerja itu masih berbekas kuat.
Dengan menampilkan karakter layaknya matahari pagi,
“Ya beda dong, Yar,, Kalo mati besok kita kan sudah berusaha,”
“Huh, Omong kosong kamu itu, Apa coba yang harus kita laporkan sekarang?”
“Ini masih 5 hari, Yar,, Masih banyak waktu untuk mencari,”
“Iya, karena memang waktunya nggak dibatasi,”
Tampak kesal. “Sudah, Mau kemana lagi sekarang?”
“Kalo kita ke barat trus nanti balik ke Banadis lewat Tamora, gimana?”
“Iya lah, terserah kamu saja,”
Mereka kembali melanjutkan perjalanan.
Tampaknya Tayar sudah kehilangan separuh lebih asanya.
XLVIII
Bagian selatan Banadis,
Operasional tidak selancar biasanya.
Pengampu Alas Matuk tampak kesulitan dengan ritme kerja di selatan Banadis.
Biasanya dirinya hanya bekerja memotong kayu selama 5 jam sudah selesai, Sekarang laki – laki itu harus duduk berjam – jam di belakang meja hingga bosan.
Orpyar menjadi kasihan melihat rekannya mengurusi pengiriman yang tiada habisnya.
“Gimana? Masih kuat, bos Alap – Alap?”
“??, Kamu apa nggak lihat kantung mata ini?”
“Haha,, Masak kamu sama Jedeng saja kalah sih?”
“Aku nggak nyangka bakal segila ini ngurusi Jegrek, Rahasianya Jedeng tu apa sih? Kok bisa dia ngurusi dokumen – dokumen segini banyaknya, Belum lagi ngisi pembukuan yang njlimet ini, Kayaknya aku minta kembali saja ke Alas Matuk sama Tuan Rakat kalo begini ternyata rasanya,”
“Haha,, Lha trus yang nggantiin kamu siapa di sini?”
“Paling Nawang,”
“Aduh, Kamu aja udah kacau balau gitu, apalagi Nawang,”
“Biar aja, Biar pusing sekalian,”
“Lha apa Jedeng masih lama kembalinya?”
“Nggak tahu, Dianya lagi dimana aku juga nggak tau,”
“Emang cinta itu seperti itu, Bikin yang simpel dari rumit kayak gini,, Apa Tuan Rakat itu nggak baiknya cari cewek lagi yang lebih sederajat gitu?”, ucap Orpyar.
“Aku nggak mau ngomongin itu, Pusing aku mikirnya,, Mikir ini aja udah bikin aku gesrek akut,” Alap – Alap hampir habis fokusnya karena tugas itu.
XLIX
Ruang kerja raja Banadis,
“Tuan, kalo saya minta pembantu tugas di Jegrek apa diizinkan?”
“Apa kamu nggak bisa ngurusi Jegrek, bos Alap – Alap?”
“Maaf, tuan,, Mungkin saya kurang cocok dengan kerja di belakang meja,”
“Jadi mau kamu apa?” Tuan Rakat tampak pusing melihat pembukuan Alap – Alap.
“Saya minta kembali ke Alas Matuk saja, tuan.”
Menghela nafas. “Iya, iya,, nanti saya kasih kamu pembantu tugas di Jegrek.”
“Terima kasih, tuan,, Saya permisi dulu,”
“Ya,”, sahut Tuan Rakat, sibuk membenarkan pembukuan Jegrek.
Beliau melihat dokumen bertumpuk – tumpuk,
“Ya ampunn,, Apa aku salah ya nyuruh mereka berdua nyari Yoslin?”
“Ruang kerja ini jadi nggak keurus gini,”
Tuan Rakat tampak kurang berkenan dengan banyaknya gelas – gelas kotor di meja bulat.
Juga sisa – sisa camilan semalam yang berceceran.
“Kayaknya aku harus nambah satu pembantu tugas lagi yang bisa dipercaya,”
Tuan Rakat melanjutkan tugas – tugasnya.
Dengan diniat – niatkan beliau membenahi pembukuan itu.
Juga menyortir dokumen – dokumen kerajaan yang bersifat biasa atau rahasia.
L
Suatu hari,
Ketika matahari senja semakin tenggelam di ufuk barat.
Orpyar melihat rekannya ada di ambang pintu ruang kerjanya.
“Tayarr,, Gimana kabarnya?” Menghaturkan jabat tangan.
Menyambut jabat tangan rekannya. “Ancur,”, sahut laki – laki itu, telah sirna asanya.
“Gimana ketemu?” Orpyar mempersilakan rekan – rekannya masuk ke ruangan.
“Enggak, Nggak ada di manapun,”
“Iya, kami sudah nyari di Las Kontras dan Bas Nandas juga nihil,”
Tayar tampak kesal.
Berucap, “Mungkin tu cewek udah dimakan binatang buas di suatu tempat.”
Sambil Orpyar menyiapkan minuman.
“Sabar, Yarr,, Sabar,, masih ada Persekutuan Darmasih dan Perserikatan Cilikan yang belum kalian selidiki,”
“Ah, udah males aku, Aku pingin ke Patic aja,”
“Mau apa kamu ke Patic?”
“Nggak tau,, Mau cari kerja yang nggak ngeselin gini, Gara – gara satu cewek aja hidup jadi nggak tentu gini,”
“Tapi omongannya Orpyar betul juga, Kenapa sehabis dari Accita kita nggak mampir dulu ke Cilikan,?”
“Mau apa ke Cilikan? Belajar santet?, Nggak penting banget,”
“Ya siapa tahu di Cilikan kita bisa ketemu Yoslin,”
“Nggak mungkin itu, Mana bisa dia hidup sederhana di Cilikan, Orang sehari – harinya dia menor gitu dandannya,”
“Itu kan waktu dia di Banadis, Mungkin dia udah berubah jadi orang udik lagi,”
“Halah, Mungkin dianya tu lagi seneng – seneng sama cowok di persekutuan Darmasih, Cari saja tu di salah satu kerajaan di sana pasti ketemu,”
“Sabar, Yarr,, Sabar,, Ini dinikmati dulu biar pikiran kalian seger lagi.”
Orpyar meletakkan tiga shoot minuman keras di sebuah meja, dengan camilan beberapa pil Ora – Ora.
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan