Selaput halus berkelindan dalam sorotan kucam rembulan. Tiada suara apapun selain bunyi nafasku yang merengap dan langkah kakiku yang berderap. Sial! Aku memecut langkah agar lebih cepat tiba di rumah, sebelum wanita itu mencampakkanku lagi seperti sebelum-sebelumnya.
"Ibu, aku pulang."
Aku yakin suaraku cukup lantang untuk mampu dicerap seorang wanita tua. Apakah ini pertanda bahwa aku harus berlutut di depan pintu dan menanti ibuku membuka pintu?
Sigh! Aku mulai resah atas pengabaian ini. "Ibu...." Kali ini suaraku terbuka lebih banglas, berharap wanita itu lekas berbaik hati untuk sekedar bersegara menguak daun pintu dan membiarkanku masuk. Tapi tidak. Ia tidak kunjung tiba, tidak ada langkah kaki yang tergopoh-gopoh menghampiri.
Ini bukan kali pertama bagiku untuk tidak diperkenankan masuk ke rumah. Kutegakkan tubuh dan mengukuhkan nyali demi menghampiri jendela kaca yang tirainya tersibak, mengintip, dari celah mana bisa kumanfaatkan sebagai akses untuk masuk. Wanita itu ada di sudut ruangan, duduk gemetaran dengan tangan tertangkup dan rasa takut tampak menggelontori wajahnya kala matanya bersirobok dengan proyeksiku.
Aku merasa tidak enak, menyerah atas kebebalanku dan memutuskan untuk menghabiskan malam di luar lagi, seperti sebelum-sebelumnya. Ibuku tidak pernah begini, setidaknya, sebelum kecelakaan nahas menimpaku dan membuat jasadku berkalang tanah.
@MuTie kucam a pucat; muram; suram