XIX
Semotas,
Sebuah pelabuhan kecil di utara Perserikatan Cilikan.
Tampak terbengkalai tempat itu.
Juga aura kematian terasa sangat menyengat.
Ditambah lagi rimbunnya pepohonan besar menjadikan tempat itu terasa menyeramkan.
“Sejak kapan pelabuhan ini terbengkalai, pak Doyoh?”
“Aduh,, Sudah lama sekali, nona,, Mungkin 10 tahunan.”
“Siapa yang terakhir kali mengoperasikan pelabuhan ini, pak?,”
“Orang – orang dari barat, nona. Tapi karena tidak menguntungkan pelabuhan ini ditinggalkan.”
Dona merasa semakin tidak nyaman.
Dirinya menghentikan langkah, tidak jadi masuk lebih dalam ke tempat itu.
Kembali ke luar teritorial radiasi gaib,
Sambil mereka bertiga mengamati bagian – bagian tempat berhantu itu.
“Sudah tidak ada kapalnya lagi ya, pak,”
“Iya, nona,, hanya tersisa bangunan saja, Itupun tampaknya sudah rusak.”
Energi Dona menelisik tempat itu.
“Apa dulu tempat itu pernah dijadikan tempat persembahan, pak?”
Sambil penasehat perserikatan mengingat – ingat sesuatu,
“Kemungkinan iya, nona,, Biasanya dukun – dukun dari Cimbrit mencari kesaktian di tempat itu.”
Menghela nafas. “Sayang sekali, padahal bisa kita manfaatkan untuk perkembangan kelautan kita,”
XX
Ketika rombongan Dona melintasi tepi Alas Purna,
Dona melihat tiga karavan keluar dari hutan itu.
Bertanya – tanya, “Karavan – karavan siapa itu, pak?”
“Oh, itu karavan – karavan milik Ki Lanang, nona.”, jawab penasehat perserikatan.
“Ki Lanang itu siapa, pak?” Dona merasakan keanehan di dalam karavan – karavan itu.
“Ki Lanang itu makelar perempuan – perempuan, nona.”
“?? Maksud pak Doyoh, Ki Lanang itu menjual perempuan – perempuan?”
“Iya, nona Dona,, seperti itu kira – kira,”
Agak marah. “Astagaa, benar – benar bejat laki – laki itu.”
“Lalu, biasanya kemana saja Ki Lanang menjual perempuan – perempuan itu?”
“Ke seluruh Nusantara, nona,, Tapi kebanyakan dijual ke Banadis.”
“Astagaa,, Banadis?,”, sahut Dona, tidak menyangka.
“Iya, nona,, menurut rumor yang beredar penguasa Banadis pemasok terbesar perempuan – perempuan dari Ki Lanang.”
Dona menjadi sedih mendengar kenyataan itu.
Ingin dirinya suatu saat nanti membebaskan perempuan – perempuan itu dari kemalangan.
“Lalu dimana letak tempat tinggal Ki Lanang?”
“Nona masuk saja ke hutan itu, nanti akan ada pondok – pondok kecil di dalamnya. Dan kelihatannya pondok yang paling besar itu tempat Ki Lanang tinggal.”
XXI
Setelah melewati Alas Purna, rombongan Dona menuju arah timur.
Binombo,
Sebuah areal persawahan yang luas.
Beberapa tahun terbengkalai dan menjadi sarang binatang – binatang buas.
Dona dan Doyoh menghampiri ketua pawang binatang.
Tampak para anak buah pawang itu sedang membuat jebakan untuk harimau – harimau yang beberapa hari terakhir menampakkan diri.
Sebuah kandang besi besar disiapkan di sudut tenggara areal persawahan dengan potongan – potongan besar daging rusa.
Sebagian dari mereka bersiap – siap dengan sumpit pembius.
Suasana cukup tegang saat itu, hingga tak ada senyum berarti pada tampilan anak buah pawang itu.
Menghaturkan jabat tangan. “Bagaimana, pak Panwas?”
“Tadi siang harimau – harimau itu terlihat di pinggir hutan, pak.” Menyambut jabat tangan Doyoh.
“Lha gimana? Apa harimau – harimua itu bakal bisa ditangkap?”
“Kami usahakan dengan segala cara, pak Doyoh. Semoga malam ini semua bisa terkendali.”
“Ada berapa lagi harimua yang masih tersisa, pak Panwas? Sambil melihat jebakan yang hampir jadi penempatannya.
“Kelihatannya masih lima lagi, pak. Mungkin juga lebih,”
“Masih banyak ya ternyata, Berarti sawah – sawah ini belum bisa digunakan, pak?”, tanya Doyoh, apa adanya.
“Iya, pak,, Untuk sementara tidak usah digarap dulu, Tampaknya masih tidak aman.”
Hendak pamit. “Ya sudah, kalo begitu,, Silakan dilanjutkan, pak.”
“Iya, pak Doyoh,”
XXII
Pertemuan suku – suku Cilikan,
“Selamat malam, tuan – tuan suku di Cilikan sekalian,, Hari ini kita mengadakan pertemuan ini untuk membahas suatu hal yang sangatlah penting. Begitu pentingnya hingga kita bersama suku – suku di Cilikan harus memberikan konsentrasi dan perhatian yang bagus.”
Doyoh meraih lembaran kertas.
“Adapun hal – hal yang hendak kita bahas bersama dalam pertemuan ini sebagai berikut, penghidupan kembali pelabuhan di utara Cilikan, persiapan untuk membuka sawah baru di Binombo, serta pembuatan gudang – gudang penyimpanan pangan di Binombo.” Sambil Doyoh menyisir ekspresi para kepala suku. “Baiklah, kita mulai dengan pembahasan yang pertama yaitu penghidupan kembali pelabuhan di utara Cilikan.”, ucap penasehat perserikatan.
“Permisi, pak Doyoh,,. Apakah itu menjadi hal yang penting untuk menghidupkan kembali pelabuhan itu? Karena sepengetahuan kami itu sudah lama sekali ditinggalkan oleh orang – orang barat itu.”
“Iya, pak Doyoh,, kami juga berpendapat untuk menghidupkan kembali pelabuhan itu pastilah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apa kita mampu melakukannya?”
“Memang benar sekali apa yang Tuan Ijjok dan Tuan Fofak katakan, Memang sulit benar menghidupkan kembali pelabuhan itu tanpa mempunyai koin – koin yang cukup. Karena itulah saya sangat mengharapkan gotong royong tuan – tuan sekalian untuk mengumpulkan tiap bulannya tambahan – tambahan koin.”
“Halah, koin lagi,, Mau berapa banyak lagi koin untuk perserikatan? Orang kami juga butuh koin untuk suku kami sendiri.”
“Iya, apa pentingnya sih menghidupkan kembali pelabuhan itu? Bikin pusing saja, Sudahlah,, hentikan saja omong kosong itu,”
“Tuan Combre,, memang kelihatannya semua itu tidaklah penting, Adalah suatu hal yang mendasar jika kita mempunyai kapal – kapal kecil untuk menyeberang ke pulau – pulau sekitar. Karena perdagangan kita sendiri sangat jauh dari pasar Sratu, apalagi di sekeliling kita adalah tanah – tanah yang masih kosong. Tidak mungkin kita bisa melakukan perdagangan yang optimal jika kita hanya mengandalkan pasar Obor.”
“Maaf, pak Doyoh,, kita keluar dari pembahasan pertama ini,, Tapi menurut rencana, kita juga akan membangun gudang – gudang penyimpanan di Binombo,, Bukankah itu jaraknya menjadi lebih dekat ke pasar Sratu?”
Dengan bijak berucap, “Itu benar sekali, pak Ciluk,, Tapi apa – apa yang kita tawarkan ke pasar tampaknya hampir sama dengan kerajaan – kerajaan lainnya, Ada baiknya kita mempunyai kekhususan sendiri apa – apa yang hendak kita tawarkan, misalnya hasil – hasil laut.”
Tampak greget. “Oh ya, pak Doyoh,, Kami ada ide,, Bagaimana kalo nilai – nilai sayur – sayur kita, kita tingkatkan?”
“Macam bagaimana itu, Tuan Fofak?”
“Kita ini kan punya istri – istri di dapur, Baiknya kita juga jual makanan – makanan atau minuman di pasar Sratu nantinya. Bagaimana, pak Doyoh?”
“Hmm,, Betul juga kata Tuan Fofak, Kenapa aku tidak pikirkan itu?”
“Berarti kita nantinya akan mengadakan pertemuan – pertemuan dengan pendamping – pendamping suku?”
“Iya, benar itu, pak Doyoh.”
“Baiklah, nanti kita rencanakan pertemuan itu.”
Sambil beliau mencatat sesuatu pada lembaran kertas.
“Lalu mengenai pelabuhan Semotas?”
“Kalo itu kita coba untuk mengumpulkan koin – koin tambahan, Tapii apakah itu cukup, pak Doyoh? Apakah dengan koin yang terbatas itu kita bisa menghidupkan lagi pelabuhan itu?”
“Memang sulit, tuan – tuan sekalian,, Nanti saya pikirkan untuk meminta bantuan ke persekutuan Darmasih.”
“Ah, macam tidak mampu saja kita,, Dikit – dikit dengan orang luar, Dikit – dikit minta bantuan,, Mana harga diri kita?”
“Bukan begitu, Tuan Mecak,, Ini masalah koin – koin juga, kami menyadari akan kesulitan dengan kemampuan yang terbatas ini,”
“Kalau tidak mampu, ya tinggalkan saja, sudah selesai,, Buat apa pusing – pusing mengemis – mengemis pada orang luar?”
“Benar itu, pak Doyoh,, Buat apa susah – susah berbuat seperti itu? Apa kita sebagai kepala suku tidak punya harga diri lagi?, ucap Tuan Combre.
“Apa salahnya kita minta bantuan ke kerajaan lain? Orang kita – kita juga tahu kemampuan kita hanya sebatas ini.”
“Iya, kami dari Wowor merasa sangat terbantu sekali dengan sumbangan alat – alat bajak dari Polepolis itu.”
“Ah, kalian sama saja,, Suka jilat pantat orang luar, Macam kalian percaya dengan orang – orang Taragam itu.”
“Tuan Mecak, tolong ucapan tuan sebaik – baiknya supaya tidak menyinggung perasaan kepala suku lainnya.”, ucap Doyoh, sedikit kesal.
Dengan sombongnya, “Memang seperti itu kan kejujurannya, Kalian memang suka dimanfaatkan oleh orang – orang luar, Tidak punya harga diri,”
“Sudahh,, Sudahh,, Macam kalian anggap kami suka jilat pantat orang, terserah cakap kalian lah,, Kami hanya hendak membuat anggota – anggota suku kami hidup layak, aman dan tidak risau dengan perang – perang.”
“Iya, jika kalian tak hendak minta bantuan itu hak kalian saja, Tak susah pusing – pusing kami akan jilat pantat – pantat itu orang seperti kalian cakap.”
“Memang itu kalian pikir salah?, Dengan kami coba minta bantuan kerajaan – kerajaan itu kami bisa dapet bibit – bibit sayur lebih bagus lagi. Juga panen kami lebih cepat dari biasanya.”, ucap Tuan Ciluk.
“Huuhh,, dasar, Penjilat semua,”
Penguasa suku Fonta berkata, “Pak Doyoh, tak mengapalah minta bantuan orang – orang luar, asal kita semua juga diajak bercakap – cakap seperti ini. Semoga kami nantinya bisa bantu.” Tuan Fofak tampak mencoba bersikap sabar.
“Baiklah, Baiklah,, kita akan lanjutkan pembahasan ini,”
@SusanSwansh hahaha,, iya,,
Comment on chapter Penglihatan Masa Depan