Keluar dari kelas, sebelum Jack pergi begitu saja Ferus menyusulnya, beberapa kali menabrak murid yang menghalangi jalan. Aneh ketika beberapa tangan menarik baju Ferus sambil memanggil namanya seolah dia adalah bintang rock papan atas di tengah konser meriah. Besar sekali usaha mereka untuk menjauhkan Ferus dari Jack?
"Kau tidak menemui Nick?" Andy bersorak padahal jaraknya sebatas lima langkah.
Jawaban yang Ferus berikan hanya sebuah dengusan dan isyarat tangan mengusir anak itu. Sebelum benar-benar berbalik Ferus tahu murid lainnya berbisik cemas satu sama lain.
Sesuatu benar-benar tidak beres, dan Ferus tidak akan membiarkan semua penduduk sekolah merahasiakannya. Namun di atas segalanya, yang paling dia tidak suka hari ini adalah sama sekali tidak bicara dengan Jack. Padahal biasanya mereka duduk bersebelahan dan diam-diam membicarakan video game ketika anak-anak lain mengerjakan teka-teki perusak otak yang diberikan Mrs. Yang.
Ferus langsung mencegat Jack dengan menarik pundaknya kemudian menyapa, "Hei!"
Dia berbalik. Perbuatan sederhana itu dapat menghancurkan setiap inci tulang Ferus kalau menilai dari dahi Jack yang berkerut-kerut. Sekejap Ferus menciut menjadi tikus eksperimen dan urung bicara kecuali ide dihajar oleh Jack adalah satu-satunya yang dia inginkan. Sayangnya Ferus sudah terlanjur mendapat perhatian, memilih mundur pun sama artinya dibuat babak belur oleh si pemain sepak bola itu.
Ferus berusaha kembali pada tujuannya. "Hari ini ... hari ini kita tidak bicara sama sekali."
Jack hanya memandang Ferus dari atas ke bawah dan kembali lagi ke mata, mencari alasan yang mengharuskannya meladeni si jangkung yang tersenyum saja menyiratkan jeritan sengsara.
Tidak mau gagal Ferus pun segera memutar otak. Sebuah bohlam menyembul dari kepalanya. "Err, hari ini kita makan di kantin bersama yang lain seperti biasa, 'kan?"
"Aku sudah tidak bicara lagi dengan mereka setelah dari rumah sakit," tanggapnya tampak sudah bosan bicara dengan Ferus.
"Eh, apa?" Ferus bergidik. "T-tapi kenapa?"
Dia mendengus, baru kali ini Ferus melihat senyumnya ... senyum sarkastis. "Mereka tidak memberitahukanmu, ya?"
"S-soal ... kau tidak bicara dengan mereka?" Kedua kaki Ferus bergerak resah seperti kuda sungguhan.
Untuk beberapa waktu yang cukup lama mereka hanya saling tatap di tengah anak-anak yang berlalu lalang di lorong kelas. Tatapan dingin Jack membekukan Ferus. Tidak bisa beralih darinya. Mesin derek mencabik jantung Ferus kemudian menyeretnya secara paksa. Ia merasakan ada sesuatu yang familier di balik mata gelap Jack. Sensasi ketakutan ini .... Tidak akan lari sekarang. Tidak akan seperti dulu lagi.
"Biar kuberitahu sesuatu," kata Jack, kedua tangannya mencengkeram tali tas ranselnya. "Bagaimana kalau kita bicarakan nanti di belakang gedung sekolah? Berdua saja. Ada hal yang tidak nyaman kalau kusampaikan pada anak-anak lain selain kau."
"O-oh, tentu saja." Mata Ferus jelalatan. Setengah curiga karena ini ajakan yang sangat sering dia terima sebelum beranjak SMA.
Senyum Jack kali ini lebih ramah walau tidak lebih baik dari emotikon titik dua dan tutup kurung. Sejenak saja Ferus merasakan Jack yang sesungguhnya kembali lagi setelah berhadapan dengan orang lain tetapi dengan fisik sahabatnya.
Jack menepuk pundak Ferus. "Bagus. Jam istirahat, kutunggu di sana. Kau tahu, pendengar terbaik di antara kita semua adalah kau. Hayes juga baik, tapi dia terlalu penuh nasihat yang membuatku pening sendiri."
Separuh senang—karena Ferus masih curiga, tapi ini lebih baik—akhirnya dia tertawa heboh dengan maksud menendang kecanggungan. "Yeah, begitulah."
Terakhir, Jack mengangkat tangan untuk perpisahan karena dia harus ke kelas fisika sedangkan Ferus ke kelas seni musik. Sejak kapan Jack berubah menjadi pejabat tinggi yang menuntut Ferus wajib menjaga sikap dan pura-pura menjadi orang lain? Jakun Ferus pasti sudah bergerak resah dari tadi karena berkali-kali menelan ludah. Menakutkan.
Usai kelas seni musik begitu menegangkan padahal dia bukan dipanggil untuk mengikuti olimpiade matematika, sementara menghitung uang kembalian saja sering dirugikan. Sempat kepikiran oleh Ferus apakah lebih baik mengajak Nick untuk bertemu dengan Jack di belakang sekolah. Bagaimana pun ajakan ini sangat tidak asing ditawarkan oleh anak-anak menakutkan yang senang sekali menjadikan Ferus bulan-bulanan di masa lalu. Mereka selalu memanfaatkan sisi lemahnya yang tidak mampu melawan karena kondisi fisik yang payah, ibarat tidak butuh usaha untuk mematahkan sebatang lidi. Mereka tahu Ferus hanya akan kerasukan pada kondisi-kondisi tertentu seperti di kelas, rentan hilang konsentrasi. Atau ketika sedang sendirian di kantin. Bahkan sedang buang air kecil di toilet. Selama Ferus masih diajak bicara dia tidak akan tiba-tiba kerasukan.
Namun ia pertimbangkan lagi ucapan Jack. Cowok itu bilang hanya Ferus yang paling nyaman diajak bicara. Memang dia lebih sering mendengarkan dahulu sebelum berkomentar, komentarnya pun tidak pernah macam-macam karena dia tahu kata-kata tidak akan membantu seseorang di kala mereka sedang gundah gulana (dan pura-pura membutuhkan solusi padahal hanya ingin merengek). Jack membutuhkan Ferus saja. Terlalu banyak orang akan membuatnya pusing. Kalaupun dia memang mau menghajar Ferus, sudah saatnya Ferus bisa mengatasi sendiri.
Paling tidak Ferus yakinkan pendapat itu dalam kepala.
Yang seketika runtuh ketika menemukan Jack berdiri bersandar di dinding sekolah sambil mengutak-atik ponsel dengan tangan kanan. Cowok itu langsung menegakkan tubuh, menghadap Ferus dan memasukkan ponsel ke dalam saku saat Ferus hanya terpisah beberapa langkah.
Dia memberi Ferus senyum hangat. "Hei."
"Hei juga." Ferus berhenti di depannya dengan sangsi. "Tanganmu ...." Dia meliriknya.
"Oh, ini. Kira-kira seminggu lagi sudah bisa digerakkan," ujarnya setenang air yang tak tersentuh. "Kau sendiri bagaimana? Tidak ada yang parah? Kemarin kamu koma, 'kan?"
"Hmm, iya." Ferus mengusap tengkuk. "Tapi semuanya sudah baik-baik saja sekarang."
"Begitu?" Dia berpaling ke arah lain. "Hari ini aku kelihatan aneh, ya?"
Kalau saja konteksnya sedang ringan dan santai, Ferus akan menyeru "sangat", tapi tentu saja tidak mungkin. "Aku ... aku tahu kau marah padaku gara-gara kecelakaan itu."
Jack masih berpaling dari Ferus, sesekali kakinya menendang kerikil yang ada di atas aspal lapangan basket. "Hari ini Eva tidak bisa masuk. Mungkin kau tadi sedikit kebingungan namanya tidak disebut oleh Mrs. Yang."
Oh, dia tahu soal itu ... dan Eva tidak bisa masuk. Bukan tidak akan masuk lagi. Sumbatan yang berada di pernapasan Ferus berhasil tersingkirkan. Dia dapat menghela napas lega. "Apa dia masih dirawat di rumah sakit?"
Kaki Jack berhenti bergerak hanya untuk menatap Ferus dengan mata gelapnya. "Tidak."
Sesaat saja Ferus mengerjap bingung. "Di rumah? Atau ada urusan lain?"
Jack merapatkan bibirnya sehingga muncul lesung pipit di pipi kirinya. "Aku ingin bertanya tentang satu hal."
Dia tidak mengira pertanyaannya akan dialihkan. Apakah Jack pikir dia tidak sadar soal itu? Tapi Ferus hanya akan mengikuti ke mana arah percakapan yang Jack inginkan. "Ya?"
Mulut Jack terbuka, lidahnya menyusuri barisan gigi bawah sebelum benar-benar bertanya. "Apa kau anak yang dulu sering dibicarakan sekolah-sekolah? Kalau tidak salah julukannya adalah si Bocah Psikopat."
Pertanyaan itu sukses membuat Ferus kecil hati, mendadak merasa terintimidasi sampai mundur selangkah. Dari mana Jack tahu tentang itu? Atau memang sejak dulu sudah tersebar luas di sekolah-sekolah lain? Kalaupun begitu kenapa sudah tidak ada lagi yang membahasnya? Apa karena Ferus sudah tidak seperti dulu, jadi mereka tidak pernah membahasnya?
"Jawab aku?" tanya Jack mengalihkan lamunan Ferus.
Lidah Ferus sama sekali kaku.
Jack menyadari itu, dia pun mengalihkan mata dengan sengit. "Dulu ada satu kabar burung yang sangat mengerikan. Katanya dulu kau pernah hampir membunuh seorang guru dengan memukulkan kepalanya menggunakan vas bunga?"
Ya ampun. Itu bukan kabar burung lagi. Itu memang terjadi. Jadi ternyata itu dibicarakan oleh orang-orang luar? Ferus masih belum sanggup berkomentar, justru informasi itu berkecamuk riuh di dalam benaknya.
Jack kali ini lebih menekankan tatapannya. Bahkan dia maju selangkah yang memaksa Ferus mundur selangkah. "Kabar lainnya, kamu pernah mendorong seorang murid dari tangga sekolah sampai kepalanya bocor."
Apa? "T-tidak. Yang itu tidak pernah terjadi!" elak Ferus. "Maksudku ... tidak sampai bocor kepalanya. Tapi hei, kenapa kamu tiba-tiba membahas ini?" sambungnya dengan ragu-ragu.
"Kenapa katamu?" Tiba-tiba terbentuk seringai jahat darinya. "Menurutmu apa lagi, Ferus?"
Celaka. Ferus terlambat menghindar. Jack menyentak kerah kaus Ferus kemudian menyeruduk kuat-kuat. Ferus nyaris terantuk tumit sendiri andai tidak ada dinding bata merah di belakang, tapi tetap saja menyakitkan sampai ia mengerang. Bukan hanya hantaman kuat yang menyakiti, tapi tekstur kasarnya juga menggores punggung.
Naluri Ferus sedang tidak bekerja dengan baik. Padahal ia sudah menjerit pada tubuh Ferus untuk memberontak apa pun yang terjadi, tetapi hatinya selalu menang. Jika mengingat alasan kenapa Jack melakukan ini padanya ... maka dia memang pantas mendapatkannya, bukan?
Kini seringai Jack—seluruh aspek rautnya berubah total. Matanya membulat berapi-api, alisnya menaik murka, lehernya pun menampilkan tulang-tulang dan uratnya yang menegang. Dia bicara keras-keras pada Ferus hingga ludahnya berhamburan, "Dasar kau pembunuh tidak waras! Kenapa sampai bisa aku berteman denganmu?!"
Tunggu. Apa maksudnya? "P-pembunuh apa?! Apa kau bermaksud tentang masa laluku? Aku tidak pernah membunuh siapa pun! Sumpah! Lagi pula itu semua hanya masa lalu!"
"Kau mungkin tidak pernah membunuh orang dulu!" Dia semakin menekan kepalannya pada dada Ferus, ujung tulang jari tengahnya menusuk tajam meninggalkan bekas sakit berdenyut-denyut. "Tapi sekarang kau membuat rekor terhebat, Ferus! Enam orang terbunuh di waktu bersamaan! Sekarang katakan apa pertanggungjawabanmu atas itu?! Aku kehilangan teman-temanku! Aku kehilangan Eva, orang yang kucintai! Dasar orang gila!"
Terbunuh? Kecelakaan itu—"Tunggu—"
Belum sempat Ferus menyelesaikan penjelasan, Jack melepas cengkeramannya untuk mendaratkan bogem mentah pada wajah Ferus. Secara instan sudah cukup membuat Ferus berlutut di aspal berdebu penuh kerikil. Tampaknya Jack masih belum puas makanya dia menginjak punggung Ferus dan mendepak perutnya berkali-kali. Perbuatan yang persis dilakukan oleh anak-anak tukang labrak di masa lalu.
"Keparat! Keparat! Bisa-bisanya kau masih bertingkah polos setelah membunuh orang sebanyak itu! Temanmu sendiri! Di mana letak kewarasanmu itu, berengsek?! Di mana hatimu?! Di mana perikemanusiaanmu, Ferus?! Di mana?!"
"Aku ... aku tidak bermaksud bertingkah polos! Aku tidak tahu apa-apa soal ini. Sungguh! Akh!" mohon Ferus putus asa dengan suara bergetar juga menahan rasa sakit bertubi-tubi. "K-kumohon hentikan!"
Tenaga injakan Jack pada punggung Ferus meningkat. Saking kerasnya, suara entaknya merambat dari tubuh ke telinga Ferus, udara dalam pernapasan Ferus sontak terempas ke luar. "Bagaimana kau bisa tidak tahu tentang ini semua?! Jangan membela dirimu, alasanmu sama sekali tidak masuk akal!"
"Jack, sungguh!" jerit Ferus kepayahan, meringkuk melindungi kepala dengan kedua lengan. "Tolong maafkan aku!"
"Diam kau! Di-am!"
Kenapa? Kenapa dia begini? Seperti dia tidak tahu Ferus saja, dia pasti sudah menangis setiap hari bahkan tidak masuk sekolah dan tenggelam dalam depresi tingkat parah kalau mengetahui teman-temannya mati karena dia. Namun terlepas dari itu semua Jack sangat membenci Ferus sekarang. Salah paham atau tidak, Jack pasti membencinya. Lagi-lagi karena masalah kemampuan indra keenam ini. Ferus mulai menangis lagi di tengah kesakitan ditindas habis-habisan oleh Jack, tetapi tidak menyaingi sesakit sesudah dia tahu telah membunuh enam orang teman dekatnya.
Inikah yang Nick maksud barusan? Jadi selama ini Nick menyembunyikan hal sangat fatal dari Ferus? Tapi kenapa? Apakah anak itu takut membuat Ferus sedih dan lebih memilih Ferus diserang oleh Jack di kemudian hari?
Tidak usah melawan, pikirnya. Ferus kembali mengurungkan niat itu. Dia memang pantas menjadi bahan pelampiasan kemarahan Jack. Jika itu memang satu-satunya jalan untuk menenangkan jiwanya yang ketakutan karena kehilangan. Bahkan Ferus terlalu sibuk memikirkan kenyataan bahwa dia adalah seorang pembunuh. Langsung tidak langsung, tetap saja pembunuh. Pembunuh teman dekat sendiri. Berjumlah enam orang. Ini benar-benar memukulnya telak, mencabik-cabik jantungnya yang terus berdetak keras oleh rasa pedih tak terbendung.
Memang seharusnya Ferus tidak usah dekat-dekat dengan manusia kecuali bersedia menerima ini semua. Menjadi bahan caci maki dan siksa fisik. Ya, harusnya memang begitu.
"Jangan hanya diam, berengsek!" Jack masih mendendang perut Ferus dengan sepatu olahraganya yang sangat tebal dan keras. "Kembalikan mereka semua! Kembalikan!" jeritannya berubah menjadi tangisan menderita yang semakin menikam Ferus dengan beribu mata tombak tebal dan tajam.
Tangan Ferus tidak mampu lagi menekuk untuk melindungi kepala, dilanda denyut pilu atas setiap tendangan kemurkaan Jack pada perut dan punggungnya. Perutnya mulai berpilin-pilin tak keruan sampai akhirnya dia memuntahkan udara bersamaan dengan air liur, yang pada batuk kedua mengeluarkan darah menciprat langsung ke aspal.
Darah itu berhasil mengembalikan kewarasan Jack. Anak itu tiba-tiba menyeret tumitnya untuk mundur dan terbengong seolah baru saja berhasil mengambil alih tubuhnya yang dikendalikan oleh iblis.
Hanya saja sudah tidak ada artinya dia berhenti. Badan Ferus lemas seperti kain yang digantung pada dinding, tidak berdaya apa-apa hanya mengikuti angin yang berembus. Penglihatannya mulai buram serentak dengan pusing bukan kepalang.
Ia pikir kelebat warna kuning yang menyerbu Jack sampai anak itu terseret di aspal adalah khayalannya. Tidak lain lagi, anak yang mengenakan jaket letterman kuning dan hitam itu jelas pahlawannya, Nick. Semakin jelas ketika dia menggertak, "Bajingan! Kaupikir apa yang kaulakukan pada Ferus, hah?!"
Ferus terlalu pusing memerhatikan mereka. Kedua lengannya menutup wajah yang tidak berhenti berdentam-dentam kencang, meringis sambil merintih karena menangis. Bau anyir darah yang mengalir dalam lubang hidungnya membuatnya mual, ditambah lagi dengan rasa besi menjijikkan yang menggumpal di dalam mulut.
Jack di sebelah kanan sana menggusar membenahi posisinya di atas permukaan berdebu. "Tanyakan pada saudara psikopatmu itu! Tanyakan kenapa dia tega membunuh enam orang temannya tanpa merasa bersalah sedikit pun!"
"Tutup mulut tololmu!" Nick tak kalah keras dibanding Jack, meledak-ledak seperti serentetan bom. "Pakai otak kecilmu itu! Kaupikir Ferus sengaja melakukannya?! Jangan hanya karena dia kebetulan selamat dari kecelakaan kau berpikir dia sengaja mencelakai kalian semua!" Setelah itu dia berlutut di hadapan Ferus dengan rusuh, membantunya untuk duduk dengan benar dan menyandarkannya pada tembok.
"Dia punya kekuatan aneh! Aku sudah mendengar semua ceritanya! Tentang anak psikopat yang sempat membuat murid-murid gempar. Terutama sekolah Denver Middle School dan Curtis Elementary School, sekolahnya dulu! Wajar saja dia selamat dari kecelakaan itu!"
"Keparat ...!" Sebelah kaki Nick menggusar, siaga bangkit untuk menghajar Jack. Ferus tahu tahu persis, jadi dia lekas menahan jaket Nick.
"Jangan." Untuk bersuara saja sangat lemah bagi Ferus.
Nick menuruti Ferus secara fisik, tetapi mulutnya terus mencaci maki Jack yang kini sudah setengah berdiri berupaya mengatur deru napas penuh emosinya. "Jadi keselamatanmu juga berdasarkan kekuatan aneh? Dasar tolol! Begini, Otak Udang. Jika landasanmu hanya berdasarkan itu maka harus kuberitahu sesuatu, aku juga monster! Aku juga bisa melihat hantu, terpengaruh oleh hantu, dan segala tetek bengek yang kau dan otak kecilmu itu takuti. Sekarang apa? Kau juga mau takut denganku? Mengataiku pembunuh juga?! Pergi sekarang sebelum aku membunuhmu, sialan!"
Kehadiran Nick sama sekali tidak membantu. Dia malah membuat Jack semakin mendidih, apalagi wajahnya merona padam dan giginya bergemeretak. Kepalan tangan kanannya mengeras dan bergetar, tulang-tulang ujung jari di telapaknya kian menonjol. "Kalian semua monster ...," ringisnya meluap-luap.
Jack menerjang sambil berteriak seperti seruan perang, tetapi Nick tidak gentar. Nick tetap di posisinya kecuali dia berganti berdiri. Seakan sengaja menunggu Jack lebih dekat lagi. Apa yang anak itu pikirkan? Dalam skala waktu lebih sedikit dari satu detik, secara refleks Ferus memejamkan mata kuat-kuat dan tidak sadar dengan keras mengalihkan wajah.
Namun dia tidak mendengar ada tanda pukulan, malah Jack tiba-tiba tersedak dan kedua tumitnya segera menghentikan langkah sambil tersaruk-saruk mundur.
Suasana yang Nick keluarkan mendadak sangat mendesak keberanian. Ferus menyeret diri beberapa senti mengetahui terdapat semacam jarum menusuk setiap pori-pori kulitnya. Apakah Nick sedang mengaktifkan kekuatan supernaturalnya?
Kembali pada Jack. Cowok itu pun gagu seperti melihat setan di depan mata. Kakinya tertatih mundur tapi kemudian membeku sepenuhnya.
Kali ini suara Nick lebih pelan tetapi dalam. "Lihat ini, bajingan," umpatnya bengis. "Aku dan Ferus sama-sama bukan manusia biasa. Kau harus berhati-hati lain kali."
Bukan hanya setan, mungkin bagi Jack yang ada di hadapannya adalah seekor kaiju. Kepalanya bolak-balik melihat ke sisi dan pada mereka. "K-kau. Makhluk itu—"
"Enyah sekarang!" Nick menggertaknya sekali lagi. Jack bertingkah seperti ayam yang dikagetkan, langsung kabur memutari gedung, hanya tersisa langkah rusuhnya yang menggema di dinding dan udara.
Nick pun berbalik pada Ferus. Apa pun yang dipikirkannya pasti mengakibatkan khawatir bercampur marah—atau kecewa. Atau semuanya. Matanya yang berwarna merah berubah menjadi biru seperti cat air yang diteteskan ke air bening. Sambil itu dia membantu Ferus untuk berdiri. "Kenapa kau tidak memberitahuku dia mengajakmu ke sini? Untung saja aku ini bekas tukang labrak. Aku tahu di mana tempat-tempat strategis untuk memburu manusia lemah sepertimu!"
Kenapa Ferus tidak memberitahunya katanya? "Tanyakan sendiri pada dirimu yang sudah berbohong!" jerit Ferus seraya menjauh dengan gusar. Rupanya bukan hanya rasa pasrah yang menggerogoti Ferus sampai sekarang, kekecewaan yang timbul dari kebohongan Nick juga masih menguasainya, menggelapkan hati nurani yang berkata harusnya dia berterima kasih karena Nick menyelamatkannya.
Tatapan Nick begitu terluka tapi Ferus sendiri tidak tahu harus bicara apa. Baru sadar sekarang, 'kan? "Kalau saja kau tidak bohong padaku Jack tidak akan melakukan ini! Dari tadi, sejak aku menunjukkan batang hidung di kelas—ah, tidak. Segera setelah aku sadar dari koma, harusnya aku sudah minta maaf padanya atas apa yang terjadi!"
"Tapi aku tidak ingin kau ...."
"Ujung-ujungnya sama saja! Aku sedih mereka mati gara-gara aku! Tapi sekarang aku juga dihajar babak belur dan Jack mengira aku seorang pembunuh tidak memiliki hati! Padahal dia sangat butuh dengar kata maaf dariku. Kau ... kau sama sekali tidak mengerti!" Untuk terakhir kalinya Ferus mendorong Nick kencang-kencang hingga cowok itu terhuyung tak melawan. "Menjauh dariku, pembohong sialan!" Setelah itu Ferus berderap meninggalkannya sambil merintih kesakitan secara jiwa dan fisik.
Nick tidak mengikuti, memanggil saja tidak. Baguslah. Ferus tidak ingin melihat sosoknya sampai ia bisa tenteram. Terlalu banyak cakaran fakta melukai hati. Isaknya tak tertahankan, sesak napas menyakiti dada dan tenggorokannya. Semakin parah jika Ferus sadar betapa perih seluruh luka yang merenyut yang tak lama akan menjadi memar.
Hal yang dia inginkan sekarang hanya menjauh dari semua makhluk yang bernapas, menjatuhkan diri ke aspal kemudian mendekam tanpa ditemukan siapa pun. Ia butuh membenahi ini semua dengan caranya sendiri. Muak dan menjijikkan rasanya, ketika tahu sahabatnya berbohong tanpa memikirkan risiko yang bakal terjadi di kemudian hari.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000