Mendekati Jessie tidak semudah yang KMM bayangkan. Satu sekolah, iya. Tapi mereka tidak pernah satu kelas. Nick teringat dengan aliran seni psikopat—eh, atau apa namanya? Oh, ia masih sulit mengingat. Seni apa pun itu, inti maksudnya adalah kelas yang diambil Jessie lebih mengarah pada mata pelajaran seni. Tiba-tiba mendekatinya, padahal sebelumnya tak pernah saling sapa, pasti sangat aneh apalagi dalam situasi ia adalah vampir. Vampir sangat peka terhadap sesama makhluk selain manusia biasa. Nick bahkan yakin perempuan itu sudah tahu identitasnya sebagai seorang setengah Mata Merah.
Namun Nick harus bersyukur karena Jessie adalah salah satu anggota Himpunan Nenek Sihir yang dia dan Ferus singkat menjadi HNS. Versi aslinya adalah FBNL (Fans Berat Nicholas Lincoln). Grup itu nyata. Tidak terlihat di permukaan, tetapi di dunia gelap sana Nick sering dijadikan bahan sesembahan. Baru-baru ini mereka membentuk grup itu di Facebook, tapi Ferus mengatakan tidak melihat ada aktivitasnya.
Setiap kali mengingat himpunan ini selalu membuat Nick ingin menangis. Pikirnya, kalau dikelilingi gadis-gadis cantik dan seksi mungkin tidak jadi masalah. Permasalahannya adalah kebanyakan perempuan di sekolah adalah tipe perempuan berwajah bintik seperti anjing dalmatian atau rambutnya yang berantakan seperti sapu. Bahkan dia pernah dengar beberapa di antara anggotanya memuja boyband Kauli di timur sana yang—secara subjektif dia katakan—laki-lakinya mempunyai wajah-wajah cantik (terkadang Nick bertanya-tanya apakah dia memang cantik). Walau sebenarnya ada beberapa gadis dalam kategori idaman sungguhan, seperti Jessie salah satunya.
Padahal awal mulanya Nick sudah berhenti menjadi bintang di sekolah. Dari TK sampai SMP, dia terkenal karena kebrutalan dan keonaran yang dia ciptakan. Kadang juga dia terkenal karena fisik yang dikatakan menarik oleh sebagian besar orang. Tetapi semenjak suatu insiden yang tidak ingin dia ceritakan, dia kehilangan gairah hidup. Memilih untuk berdiam diri di pojokan tanpa disorot lampu dan membiarkan tak seorang pun sadar akan kehadirannya. Ia terlalu muak, bahkan untuk sekadar bernapas. Namun semuanya berubah ketika satu setengah tahun lalu, salah satu senior—yang sampai sekarang masih belum ia ketahui penyebab mengapa ia bisa mengenal Nick—tiba-tiba menjumpai Nick di kantin. Saat itu Nick baru saja sekitar seminggu berada di SMA.
"Kau Nicholas Lincoln, ya?" Sang senior tersenyum lebar, memeluk laptop biru tuanya seperti memeluk boneka beruang. Kepang rambut di depan dadanya menarik perhatian karena Nick pikir ini bukan lagi zamannya merias rambut seperti itu.
Kedatangan tamu tersebut membuat Ferus yang berada di hadapan Nick berhenti menyantap makanannya. Sementara Nick, dengan polosnya menjawab, "Ya?"
"Ternyata memang benar. Wajahmu cukup oke." Senior tersebut tiba-tiba menepuk punggung Nick.
Sejenak Nick khawatir kalau perempuan ini sedang melakukan sesuatu yang berbahaya, namun berdampak positif bagi sang senior untuk menyukseskan apa pun yang dia inginkan dari Nick.
"Begini." Senior itu tanpa izin menggeser nampan isi makanan Nick untuk menempatkan laptop dan membukanya. "Aku ingin kaubacakan pidato ini untuk pensi bulan depan. Kami membutuhkan orang yang setidaknya cukup menarik perhatian supaya pidatonya mau didengar anak-anak, terutama para guru."
Nick mengerutkan dahi membaca pidato itu. Isinya adalah sesuatu tentang politik bobrok dipenuhi koruptor kapitalis dan pendidikan cacat yang bla, bla, bla. Sama sekali bukan bidangnya. Ia melongo, kepalanya bisa jatuh kalau ia tidak sadar.
Berbagai pertanyaan melintas di benak Nick. Senior ini, yang baru pertama kali ditemui, memintanya untuk membaca pidato ini dengan suara lantang dan keras seperti demonstran salah lapak? Parahnya dia sengaja digunakan sebagai pemancing perhatian. Ia bahkan bukan salah satu anggota perkumpulan gila politik.
Sebelum Nick sempat protes karena masih sekilas membaca pidatonya, perempuan berkepang itu mendekat pada sisi wajahnya sambil memandang karyanya dengan bangga. Ia tersenyum misterius dan bahagia. "Kami akan membayarmu, tenang saja."
Kalau sudah masalah uang, Nick buta.
Akhirnya Nick benar-benar melakukannya. Ia berteriak, "Arkadia sudah cacat sejak orang-orang Moskovia menjajah! Arkadia tidak pernah ada! Negara ini hanya dipenuhi oleh kucing-kucing gemuk!" Dan dia tidak tahu apakah firasatnya saat itu benar. Di atas panggung konser di tengah lapangan lari gimnastik, dia bisa melihat lebih banyak pasang mata perempuan yang memerhatikan dibanding laki-lakinya. Itu pun bukan karena pidatonya. Seolah dia sedang menanam bibit kemudian menyiramnya dengan ludah-ludah suci, sehingga mereka tumbuh bermekaran.
Sejak saat itulah Nick menerima banyak benda-benda aneh di loker. Cokelat, bunga. Ah, itu masih wajar. Kau akan bunuh diri saat menemukan bra bertanda tangan spidol pemiliknya, berikut cap bibir. Jangan tanya Nick bagaimana cara mereka memasukkannya.
Jadi begitulah salah satu kisah Nick yang sebenarnya di sekolah. Ia tidak pernah menyombongkan ini. Bahkan katanya, jika ia bisa membagi berbagai pemberian itu kepada orang lain, atau setidaknya dengan Ferus, ia akan memberikan seluruhnya.
Sebagai anggota HNS, ini adalah alasan mengapa Jessie kaget saat Nick sengaja menemuinya di ruang loker beberapa menit sebelum masuk kelas. Mata Jessie yang dari sananya lebar dan bulat semakin membulat hampir keluar dari lubangnya begitu Nick berdiri di sampingnya dan berkata, "Bisa kita bicara sebentar di kantin?"
Ferus di belakang Nick bersungut-sungut, tapi secepat itu juga dia langsung menyapa Jessie, "Hai, Jessie!"
"Ah, t-tentu. Ada masalah apa? Dan halo juga, Ferus." Jessie benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Tanpa disadari, dia hanya memegang tutup loker, lupa menutupnya. Padahal kemarin-kemarin, Nick baru melihat Jessie memujinya tampan di Instagram Ferus dengan banjir emoticon simbol hati. Memang berbeda rasanya jika menemui orang yang disukai secara langsung daripada hanya diam-diam mengamati di media sosial.
"Soalnya Ferus ingin bicara denganmu," ungkap Nick dengan gamblang.
Disambut dengan jeritan Ferus. "L-loh, kok, aku?!" katanya.
"Oh, Ferus?" Jessie tertawa. Tapi di dalam hatinya ia jelas kecewa.
"Yap." Nick mengangkat pundaknya. "Ia minta ditemani, bahkan minta aku yang menyampaikan."
Ferus terkekeh sangat canggung, wajahnya saja memerah. "Hehe, hai." Keempat jarinya bergerak ke atas dan ke bawah bermaksud menyapanya (untuk kali kedua).
Nick melirik Ferus dengan heran, mengapa anak itu sampai menyapa dua kali? Rupanya hal yang sama pun dipikirkan Jessie, tetapi gadis ini masih berbaik hati dengan menyapa ulang si anak bongsor.
Lalu Jessie menanggapi, "Bisa, kok. Saat istirahat, kan?"
"Ya," jawab Nick. Dengan begini ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia pun berbalik dan berkata, "Ditunggu, ya."
"Oke," jawab Jessie dengan senyum lebar dan manis.
Puluhan langkah dari sana Ferus baru memprotes, "Nick!" Namun karena Nick tidak menggubrisnya, ia segera melanjutkan, "Kamu bilang rencana itu tidak jadi dipakai. Kamu sudah janji, tahu!"
Dari kata-kata yang disampaikan, benak Ferus seolah berkata: memang seharusnya ia tidak pernah percaya pada Nick si otak licik.
Namun Nick masih berjalan saja. Sama sekali tidak ada niat untuk mengacuhkannya.
"Woi, dengarkan aku, dong!" seru Ferus lagi.
Tiba-tiba saja Nick berbalik untuk mencekal mulut sahabatnya. Bukan main perih sekaligus kekagetan yang dirasakan Ferus. Sekarang Ferus hanya bisa mengeluarkan suara tanpa membuka mulut. Dan Nick, anak itu memandang saudara angkatnya dengan bete. "Sudah, diam saja. Mulutmu bisa keriting seperti bulu ketiakmu. Kamu mau dijodohkan atau tidak, hah?"
Mau tidak mau Ferus harus menerimanya. Sial, pikirnya.
Jessie telah berada di kantin dan ia tidak memperlihatkan reaksi kaget yang sama saat melihat Nick—yang diikuti oleh Ferus—datang menghampiri. Tadi sikapnya seperti melihat biksu turun dari langit, tetapi sekarang ia sudah bersikap biasa saja. Meskipun Jessie mengikuti HNS, dia tidak terlihat norak seperti anggota yang lain. Sikapnya bisa dibilang mirip seperti ayahnya untuk saat ini, tenang dan ramah. Dia selalu menyelipkan rambut keritingnya ke belakang telinga setiap kali merosot ke pipinya, entah karena grogi atau apa.
Nick sengaja memberinya senyum, sikap yang selalu ia lakukan kepada klien atau orang asing. "Tidak usah grogi, aku hanya ingin membantu temanku menyampaikan sesuatu." Dia memautkan jari-jarinya di atas meja.
Ferus dengan beringas menengok pada Nick. Dari wajahnya jelas dia sedang mengancam Nick, tapi temannya ini pura-pura tidak melihatnya.
Jessie melirik ke arah kanan Nick, pada Ferus. "Ferus? Oh, ya." Ia seakan baru menyadari anak laki-laki itu duduk bersama mereka. "Apa? Apa yang ingin Ferus sampaikan?"
"Tidak!" Ferus segera menyeru. "Bukan apa-apa, hanya—"
"Ia menyukaimu," kata Nick kemudian dengan santai.
Ferus berdengap, hampir-hampir menyedot seluruh oksigen di kantin dengan mulutnya yang terbuka lebar. Reaksi Jessie lebih parah, ia malah termangu seakan Nick memasang gendam padanya. Nick nyaris berteriak ketika Ferus menginjak keras sepatu kets tipis lusuhnya dengan sepatu olahraganya yang tebal.
Jessie merespons, "B-benarkah ...."
"Tentu saja kami bercanda." Suara Nick mirip ketika mendorong paksa kotoran di lubang pantat, dan Ferus tetap tidak menyingkirkan kakinya. Nick pelan-pelan menoleh pada anak itu. "Benar, 'kan?"
"Ya!" Ferus pura-pura tertawa padahal butir-butir keringat ketakutan muncul di bawah hidungnya yang ditumbuhi kumis tipis. Lubang hidungnya tampak mengembang. "Aku—aku tahu diri. Setidaknya aku harus mencari perempuan yang setara, yang mau menerimaku."
"Hei, jangan berkata begitu." Jessie pun tertawa biarpun terdengar sangat canggung. Dia lalu bertopang dagu, menyunggingkan senyum kalem. "Jangan merendahkan dirimu. Kamu berhak mendapatkan siapa saja."
Kemudian Jessie melirik Nick. Tentu saja anak itu pura-pura tidak menyadarinya. Nick lebih cinta nugget-nya dan memilih untuk "membalas tatapan" makanan itu.
Ferus mengadu kedelapan jari kurusnya dengan cepat pertanda ragu. Syukurlah kakinya sudah menyingkir. "Ya ... harusnya kamu benar. Tapi ... sudahlah."
"Memang hal seperti itu merumitkan," ujar Nick, lalu menyedot susu tanpa perisa, mengabaikan denyut mengerikan di kakinya. "Makanya lebih baik tidak usah pikirkan."
Jessie tertawa. "Tidak seperti itu juga, Nick. Ternyata jalan pikirmu terlalu kekanak-kanakan."
Gadis ini mengatai Nick kekanak-kanakan? Jika Jessie mengizinkan, Nick akan membicarakan betapa idiot dan naifnya remaja-remaja memikirkan masalah percintaan romansa antara lawan jenis atau sesama gendernya. Bolehkah ia menceritakan betapa lugunya mereka berkata saling cinta kemudian hanya karena pertengkaran kecil akhirnya tidak meneruskan hubungan? Ia yakin saat mereka menyatakan mereka berpacaran, komitmen mereka sangat kabur hampir-hampir tidak terpikirkan. Intinya, semua itu gunanya untuk apa? Pemuas hati? Bagi Nick, masih banyak hal lain yang bisa menghibur selain menghabiskan waktu berpegangan tangan, berpelukan, dan bermesraan dengan seseorang yang belum tentu akan menjadi pasangan seumur hidup.
Tapi, tentu saja, kedua orang yang menemaninya di kantin ini tidak akan tertarik mendengar pandangannya.
"Bukan," Ferus tiba-tiba bicara. "Daripada kekanak-kanakan, anak ini lebih tepat disebut tidak punya hati."
Lagi-lagi Jessie tertawa lebar sedangkan Nick terkekeh masam. "Oh, ya?" tantang Nick. "Saat kamu sakit dan selimutmu masih belum kering karena hujan sepanjang hari, aku berbaik hati meminjamkan selimutku. Apa itu artinya tidak punya hati?"
Sepertinya Ferus masih jengkel karena Nick bermain-main dengan perasaannya tadi. Dia dengan emosi menyendok makanannya ke mulut. "Tidak. Aku tahu kau hanya menggunakannya sebagai bahan menagih imbalan."
"Serius?" Antusiasme Jessie tampak kembali. "Jadi kalian memang tinggal satu rumah, ya?"
"Hei, ini sudah hampir dua tahun dan kau belum tahu?" tegur Ferus tidak percaya.
Jessie memindah tumpuan lengannya, kemudian mengangkat sebelah pundak. "Aku hanya tidak mau cepat menarik kesimpulan. Jadi kalian ini apa? Semacam saudara?"
"Saudara angkat," jawab Nick cepat-cepat seolah tidak sudi menjadi saudara sedarah Ferus. "Ia bahkan orang Aletina. Kau tidak bisa melihatnya?"
"Astaga, kau mulai rasis lagi!" Ferus meninju lengan Nick sementara Nick sibuk melepas tawa.
"Hei, hei. Jangan bertengkar lagi." Jessie berkata begitu, padahal dia tidak keberatan melihat mereka bertengkar. "Jadi kau diadopsi dari panti oleh orang tuanya Ferus atau bagaimana, Nick?"
Ferus berdeham. "Permisi. Tapi kakek dan nenek. Aku tidak punya orang tua juga."
"Ah." Jessie menegakkan tubuhnya, menutup mulutnya. "Aku menyesal."
Ferus menggeleng, tersenyum cerah. "Tidak apa-apa, dan Nick bukan diadopsi dari panti asuhan. Yah ... ceritanya agak rumit."
"Dan kurasa bukan bahasan tepat untuk makan siang bersama," ujar Nick tetap murah senyum padanya.
"Kau benar." Jessie memainkan garpunya tanpa menyentuh makanannya sedikit pun. "Kehilangan salah satu anggota keluarga, apalagi kalau lebih dari satu itu benar-benar menyakitkan."
Dapat Nick rasakan senyuman Jessie sedikit mengendur. Tiba-tiba dia ingat fakta tentang gelas dan kursi di rumah Carl. Entah apa pun masalahnya, Jessie tidak memiliki ibu sekarang. Buat Nick sendiri, pembicaraan ini tidak sensitif. Kehilangan orang tua? Biasa saja. Permasalahan di sini adalah Ferus dan Jessie. Keduanya berubah murung tidak nyaman.
"Baiklah, kita tidak akan bahas ini lama-lama," kata Nick, "Daripada itu, aku punya pertanyaan lebih penting. Apa kau sedang diet? Karena kalau iya, lebih baik makananmu untukku." Dia menunjuk makanan Jessie dengan dagu.
Jessie pun tertawa hambar. "Ah, aku sedang tidak nafsu makan. Tapi aku akan menghabiskannya. Kau mau mengambil bagian yang mana?"
"Tidak, aku hanya bercanda," ucap Nick, menusuk nugget-nya.
Entah firasat Nick saja atau Jessie sedang sangat bahagia saat ini—meskipun barusan sedikit menyenggol permasalahan ibunya. Jessie menopang dagu, lebih mendekatkannya pada Nick yang sedang sibuk membagi nugget, kentang, dan kacang polong yang terpaksa dia sentuh demi menjaga kesehatan tubuh. Jessie berkata, "Aku jadi kepikiran mengajak kalian ke pesta Sam malam ini. Dia pasti akan senang melihat kalian."
Pesta malam? "Wow," kata Nick, sampai berhenti mengumpulkan makanan pada sendok. "Yakin dia tidak akan mengira kau salah mengundang orang?"
Jessie tertawa. "Semua orang berharap bisa mengundangmu ke pesta malam mereka, Nick. Kau sudah mengikuti banyak pesta, 'kan?"
Nick berkedik. "Sepanjang hampir dua tahun hanya bisa dihitung jari. Dan belakangan ini tidak ada yang mengundangku lagi karena yakin aku bakal menolak. Kau yang pertama di tahun ajaran sekarang. Bulan apa sekarang—Februari?"
"Dan gara-gara itu aku jadi tidak diajak ke pesta juga," gerutu Ferus pada Nick, "Maksudku, siapa yang mau mengundangku kalau tidak sambil membawa Nick?"
"Ferus, berhenti merendahkan dirimu, oke? Kalaupun Nick tidak datang, aku tetap mengundangmu dan aku akan membuat malammu benar-benar hebat bersama Sam," ujar Jessie dengan serius dan tegas.
Sepertinya Ferus sangat tersanjung karena telinga di balik rambut ikalnya memerah. Ia bahkan tidak bisa memandang Jessie terlalu lama, seperti anak kecil yang malu-malu mengaku mengompol di kasur semalam. "Ah, iya. Sam. Anak itu sekelas denganku di kelas seni lukis. Dia terlalu hebat."
Jessie mengangguk setuju. "Tapi dia selalu baik kepada siapa pun. Kau sendiri tahu, 'kan?"
Sam dan anak seni. Lagi-lagi Nick ingat informasi ayahnya Jessie tentang seniman-seniman aliran psikopat—silakan salahkan Nick jika nama itu salah. Namun, Jessie juga anak seni. Astaga. Firasat buruknya terlalu kental, apalagi kalau membawa Ferus karena Ferus adalah sasaran semua makhluk supernatural. Sebutannya adalah Sang Dikaruniai. Dan ... Jessie, apa ia sengaja meyakinkan Ferus untuk ikut dengannya?
"Aku pasti datang," kata Nick mengalihkan perhatian keduanya, "Kabari saja kalau Sam mengajak atau malah menolak. Kau sudah tahu kontakku?"
Nick tidak tahu kalau pertanyaan itu bakal menjadi sensitif untuk Jessie. Gadis ini sampai beringsut gelisah. "Eh ..., aku sudah ada kontakmu, tapi sepertinya kau belum menambahkan balik kontakku."
Mendengar jawaban itu, Nick langsung tahu alasan Jessie bergerak tidak nyaman. Pernah suatu ketika Jessie mengontaknya untuk menanyakan tugas matematika. Entah modusnya karena Nick memang membuka jasa mengerjakan tugas matematika orang lain atau Jessie memang ingin genit saja. Nick adalah tipe orang yang tidak segera menyimpan kontak seseorang di ponselnya, dan hal yang sama ia lakukan pada Jessie. Suatu pemikiran melintas bahwa setelah kejadian itu, Jessie menghubunginya lagi bahkan setelah dia menyalakan fitur penyaringan obrolan dari orang asing. Harusnya, paling tidak, dia merasa bersalah. Namun ia tetap terlihat tenang.
"Oh, baiklah." ucap Nick.
Baru kali ini Jessie menggunakan alat makannya dengan benar. Ada kebahagiaan lain yang muncul dari hatinya sehingga ia bersemangat makan. "Oke. Aku tidak sabar menunggu kalian nanti malam! Jangan lupa temanya semi-formal, ya."
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000