“Apa ada yang salah denganku?”
Pertanyaan itu lagi yang keluar bersama helaan nafas, sungguh membosankan sekaligus takut mendapat tatapan tajam dari teman-temanku selama tiga hari terakhir. Mereka tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Aku hanya berdiam di tempatku berpijak sekarang, akan lebih tidak nyaman jika bergabung di meja persegi panjang kantin itu.
Salah seorang penduduk meja itu bangkit, gadis berpenampilan berantakan. Lisa. Tanpa sedikitpun rasa kasihan, ia mencengkramku dengan sangat kuat. Membawaku ke sebuah lorong yang tengah sepi.
“Masih bertanya juga ada yang salah?”
Aku meringis. Bukan karena suara Lisa yang mampu membuat tuli dadakan, melainkan tanganku yang sudah dilepas berdarah. Pasti Lisa memanjangkan kukunya, gadis itu memang tidak pernah mau mendengarkan ceramah dari teman-teman.
Lisa menggenggam tanganku lagi, nyaris membuat tangisku pecah sebab luka yang ditekan-tekan. “Ini yang salah, dirimu! Setelah bersusah payah membujuk Citra, akhirnya gadis polos itu bercerita semuanya kepadaku.”
Keningku mengerut. Memangnya, apa yang Citra ceritakan? Apa ada hubungannya denganku?
“Tidak tahu?” tanya Lisa menantang disusul suara tawa mengejek.
“Lisa, cukup!”
Aku dan Lisa refleks menoleh pada sumber suara, pria tinggi dengan tatapan menusuknya. Gilang.
“Masih percaya sama dia, Lang?”
Lisa memandang jijik pada Gilang. Kini aku terlihat lemah, racauanku lolos begitu saja saat Lisa menekan luka di tanganku dua kali lebih kuat dari sebelumnya. Persetan dengan meminta maaf, Lisa melepaskanku dan beralih pada Gilang.
Mataku terbelalak, dengan entengnya Lisa meletakkan sebuah pisau di tangan Gilang. “Buat perlindungan. Jangan sampai jadi korban dia yang selanjutnya, Lang.”
Korban? Tunggu! Apa mereka menuduhku sebagai pembunuh atas dua kasus kematian belakangan ini di kampus?
Dibuangnya pisau dari Lisa sembarangan, Gilang mengajakku bicara melalui kontak mata. Kecewa. Hanya itu yang tersirat dalam manik cemerlang milik Gilang. Kepercayaan yang telah dibangun selama dua tahun hancur begitu saja.
Aku menunduk, tidak kuasa menatap angkasa dalam mata Gilang. “Itu bukan aku, Lang.”
Tatapan Gilang masih saja terngiang di benakku, rasanya sangat sesak. Daripada semakin terasa sesak, aku lebih memilih pergi.
Tatapan teman-temanku kini terlihat lebih menyeramkan ketimbang gudang kampus yang sedang kupijak.
Langkahku terhenti tepat di depan sebuah cermin full body, meneliti diriku dengan seksama. Lebih tepatnya, mencari kesalahan yang membuat orang lain menjauhiku.
Pertahananku runtuh. Tubuhku bergetar, isakan-isakan lolos dari bibirku, juga bendungan air yang sudah tidak dapat ditampung oleh kelopak mataku.
Deg!
Apa aku tidak salah lihat? Tangisku berhenti seketika. Dengan sengaja, aku menghapus jejak air mataku. Tidak mungkin!
“Jadi, kau sudah menyadarinya?”
Aku tertegun. Jantungku berdentum, oksigen seakan menepis serta kakiku lemas dalam sekejap.
“Pernah dengar? Bahwa seseorang memiliki setidaknya tujuh kembaran?”
Lihatlah! Ia melangkah keluar dari bingkai cermin, kenapa aku begitu bodoh sehingga tidak sadar bahwa itu bukan cermin?
“Atau, pernah dengar yang ini? Jika kau bertemu dengan kembaranmu, maka kau akan mati.”
Teman-teman, itu bukan salahku. Kalian mungkin mengenalinya sebagai diriku. Sekecil itukah kepercayaan kalian hingga tidak dapat mengenaliku? Aku kalah, ia berhasil mengambil alih kehidupanku. Maaf, aku terlalu mudah disingkirkan sehingga kalian harus hidup bersama diriku yang baru.