Read More >>"> The Red Eyes (Act 014) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Red Eyes
MENU
About Us  

Katanya, kantor kesayangannya diserang oleh sekumpulan remaja labil yang menginginkan keadilan. Kabar itu dia dapatkan ketika masih bersantai di dalam helikopter pribadinya.

"Saat ini para anggota KMM sudah berperang di kantor." Seorang gadis duduk di hadapan seorang pria. Jempolnya mengusap layar ponsel untuk membaca lebih lanjut berita yang diinformasikan oleh salah satu anggota KMM. Kiranya umur perempuan ini masih sembilan belas tahun, berbeda dengan pria yang duduk di seberangnya.

Jam saku pria itu keluarkan dari saku mantel kulitnya. Benda kuno berwarna emas mengilap itu memperlihatkan waktu yang sangat normal digunakan oleh makhluk-makhluk sinting untuk bertingkah. Bukan suatu hal yang membuatnya panik atau apa, dia justru menghela napas dan menggeleng miris, kemudian kembali memasukkannya ke dalam saku. Kapan, sih, makhluk-makhluk itu akan sadar?

Pria pemilik jam itu pun menoleh pada pria lain berbalut jas yang lekas berdiri sebelum diberi perintah. Baguslah jika dia sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. "Kita langsung turun saja di KMM. Beritahu ke pilot."

Pria berjas itu memberikan anggukan singkat sebelum berjalan meninggalkan sang pria dengan gadis muda di hadapannya.

Senyum tipis terkembang di bibir gadis itu. "Apakah Mr. Regas berpikir mereka tidak cukup kuat untuk melindungi KMM?"

Tawa kecil melintas dari mulutnya. "Bukan, Chris. Aku tidak ingin melewatkan bagian menyenangkannya."

Sekarang tujuan mereka adalah sebuah pencakar langit berbentuk aneh yang terletak di zona jantung ibukota Republik Arkadia, Yorks. Bentuknya melengkung berpilin, sekilas serupa tabung yang menggembung di tengah dan mengecil lagi di bawah. Namun jika dilihat dari sisi lain, tabung itu terpisah pada bagian tengah yang artinya terbagi menjadi dua menara. Sementara di sisi satunya, terdapat sebuah logo instansi bertengger, secara keseluruhan ia terlihat seperti mata. Ia merupakan kombinasi dari lingkaran dan garis lengkung sehingga menggambarkan mata warna merah besar dan mata biru-hijau kecil di dalamnya. Di tengah-tengahnya terdapat warna bulat putih sebagai pupil.

Lapangan parkir pada satu sisi yang menghadap pada jalan raya dipenuhi oleh gerombolan mirip semut. Terdapat puluhan kejadian dalam satu peristiwa besar, misalnya percikan-percikan cahaya magis satu lawan satu, ada pula yang terlempar dari satu titik ke titik lainnya, terdengar juga ledakan berasal dari peluru yang memberondong atau granat yang dilempar.

Melihat itu semua membuat pria berkacamata tebal, berkumis dan berjanggut lebat ini menggeram kesal. Berani-beraninya mereka merusak infrastruktur negara—oh, lebih tepatnya, rumah kesayangannya.

Segera dari sana, helikopter menukik dan mendarat agak belakang dari pertempuran. Sang pria tinggi nyaris dua meter dengan tubuh tegap dan gagah itu turun dari sana, mantel kulit cokelatnya yang panjang berkibar bersama rambut cokelat bercampur ubannya yang sudah tidak kaku oleh pomade. Ia merapatkan kerah mantelnya sebelum mengulurkan tangan kanan ke samping. Sementara sang gadis muda bertubuh pendek turut mengikuti di belakangnya. Rambut pirang berombaknya ia sisipkan ke belakang daun telinga. Ia tampak tidak mempersiapkan apa pun, berbeda dengan sang pria tinggi.

Di luar kepala, dengan mudah sebuah portal lubang cacing terpanggil di sebelah sang pria. Portal tersebut berwarna merah keunguan mirip dengan susu kocok dicampur sirop buah. Sekiranya luas lingkaran tersebut mencapai lima meter persegi, dan portal itu terus mengikuti ke mana pria itu pergi.

Kehadirannya semenjak helikopter mendarat hanya memancing perhatian beberapa makhluk. Sebagian besar tidak sadar bahwa kehadiran pria usia paruh baya itu akan berakibat fatal. Dari portal itu, terjuntai pasir yang berkumpul dan bergerak menyerupai ular. Jumlahnya bahkan terus bertambah hingga puluhan. Pasir tersebut melata di permukaan, menyusup di antara pertarungan hingga menggapai targetnya masing-masing: para geng labu tusuk.

Kaki seekor siren dijerat saat siren itu akan mengganyang bahu seorang polisi. Ia ditarik hingga terperosok, kepanikan mengepakkan sayapnya dan mencakari lapangan. Tentu saja pasir itu tidak hanya menyeretnya, dia juga merayap pada tubuh siren, membungkus seluruh tubuhnya termasuk sayap, kemudian merapatkannya menjadi kepompong dan dengan cepat menelannya ke dalam lubang cacing. Dan yang bernasib serupa bukan hanya dia, puluhan remaja pemberontak itu pun diperangkapkan ke dalam lubang.

Satu per satu aksi para polisi dan agen yang masih mengenakan pakaian tidur terbebas dari pertarungan yang tidak ada habisnya. Remaja-remaja yang malang itu meraung meminta dibebaskan, tetapi cepat-cepat mengatupkan mulut begitu pasir merambat hanya menyisakan matanya.

Seekor werewolf dari arah samping hendak mencakarnya dengan kuku-kuku tebal dan besarnya. Sayangnya dia tidak akan bebas dari pasir yang tiba-tiba memecut dan melilit kakinya, melontarkannya ke atas bersama raung kerasnya, lalu menyedotnya ke dalam lubang cacing. Di antara pria dan gadis itu, tak sedikit pun terlihat ada kepanikan di wajah mereka. Justru sang gadis yang terpanggil dengan nama Chris tengah sibuk menonton pertarungan orang-orang dengan para remaja yang tersisa.

Sementara pria yang mengendalikan pasir mematikan itu, berdiri santai di samping portal, malah sedang mengurusi sesuatu di ponselnya.

Oh, sebuah pesan dari anaknya.

 

Karen: Astaga, aku baru bangun!

Karen: Jadi semuanya sudah baik-baik saja?

 

Dengan santai, pria itu membalas:

 

Ethan: Yap, semuanya sudah terkendali. Lanjutkan saja tidurmu.

 

Hingga lima menit berlalu, portal yang bekerja bagai penyedot debu itu sudah menelan seluruh perkumpulan Sam.

Tugasnya selesai, lubang cacing pun mengecil hingga menjadi titik yang hilang di pusatnya. Seluruh agen bersorak bahagia, membuat pria pengendali kondisi itu mengangkat kepala setelah sibuk dengan ponselnya. Salah satu di antara mereka yang terbawa euforia memerintah dengan kencang, "Semuanya, hormat kepada Sekjen Regas!"

Dalam sekejap mereka berdiri tegap dan memberinya gerakan hormat. Senyum lebar menghiasi setiap bibir mereka, tampak jelas bahwa mereka sangat tulus menghormati dan merasa bangga terhadap pemimpin mereka. Sambutan tersebut membuat pria yang terpanggil sebagai Sekjen Regas tertawa. Ini semua berlebihan untuknya. Meski begitu dia tetap membalas hormat dengan santai. "Oke, oke. Terima kasih, kalian juga hebat masih bisa mempertahankan gedung kita. Sekarang turunkan tangan kalian dan bereskan yang acak-acakan, oke?"

"Siap, Pak!" seluruhnya mematuhi, tetapi mereka masih menyempatkan diri untuk merayakan kemenangan mereka dengan masing-masing rekan terdekat. Hal tersebut sama sekali tidak dipermasalahkan oleh sang Sekretaris Jenderal Konfederasi Mata Merah. Justru pemandangan itu selalu menjadi kesan membahagiakan tersendiri baginya.

Malah, pria itu menepuk pundak Chris. "Tunggu sebentar. Atau kau bisa langsung pulang." Sementara dia lekas menghampiri seorang wanita yang sedang berbicara dengan rekan kerjanya. Sang jenderal itu pun memanggilnya sambil berjalan mendekat, melambaikan tangan. "Cassandra!"

Wanita yang terpanggil menghentikan obrolannya dan segera berbalik. "Ya, ada apa Mr. Regas?"

"Nick," katanya, memberi jeda sesaat ketika dia berdiri di hadapannya. "Anak itu bagaimana? Ini misi yang dia tangani, 'kan?"

"Ah." Seketika wajah Cassandra berubah pucat. Dia merogoh sakunya untuk meraih ponsel hitamnya. Dia tampak kecewa tidak mendapatkan notifikasi apa pun dari ponselnya. "Tadi saya mengabarinya kantor diserang, tapi sampai sekarang dia tidak ada di sekitar. Sebentar, saya coba hubungi dia dulu, oke?"

Pria itu hanya menjawab dengan anggukan penasaran sambil berkacak pinggang, mengamati bawahannya tengah menempelkan ponsel pada telinganya. Detik-detik terlalui serasa dikejar monster. Tetap tidak ada jawaban hingga panggilan otomatis tertutup. Ke mana anak itu? Apakah sesuatu menghalaunya di tengah jalan? Berbagai pikiran menggelisahkan segera berkecamuk, keduanya saling pandang menyiratkan kecemasan yang sama.

Tanpa berpikir panjang Mr. Regas langsung membuat perintah baru. "Kau bawa mobil ke sini?"

"Ah, iya." Cassandra mengangguk.

"Oke, kalau begitu carikan agen pelacak. Kita cari dia."

"Baik." Wanita itu pun segera meninggalkan atasan tertingginya, bergabung dengan gerombolan agen yang masih mengobrol di tempatnya masing-masing.

Tak lama dari sana mereka berangkat. Agen pelacak tersebut tidak perlu bekerja keras. Begitu mereka memasuki jalan tertentu, dia yang duduk di jok belakang sudah dapat merasakan keberadaan Nick. "Mr. Regas, ini energinya. Dia ... dia berada di rumahnya?" Agen itu sendiri terheran.

"Rumahnya?" Mr. Regas yang duduk di jok penumpang depan berbalik ke belakang.

Benar saja, kekacauan pun terjadi di sekitar rumahnya, tetapi pihak KMM sudah memenangkannya. Lihat itu, para remaja yang bersungut-sungut karena ditahan dengan borgol, dipaksa masuk ke dalam mobil polisi. Ada pula yang terkapar lemas tak memiliki tenaga, mereka pun termasuk polisi yang tergeletak hendak diangkut ke dalam ambulans yang berjajar.

Mengejutkannya, salah satunya adalah Nick.

Kekhawatiran begitu besar menggerogoti hati Mr. Regas. Bahkan pria itu sampai tidak menutup pintu mobil setelah keluar, lekas menghampiri Nick yang terbujur di atas tandu hendak dimasukkan ke dalam ambulans. Hanya saja terjadi distraksi ketika ia menemukan sosok yang seharusnya tidak berada di sana semudah ini. Dia, gadis kecil berparas khas timur itu berdiri di depan rumah Nick dan Ferus. Kenapa dia bisa berada di sana? Dan terlepas dari itu ....

Oh, Tuhan. Anak itu sudah kembali setelah hilang berhari-hari. Sekarang dia tidak tahu harus menghampiri Nick atau Yuka, tetapi instingnya membawanya terhadap gadis itu.

Dengan keras dia memanggilnya, "Yuka!"

Perempuan itu pun berpaling dari Nick, matanya membelalak bersamaan dengan jantungnya yang meledak. Tak sabar dia juga berlari terhadapnya. "Dad!"

Tidak penting saat tubuh mereka bertabrakan terlalu keras, Mr. Regas memeluknya dengan erat begitu pun Yuka terhadapnya, walau Mr. Regas harus sedikit membungkuk karena Yuka sangat kecil dalam pelukannya. "Astaga," kata pria itu. "Kau ke mana saja selama ini?" Dia melonggarkan sedikit pelukannya untuk melihat wajah anaknya.

Yuka pun mengangkat kepala, matanya berkaca-kaca. "Agen KMM itu menyelamatkanku dari penculikan." Dia menoleh pada ambulans. "Dad, katakan dia tidak akan mati!"

"Penculikan?!" seru Mr. Regas dengan jantung berdetak keras walau dia tahu kini anaknya sudah kembali dalam pelukannya. Jadi berhari-hari ini anaknya menghilang karena diculik? Dan Nick ... Nick menyelamatkannya? Perlahan dia melepas pelukannya dari Yuka, seolah terhipnotis untuk menghampiri ambulans. Si bocah pahlawan itu tengah dipasangkan infus serta masker oksigen. Di sampingnya ada Ferus dan kakeknya.

Belum sempat menghampirinya, pintu ambulans sudah menutup, lalu menjauhinya secepat mungkin. Sirene membubung tinggi hingga suaranya berubah aneh ketika jaraknya sudah jauh.

Sadar-sadar langit sudah berubah lebih terang. Warnanya yang cerah tidak selaras dengan kehancuran yang terjadi dalam hatinya. Ia sadar telah menjebloskan Nick ke dalam bahaya, padahal dia sudah meminta perlindungan padanya berulang kali. Kalau saja dia tidak menyerahkan misi ini kepada anak malang itu.

Manusia macam apa dia ini?

Mr. Regas pun berbalik pada anaknya yang sudah berdiri di sebelahnya. "Ceritakan semuanya sambil berangkat ke rumah sakit, oke?"

Yuka mengangguk dengan patuh.

 

 

 

Isi kepalanya kosong bagaikan angkasa hitam tak dihuni planet maupun bintang, sampai-sampai Nick sadar dia harus bernapas karena sesekali napasnya berhenti. Kondisinya benar-benar kacau setelah mengalami hajaran pada wajah habis-habisan, belum lagi dia harus menerima bahwa hidungnya patah dan harus ditutupi perban. Entahlah apakah cewek-cewek yang mengincarnya masih mau menerima wajahnya yang rusak cukup parah. Memar di sana dan di sini. Mungkin itu adalah sisi positif yang bisa Nick petik setelah insiden kemarin.

Oh, tidak. Itu kebohongan besar. Laki-laki mana yang mau kehilangan wajah tampannya?

Dan bukan itu saja, dia mengenakan masker oksigen, tangannya pun disambung dengan infus. Wajahnya sangat pucat, mirip dengan mayat—kalau kata Ferus—dan sejujurnya dia sangat penasaran apakah dia sudah mirip mayat hidup atau belum. Dia juga tidak sadar bahwa matanya sudah cekung dan bibirnya tidak merona.

Dia tidak pernah nyaman dengan sentuhan, apalagi kalau terlalu lama dan melembapkan kulit menimbulkan rasa tidak nyaman. Namun genggaman Ferus dan Abuelo di masing-masing lengannya membantunya tidak goyah, menyadarkan diri bahwa dia masih hidup. Kejadian-kejadian yang terjadi hanyalah permasalahan sebab-akibat yang terbungkus oleh waktu yang terus berjalan. Dia tidak boleh berhenti atau dia bakal ketinggalan perjalanannya.

Seseorang mengetuk pintu dengan halus, ia tidak menunggu jawaban sebelum membuka pintu. Saking lemasnya, Nick tidak bisa menangkap siapa dua orang yang masuk ke dalam kamarnya setelah mereka cukup dekat.

Rupanya Yuka, dan pria berengsek itu. Paman Ethan.

Jika saja kondisinya tidak sepayah ini, dia sudah berdiri di kasur, lalu melompat dan menendang wajahnya yang sok keren itu. Setelah itu dia akan menginjak-injaknya sampai mati. Paman Ethan harus bersyukur karena Nick memilih untuk memejamkan mata saja, berpura-pura mati karena tidak ingin berbicara dengannya. Sedikit pun.

"Nick, dia sadar?" Paman Ethan bertanya pada Ferus dan kakeknya.

Ferus melirik pada Nick yang sudah memejamkan mata. "Sadar, kok. Nick?" Tangannya mencolek lengan Nick dengan pelan.

Anak itu tetap diam.

Sadar akan hal itu, Paman Ethan hanya mampu menghela napas. Anak ini pasti sudah membencinya setengah mati. "Paling tidak, dia baik-baik saja, 'kan?"

Sebuah anggukan kecil Ferus berikan. "Tapi dia butuh dirawat di sini selama beberapa hari."

"Dia tidak berencana operasi hidung?" tanya Paman Ethan. "Nanti cewek-cewek tidak mau mendekatinya lagi, lho."

Sepertinya Ferus si anak periang itu masih belum punya semangat untuk bercanda, dia hanya tertawa getir. "Dokter sudah menawarkannya tapi dia tidak mau. Biayanya ...."

"Biaya?" Paman Ethan heran. "Dia, 'kan ...." Punya harta gana-gini orang tuanya. Maksudnya dia ingin berkata seperti itu. Anak ini, senang sekali menyulitkan hidupnya. Jangan bilang supaya hemat biaya? Atau malah ingin kelihatan jantan?

"Baiklah." Terasa begitu berat bagi Paman Ethan untuk menarik napas dan membuangnya. "Katakan padanya kalau aku merasa bersalah, aku menyesal karena menyuruhnya menangani misi itu, aku sangat berterima kasih karena dia sudah menyelamatkan Yuka, dan ... bilang aku sempat mampir. Sangat ingin memeluknya, lalu mengajaknya makan-makan."

Paman Ethan melirik pada Nick, dia masih memejamkan mata ... walau alisnya sedikit berkedut. Entahlah, dia jadi ingin tertawa mendapati bocah satu ini begitu keras kepala.

Ferus mengerjap beberapa kali. "Oke."

"Juga bilang padanya aku akan membiayai operasi hidungnya. Kalau butuh biaya lain, tidak usah ragu-ragu bilang padaku. Biar kutangani semuanya. Ayo, Yuka. Dan permisi, Mr. Jones." Dia memberikan senyum ramah serta mengangkat tangan, dibalas ramah oleh kakeknya Ferus yang segera berdiri. Ia menggunakan isyarat tubuh untuk mengucapkan terima kasih, yang tentu saja dapat Paman Ethan mengerti dengan mudah.

Tangan Paman Ethan menyentuh kepala putrinya, tetapi perempuan itu sama sekali bergeming. Sesuatu tampak menghalanginya, berbalik badan saja tidak. Dia masih ingin tinggal lebih lama, terpancar dari matanya yang terus mengamati Nick dalam gundah.

"Yuka?" panggil Paman Ethan.

"Dad, bisa aku tinggal di sini sebentar?" dia meminta dengan lirih.

Secara bergiliran, Ferus dan Paman Ethan saling tatap. Mendengar peristiwa apa saja yang sudah terjadi terhadap anaknya, Paman Ethan yakin Yuka merasa sangat berterima kasih sekaligus merasa bersalah pada Nick dan Ferus. Pria itu pun menyunggingkan senyum biarpun rasanya cukup berat di tengah kegelisahannya sendiri. "Dad tunggu di bawah, ya?"

Seulas senyum Yuka berikan padanya. Sementara pria itu pergi, Yuka menghampiri Ferus dengan malu-malu. Kedua tangannya berpaut di depan tubuhnya, sebisa mungkin bicara cukup kencang walau tetap saja terdengar seperti bisikan. "T-terima kasih ... sudah menyelamatkanku, ya? Biarpun waktu itu aku agak menyebalkan."

Tentu saja Ferus dapat memakluminya, dia mengembangkan senyum dan mendengus. Kepalanya menggeleng pelan. "Tidak, tidak. Aku tahu situasinya saat itu sedang sulit."

"Kamu," tiba-tiba Nick berbicara.

Keduanya, juga Abuelo, menoleh pada Nick yang melepaskan masker oksigennya, berusaha duduk biarpun tubuhnya masih lemah seperti sayur busuk. Abuelo memaksanya untuk tetap berbaring, tapi Nick mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja dengan tangannya.

"Sungguh aku kesal padamu," Nick mengutarakannya dengan dingin.

"Ah ..., iya." Yuka langsung tidak berani menatapnya, jari jemarinya bergerak resah. "Saat itu aku memang sangat menyebalkan."

"Bukan yang itu," tukasnya, "kamu—sungguh. kau tahu Jessie mati malam itu, 'kan?"

Keheningan menyusul ruangan tersebut, hanya samar-samar suara kendaraan di luar gedung mengisi telinga. Dalam sekejap atmosfer berubah menekan mereka, terutama bagi Yuka. Dia tahu persis apa yang dimaksud ucapan Nick, dan dia tahu kesalahan itu dibebankan kepadanya.

"Nick," Ferus mengingatkan setelah bungkam cukup lama, tetapi temannya tetap meneruskan.

"Dan kamu, memiliki kekuatan sehebat itu. Astaga, kenapa kau tidak membakar Sam dari awal? Jika begitu Jessie tidak perlu mati, asal kau tahu."

"I-iya. Aku tahu," jawab Yuka gelagapan.

"Kalau tahu lalu kenapa?" tuntutnya agak kencang.

Kali ini Ferus juga tidak bisa mencegah Nick. Tak perlu dibantah lagi dia setuju dengan Nick. Apalagi malam itu, dia juga menyuruh Yuka untuk melakukan sesuatu dengan apinya, tetapi cewek itu malah bengong padahal posisinya sangat menguntungkan. Sam sama sekali tidak menargetnya. Apa yang dia pikirkan?

Yuka mengaku memang itu termasuk salahnya, tapi Nick harus mendengarkan alasannya terlebih dahulu. Dia pikir dia tidak mau bertindak sesuatu? "Memangnya kau pikir membunuh itu mudah? Lagi pula kau tidak berpikir, 'kan, kalau aku juga mengkhawatirkan kondisimu! Bagaimana kalau kau sampai pingsan lagi karena apiku?"

"Keberadaanku tidak penting di situ!" Nick masih menentang. "Kamu pikir apa gunanya aku ada di situ kalau kau bisa membakar Sam dengan mudah? Efektivitas, Yuka. Efektivitas!"

"Tidak semudah itu aku membunuh orang!" teriakannya sangat kencang, jauh yang dari Yuka bayangkan. Jantungnya berdebar keras antara ketakutan, marah, sekaligus pedih. Kenapa anak ini sulit sekali memahami kondisinya? "Aku ini bukan pembunuh! Mungkin aku memang punya kekuatan menyeramkan, tapi bukan berarti aku sanggup membunuh orang sekalipun dia adalah penjahat!"

Luapan emosi yang merajainya membuat tangannya yang lemah, bahkan sedang diinfus, dapat memukul keras pangkuannya sendiri. "Dan karena ketakutanmu itu Jessie harus berkorban!"

Tiba-tiba saja Abuelo menyambar mulut Nick. Akibat kalap Nick tidak sadar bahwa yang melakukannya adalah tangan ayah angkatnya. Dia menepisnya dengan kasar, dan barulah saat itu bertemu mata dengan Abuelo yang sudah memelototinya. Dia mengancam. Abuelo sangat jarang melakukannya, jika pun dia melakukannya itu pasti karena keterpaksaan. Nick tahu akan hal itu, dia jadi sadar bahwa dia sudah bersikap keterlaluan.

Namun bagaimana? Hatinya masih keras. Sebenarnya dia paham sendiri bahwa ini semua salahnya, tapi karena tidak bisa membendungnya sendirian dia mulai menyalahkan orang lain. Sebuah penolakan tidak berdasar akal sehat. Logikanya tiba-tiba timpang. Berat sekali rasanya. Lebih baik dia terjun saja ke dalam kegelapan.

Tangannya menepuk wajahnya yang menghadap ke bawah, lalu meremas rambutnya. Pedih menyesakkan dada setiap kali jantungnya berdetak. Suaranya nanar dan bergetar, berusaha berbicara, "Sekarang dengar. Cewek itu tidak berhak mendapatkan ini. Ayahnya menunggunya di rumah. Menunggu kepulangannya. Bisakah kalian bayangkan itu?"

Tidak ada yang sanggup menjawabnya, 'kan? Ya, mereka saja tidak bisa membayangkannya, apalagi Nick yang bertanggung jawab atas keselamatannya? 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • SusanSwansh

    Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.

    Comment on chapter Act 000
  • authornote_

    @SusanSwansh wah makasih ya. Makasih juga sudah mampir!

    Comment on chapter Act 000
  • SusanSwansh

    W.O.W. Kereeennnnnnnn.... Like banget ceritanya.

    Comment on chapter Act 000
Similar Tags
Should I Go(?)
9397      2183     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
Semu, Nawasena
6152      2519     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Nafas Mimpi yang Nyata
227      188     0     
Romance
Keinginan yang dulu hanya sebatas mimpi. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar mimpi. Dan akhirnya mimpi yang diinginkan menjadi nyata. Karna dengan Usaha dan Berdoa semua yang diinginkan akan tercapai.
Hidden Words Between Us
1244      517     8     
Romance
Bagi Elsa, Mike dan Jo adalah dua sahabat yang paling disayanginya nomor 2 setelah orang tuanya. Bagi Mike, Elsa seperti tuan putri cantik yang harus dilindunginya. Senyum dan tawa gadis itu adalah salah satu kebahagiaan Mike. Mike selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari dirinya dan rela melakukan apapun demi Elsa. Bagi Jo, Elsa lebih dari sekadar sahabat. Elsa adalah gadis pertama yang ...
Selepas patah
123      104     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Our Son
479      252     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
Save Me
904      539     7     
Short Story
Terjebak janji masa lalu. Wendy terus menerus dihantui seorang pria yang meminta bantuan padanya lewat mimpi. Anehnya, Wendy merasa ia mengenal pria itu mesipun ia tak tahu siapa sebenarnya pria yang selalu mucul dalam mimpinya belakangan itu. Siapakah pria itu sebenarnya?dan sanggupkah Wendy menyelamatkannya meski tak tahu apa yang sedang terjadi?
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
1772      668     2     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
70      58     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...
Awal Akhir
664      414     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.