XXIII
Suatu hari,
Ketika perdagangan ilegal di selatan Banadis mulai ramai.
Tiba – tiba, “Kamu kayaknya tambah sibuk saja, Deng.”
Terkejut. Jedeng melihat ke arah pintu.
“Oh, kamu, Orp,, Kapan datang?”
Beranjak dari kursi. Jedeng menyambut rekannya.
Orpyar membalas jabat tangan itu.
“Baru aja, Lagi sibuk ya?”
“Ya biasalah, ngurusi masalah pengiriman.”
Jedeng mengajak rekannya itu untuk duduk dan minum – minum.
“Haha,, sejak Sinter aman, kamu tambah eksis saja.”
“Haha,, iya,, Untung yang mimpin Sinter sekarang pro banget sama kita.”
“Haha,, Aku yang mprovokatori supaya Ndantak mau kudeta.”
Sambil meraih gula – gula. “Haha,, Dan kayaknya rencana itu berhasil,, Tamora pasti tambah gendut nih,”
“Haha,, jelas dong,” Menenggak minuman keras.
“Aku nggak nyangka lo dulu kalo Jegrek ini bakal ramai.”
“Iya, aku juga nggak nyangka aku bisa masuk sampe Boralisa. Dulu sampe sini aja aku bisa bergerak. Mau ke Banadis jalannya belum ada.”
“Iya, memang Tuan Rakat visinya luar biasa banget. Nggak kebayang Jegrek ini tambang emasnya Banadis sekarang.”
“Iya, Hahaha,,” Orpyar kembali menenggak minuman keras. “Eh, Deng,, Aku mbok dibantu buat ngirim barang ke Urania.”
“Haduuhh, kayaknya berat, Orp,, Bandit – bandit di Karang Tengkorak itu sadis – sadis. Anak buahku pada nggak mau kesana,”, sahut Jedeng.
Orpyar meraih gula – gula.
“Iya sihh,, kayaknya aku mentok nih sampe Boralisa aja.”
“Ya kamu coba ke barat to,”
“Haduh, berat, Deng,, Orang – orang di sana tingkatannya bukan distrik lagi tapi kerajaan, cuma Tuan Kandar yang mampu nanganni.”
“Haa,, Aku punya ide,, Sambil kamu mantepin Boralisa, kamu ngikuti Tuan Kandar cara ngatasi orang – orang barat itu.”
“Tuan Kandar udah punya murid sendiri, Deng.”
“Nggak pa – pa, Kamu ngikuti aja, Sambil keliling – keliling, dan tunjukin kalo kamu itu antusias sama Tuan Kandar. Siapa tahu Tuan Kandar jadi lebih greget sama kamu.”
“Mm,, Gitu ya,, Iya deh, aku coba,”
“Sipp,”, sahut Jedeng, bersimpati.
XXIV
Orpyar melanjutkan kunjungannya ke Sinter,
Sungguh langit senja memberi nuansa nan berbeda.
Teduh dan terasa merilekskan.
Ketegangan sepanjang hari menjadi reda.
Apalagi hembusan angin sore memberi kehangatan yang unik.
Membuat sepasang mata ingin terpejam sejenak.
Untuk bersiap menyambut malam hari yang gemerlap dan menggelora.
Orpyar melihat rekannya sedang terlelap pada kursi bersandar.
Perlahan – lahan laki – laki itu menempatkan diri di dekat Ndantak.
Penguasa Sinter itu terkejut.
Suara khas anyaman bambu membangunkannya.
“Lagi santai aja, Ndantak?”, sapa Orpyar.
Memenuhkan kesadaran. “Hemm,, kamu, Orp,, Ada apa?”
“Cuma numpang lewat aja,”
“Nggak mungkin kamu jauh – jauh ke sini cuma mampir saja.”
“Haha,, anda tahu aja, Ndantak.”
Tuan Ndantak memerintahkan pengawalnya membawakan sesuatu dari markas.
“Ini,, aku mau ngajak kamu ngurusi Karang Tengkorak.”
“Huuhh,, tempat bar – bar itu,”
“Lha gimana? Kapal – kapal kamu katanya kesulitan kan kalo mau berlayar di tepian pulau?”
“Iya, aku kalo mau ke timur harus jauh ke tengah dulu.”
“Itu maksud aku, Jadinya kamu bisa bergerak di tepi pulau.”
“Lha untungnya buat kamu apa?”
“Hehe,, anda kayak bisa baca pikiran saya.”
Seorang pengawal Ndantak tampak membawakan dua buah kelapa muda dan rumput laut.
“Ayo, Orp,, Sambil dimakan lo,”
“Oh ya, ya,, Makasih,,” Orpyar meraih kelapa muda nan menyegarkan.
“Tadi gimana, Orp?”
“Ya itu, maksudku aku pingin masuk Urania”
“Cari mati kamu kalo mau lewat jalur Karang Tengkorak.”
“Lha gimana? Mau lewat tengah juga sama aja hancur, dipatroli sama persekutuan.”
“Betul juga ya,”, sahut Tuan Ndantak.
Tampaknya Orpyar benar – benar menemui jalan buntu.
“Oh ya, Aku inget,, Aku pernah denger rumor kalo kerajaan – kerajaan pesisir mau berbisnis di sekitaran sini, tapi ya itu takut sama bandit – bandit Karang Tengkorak.” Sambil penguasa Sinter menikmati rumput laut.
“Nha,, Tuan Ndantak, mbok dilobi mereka supaya mau bayar kerja sama buat nyewa tentaranya Banadis.”
“Aku juga sebenarnya kepikiran itu, Tapi menurut perhitungan saya ya, Kalo mau menyerang Karang Tengkorak paling nggak Tuan Rakat harus menugaskan minimal empat tim tentaranya. Nha, kamu kan tahu sendiri untuk misi seperti itu pasti satu timnya akan dihargai mahal, trus gimana kita mau bayar empat tim sekaligus,? Belum lagi resikonya berhasil atau tidak,”
“Iya sih, perhitungan kamu itu ada benernya, karena itu kamu lobi aja kerajaan – kerajaan pesisir itu supaya mau kerjasama nyewa tentaranya Banadis.”
“Haha,, Iya deh, Iya,, Aku usahakan ya,”
“Haha,, siap,,”, sahut Orpyar. “Oh ya, btw,, ada barang baru apa nih buat kasino aku?”
“Masih kosong, Orp. Kayaknya kamu bakal nunggu empat bulan lagi.”
“Yahh,, lama amat, Mumpung aku lagi greget nih,”, sahut Orpyar.
“Haha,, kamu itu,, Santai – santai dikitlah,”
XXV
Ketika Tuan Ndantak sedang ingin ikut berlayar,
Duduk menyandar pada sebuah kursi anyam.
Sambil Tuan Ndantak menikmati semilir angin.
Sang surya yang terik dihalau oleh rimbunnya nyiur.
Penguasa Sinter itu serasa sedang berada di alam surga.
“Permisi, tuan,, Ada yang ingin bertemu,”
Tuan Ndantak melihat ke sisi kirinya.
Segera penguasa Sinter itu beranjak dari sandaran.
Dengan ramah beliau menyambut rekannya.
“Siang, Tuan Pocur,, Haha,, Apa kabar?” Menghaturkan jabat tangan.
Penguasa Patic itu tampak senang disambut dengan ramah.
“Baik, tuan,, Baik,, Senang bisa bertemu, tuan.”, ucap beliau.
“Saya yang justru merasa terhormat tuan mau jauh – jauh ke sini,”
Penguasa Sinter itu mengajak rekannya untuk duduk.
“Iya, Saya kesulitan bertemu tuan selama ini,” Tuan Pocur menempatkan diri di sebelah kiri rekannya.
“Iya, tuan,, saya juga ini kebetulan ingin ikut berlayar, Susah kalo harus melewati Uramas, Terlalu jauh,”
“Betul sekali, tuan,, Bandit – bandit yang ada di Karang Tengkorak itu memang menjengkelkan sekali.”
“Iya, Saya hendak berantas mereka tapi tak mengerti harus bagaimana, Markas mereka itu terlalu membingungkan akal,”
“Aduuhh,, Susah, tuan,, Saya pernah coba tapi gagal,, Hutan itu seolah – olah sudah menjadi rumah mereka,, Pasukan saya tak berdaya di dalamnya.”
Seorang pelayan menghampiri tempat para penguasa itu berbincang lalu meletakkan sepiring camilan dan dua gelas minum di atas meja.
Dengan rela hati Tuan Ndantak menghaturkan terima kasih.
“Jika tuan berkenan kita bisa minta bantuan Banadis dengan tentara – tentara bayarannya.”, ucap beliau.
“Apakah itu bisa berhasil, tuan? Kami akan rugi besar jika tidak terwujud,” Tuan Pocur harap – harap cemas.
“Saya tidak berani menjamin, Tuan Pocur. Saya belum berbicara langsung dengan Tuan Rakat.” Sambil penguasa Sinter itu menikmati serbat kolang – kaling.
“Mungkin jika harganya sesuai ide menyewa tentara bayaran dari Banadis itu bisa diwujudkan untuk menguasai Karang Tengkorak.”
Sungguh kesepakatan itu sudah berjalan,
Tinggal menunggu kemauan dari Banadis.
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan