Read More >>"> The Red Eyes (Act 021) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Red Eyes
MENU
About Us  

Tujuan rumah Ferus adalah yang paling pertama. Jendela kompartemen Jack juga kompartemen belakang dibuka. Teman-teman Ferus yang peduli terhadapnya seolah dia adalah anak anjing yang berhasil dipulangkan ke rumahnya memastikan dia baik-baik saja. Anak itu menyuruh mereka untuk lekas pulang dengan meyakinkan kondisinya tidak perlu dicemaskan lagi. Sungguh sangat disayangkan jika Ferus kehilangan orang-orang seperti mereka.

Permasalahan utamanya adalah sekarang. Dia hanya berdiri di depan undakan, mendongak pada pintu yang memancarkan lampu dari balik kaca. Sama sekali tidak menginjakkan kaki pada anak tangga pertama.

Desahan keluar dari mulutnya selagi dia menjatuhkan bokong pada undakan pertama. Kedua siku ia letakkan di atas lutut agar tangannya menopang rahang kotaknya. Bibir tebalnya mengerucut maju. Sekarang dia menyesal membatalkan rencananya untuk menginap di rumah Jack, di sini dia harus mempersiapkan perisai agar dapat bertahan dari berbagai sentakan yang bakal neneknya lontarkan.

Di tengah jalan, dia melihat sesosok anak perempuan membawa boneka, berjalan lunglai tanpa takut bakal tertabrak mobil. Tentu saja, kulitnya yang sepucat susu dengan sekujur tubuh dilumuri darah tidak akan membuatnya takut berada di tengah jalan. Taksi yang melintas menembusnya. Dia tetap menyeret boneka kumal tanpa kepalanya yang ikut tercetak darah.

Semakin lama Ferus di luar semakin bahaya mengintainya, apalagi ini sudah malam di mana aktivitas makhluk supernatural berjalan lebih efektif. Setiap kakinya bersiap untuk bangkit, jantungnya berdebar kencang mengingatkan bahwa dia bakal bertengkar lagi dengan neneknya. Namun sisi lain dari dirinya pun memekik padanya untuk segera masuk sebelum lagi-lagi hantu mempermainkan kesadarannya.

Hingga entah sudah berapa lama dia masih di posisi yang sama, seorang wanita berhenti di dekatnya dan bertanya, "Nak, kenapa kamu di luar?"

Ferus dengan lesu mendongak. Alhasil matanya membelalak.

Bukannya dia ....

Secepat kilat Ferus berdiri dan menjerit keras, buru-buru dia bersembunyi di balik tembok undakan. Punggung dan lengannya menempel pada dinding yang dingin merasuki kulitnya. Dadanya naik-turun dengan cepat. Tidak salah .... Tidak salah! Rambut gelombang warna cokelat itu, yang pada helai-helai tertentu berwarna terang, kerutan tipis di wajahnya, bentuk wajahnya yang kurus agak kotak dan berleher jenjang serta berhidung mancung.

Wanita itu tiba-tiba berada di sampingnya dengan wajah sangat bersalah. "Maaf, apa aku menakutimu?"

Kedua kalinya wanita itu sukses membuat Ferus memekik, sampai-sampai dia berjongkok dan melindungi kepalanya seakan ada pesawat tengah meluncurkan bom. Bagaimana tidak? Wanita ini adalah sosok gaib yang Ferus lihat di rumah sakit! Namun tiba-tiba dia merasa tidak pasti apakah wanita ini juga si hantu hamil yang sudah termakan oleh energi negatif Alam Bayangan. Maksudnya, efek dari energi negatif mengakibatkan banyak perubahan pada penampilannya dan Ferus tidak mau repot-repot mencermati hantu jahat di rumah sakit itu daripada membuatnya menangis hebat. Apakah ternyata mereka dua hantu yang berbeda?

Sementara di atas sana terdengar suara pintu menjeblak. "Ferus?" Dia adalah neneknya Ferus, melihat ke sekeliling, tetapi tidak menemukan cucunya selain sang wanita. Dahi Abuela berkerut dalam mendapatinya. "Apakah ... tadi ada suara teriakan?"

Neneknya bisa melihat wanita ini? Berarti dia bukan hantu, 'kan? Namun Ferus lekas mengesampingkan hal itu sebelum wanita ini memberitahu keberadaannya. Masih beruntung undakan rumahnya tinggi sehingga sulit untuk menemukannya dari atas sana. Dia pun bergumam dalam gemetar tanpa mengangkat wajah dari balik lututnya, "Tolong ... bilang aku bukan Ferus."

Wanita itu berkedip kebingungan. Sebenarnya ada masalah apa di antara anak bernama Ferus ini dan keluarganya sendiri?

Ia pun mengangkat kepala dan tersenyum lembut. "Ini anak saya yang berteriak. Maaf jika mengganggu, Nyonya." Dia pun sedikit membungkuk untuk menepuk pundak Ferus. "Ayo, Sayang. Tidak usah takut lagi. Itu hanya kumbang yang mendarat di bajumu."

"Begitu ...," Abuela bergumam kepada dirinya sendiri. "Tidak apa-apa. Saya kira tadi itu cucu saya." Meski sebenarnya masih ada yang ganjil baginya.

Jangan turun .... Langsung percaya saja. Jangan mengintip dari jendela, Ferus terus berharap dalam hatinya.

Seolah keadaan mengabulkan doanya, Abuela tidak sedikit pun berusaha untuk memeriksa ke luar. Dia memutuskan untuk menurut saja. "Hati-hati di jalan, Nyonya."

"Terima kasih," sahut wanita itu, bersamaan saat Abuela menutup pintu.

Ferus melihat ke belakang pada jendela rumahnya yang terpisah beberapa meter di atas. Tidak ada tanda-tanda Abuela mengintip. Barulah ia menghela napas lega. Baru kali ini dia memberanikan diri untuk memandang wanita itu lagi. Wanita itu tidak berubah wujud, tetap tersenyum lembut. Bayangannya tajam menerpa sisi-sisi yang tidak diterangi cahaya lampu dinding di kedua sisi pintu rumah Ferus. Ferus ingat saat pundaknya ditepuk barusan, dia tidak merasakan suhu dingin. Wanita ini jelas-jelas manusia hidup.

"Makasih ...," gumam Ferus merasa malu.

Ia pun berdiri bersama sang wanita yang menegakkan tubuhnya. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya wanita itu, membenarkan posisi tali tas sampir kulitnya yang berwarna kuning muda.

Bagaimana Ferus harus menceritakannya? Lagi pula wanita ini tidak akan menolongnya bagaimana pun situasinya. Apakah dia memang harus masuk ke rumah? Suara Abuela barusan pun terdengar sangat mengkhawatirkan Ferus yang tiba-tiba hilang dari rumah dan belum kembali. Apakah dia mau membuat neneknya jantungan lagi setelah insiden penculikan?

Tapi, memangnya Abuela pernah mengerti perasaannya?

Segala pertimbangan di dalam kepalanya terlalu merumitkan. Tak disangka air mata deras malah membanjiri pipinya. Dia begitu frustrasi, tidak tahu caranya mengungkapkan kondisi dan perasaannya apalagi terhadap orang asing yang terus menanyainya. Hal tersebut menyebabkan wanita itu terkejut seakan dia baru melukai perasaan Ferus dengan pertanyaan penuh keprihatinannya. Dengan ragu tangannya meraih pundak Ferus, untungnya anak laki-laki itu tidak bersikap galak padanya.

"Nak?" Ia menelengkan kepalanya pertanda sangat cemas.

Sebuah gelengan Ferus berikan pada wanita itu. Sisi luar lengannya menyeka air mata yang berlebih. Astaga, sudah dua hari ini dia terus menangis. Lama-lama wajahnya bakal menebal dan matanya akan tenggelam. Dia harus berhenti. Lagi pula di depannya ini orang asing, masa dia tidak bisa jaga kesan sama sekali?

Dia memutuskan untuk menjawab sembari mengambil selangkah maju. "Tidak apa-apa. Maaf, aku harus masuk rumah."

"Apakah kamu yakin?" Wanita itu tetap menghalanginya. "Kelihatannya kamu punya masalah cukup berat dengan ... siapa barusan? Nenekmu?"

Ferus memberi anggukan, menyedot ingusnya sebelum membalas. "Tapi aku tidak bisa kabur ke mana pun. Di luar sini juga berbahaya untukku."

Semakin saja wanita ini iba padanya. Boleh saja tinggi badannya sangat menjulang, tetapi hati anak kecil di dalamnya tampak membutuhkan pertolongan. Apalagi karena anak ini laki-laki. Umumnya, menurut stereotipe, laki-laki tidak boleh menangis. Sementara anak ini pasti sudah susah payah mematuhi stereotipe itu sampai tidak sanggup memenuhinya lagi.

Tangan wanita itu memegang pundak Ferus, jempolnya mengusapnya pelan berharap bisa menenangkannya. "Bagaimana kalau menginap di apartemenku? Tempatnya tidak jauh dari sini. Masih di jalan yang sama. Kamu tahu Apartemen 365 West Cleveland 31?"

Apartemen itu? Ferus refleks menoleh ke kanan, arah tujuan mereka. Jaraknya terbilang lima ratus meter lagi. Tapi bagaimana jika wanita ini berencana menipunya? Bagaimana kalau ternyata dia memang hantu yang dapat menyamar jadi manusia hidup kemudian memangsanya? Sementara bicara soal menginap, dia berganti menengok ke kiri pada rumah Angie. Apakah lebih baik dia menginap di rumah Angie saja? Namun jika mengingat sekeras apa orang tua Angie terhadap anak laki-laki sekalipun Ferus adalah teman masa kecilnya, alih-alih mendapat sambutan hangat, agaknya mereka akan memulangkan Ferus dan itu akan membuat Abuela malu.

Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan sesuatu dari tas sampir kulitnya. Sebuah notes dan sebuah pulpen. Dia menuliskan alamat lengkap di sana, sebuah nomor ponsel, berikut sebuah nama yang bertuliskan Leah Sanjaya. Apakah itu namanya? Ia juga menuliskan pesan bahwa Ferus sedang bersamanya untuk menetap sementara. Lalu wanita itu merobeknya dari notes dan menunjukkannya pada Ferus. "Kita letakkan ini di depan rumahmu. Supaya nenekmu bisa menghubungimu nanti. Bagaimana? Percayalah, aku tidak akan melakukan hal buruk."

Ferus dirundung kegundahan. Sisi warasnya menyeretnya untuk masuk ke rumah, dan sisi tidak warasnya, tentu saja, ingin mengikuti wanita ini, lari dari masalah. Juga ... ingin menunjukkan pemberontakan yang sebenarnya pada neneknya.

Bagaimana jika rencananya ... sengaja mencelakakan diri supaya Abuela dapat diberi pelajaran? Dari buah pemikiran itu, pertanyaan lain pun menyembul: bagaimana jika ini bakal membahayakan nyawanya?

Memangnya siapa yang peduli?

Semoga saja keputusannya tidak salah. Dia menggeleng pelan. "Notes itu tidak usah ditaruh di depan rumah. Biar saja," tak disangka cara bicaranya sangat ketus. "Supaya nenekku tahu apa yang dilakukannya selama ini salah."

"Hei, jangan bicara seperti itu." Wanita bernama Leah ini menyisipkan kertas ke dalam tasnya lagi. "Kau yakin?"

Sekali lagi Ferus menyedot ingus dan mengusap hidungnya dengan punggung telapak tangan. "Besok juga aku bisa ke sini lagi. Iya, aku yakin."

Kedua sudut bibir wanita itu tertarik ke atas, meski sebenarnya dia tidak enak hati harus merebut cucu orang lain sekalipun hanya satu malam dan dalam keadaan sangat khusus. Ia yang lebih pendek tak tahan mengusap kepala belakang Ferus sebelum mengajaknya pergi. "Ayo, kalau begitu. Ferus, 'kan, namamu?"

"Ferus Jones." Anak itu berusaha tersenyum. "Dan kau Leah Sanjaya?"

Mereka mulai berjalan bersama. Wanita itu menjawab dengan anggukan. "Panggil Leah saja."

Di tengah perjalanan, pertanyaan baru timbul dalam kepalanya. Bukan soal mencemaskan Abuela atau wanita ini adalah hantu yang menjebaknya. Bagaimana jika pertimbangannya sama seperti menginap di rumah Jack, yaitu mencelakakan wanita ini jika dia memang manusia sungguhan? Bagaimana kalau Ferus kerasukan di rumahnya dan ....

Baiklah. Cukup sudah. Berhenti berpikir. Berhenti berpikir.

 

 

 

Apartemen 365 West Cleveland 31 bukan apartemen dengan gedung tinggi, tempat itu hanya sepetak tanah yang diisi bangunan bertingkat dua dengan penataan huruf U mengelilingi lahan parkir jika dilihat dari atas. Dindingnya pasti tipis karena suara-suara seperti televisi, lantunan alat musik pemain biola yang terdengar seperti kucing ingin kawin, canda tawa keluarga terdengar sampai ke luar saat mereka menaiki tangga besi sempit yang hanya bisa dilewati satu orang.

Apartemen Leah hanya berupa satu ruangan luas yang bersatu dengan dapur kecil. Jajaran konter untuk makan membatasinya dengan ruang keluarga. Ruangan utama tersebut berisi sofa dan televisi, bufet, meja kecil yang diapit dua sofa: satu tunggal dan satu terdiri dari tiga tempat duduk. Ada tiga buah pintu, salah satunya adalah kamar calon bayi menurut yang Leah sampaikan, tapi tempat itu masih kosong. Sisanya adalah kamarnya dan kamar mandi.

Rumah ini bersih dan rapi, biarpun hanya satu ruangan tapi Ferus bisa saja merasa nyaman tinggal bertahun-tahun. Satu kekurangannya adalah bau rokok yang sepertinya sudah membekas dari lama. Mungkin suami Leah—dan dia harap bukan Leah karena itu akan membahayakan kesehatan bayinya.

Seharian tidak mandi merelakskan tubuh Ferus ketika Leah memperbolehkannya meminjam kamar mandi untuk membersihkan diri. Untung saja tubuhnya sudah tidak mengeluarkan bau bawang busuk lagi. Tadinya dia sudah bersiap tidur di sofa dengan selimut yang disediakan Leah, tetapi hidangan makan malam buatan Leah menggugah perutnya yang kosong melompong. Kantuknya pun menghilang sejak dia berbagi banyak cerita dengan Leah.

Termasuk menceritakan kondisi nyatanya. Iya, indra keenam dan dikejar hantu. Masalah dengan neneknya yang tidak pernah beres sampai presiden jual sayur di pasar tradisional. Segalanya. Ya, kecuali bagian bahwa hantu yang mengejarnya adalah Leah—jika dia tidak salah.

Sedikit pun tidak ada nasihat dari Leah. Wanita itu hanya memberikan komentar seperti: "Bahkan saat bersama teman-temanmu? Hantu mengganggumu?" lalu "kapan pentas teater kalian akan berlangsung?" dan "jadi kamu anak seni banget, ya?"

Leah pun mengangguk-angguk setelah menjelaskan kondisi apa yang Ferus alami. "Jadi ..., itu yang disebut sebagai Sang Dikaruniai, ya?" Leah memiringkan kepala, berbicara pada Ferus yang duduk di sampingnya. Anak laki-laki itu sepenuhnya menghadap pada Leah, kedua kakinya menyilang di atas sofa. Leah pun melanjutkan, "Semacam ... memiliki wadah untuk ditempati roh? Wadah itu sangat menarik perhatian bagi roh jahat yang ingin merasakan hidup kembali?"

Ferus mengangguk. "Kalau bukan sebagai wadah, segala macam energi negatif yang kami keluarkan—seperti rasa takut, marah, dendam, misalnya, akan diisap mereka. Eh, tapi sebenarnya itu berlaku pada manusia biasa juga, tetapi energi negatif yang dikeluarkan Sang Dikaruniai lebih ... em, 'mengenyangkan'." Ferus mengutip kata "mengenyangkan" dengan isyarat jari. "Dari sanalah roh jahat akan bertahan di Alam Bayangan. Maksudku, tinggal di Alam Bayangan itu tidak gratis. Tenaga mereka terus terserap, belum lagi kalau bertemu penduduk asli Alam Bayangan."

"Penduduk asli?" tanya Leah dengan heran.

"Penduduk asli. Iya," Ferus mengulangnya. "Para monster yang memiliki perut yang akan mengantar mereka langsung ke Neraka paling bawah. Paling kejam. Hiii." Ferus mengusap lengan atasnya, merinding. "Seharusnya mereka cepat-cepat mencari Gerbang Kematian untuk disidang dengan adil, tapi mereka tetap tahu ujung-ujungnya bakal Neraka lagi walau bukan berarti akan ditempatkan di Neraka terbawah. Kalau kata temanku, bagi mereka para hantu yang tidak bisa ataupun sengaja tidak menemukan Gerbang Kematian, lebih baik tinggal di Alam Bayangan daripada tersedot ke Neraka."

Tampaknya itu semua sangat sulit diproses bagi Leah. Ferus mengakuinya, dia bahkan butuh bertanya berkali-kali pada Nick hingga alis anak itu rontok satu per satu (tidak semenyedihkan itu, sih). Belum lagi jika Leah tidak percaya dengan fantasi yang disampaikan oleh remaja yang melarikan diri dari rumahnya. Ferus tidak peduli, yang penting malam ini ada yang mendengarkannya berceloteh sampai mulutnya keriting.

"Aku tidak terlalu mengerti." Leah tertawa canggung, membelit rambut gelombangnya yang tergerai di depan dada. "Tapi intinya, aku tahu, kau selalu diincar para hantu jahat itu, kan? Pasti ini semua berat bagimu. Sejak lahir kamu selalu seperti ini?" Tampak kecemasan dari wajah serta cara bicaranya.

Yang dapat Ferus lakukan hanya tertawa hambar. "Asal aku di rumah, aku aman. Temanku bilang, entah kenapa sepertinya rumahku punya penangkal roh. Mau itu jahat atau baik. Kenyataannya memang begitu. Sejak kecil rumahku tidak pernah kemasukan roh. Itulah kenapa kemarin kubilang, ke mana pun aku lari tetap saja rumah adalah tempat paling aman."

Sesuatu terbersit dalam pemikiran Leah, matanya berkedip sekali. Sekilas alisnya bertautan. "Mungkinkah ...." Meski begitu ia enggan melanjutkan, bahkan menundukkan kepala.

Ferus rasa Leah tidak perlu enggan. "Orang tuaku?" Ferus menebak.

"Iya. Apakah mereka yang memasangnya?"

Jawabannya sekadar kedikan bahu. "Mungkin saja? Nenekku sering bercerita tentang ibuku tapi tidak ada penyampaian bahwa ibuku punya kekuatan aneh. Sedangkan ayahku ... kakekku mau saja menceritakan, tetapi nenekku terlalu benci padanya sehingga dia tidak ingin menanamkan cerita-cerita tentang ayahku padaku."

"Astaga ...," Leah sungguh menyesal.

Ferus justru terkekeh walau terkesan dipaksakan. "Bahkan nenekku memanggilnya Si Berengsek."

Harusnya Ferus yang merasa tertekan dengan percakapan ini, tetapi kelihatannya Leah yang lebih perlu dikhawatirkan daripada dia sendiri. Sejak tadi Leah merengut. Dan ekspresinya. Ekspresinya ingin mengasihani, tapi jatuhnya ingin dikasihani oleh Ferus.

Karena itu Ferus memutar balik otaknya untuk mengganti topik. Untungnya dia sudah cukup lega sesudah membuang kotoran-kotoran membandel dalam hatinya yang gelap dengan mendongeng pada Leah, sehingga otaknya pun dapat berpikir dengan mulus. "Giliranmu bercerita, Leah. Oh, ya. Sehabis dari mana tadi? Kau masih keluar-keluar rumah dalam keadaan begini?"

Tampaknya Leah sendiri lega Ferus tidak terbawa arus buruk sepertinya, bahkan mampu mengganti topik. Senantiasa wanita itu mengembuskan napas kemudian tersenyum. "Hanya jalan-jalan saja. Iya, setiap harinya aku masih sering ke luar rumah," katanya sambil mengelus perut besar yang tidak sesuai dengan tubuhnya yang—bila Ferus tebak—sebenarnya kurus dan ceking.

Setiap hari ke luar rumah katanya? Apa wanita ini gila? "Bukannya kalau sedang hamil tidak boleh terlalu lelah?"

Leah tertawa geli sampai dahinya membentuk garis-garis kerutan. Mulutnya tidak terbuka tapi masih terdengar sangat geli. "Anggap saja supaya anakku nanti juga hobi jalan-jalan. Terlalu malas juga bisa membahayakan kesehatanmu."

Itu sebuah pukulan bagi Ferus sebagai anak yang tidak suka ke luar rumah. Separah-parahnya kemalasan Nick dia masih rutin olahraga pagi tiap akhir minggu, bahkan kalau semangatnya sedang membara dia bisa olahraga pagi sebelum sekolah. Lagi pula dia atlet sepak bola Arkadia di sekolahnya. Sedangkan Ferus? Ferus adalah tulang rapuh.

"Tapi kuharap kau tetap hati-hati," canda Ferus dengan ramah. "Apa sudah sembilan bulan?"

Dia mengangguk lagi, tangannya berhenti mengelus di atas perutnya. "Harusnya minggu ini sudah waktunya melahirkan. Kuharap bisa hari Kamis supaya bertepatan dengan ulang tahun suamiku."

"Eh? Nanti mereka ulang tahun di hari yang sama?" Bisa seperti itu, ya? Ferus tiba-tiba semangat sampai menepukkan kedua tangannya. "Semoga saja. Itu unik!"

"Dan artinya aku harus menyiapkan dua pesta. Bisa kaubayangkan bakal seramai apa?" Dia terkikik geli.

Dia benar. "Tidak bisa kubayangkan perkumpulan bapak-bapak rekan kerja suamimu datang bersamaan dengan rombongan anak-anak teman sekolah anakmu. Lalu akan berlangsung dua pesta berbeda menyesuaikan dengan umur orang-orang yang diundang."

"Persis seperti apa yang kubayangkan!" Tawanya pun semakin puas, tetapi masih manis.

"Oh, tapi karena kebanyakan pesta orang dewasa masih tidak bisa diterima anak-anak sedangkan pesta anak-anak bisa untuk umur berapa pun, acara ini pasti akan dominan bertema anak-anak! Akan ada badut yang berusaha mengejutkan para orang tua dengan sulapnya. Lalu pria-pria tua naik sepeda beroda tiga. Kuis-kuis bodoh berhadiah alat tulis!"

"Jangan lupa bagian memukul pinata. Siapa yang kira-kira bakal menang?" timpalnya.

"Kita tahu jawabannya," kata Ferus berusaha menahan tawa geli. Siapa lagi kalau bukan anak-anak yang lebih cerdas dari orang tua dalam urusan seperti itu?

Ujung-ujungnya mereka tidak bisa menahannya, selama beberapa detik mereka hanya tertawa geli hingga perut Ferus menegang dan air mata merebak. Bisa-bisa perutnya berubah jadi kotak-kotak.

Leah menghapus air mata sambil berusaha bicara, "Ya ampun kalau begitu aku akan benar-benar repot setiap tanggal 12 Oktober," ucapnya diselingi kekehan semangat.

Ferus pun berusaha meredam tawa walau agak heran. "Ada apa dengan 12 Oktober?"

Wanita itu sudah bisa bicara dengan stabil, tapi keceriaannya masih belum menghilang. "Itu tanggal harapan kelahiran anakku. Kamis depan."

Kamis depan?

"Apa maksudmu?" suara Ferus berubah sedikit serius walau masih berupaya memasang keramahan. "Ini bulan Juni." Astaga. Ferus sampai melupakan sesuatu. Tentang hal yang ia takuti. Wanita ini hantu. Iya, 'kan?

"Apa?" Wanita itu pun terbawa suasana, sudut bibirnya yang masih berusaha menampilkan antusiasme berkedut.

"Ini bulan Juni," ulang Ferus lagi. Senyumnya sudah pudar. "Bukan Oktober."

Jantung Ferus berdebar cepat. Apakah tepat memberitahunya bahwa dia salah tanggal? Bagaimana kalau dia langsung tertawa jahat karena Ferus sudah sadar dengan permainannya?

Senyum Leah menghilang menjadi berkernyutan. Ferus sudah siap kabur dengan menjulurkan salah satu kaki ke lantai, tetapi yang dilakukan wanita itu adalah memiringkan badan untuk meraih sebuah kalender yang diletakkan di atas meja kecil yang diapit sisi dua buah sofa. Kalender itu kemudian dia letakkan di atas pangkuannya. 12 Oktober diberi lingkar merah oleh spidol permanen, ia menunjuk dengan telunjuknya yang berkuku runcing.

"Ini, kemungkinan lahir pada tanggal segini."

Fokus Ferus teralihkan pada angka 1995 yang tertera di kalender.

Ferus refleks menyentuh kepala, tiba-tiba seperti diombang-ambing angin laut. Apa maksudnya? Ia melihat pada Leah yang juga melihatnya dengan khawatir. Ferus menunggu perubahan fisik Leah, menjadi hantu jelek bermata hitam dan berkulit pucat seperti mayat. Sayangnya yang dia temukan malah kecemasan yang dipancarkan dari seorang calon ibu. Terlalu hidup untuk ukuran hantu.

"Kau tidak apa-apa, Ferus?" tanyanya kemudian.

Ferus menutup mata rapat-rapat sambil mendesis. Dia tidak secara fisik pusing, tetapi dia sangat linglung. Dia butuh pembuktian lain. Dia lekas menarik ponsel di dalam sakunya yang tidak memberikan harapan lain. Ini memang tanggal 4 Oktober 1995.

"Tidak apa-apa," ujarnya kemudian. Kali ini dia akan mengakhiri perbincangannya dengan Leah. Bahkan keputusannya sudah bulat, dia akan pulang sekarang. "Maaf, Leah." Ferus berdiri. "Tiba-tiba aku ingin pulang."

Karena itu Leah ikut berdiri dengan tangan menyentuh perutnya yang besar. "Loh, kenapa?"

Haruskah dia mengatakan bahwa seharusnya ini tahun 2013? Leah bisa saja percaya bahwa dia memiliki indra keenam dan biasa hidup dalam lingkup kejadian-kejadian supernatural. Tapi untuk mengatakan Leah salah tahun sementara ponsel Ferus sendiri berkata dia yang salah tahun?

Tiba-tiba saja Ferus jatuh lagi ke sofa. Apakah dia hanya kelelahan sampai berhalusinasi? Dia mendorong kepalanya ke sandaran sofa, lalu menyugar poni gelombangnya sampai tertarik ke belakang.

Leah mengambil selimut yang ia letakkan di sudut sofa yang lain, lalu meletakkannya dia atas pangkuan Ferus. "Mungkin kamu kelelahan, Ferus. Apalagi sehabis latihan teater. Yakin tidak mau pakai kamarku saja? Suamiku tidak keberatan, kok, aku tidur di luar. Tadi aku sudah menjelaskannya selagi kamu mandi."

Ferus menggeleng perlahan. "Tidak apa-apa, Leah." Dia membuka mata, menegakkan badannya dan memaksakan senyum. "Kalau begitu selamat malam."

Sejenak Leah diam saja. Benarkah anak ini tidak apa-apa? Walau pada akhirnya dia menyerah. "Malam," ujarnya, sebelum meninggalkan Ferus ke kamarnya, ke pintu yang berada persis di samping sofa. Namun tiba-tiba dia muncul lagi. "Kalau ada apa-apa jangan ragu bangunkan aku."

Ferus sekadar membalasnya dengan anggukan sembari membuka selimut dan menyelimuti diri, tidur menyamping ke arah luar sofa, menatap bentuk pipih meja kopi dari kayu di hadapannya. Pikirnya, mungkin dia hanya mimpi. Kalau bisa mendadak terlempar ke Alam Bayangan, apa alasan dia tidak bisa tiba-tiba terlempar ke Alam Mimpi?—Jika alam itu memang ada, pastinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • SusanSwansh

    Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.

    Comment on chapter Act 000
  • authornote_

    @SusanSwansh wah makasih ya. Makasih juga sudah mampir!

    Comment on chapter Act 000
  • SusanSwansh

    W.O.W. Kereeennnnnnnn.... Like banget ceritanya.

    Comment on chapter Act 000
Similar Tags
Should I Go(?)
9397      2183     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
Semu, Nawasena
6144      2519     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Nafas Mimpi yang Nyata
227      188     0     
Romance
Keinginan yang dulu hanya sebatas mimpi. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar mimpi. Dan akhirnya mimpi yang diinginkan menjadi nyata. Karna dengan Usaha dan Berdoa semua yang diinginkan akan tercapai.
Hidden Words Between Us
1244      517     8     
Romance
Bagi Elsa, Mike dan Jo adalah dua sahabat yang paling disayanginya nomor 2 setelah orang tuanya. Bagi Mike, Elsa seperti tuan putri cantik yang harus dilindunginya. Senyum dan tawa gadis itu adalah salah satu kebahagiaan Mike. Mike selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari dirinya dan rela melakukan apapun demi Elsa. Bagi Jo, Elsa lebih dari sekadar sahabat. Elsa adalah gadis pertama yang ...
Selepas patah
123      104     0     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Our Son
479      252     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
Save Me
904      539     7     
Short Story
Terjebak janji masa lalu. Wendy terus menerus dihantui seorang pria yang meminta bantuan padanya lewat mimpi. Anehnya, Wendy merasa ia mengenal pria itu mesipun ia tak tahu siapa sebenarnya pria yang selalu mucul dalam mimpinya belakangan itu. Siapakah pria itu sebenarnya?dan sanggupkah Wendy menyelamatkannya meski tak tahu apa yang sedang terjadi?
Patah Hati Sesungguhnya adalah Kamu
1772      668     2     
Romance
berangkat dari sebuah komitmen dalam persahabatan hingga berujung pada kondisi harus memilih antara mempertahankan suatu hubungan atau menunda perpisahan?
Tanpa Kamu, Aku Bisa Apa?
70      58     0     
Romance
Tidak ada yang pernah tahu bahwa pertemuan Anne dan Izyan hari itu adalah hal yang terbaik bagi kehidupan mereka berdua. Anne tak pernah menyangka bahwa ia akan bersama dengan seorang manager band indie dan merubah kehidupannya yang selalu menyendiri menjadi penuh warna. Sebuah rumah sederhana milik Anne menjadi saksi tangis dan canda mereka untuk merintis 'Karya Tuhan' hingga sukses mendunia. ...
Awal Akhir
664      414     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.