Ferus kira Yuka menunggunya di depan pintu, ternyata rasa kepedulian gadis itu terhadap Ferus tidak sebanding dengan kepeduliannya terhadap Nick.
Iri? Tentu saja. Sejak kapan Ferus mendapatkan kepedulian murni selain dari kakek dan neneknya? Kalaupun itu ada, percayalah itu hanya formalitas. Jadi dia tidak berpikir muluk-muluk berharap Yuka menemaninya mengusir rasa takut ketika berjalan sendirian di lorong rumah sakit.
Toh di depannya ada satu sampai tiga orang. Paling tidak itu cukup untuk mengisi lorong yang terasa seperti berjalan di dalam perut ular. Dia melangkah santai sambil mempertimbangkan kebaikan hatinya untuk mencuri Doritos Nick berhubung anak itu tidak di rumah.
Kecuali ketika cahaya putih lampu di atasnya meledak sebelum berubah menjadi gelap total. Di saat itu Ferus menyembunyikan kepalanya di balik lengan yang menyilang.
Kemudian menyala lagi.
Menyadari itu, Ferus menurunkan tangannya lagi bersama darahnya yang mengalir deras. "Hah?" dia refleks mengatakannya, matanya menyusuri sekitar.
Ada sesuatu tidak beres ketika dia sadar warna sekelilingnya berubah lebih gelap dan pudar. Terutama ketika dia kira tiga orang di depan sana akan bereaksi sama sepertinya.
Salahkan sikap bandel yang membuatnya tidak tahan memakai kacamata rabun jauh terlalu lama, merasa kekerenannya menghilang 90 persen. Dua orang yang tengah melangkah ke arahnya rupanya seorang kakek-kakek berbadan bungkuk yang kiranya sejajar dengan dadanya, juga seorang perempuan yang menggunakan kruk untuk membantu kaki kanannya berjalan. Mereka terlihat normal kecuali mata si kakek yang katarak, terbuka lebar seolah kelopak matanya telah disobek, mulutnya mempertontonkan gusi tanpa gigi, berusaha mengucapkan sesuatu tapi tidak bisa mengatup kecuali ingin pernapasannya tiba-tiba berhenti. Ferus berharap perempuan pengguna kruk itu tidak mengangkat kepala untuk memperlihatkan wajahnya yang tertutup rambut pirang bergelombangnya.
Jelas ini bukan pemandangan normal. Lebih buruknya, cahaya lampu fluoresens berkedip lagi. Lenguh mesin di balik tembok serta transisi perubahan terang menjadi gelap seperti menelannya ke dalam tenggorokan monster.
Tungkainya berputar cepat, kesiap ia tahan dalam tenggorokannya walau berubah menjadi detak jantung super cepat. Gagang pintu yang mudah dibuka saja menjadi sulit gara-gara tangannya yang gemetar hebat. Setelah terbuka dia mendorong dengan seluruh bebannya dan menutupnya dengan lega. Berakhir sudah mimpi buruknya biarpun ketidakstabilan lampu masih mengusiknya. Dia aman setidaknya di sini bersama Nick.
"Sori aku kembali, Yuka meninggalkanku. Belum apa-apa di depan sana sudah ...."
Ruangan kosong, tidak ada Nick di sana.
"... Ada rombongan yang ingin—"
Kepalanya dengan kasar menoleh ke arah bola api berwarna biru yang meloncat tinggi dari sofa, lalu turun dengan cepat menyisakan jarak satu meter lebih di atas lantai. Sejak kapan bola itu berada di situ dan—kenapa bisa? Pemandangan itu terlalu cepat membuat Ferus refleks menghindar saat bola melintas ke arahnya, memelesat begitu pintu di sampingnya terbuka sendiri.
"Aduh!" Ferus menepuk keningnya. "Harusnya aku menangkapnya!"
Pintu yang terbuka membuat para hantu tak perlu repot-repot menghampiri Ferus. Sang kakek-kakek menakutkan itu menangkap lengan Ferus. Secara instingtif dia berteriak sekaligus menendang tulang kering rematiknya. Masa bodoh dia menyakiti orang tua jika dia sudah mati.
Sayangnya dia tidak punya keberanian untuk menerobos pintu apalagi si perempuan pengguna kruk juga mendekat. Kruknya berderit menggesek lantai sedangkan kakinya yang kaku terseret lunglai. Padahal Ferus dapat merobohkannya dengan mudah, tapi dia lebih dikuasai rasa takut sehingga mundur semakin dalam. Sedangkan si kakek dengan suara serak mengikuti si perempuan meski artinya harus merangkak sengsara.
Benda apa pun yang berada di sekitarnya Ferus raih. Remote televisi. Sulit sekali menyelaraskan nyali dan logikanya di saat-saat seperti ini, kakinya ingin maju tapi hatinya menguncinya. Remote yang dia harap bisa digunakan untuk menyerang tidak ada gunanya. Kedua hantu itu hanya terpisah beberapa senti darinya.
Si perempuan pengguna kruk mengulurkan salah satu tangannya yang bebas untuk memangsa Ferus. Di saat itu refleks Ferus baru bekerja, dia menoyor kepalanya sekeras mungkin hingga dia oleng. Kruk yang ia gunakan lepas dari tangannya, dia terjungkal. Ferus menggunakan kesempatannya untuk melarikan diri, mengabaikan jaminan keamanannya di luar sana.
Pertama dia harus mencari tubuhnya—fisik fananya. Bola api biru barusan. Itu adalah pertanda bahwa sekarang dia hanyalah roh hidup yang lepas dan menembus dunia para hantu. Insiden ini sering terjadi sebelum Nick tinggal di rumah dan menjadi semacam pengawalnya. Tidak bisa Nick tinggalkan Ferus barang sedetik saja, jika tidak beginilah jadinya. Tubuhnya pasti sudah bergentayangan menjadi manusia sinting berdarah dingin.
Mudah saja dia tahu posisi tubuhnya. Membayangkannya hanya seperti mengingat alamat rumah. Tubuhnya sedang berada di lobi dan itu artinya akan ada banyak orang yang menyaksikannya lepas kendali. Namun pertama-tama untuk mencapai lobi dia harus menyusuri sebagian rumah sakit yang kondisi pencahayaannya kian memburuk. Kabar baiknya Alam Bayangan adalah tempat di mana kauingin berekreasi ke rumah hantu dengan sensasi nyata. Seluruh pelosok didominasi oleh gema puluhan tawa wanita atau pria, ada pula yang menangis dan menjerit-jerit sengsara padahal keberadaannya tidak terlihat setitik pun. Suara-suara tersebut menjalar dan tersebar laksana pengeras suara yang dipasang pada setiap sisi auditorium bioskop. Bulu kuduk Ferus tidak pernah melemas, dia menutup telinga dan memejamkan mata rapat-rapat, berharap ini semua cepat berakhir.
"Tolooooong!" rasa takutnya membuncah. Air mata mulai keluar dari matanya, sesak napas menyerangnya. Berharap Nick dapat menolongnya pun tidak memungkinkan. Lolos dari labirin mencekam ini hanyalah angan-angan buatnya.
Di sudut sana, di sudut itu, di tengah-tengah, di depan, tiba-tiba di belakangnya, bahkan merangkak di langit-langit (dan yang paling dibenci Ferus), semuanya ada hantu. Mereka mendesis kontan mengejar Ferus, menyebarkan tekanan luar biasa seakan bakal menjenggutnya ke jurang kekelaman. Tulang punggungnya ngilu membayangkan mereka semua dengan haus mengejarnya. Percayalah di antara mereka semua tidak ada yang memiliki wajah bagus.
Sekarang dia hanya perlu menuruni eskalator, sekalipun di Alam Bayangan bukan berarti mesin itu tidak bergerak. Di bawah sana cahaya biru suram menerangi lobi. Itu pasti pendar dari penanda fisiknya. Harapan segera memenuhi paru-parunya, sebentar lagi ini semua akan berakhir. Sedikit lagi!
Tiba-tiba sesuatu melilit kakinya. Panik menyerbu begitu tubuhnya tumbang mengikuti gravitasi. "Sial!" umpatnya dengan spontan. Tetapi—tidak tahu harus bersyukur atau tidak, sesuatu yang melilitnya bertambah banyak, membungkusnya seperti mumi, menyelamatkannya dari ujung lancip anak tangga. Tangannya kaku terangkat setengah, sedangkan yang satu lagi terimpit ke sisi tubuhnya. Tidak seluruh tubuhnya tertutupi, yang pasti dia tidak bisa memberontak dalam balutannya.
Sesuatu yang melilitnya adalah asap yang anehnya terasa padat. Para hantu di belakangnya berbondong-bondong memburunya seperti zombie, bahkan rela terguling di eskalator saling tumpang-tindih. Secara mengejutkan asap yang melilitnya melambungkannya ke udara, meninggalkan jantung dan perutnya di bawah. Satu per satu hantu yang mengejarnya berhenti untuk mendongak, mengulurkan tangan ke atas seolah meminta diberi makan.
Ferus tidak memberontak mengingat risiko yang akan terjadi jika dia terjun dari ketinggian lima meter, belum lagi dikerubungi oleh puluhan pasien astral edan di bawah sana. Dia membiarkan asap itu membawanya kembali ke bibir lorong sambil menimbang-nimbang bahwa pilihannya tidak keliru.
Jaraknya masih belum cukup jauh dari sekelompok hantu buas di depan sana, tapi dia sudah diturunkan dalam posisi berbaring juga dibebaskan—di hadapan hantu lain yang tidak lebih baik daripada mereka semua. Asap yang membelitnya meresap ke dalam asap yang menyelubungi hantu yang membekuknya.
Terlepas dari itu Ferus nyaris tidak mengenali hantu ini padahal ia adalah wanita hamil yang dia temui sebelumnya. Wujudnya sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Wajahnya pucat berkantung mata hitam dan tebal menatap intens tetapi tidak memiliki cahaya kehidupan, belum lagi kakinya berlumuran darah, tercecer di lantai.
Jangan tanya seberapa gentar Ferus sekarang. Dia buru-buru menyeret diri ke belakang sementara jeritannya yang khas seperti perempuan dengan spontan lepas begitu saja. Sneakers-nya yang mundur secara bergiliran menimbulkan decit memilukan.
Wanita itu tidak menunggu, salah satu sulur asapnya keluar lagi, meliuk dan menembus dada Ferus seperti caplok ular. Rasa sakit luar biasa dengan sembrono mengejangkan tubuhnya serasa disetrum tegangan tinggi. Secepat itu pula si wanita hamil mencabut asapnya. Apakah dia akan mati? Apakah dia akan mati? Badai rasa takut akan kematian mengambil alih sisa semangat hidupnya walau rasa sakit yang menggigit sekujur badannya perlahan menghilang. Tetap saja, efek selanjutnya patut dicemaskan. Kapiler-kapiler yang mengalirkan darah di bawah kulitnya menghitam dan menampak di permukaan bagai tinta bercampur darah.
"Tidak! Apa yang terjadi?! Apa yang terjadi pada tubuhku?!" tegang setengah mati mengamati cabang-cabang aliran darahnya menggelap. Dia membanting tubuh ke sisi untuk bersiap kabur meskipun itu artinya akan menjadi makanan gerombolan hantu di dekat eskalator.
Namun dia tahu gerombolan hantu itu lebih baik daripada sosok baru yang menunggunya tepat tiga meter di belakang. Sesuatu yang sangat aneh dan melayang. Dia—dia adalah bola mata. Benar-benar bola mata. Mata itu memiliki iris merah benderang di bawah pencahayaan yang masih tidak stabil. Urat atau otot—atau apa pun namanya masih tersambung seperti akar pada bolanya. Terdapat cincin menyala api serupa lingkaran halo malaikat yang mengelilingi ototnya. Ukurannya secara keseluruhan sama persis dengan guling.
Di bawah iris matanya, masih pada bagian bola putih, tiba-tiba muncul garis melengkung, merobek permukaannya untuk menunjukkan barisan gigi-gigi besar tak beraturan dan lidah runcing yang menjilat jajaran gigi atas. Air liur berjatuhan dari mulutnya.
Hebat. Hebat. Lebih dari lusinan makhluk tergila-gila padanya, dan Ferus tidak bercanda soal itu.
Seolah belum puas menyiksanya, asap hitam yang dikeluarkan si wanita hamil meringkus kakinya lagi, menjauhkannya dari si bola mata. Ferus berusaha meronta tetapi sia-sia saja. Jari-jarinya yang mencengkeram lantai licin berdebu tidak berarti apa pun. Padahal dia sendiri tidak tahu harus mempertahankan posisi untuk ditangkap si bola mata atau si wanita hamil. Bahkan dia belum bisa pasrah meski pandangannya sudah berombak oleh air mata. Paling tidak satu hal yang bisa dia syukuri yaitu warna saluran darahnya telah kembali normal.
Tidak tahu apa gunanya dia meraung-raung minta tolong, yang jelas dia masih harus berharap. Listrik rumah sakit yang masih belum stabil membuat pikirannya semakin kacau-balau. Tidak hanya pikirannya, matanya pun pusing total, kepalanya memanas. Dia megap-megap tidak bisa bernapas dengan hidung tersumbat air mata. Ini benar-benar menakutinya.
"Tolong ...," rintihnya sekali lagi. Tak habis pikir karena hantu yang dia hadapi kali ini lebih berkuasa daripada hantu-hantu yang pernah dia temui sebelumnya. Dan dia sangat putus asa tidak bisa mengharapkan Nick yang bahkan belum bisa lepas dari infusnya.
Pelototan mata merah si makhluk tak berwujud manusia itu pindah kepada hantu wanita. Tiba-tiba saja ada suatu tekanan gaib misterius terbang di atas kepala dan punggung Ferus, mengakibatkan rasa merinding tajam dan membuat dadanya sesak. Seolah ada burung gagak menukik nyaris mematuk kepala. Asap yang melingkari kakinya seketika lepas, mengkeret kembali ke asap-asap yang dihasilkan hantu yang menjerit sampai terjengkang. Tekanan gaib itu pasti sangat menyakitkan buatnya, dan itu membuat Ferus semakin tegang saja karena si bola mata sudah berada di depan pandangan.
Tanpa ada gerakan khusus kecuali dari lirikan mata merah yang sama sekali berbeda dari Mata Merah biasa, dia secara gaib menarik Ferus ke atas, melayang beberapa senti—mungkin satu meter, sama sekali tidak bisa bergerak seakan ada tembok gaib yang menjepitnya. Napasnya pendek-pendek karena panik dan sesekali suara tertahan di tenggorokannya lepas. Apa yang akan dia lakukan?
"Kumohon ...," mohon Ferus putus asa hingga air mata asin dari mata dan lubang hidungnya masuk mulut. "Jangan lakukan apa pun padaku ...."
Bola mata itu memunculkan mulutnya lagi, memberikan senyum mengerikan pertanda kematiannya akan dimulai.
Baru saja Ferus akan memohon lagi, mulutnya yang tadinya meringis entah kenapa serasa dipaksa terbuka lebar oleh sesuatu yang gaib, menarik rahangnya. Dia berusaha melawan paksaan itu yang malah membuat bagian dalam mulutnya menegang dan terasa sakit. Dia nyaris tersedak oleh udara yang masuk ke mulut ketika sesenggukan. Kemudian ada cahaya merah yang berpusar di depan mulutnya, lama-kelamaan membentuk bola yang secara perlahan bergerak mendekati mulutnya yang terbuka lebar.
Astaga, apa-apaan lagi ini? Dia menggerakkan kepalanya berusaha lepas dari leher sendiri, tentu sama sekali tidak ada gunanya. Semakin dia melawan semakin timbul rasa sakit di otot-ototnya. Tidak tahu apa yang bakal masuk ke dalam tubuhnya jika ini benar-benar tidak bisa dicegah, yang pasti dia harus melawan. Sosok bola mata itu juga semakin semringah melihat kesuksesannya.
Masih belum bisa Ferus percaya ini benar-benar terjadi padanya. Benarkah dia tidak bisa tertolong lagi? Keberuntungan? Tidakkah kamu membantuku lagi?
Ini adalah perlawanan terakhir walau dia sudah memejamkan mata rapat-rapat, berharap bola itu tidak masuk. Semoga saja .... Semoga saja .... Dia mulai merengek kencang.
"Tidak!" suara pria itu adalah penyelamatnya, datang dari belakang si bola mata.
Tepat ketika Ferus membuka mata, bola merah itu melebur tak meninggalkan sisa cahaya, bersamaan saat tubuh Ferus jatuh dengan dada menghantam lantai lebih dulu. Seketika udara dalam tubuhnya berhamburan menimbulkan batuk kencang. Karena dia masih sibuk mengerang sakit dia hanya bisa mendengar suara tajam decitan sepatu merambat dari lantai pada tubuhnya yang menempel, juga desisan dari makhluk aneh yang suaranya terdengar serupa setan dari zaman sangat kuno.
"Pergi! Dia tidak pantas jadi mangsamu!" Beberapa detik kemudian saat Ferus berusaha berdiri, dia sadar pria itu adalah Paman Ethan yang baru saja menarik pisau tempurnya dari bola mata yang tidak mengeluarkan cairan apa pun dari lubang di lukanya.
Ferus bersandar pada tembok, mengamati sosok bola mata itu melayang menjauh dari Paman Ethan. Dari ujung ototnya yang memanjang, ia terurai seperti asap yang dikeluarkan si wanita hamil, lalu membelok ke atas dan terus merambat sampai bola mata. Saat ini dia melarikan diri, tapi mungkin selanjutnya akan menjadi akhir hidup Ferus, dia menampangkan itu dengan mudah dari seringai tipis yang muncul di bawah irisnya.
Harapan Ferus hanya dia cepat-cepat segera enyah dan itu terjadi begitu wujudnya menyisakan mata merah menyalanya yang perlahan meredup ketika lampu menyala.
Serentak dengan wujudnya yang menghilang, listrik perlahan kembali stabil. Awal-mulanya masih sedikit meredup hingga kembali menyala normal. Satu-satunya hal yang paling Ferus ingat adalah mendongak untuk memastikan si hantu wanita hamil juga sudah hilang.
Baru sekarang Paman Ethan berputar cepat menghadap Ferus. Sepasang warna mata merahnya yang lebih menenangkan jiwa raga membuat Ferus ingin merengek walau tetap membatu di tempat. Dia yang lebih dulu menghampiri Ferus, menggapai kedua pundaknya yang disusul oleh Ferus juga.
"Kau tidak apa-apa, Ferus?" tanyanya panik.
Ferus gemetaran tapi masih sangat sanggup tiba-tiba mencengkeram mantel cokelatnya dengan ngeri. "Makasih, Paman. Sungguh terima kasih. Terima kasih ...."
"Hei, hei." Dia merengkuh anak jangkung itu. "Tentu saja, Nak. Tentu."
"Bola merah itu ...," katanya berusaha mengalahkan isak, lalu menarik napas dalam-dalam, "bola itu tidak masuk ke mulutku, kan?"
Dia pun menghela napas. "Tidak. Kau aman. Kau aman." Pandangannya benar-benar khawatir seakan melihat anaknya sendiri baru saja nyaris mengalami kecelakaan.
"Tapi tadi ada satu hantu lagi ...," rengeknya, "dia menusuk dadaku dengan asap hitamnya, dan ... d-dan aku tidak tahu hal buruk apa yang sudah masuk ke dalam jiwaku."
Tampaknya itu bukanlah hal yang bisa disepelekan karena Paman Ethan mendadak menjauh untuk melihat wajah Ferus. "Apa?"
"S-sesuatu yang buruk terjadi padaku?" Ferus mengerjap, air matanya jatuh. "Tolong katakan tidak!"
"Tenang, tenang." Meski begitu Paman Ethan jelas tidak yakin. Lalu dia membantu Ferus berdiri. "Sekarang lebih aman kembali ke tubuhmu dulu. Yuka sudah menendang bokong hantu yang merasuki tubuhmu, jadi lebih baik kita bergegas."
Kali ini Ferus memutuskan untuk mematuhinya, mengangguk sangat lemas.
Terlihatlah dua buah bola biru melayang di atas sofa yang terletak di pinggir lobi. Yang satu milik Ferus dan yang satu milik Paman Ethan. Ketika mereka menggenggamnya, cahaya putih berkembang dalam kepalan dan menyebar ke seluruh penjuru, sangat menyilaukan hingga butuh memejamkan mata.
Setelah warna merah dari kelopak mata lama-kelamaan berubah hitam, mereka baru membuka mata lagi, merasakan posisi mereka sudah berubah dari asalnya berdiri menjadi duduk terkulai di atas sofa dan dibayang-bayang oleh beberapa perawat serta pengunjung rumah sakit, juga Yuka.
"Pak?" salah satu perawat memiringkan kepala, memastikan keduanya baik-baik saja.
Tangan Paman Ethan mengisyaratkan mereka untuk pergi. "Semuanya sudah di bawah kontrol. Makasih sudah menjaga dan,"—Paman Ethan memiringkan tubuh untuk bicara pada penonton di belakang perawat—"bubar. Kalian kira ini panggung teater?"
Tampaknya mereka semua kecewa tidak mendapatkan tontonan lebih menegangkan. Mengingat mereka sudah ditunjukkan atraksi gratis dari Ferus (yang membuat telinganya super panas saat ini, berharap tidak ada video manusia cecak menggemparkan rumah sakit diunggah ke YouTube), mereka memutuskan untuk bubar sambil berkasak-kusuk mempertanyakan kejelasan.
Dan hanya menyisakan Yuka yang sangat prihatin dengan mereka berdua.
"Astaga aku masih hidup." Ferus memegang dadanya.
Tiba-tiba Paman Ethan menekan dua jarinya pada wajah Ferus untuk melebarkan mata cokelat Ferus. Pupil Ferus membesar ketika dia melakukannya. Selama beberapa detik Paman Ethan hanya mendeham sebelum mundur ke posisi semula.
"Mungkin hantu itu tidak jadi menguasai jiwamu," kata Paman Ethan, melipat tangan di dada.
"Hah?"
"Tidak ada tanda-tanda kehadiran lain dalam jiwamu," seolah itu sudah menjelaskan segalanya. "Mungkin prosesnya terpotong di tengah jalan? Terganggu oleh si bola mata?"
Ferus berpikir sejenak. "Eh, tidak. Tidak mungkin. Walau memang tusukannya tidak berlangsung sampai lima detik. Tapi aku yakin darahku telah dimasuki sesuatu olehnya."
Tampaknya Paman Ethan tidak bisa menyimpulkannya sekarang, dahinya membentuk lipatan-lipatan tebal kulit yang menua. "Ya sudah. Apa kamu mau diperiksa lebih lanjut ke KMM?" tanyanya.
Tentu saja. Kalau perlu bersihkan semua kotoran yang ditempelkan oleh makhluk-makhluk hina itu, juga hapus malapetaka yang disebut sebagai "karunia" oleh orang-orang. Tiba-tiba saja air matanya mengalir deras lagi, hidungnya tersumbat, bahunya berguncang, dan yang paling parah adalah sesak napas menimbulkan pilu pada dadanya.
Paman Ethan paham betul akan ketakutannya. Jadi dia memeluk anak itu lagi berharap bisa memindahkan kesedihan Ferus padanya. Dia selalu tidak tahan melihat orang-orang yang membutuhkan bantuan seperti Ferus. Sebagaimana dia mengkhawatirkan kondisi Nick.
Juga Yuka. Dia melirik anak angkatnya yang masih membisu itu.
"Kalau begitu ayo kita ke KMM." Paman Ethan menepuk punggung Ferus sebelum mengajaknya berdiri.
Ferus menggunakan punggung telapak tangannya untuk menyeka air mata yang tidak ada habisnya. Lalu dia mengangguk pasrah.
Ceritanya bikin penasaran. Openingnya kereeeeennn.
Comment on chapter Act 000