Beberapa hari Nick harus dirawat, pemulihan tenaganya sangat lambat sehingga harus diberikan perawatan khusus. Pengaruh buruknya pun bukan sekadar tubuh menjadi lesu, dalam kondisi seperti ini fisiknya akan rawan terhadap berbagai penyakit. Dia harus banyak tidur, makan makanan sehat, memenuhi kebutuhan cairan.
Tidak bisa menyampaikan sendiri pada Carl bahwa dia telah gagal menangani misi.
Sebagai gantinya, Cassandra sendiri yang datang ke rumah pria itu. Pria itu hancur. Lebur.
Pertama, dia tertawa. Menganggap ini semua lelucon walau dia tahu tidak ada yang bergurau. Apa? Yang benar saja? Masa, sih, itu terjadi? Mustahil. Itu tidak mungkin terjadi.
Kedua, sesuatu yang sangat jelek menyulutnya. Tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan, raungannya membahana seluruh isi perumahan. Hampir saja dia meremukkan wajah Cassandra andai rekan yang menemaninya menyampaikan pesan tidak segera keluar dari mobil. Di mana anak yang harusnya bertanggung jawab atas nyawa putrinya itu? Persetan dengan kode etik yang dijadikan tameng oleh konfederasi. Mereka harus membayar semuanya. Dan tentu saja bukan membayar dengan uang. Dia membuang sebuah koper yang diberikan oleh Cassandra, padahal isinya adalah setengah biaya yang dia keluarkan untuk menyewa KMM, membuat koper itu rusak dan menghamburkan isinya.
Ketiga, dia berlutut. Dia menangis. Dia memohon. Tolonglah, dia akan mencoba memperbaikinya, menjadi ayah yang lebih baik, menomorsatukan putrinya apa pun yang terjadi. Apakah benar dia tidak bisa mendapatkan kembali putrinya?
Keempat, dia bertanya-tanya, sekarang apa gunanya dia tetap hidup?
Tahap kenestapaan yang berlangsung sangat cepat.
Setelah mendengar berita itu, pertanyaan yang sama menyembul dalam benak Nick. Setiap napas yang berembus, dia tidak tahu apakah dia masih cukup berharga untuk mengenakan masker oksigen ini.
"Kamu tidak boleh menyerah," seakan Cassandra bisa membaca isi pikiran Nick, wanita yang memakai pakaian formal serba hitam itu menunduk, mengecup keningnya dengan lembut. "Tidak ada yang perlu disalahkan. Sekarang aku permisi dulu, ya?"
Mata biru Nick yang sayu tetap memandang lurus pada televisi di seberang yang menampilkan gambar-gambar pasca-kerusuhan semalam. Tidak ada infrastruktur yang rusak parah, hanya terjadi retakan-retakan di jalan dan meninggalkan jejak hitam bekas kebakaran di depan rumah Jones. Kalau saja posisinya sedang tidak berduka dia akan girang mendapati rumahnya masuk televisi. Dan itu, itu Ferus yang sedang disodok puluhan mikrofon perekam. Diwawancara oleh puluhan wartawan. Diminta untuk menjelaskan apa saja yang terjadi termasuk pengalaman penculikannya. Anak itu tidak bisa berbohong, bahwa dia tidak percaya saat ini wajahnya terpampang di seluruh televisi Arkadia ketika matanya yang kebingungan serta grogi melirik kamera.
"Jadi—he-eh. Malam itu keren. Eh, maksudku—malam itu mengerikan. Siapa pun tidak ingin mengalaminya. Jangan pernah mengkhayal menjadi pahlawan dalam dunia dongeng. Apalagi menjadi korbannya."
Begitu kata Ferus, dan Nick setuju.
Sementara di KMM, tempat itu hampir tidak meninggalkan kecacatan sedikit pun. Paling-paling ada sedikit retakan di lahan parkir. Kali itu Paman Ethan yang berniat diwawancara, tapi pria itu terus memunggungi kamera dan melambaikan tangan, berjalan memasuki gedung. Katanya, "Maaf, maaf. Saya bukan artis, saya anti-kamera. Mungkin lain kali saja, ya."
Seorang gadis pendek berambut pirang yang berjalan bersama Paman Ethan lebih parah. Dia tidak sedikit pun menoleh pada kamera.
Kabin tempat penculikan serta penyimpanan mayat hanya disorot dari depan. Garis polisi membatasi tempat tersebut. Salah satu warga terdekat diwawancara, dia mengaku tidak menyangka bahwa selama ini mayat yang sudah membusuk selama puluhan hari tidur di dekatnya.
Di antara empat lokasi perkara, yang paling menyedihkan adalah wilayah lahan parkir apartemen Sam. Puluhan mobil remuk, lapangan parkir yang bolong-bolong, dan semakin miris jika dilihat pada pagi hari.
Volume televisi sangat tipis serupa sehelai rambut, tetapi jika Cassandra meninggalkan Nick sekarang, anak itu akan mendengar seluruh omongan yang disampaikan pembawa acara bahwa jumlah korban jiwa hanyalah dua orang.
Itu bukanlah hanya bagi Nick, sekalipun hanya satu orang tertentu.
Karena itu Cassandra meraih pengendali jarak jauh televisi di atas kasur untuk menggantinya dengan acara kartun di sebuah saluran anak-anak. Andai saja KMM tidak memaksanya menjadi perwakilan Nick untuk berkabung, dia akan menemani anak ini untuk menebus kesalahan bahwa seharusnya dia tidak menceritakan kunjungannya tadi pagi ke rumah Carl Raymond.
Kepergiannya disambut kesunyian. Nick di tengah salah satu sisi tembok. Kasurnya pada bagian punggung terangkat sedikit sehingga dia bisa duduk sambil bersandar. Lampu kamarnya dibiarkan mati. Sinar matahari dari samping menyinarinya dari balik tirai jendela yang sedikit terbuka. Suara-suara konyol dari televisi hilir-mudik tidak berarti di dalam lubang telinganya. Luas kamar sebenarnya tidak sebanding dengan luas kekosongan yang Nick rasakan.
Tak lama setelah itu pintu kamarnya menerima ketukan halus untuk kedua kalinya. Nick terlalu malas bahkan untuk melirik ke arah pintu. Orang tersebut memutuskan untuk mengintip dari sela-sela pintu setelah lima detik tidak melakukan apa pun di luar sana.
Wajah oriental serta jaket suede cokelat muda yang diserasikan dengan busana simpel itu sudah menjadi ciri khasnya sehingga Nick tidak perlu susah-susah mengenalinya. Sebuah kantong plastik ukuran kecil berada di dalam genggamannya.
"Nick, boleh aku masuk?" tanya Cel dengan sangat hati-hati.
Sesuatu dari dalam diri Nick mendorongnya untuk memberi anggukan pelan. Dia bahkan melepas maskernya.
Sensitivitas Cel cukup kuat untuk memahami bahwa Nick sedang tidak seharusnya dikunjungi. Gawat, pikirnya. Setiap langkah yang dia ambil terasa keliru, tapi dia pun segan untuk mundur. Namun di lain sisi, bagaimana jika apa yang dia pikirkan adalah sebaliknya? Bagaimana kalau ternyata Nick membutuhkan teman untuk bicara tapi tidak mampu menyampaikannya?
Sebuah kursi yang diletakkan di samping ranjang Nick ia duduki, lalu meletakkan barang bawaannya di atas nakas. Betapa menakutkan mengamati Nick yang bukan secara fisik saja seperti akan mati. Matanya memperlihatkan kekosongan luas seakan jiwanya sudah meninggalkan raga. Ini sama sekali berbeda dengan kesehariannya, meskipun dia memang menyimpan misteri dari gelagatnya yang bisa riang dan tenang di satu waktu yang sama.
Cel sampai tidak tahu harus mengucapkan apa. Padahal pertama, dia ingin menanyakan kondisinya secara spesifik: tentang separah apa kondisi tubuhnya sekarang, berapa lama dia harus dirawat, dan apakah mentalnya benar-benar tidak bermasalah. Kedua, dia hendak bertanya apakah insiden kemarin berhubungan dengan pestanya karena kejadiannya persis setelah mengikuti pesta. Belum lagi dia dan Ferus menghilang satu hari penuh, membuat Mr. dan Mrs. Jones panik setengah mati. Polisi berpatroli seharian penuh tapi tak seorang pun menemukan mereka hingga mereka muncul sendiri, bersama kerusuhan.
Ketiga, dia ingin memastikan bahwa rupanya selama ini Nick menyembunyikan identitasnya sebagai Mata Merah. Makhluk yang tidak pernah menampakkan diri di permukaan.
Dan semua itu terisap kembali ke dalam pikirannya.
Akhirnya Nick yang membuka percakapan lebih dulu. "Kau tidak sekolah?"
"Ah, itu ...." Cel menundukkan kepala dengan gugup. Kenapa dirinya selalu seperti ini? "Sekolahku salah satu yang diserang kemarin. Ada banyak kekacauan jadi kami diliburkan."
Menyadari Cel justru takut padanya, Nick melembutkan suaranya. "Orang tuamu baik-baik saja?"
Mencoba memberanikan diri, Cel menatap pada Nick yang ternyata sedang tersenyum padanya. Dia masih bisa melakukannya setelah apa yang terjadi? Setelah apa yang diceritakan Ferus tentang perempuan bernama Jessica Raymond? "Iya. Dan semua orang di sana baik-baik saja, kok." Dia berharap dengan menambah keterangan itu akan menenangkan hati Nick.
Anak itu sejenak terdiam sementara senyumnya masih ada, yang tentu saja mengundang kengerian tersendiri. Jelas bahwa pikirannya sedang mengawang. Lalu dia melirik pada kantong plastik yang diletakkan Cel di atas nakas. "Itu, kau membawa apa?"
"Oh, iya." Ia harap Nick tidak melihat tangannya yang gemetaran. Dia mengeluarkan salah satu di dalamnya. Sebuah apel merah. "Tidak ada pantangan makan makanan padat, 'kan?"
Kegundahan sempat menakuti Cel ketika Nick memutuskan untuk duduk tegak, khawatir dia belum boleh banyak bergerak. Anak itu terlanjur penasaran mengintip isi kantongnya. Bukan hanya apel, dia juga dibawakan buah pir, jeruk, serta pisang. Semuanya adalah buah kesukaannya, terutama pisang. "Apa kau bawa pisau?" Dia pun mengambil apel yang dipegang Cel.
Tangan Cel dengan cepat, tapi tetap berhati-hati, membuka tasnya untuk mengeluarkan sebuah pisau kecil yang diselubungi oleh serbet bergaris merah membentuk kotak-kotak. Dia memasukkan serbet itu ke dalam tas. "Mau kau makan sekarang?" tanyanya.
Kelegaan merasuk ke dalam jiwanya begitu melihat Nick tersenyum jenaka seperti biasanya, menyerahkan buah itu pada Cel. "Karena aku sedang sakit aku diperbolehkan untuk manja, 'kan?"
"Tentu saja, tentu saja," jawab Cel dengan geli, mengambil apel itu kemudian memotongnya dengan sangat teliti dan rapi. "Berapa hari kau dirawat di sini, Nick?"
"Entahlah," balasnya, memerhatikan apel yang dipotong oleh Cel. "Harusnya hanya beberapa hari saja. Bagaimana dengan kamu?"
"Bagaimana dengan aku?" Cel sempat berhenti.
"Iya. Kalau aku dirawat lama di sini, apa kau akan mengunjungiku setiap hari?"
Menjawab pertanyaan itu sama dengan menjawab satu tambah satu sama dengan dua. "Tentu saja. Karena tidak ada pantangan, mau kumasakkan sesuatu?"
Tampak Nick mengangguk puas, tetapi masih ada sesuatu berbau kenakalan yang tersimpan dalam benaknya. "Burger keju?" tanyanya dengan iseng.
Cel tersenyum kecil. "Apakah tidak bisa sesuatu yang berhubungan dengan sayur?"
Nick berdeham cukup lama, matanya melirik ke atas sementara dagunya diusap. Lirikan matanya sengaja terkesan polos. "Tidak?"
Selalu saja seperti itu, memang dia ini. Cel menggeleng kecil, menghela napas walau masih geli dengan sikap tetangganya yang satu ini. "Buka mulutmu," katanya. Potongan apel ia arahkan pada mulut Nick yang segera dilahap olehnya seperti memberi makan pada seekor kambing kelaparan. "Yang sehat-sehat saja ... kumohon?"
Lagi pula, Nick hanya bercanda. Dia berpura-pura sinis dengan memutar mata dan kembali bersandar. "Iya, iya. Khusus untuk memenuhi kemauan Nona Wang."
Walau sebenarnya Cel sedikit merasa terbebani, dia merasa beruntung Nick masih mau menuruti nasihat baiknya.
Kunjungan Cel tidak menghasilkan jawaban mengenai sisa pertanyaan yang sebelumnya akan dia ajukan. Pikirnya, jika Nick menyembunyikannya maka itu bukan urusannya, 'kan? Atau apa pun itu, dia pasti memiliki alasan mengapa tidak jujur pada Cel. Aku saja tidak jujur padanya tentang banyak hal. Akhirnya dia pulang dan berjanji akan membawakan makanan nanti malam.
Setidaknya, anak itu masih mau berkomunikasi, bahkan melontarkan lelucon-lelucon yang selalu tidak pernah terpikirkan olehnya. Artinya dia masih mampu melakukannya walau Cel tahu betul dia hanya berpura-pura.
Begitu Cel pergi, tentu saja, seperti apa yang Cel ketahui, kelakar palsunya mengering menjadi depresi yang tak bisa terhindar. Dia pun meraih ponselnya, baterainya sudah diisi penuh oleh bantuan Ferus sejak dini hari, lalu membuka ruang obrol kepada Cassandra.
Nick: Cassandra.
Nick: Aku minta tolong. Tetanggaku, Cecilia Wang, juga keluarganya. Tolong hapus memori mereka tentang aku. Terima kasih.
Makam Jessie satu wilayah dengan makam Sara Jones. Ferus sedikit tercengang akan hal itu, karena sudah berapa lama dia tidak mengunjungi makam ibunya? Sejak setahun yang lalu, mungkin? Sejak Abuela sudah tidak bisa keluar dari rumah?
Tidak seperti yang lainnya, seusai berkabung dari makam Jessie, Ferus dan kakeknya pergi ke wilayah lain yang cukup jauh. Abuelo masih cukup rutin mengunjunginya, sekiranya setiap satu bulan sekali, tetapi Ferus sudah berhenti melakukannya karena ....
Dia berjongkok di samping nisan itu, mengusap jempol pada tekstur batunya yang kasar dan dingin. "Maaf, Ma. Aku bingung ... tapi rasanya aku lelah terus-terusan begini."
Cucunya yang berada dalam balutan jas itu terlihat menyedihkan, Abuelo mengerti kenapa dia semakin hari semakin malas menjenguknya jika bertemu saja tidak pernah. Ketika dia kali pertama bernapas di bumi, ibunya justru mengembuskan napas terakhirnya. Ikatan batin tidak semata-mata lahir karena darah daging, jika tidak ada interaksi yang pernah terjadi, apalagi interaksi yang berarti, bagaimana bisa Ferus menyayangi ibunya?
Justru ia lebih menyayangi kakek neneknya karena mereka yang merawatnya dari kecil. Berjuang memenuhi kebutuhan gizinya yang sangat kekurangan. Dia lahir dalam keadaan berat satu setengah kilo. Nyaris cucu semata wayang ini tidak memiliki harapan hidup jika kakek neneknya tidak mondar-mandir ke rumah sakit, mengeluarkan seluruh tabungan yang mereka miliki, kemudian berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Mereka juga yang selalu menemani Ferus mengatasi nasibnya sebagai Sang Dikaruniai, yang lebih pantas disebut sebagai Sang Pembawa Sial bagi Ferus.
Dua hal yang membuat Ferus yakin dia harus mengunjungi makam ibunya adalah 1) Abuela dan Abuelo berkata dia adalah sosok ibu yang bisa Ferus dambakan jika dia masih ada, dan 2) suaminya mencampakkannya.
Hari ini mereka tidak hanya membawa satu buket bunga untuk Jessie. Dua buah buket bunga, masing-masing dari Ferus dan Abuelo, diletakkan di depan nisan Sara yang meninggal pada tahun 1995 bulan Desember tanggal 12. Keduanya kemudian memejamkan mata untuk memanjatkan doa agar Sara diberikan penerangan selama berada di alam yang berbeda. Semoga dia tenang, dan semoga seluruh dosanya diampuni.
Sesudah itu, Abuelo mengulurkan tangannya pada Ferus yang berdiri di seberangnya. Kumisnya melengkung bersama bibir di baliknya. Ferus pun demikian. Mereka bertemu setelah mengambil dua langkah menjauh dari makam Sara, lalu Abuelo merangkul bahu cucunya, memberi usapan pada rambut ikalnya yang lebat. Ferus pun menyandarkan kepala pada sisi kepala Abuelo yang lebih rendah lima senti darinya.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000